Selasa, 25 Januari 2011

MISTERI KEMATIAN KEKASIH GELAP SUAMIKU


            Astaga! Jejak kaki bekas menginjak tanah itu nampak jelas di mana-mana. Teras, ruang tamu hingga ruang makan. Sekilas, kulihat tapak tangan juga ada di kaca yang berembun…Hujan sejak sore tadi memang membuat jalan sekitar rumah, becek. Namun, siapa orang yang nekad keluar masuk rumahku dengan kaki sekotor itu? Kuingat, Bik Surti pamit pulang, buat menengok orangtuanya di kampung selepas magrib tadi. Mas Ihsan, suamiku sudah dua hari bertugas di Bali. Lalu? Ahhh…bayangan seram itu kubuang jauh-jauh. Andai Mas Ihsan tahu, pasti dia akan meledekku habis-habisan. Penakut. Tukang khayal…
            Ingat laki-laki bermata elang itu, hatiku seperti diguyur air es. Dingin. Ya, dia memang selalu bisa menenangkan aku. Kata sahabat-sahabatku, aku sedikit temperamen dan sensitif. Maklum, anak tunggal. Kuingat betul, bagaimana mama dan papa memperlakukan aku. Beliau selalu berusaha mewujudkan apa pun yang kuinginkan. Sebaliknya, kebebasanku bergaul mereka batasi. Khususnya ketika aku mulai beranjak remaja dan mulai mengenal laki-laki.
Beberapa cowok yang datang ke rumah, pasti harus menerima perlakuan “ajaib” papa. Bila tidak diinterogasi, mereka diajak berdebat tentang beberapa hal yang berkaitan dengan kenakalan anak muda. Ada-ada saja… Meski terlalu berlebihan, kuanggap ini salah satu cara beliau menunjukkan kasih sayangnya padaku. Mama berulangkali menegur papa, namun akhirnya…capek juga.
Lama-lama, kebiasaan papa ini terasa mengganggu dan membatasi gerakku. Apalagi ketika aku mulai mengenal bangku kuliah. Beberapa cowok yang awalnya asyik kuajak berdiskusi dan curhat, mundur teratur. Mereka tidak tahan dengan sikap orangtuaku yang dianggap terlalu mencampuri. Ya, juga… Padahal mereka kan istilahnya baru “pendekatan”. Kenapa papa musti begitu keras menghadapi mereka?
Sayang, papa tidak mau mengerti. Sebaliknya, aku pun takut menyakiti perasaan beliau yang sudah begitu mati-matian menjagaku. Ya, sudahlah. Kupikir, nggak ada salahnya papa berbuat setegas itu. Toh, aku pun belum terlalu berharap, memiliki pasangan hidup. Masih muda!
Blarrr! Guntur di luar sana, suaranya memekakkan telinga. Lamunanku buyar seketika. Kulirik jam di dinding kamar. Ah, baru pukul sembilan malam. Rasanya sudah sejak tadi aku termangu-mangu, sendiri di kamar. Bayangan orangtuaku mendadak berkelebat di benakku lagi. Kapan terakhir aku mengunjungi makam mereka? Kenapa mendadak aku begitu kangen, hingga rasanya sulit untuk memejamkan mata?
Wisuda sarjana, tanpa seorang pendamping…Sungguh, ironis. Ledek sahabat-sahabatku. Mereka menganggap, aku terlalu cuek, sampai-sampai lulus pun belum memiliki pacar, Padahal mereka juga tahu tuh, bagaimana kerasnya papa. Untung, beliau mulai melunak, setelah melihat aku masih sendiri meski teman-teman sebayaku sudah memiliki calon suami.
Pagi itu tugasku menjemput papa dan mama yang baru pulang dari menengok saudara mama di Surabaya. Terminal kedatangan di Bandara Soekarno Hatta, riuh rendah. Mmm…kini, semua orang sudah terbiasa mengandalkan transportasi udara ini. Tidak seperti dulu, masih sepi. Keningku mulai berkeringat. Panas. Beberapa kali terpaksa kubersihkan kacamata minusku yang basah…Mmm, papa dan mama mana?
“Pagi…Amira.” Seorang laki-laki berambut ikal, bermata elang dengan dagu belah, muncul di hadapanku. Tatapannya tajam, menusuk. Senyumnya lebar. Seolah dia sangat mengenalku sebelumnya. Padahal aku melihatnya pun, baru kali ini…
“Lama ya, nungguin? Gitulah jadwal penerbangan nggak tentu…Suka dellay…Kamu sendiri?” cerocosnya lagi. Gila, nih cowok. Sok akrab! Kenal dia pun, tidak…
Aku menggeleng-gelengkan kepala, berusaha  mengingat-ingat siapa laki-laki super aneh ini. Bila aku tidak mengenalnya, kenapa dia seakan tahu benar siapa aku?
“Mira…kok Ihsan dicuekin?” tegur papa yang mendadak muncul bersama mama. Kedua orang yang sangat kukasihi itu senyum-senyum saja, ketika melihat aku masih terheran-heran.
“Sorry…saya belum memperkenalkan diri. Ihsan…dan kamu, Amira kan?” sapanya lagi, sambil menjabat erat tanganku.
Dasar, cowok ajaib. Baru kutahu belakangan dari papa, Ihsan ternyata anak sahabat papa yang baru lulus S2 di Surabaya. Cowok itu kebetulan sama-sama orangtuaku, pulang ke Solo kota kelahirannya. Meski super cuek dan sok akrab kesannya, ternyata dia bisa dijadikan teman, sahabat, bahkan pacar yang menyenangkan. Kepandaiannya mengambil hati kedua orangtuaku, membuat mereka merestui hubungan kami. Setahun kemudian, kami menikah dan memilih tinggal di Surabaya. Karena Mas Ihsan bekerja di sana…
Bbbrrr… Udara dingin kurasakan begitu menggigit. Lamunanku kembali buyar. Hujan dari tadi membuatku terbengong-bengong sendirian di kamar. Beberapa stasiun televisi acaranya tidak menarik, jika sudah malam begini. Paling film barat yang dar der dor…Aku paling ngeri melihat darah dan kekerasan. Herannya, Mas Ihsan malah paling suka film yang penuh kekerasan. Untung, dia tidak seperti tokoh-tokoh antagonis dalam film itu. Kalau sama, pasti aku tidak bertahan hingga empat tahun lamanya bersama dia tinggal dalam satu atap…
Setengah malas, aku beranjak dari tempat tidur. Sebelum tidur, aku harus memastikan pintu dan jendela depan terkunci semua. Tinggal seorang diri di rumah, tidak aman. Kuingat pesan suamiku tiap dia bertugas keluar kota.
Ya ampun! Nyaris aku terpelanting, jatuh. Lantai ruang depan kok basah…Padahal jendela tertutup rapat, tak memungkinkan air hujan masuk. Bercak tanah merah itu masih kelihatan jelas…Belum hilang rasa heranku, kulihat lagi ada bekas telapak tangan di kaca jendela yang berembun itu. Tangan siapa? Bbbrr…. Angin dingin membuatku menggigil. Bulu kudukku berdiri. Aduuuh! Buru-buru kumasuk kembali ke kamar, berusaha tidur…
***
Pagi ini, Bik Surti kelihatan terbengong-bengong, keheranan. Ketika kuminta dia membersihkan bekas tanah yang kulihat semalam. Pasalnya, pembantu yang sudah dua tahun bekerja di rumahku itu tidak menemukan bekas kotoran apa pun. Ruang tamu, kaca, semua bersih. Hanya teras depan saja yang sedikit kotor, karena daun-daun beberapa tanaman kami rontok, terhempas air hujan semalam.
“Benar kok, Bik…Yakin! Semalam, saya lihat bekas telapak kaki. Kotor di mana-mana. Malah saya nyaris terpeleset, karena ada air menggenang di ruang tamu…”
“Nggak mungkin, Bu…Saya datang, semua ruangan masih bersih. Genangan air juga tidak ada. Mungkin ibu semalam bermimpi…Kan hujannya gede banget?”
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mungkinkah halusinasiku saja, karena hujan begitu kencang semalam? Mungkin juga, aku bermimpi. Keenakan tidur, sampai memimpikan hal yang bukan-bukan. Kenyataannya, pagi itu kondisi rumah memang masih rapi. Tak ada tanda-tanda ada orang iseng sudah meninggalkan jejak kotoran, semalam.
Kejadian malam itu, nyaris kulupakan. Andai saja, malam ketiga aku sendiri di rumah ini tidak terulang kembali. Kali ini, benar-benar membuat aku yang terkenal pemberani waktu kuliah ini, bergidik ketakutan. Bayangkan saja, hujan yang tidak henti dari siang tadi dibarengi dengan listrik mati. Kuharus rela berdiam diri sendiri dalam rumah dengan penerangan lilin. Seandainya tahu, lampu bakal mati dan hujan begitu keras malam ini, pasti Bik Surti kutahan. Agar dia tidak pulang.
Ting tong…
Bel di depan tiba-tiba bunyi. Gggrh, siapa orang yang bertamu malam-malam begini, gelap dan hujan pula. Belum sempat aku berdiri, bel kembali berbunyi. Dasar. Benar-benar nggak sabar tuh orang… Amarahku jadi terpancing…Buru-buru aku beranjak ke ruang tamu… dan….tak ada siapa-siapa!
Lewat jendela, kulihat tidak ada siapa-siapa di luar sana. Aneh. Sementara bekas telapak tangan kembali jelas kulihat di kaca yang berembun. Belum habis rasa heranku, mendadak suara seperti langkah kaki yang diseret terdengar. Suaranya berasal dari kamar belakang yang selama ini jarang kami gunakan, sejak pembantu tidak menginap lagi di rumah. Tanganku bergetar hebat. Tengkuk seperti ada yang meniup…Dingin. Sementara gemuruh hujan dan guntur di luar, seperti bersaing dengan detak jantungku yang terasa makin kencang.
“Siapa ya…” tegurku, setengah berteriak. Konyol memang. Seingatku di rumah tidak ada siapa-siapa. Bagaimana seandainya, pertanyaanku ada yang menjawab…Hiiiih! Kakiku seperti lemas, tak bertenaga. Bayang-bayang seram yang sering diceritakan teman-temanku waktu sekolah dulu, melintas jelas di kepalaku. Kuntilanak? Pocong? Suster ngesot??? Dasar! Konyol… Buru-buru aku masuk ke kamar lagi. Tak kuperdulikan, suara langkah kaki yang diseret itu kembali terdengar. Badanku yang menggigil ketakutan, berusaha kusembunyikan di bawah selimut. Kuraih HP dan earphone yang ada di samping meja, tempat tidur. Lantas kupasang di telingaku, lega…Suara menakutkan itu tak kudengar lagi. Hanya suara lagu penyanyi favoritku saja yang terdengar….Aku pun berhasil tertidur, kelelahan.
***
            Gggrrhhh…Panas. Tubuhku seperti berada di atas bara api. Terbakar! Keringat membanjir, tanpa bisa dicegah. Sudah dua kali, kuganti bajuku yang basah. Hingga t-shirt yang paling tipis pun, sama saja. Tak ada gunanya. Heran. Pendingin ruangan ini sudah maksimal. Gemuruh air yang ditumpahkan dari langit, juga terdengar gaduh di luar sana sejak sore tadi. Tanda hujan. Minggu ini, benar-benar tiada hari tanpa hujan. Hanya anehnya, beberapa hari sejak Mas Ihsan tugas ke Bali, aku selalu mengalami kejadian tidak mengenakkan.
            Kreeettt…kreeetttt…Astaga. Suara langkah kaki orang yang diseret lagi? Aku memicingkan mata, berusaha menajamkan pendengaranku. Benar-benar suara itu, bukan halusinasi. Kucubit lagi kedua pipiku…Sakit. Nyata!
            Ffuiiih! Kali ini, aku tidak boleh menyerah karena ketakutanku yang berlebihan. Meski badanku sebenarnya terasa panas, seperti terbakar, kupaksakan diri menengok kamar belakang, sumber suara itu berasal. Langkahku berat, tapi pasti. Sambil membawa tongkat yang biasa digunakan Mas Ihsan buat latihan bela diri, buat aku berjaga-jaga. Siapa tahu, suara itu sebenarnya berasal dari pencuri yang menyelinap ke dalam rumah, sejak sore tadi.
            Badanku yang terasa panas terbakar, tiba-tiba seperti diguyur air es, begitu tepat berada di depan kamar. Bulu kudukku berdiri. Tanganku sudah basah oleh keringat. Kakiku seperti berat, goyah. Anehnya, hiasan lonceng kecil yang kugantungkan di atas pintu penghubung antara kamar belakang dengan ruang tengah, mendadak bergoyang, hingga menimbulkan suara nyaring. Menggiriskan hati…
            Satu, dua…tiga! Tepat hitungan ketiga, pintu kamar belakang kubuka. Kosong! Tak ada siapa-siapa. Bahkan masih rapi seperti semula…Memang sejak Bik Surti tidak menginap lagi di rumah kami, kamar itu terkunci. Sebelum ditinggalkan, pembantuku sudah merapikannya sedemikian rupa, sehingga siapa pun nanti yang masuk tinggal tidur saja.
            Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tetap sama. Kosong. Rapi. Tak ada tanda-tanda ada orang sudah masuk ke sana. Aneh. Belum habis rasa heranku, suara langkah kaki yang diseret itu kembali terdengar! Kali ini dari ruang tamu…Buru-buru kukunci kembali kamar belakang, lantas kuberanjak ke ruang tamu…Akal sehatku sudah tidak bekerja lagi. Entah pencuri, perampok, siapa pun itu, kuharus bisa menemukannya…Aku tidak mau, setiap malam diganggu bayangan menyeramkan yang tidak jelas asal usulnya.
            Blam! Terlalu! Kali ini, pintu kamarku seperti ada yang membanting. Sebelum kusampai ke depan, kulihat tidak ada siapa-siapa di depan kamarku. Ruang tamu pun, kosong! Hujan yang kini berhenti, membuat suasana mendadak sunyi. Bulu kudukku kembali meremang…Kali ini, kubenar-benar merasa ketakutan. Siapa pun itu yang mengusik ketenanganku, benar-benar membuatku tidak bisa tidur....hingga pagi dini hari. Ketika suara azan subuh terdengar, barulah aku bisa tertidur lelap. Itu pun pasti karena keletihan…
****
            Bete. Marah. Kesal! Mas Ihsan bukannya menolongku memecahkan masalah yang menghantuiku akhir-akhir ini, malah menertawakanku. Ketika kuceritakan semua kejadian yang kualami selama dia tugas ke Bali, laki-laki yang belum berhasil memberiku keturunan itu hanya tersenyum simpul. Tak ada tanda dia terkejut, khawatir atau panik.
            “Kebanyakan nonton film horor kamu, ma…Udahlah, mana mungkin rumah kita yang selama ini aman, digangguin makhluk halus… Kamu sendiri sejak kuliah, pemberani. Masa sekarang percaya ada setan di rumah kita…” tegurnya sore itu, ketika kami sedang berduaan di teras depan.
            “Tapi mama tidak bohong pa…Nyata banget yang mama alami. Beberapa kali juga kejadiannya sama…”
            “Trus, Bik Surti juga menemukan rumah kita berantakan?” Tatapan Mas Ihsan kali ini, tajam seperti menusukku. Kelihatannya dia mulai lelah, menyakinkan aku kalau kejadian yang kualami itu hanya halusinasi saja.
            “Ya, enggak sih mas…Nggak ada tanda apa pun yang ditemukan Bik Surti…”
            “Nah, bener kan…Kamu hanya mimpi atau halusinasi. Biasanya kan kutinggal sendiri di rumah berani, kok sekarang penakut gini….”
            Kutarik nafas, berat. Huh! Paling pantang aku disebut penakut. Tapi mau bilang apa, aku toh tidak bisa menunjukkan bukti, kalau ketakutanku selama ini beralasan.
            “Sudahlah, jangan bahas itu lagi ya…Papa capek. Papa juga khawatir, mama malah kepikiran beneran dan semua yang tidak nyata, menjadi nyata….” Mas Ihsan menyeruput tehnya, lantas buru-buru masuk ke dalam. Heran. Nggak biasanya, Mas Ihsan menghentikan perdebatan kami begitu saja. Biasanya, aku musti menuntaskan semua masalahku sampai kelihatan aku puas, baru Mas Ihsan masuk. Kali ini, dia tidak mau berlama-lama membahas masalah yang kuhadapi. Apa karena dia menganggap ceritaku tidak bisa diterima akal sehat?
***
            Minggu ini, tugasku mengawasi tukang yang bekerja merenovasi rumah bagian belakang. Rencananya kamar belakang dibobol, lantas dibuatkan kamar mandi dalam. Bila ada saudara menginap, mereka bisa lebih nyaman tinggal di kamar tamu itu. 
            “Bu…Maaf, barang-barang ini masih digunakan tidak? Tadi tukangnya nemuin ini di bawah ubin, tepat di bawah meja kamar….” Tanya Bik Surti mengejutkanku. Dia muncul di depanku dengan membawa sebuah tas kain, lusuh bercampur pasir. Mataku berusaha mengenali barang itu…Tapi itu kan bukan milikku?
            “Ada di mana, Bik?”
            “Di bawah ubin, tepat di bawah meja…Tadi tukang  waktu ngebobol ubin, menemukan tas ini…Kirain ibu yang simpan …”
            Aku menggeleng-gelengkan kepala. Aneh. Masa aku menyimpan barang pribadi di dalam tanah. Aku tanam? Ada-ada saja…Pasti ini milik penghuni lama, sebelum kami tinggal di rumah ini… Tapi barang ini masih kelihatan bagus dan baru…hanya kotor saja. Hati-hati, kubuka. Isinya: sebuah pasmina warna hijau toska, kotak tissue dari bahan flanel dan sebuah sisir! Sisir perempuan, pasti. Ah…ada-ada saja…Kuminta Bik Surti mengambil barang-barang itu kembali. Terserah, dia mau membuang atau menyimpannya.
            Kejadian siang itu, tidak kuceritakan Mas Ihsan. Kutakut, dia malah semakin kesal mendengar ceritaku yang aneh-aneh. Sore ini, sengaja kusiapkan tape bakar dan ubi rebus kesukaannya. Kasihan dia…Beberapa hari ini, sepulang dinas luar kota, dia lembur terus. Pasti capek dan stress. Sementara aku yang keenakan tinggal di rumah, tanpa berbuat banyak…
            Jam di dinding, sudah menunjukkan angka sembilan. Mas Ihsan belum juga pulang…Mataku yang mulai ngantuk, berusaha kutahan. Kasihan, bila suamiku pulang hanya bisa melihat aku tertidur pulas. Aku nyaris ketiduran di kursi tamu, ketika kudengar telpon rumah berdering. Tak biasanya, orang menelponku malam-malam begini…
            “Maaf , Ma…Papa tidak pulang malam ini…Mama istirahat saja…Besok papa ceritain kejadiannya…” suara papa terbata-bata di seberang sana. Belum sempat kujawab, telpon sudah dimatikan. Aku berusaha menghubungi handphonenya, tapi…mati. Papa tidak pulang? Kenapa?
***
            Pagi ini, aku baru tahu jawabannya…Ketika telepon rumah kembali berdering. Papa ditahan polisi! Seperti mimpi, ketika beberapa petugas kepolisian datang ke rumah, lantas mencecarku dengan beberapa pertanyaan. Mereka akhirnya, memintaku menunjukkan kamar di belakang yang tengah dibongkar. Lantas, mereka juga menanyakan tas yang sempat kutemukan… Bagaimana mereka tahu, aku menemukan tas itu?
            Laki-laki yang kupuja, kucintai dengan sepenuh hati itu kulihat berlinang air mata, ketika kutemui di kantor polisi. Berulangkali dia mencium tanganku, sambil meminta maaf. Wajahnya yang biasa tegar, berwibawa dan sangat kusegani itu, kini kelihatan seperti manusia yang kehilangan daya…Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan. Pengakuan Mas Ihsan, benar-benar menyakitkan. Nyaris membuatku seperti ditenggelamkan ke jurang yang sangat dalam…
            Sebut saja, Leni…Wanita yang beda sepuluh tahun usianya dariku itu dikenal Mas Ihsan setahun yang lalu, ketika dia meeting dengan kliennya di sebuah kafe. Tanpa sadar, mereka sudah terlibat hubungan terlarang. Ketika perempuan itu hamil…Mas Ihsan ketakutan. Dia meminta Leni menggugurkan kandungannya. Tapi perempuan itu malah mengancam, melaporkan perbuatannya padaku. Istrinya…
            Ancaman yang semula dianggap main-main, ternyata nyaris dilakukan Leni. Dia datang ke rumah kami. Untungnya, saat itu aku sedang menengok temanku yang melahirkan putra pertamanya. Pertengkaran antara Mas Ihsan dan Leni tak terhindarkan. Tanpa sengaja, Mas Ihsan mendorong perempuan itu, hingga tersungkur. Kepalanya terbentur meja ruang tamu, sampai tak sadarkan diri. Sementara, kakinya mengeluarkan darah…Mungkin pendarahan…Karena panik, Mas Ihsan langsung menyeret tubuh Leni yang dia duga sudah meninggal ke kamar belakang. Semua bercak darah, Mas Ihsan bersihkan. Lantas tubuh Leni dimasukkan dalam karung beras yang ditemukan di gudang, sebelum akhirnya dibawa ke mobil, untuk dibuang di suatu tempat…
            Tas Leni yang kelupaan, sempat tertinggal di rumah. Karena takut ketahuan, Mas Ihsan menimbunnya di bawah ubin. Baru aku nyadar.  Lantai kamar belakang tidak rapi, tepat di bawah meja. Gara-gara polisi menemukan jasad Leni dengan beberapa bukti yang mengarah ke Mas Ihsan, akhirnya semua kejahatannya terbongkar… Mas Ihsan pun mengakui, bila salah satu barang bukti, dia tanam di kamar belakang rumah kami.
            Gelap….Bayangaan masa depan keluarga kami yang menyenangkan, hancur berantakan. Rasanya baru kemarin aku mengenal Mas Ihsan, lalu kami menikah. Tapi kenyataannya, semuanya tidak seindah yang aku bayangkan. Aku tidak tahu, apakah harus menerima Mas Ihsan kembali, andai dia bebas dari tahanan nanti. Namun yang jelas, aku memilih menjual rumah yang sudah membuat hatiku sangat sakit. Entah, bagaimana “kabar” Leni…Semoga dia tidak mengganggu penghuni rumah yang baru, karena tubuhnya sudah dikebumikan dengan layak. Pembunuhnya pun sudah menerima ganjarannya… (kisah ini diceritakan kembali oleh Steph)

Tidak ada komentar: