Selasa, 25 Januari 2011

MAMA MEMBUANG DARAH DAGINGKU


            Sungguh tega, orangtua yang tega membuang darah dagingnya. Mereka dilahirkan dalam keadaan tidak berdosa. Beberapa kasus, seperti bayi ditemukan di toilet umum, pom bensin, pos ronda, dan kardus tempat sampah, membuat kita berpikir, bagaimana pertanggungjawaban orang tua mereka nanti pada Sang Pencipta. Berikut penuturan Sasha yang buah hatinya dibuang sang mama.
            Bbbbr… Lagi-lagi aroma bunga melati kesukaan almarhumah mama, tercium, setiap kali aku memasuki rumah berasitektur Belanda, peninggalan Papa. Setahuku, tidak ada penghuni rumah yang suka memakai melati. Bik Surti, pembantu yang sudah mengabdi belasan tahun di rumah ini pun, tidak tahu menahu saat kutanya. 
            “Ah, perasaan non saja kali…Nggak ada yang memakai bunga melati kok…” katanya, sore itu.
            “Bukannya dulu mama suka merangkai bunga segar, lantas dibuat hiasan di kamar dan ruang keluarga, Bik?”
            “Dulu, non…Sejak mama non meninggal, tidak ada lagi yang merangkai bunga buat hiasan rumah. Tanaman juga banyak yang mati. Padahal Bibik tetap rawat seperti biasa. Heran ya non, sepertinya ikutan sedih karena ibu tidak ada.”
            Hatiku seakan teriris, ingat mama. Ya, beliau memang paling suka tanaman, apalagi bunga seperti mawar, melati dan anggrek. Hari-harinya banyak dihabiskan buat merawat tanaman, terutama setelah papa meninggal karena kecelakaan. Mungkin itulah salah satu cara beliau buat mengobati rasa kesepiannya. Apalagi empat tahun lalu, aku terpaksa meninggalkan mama sendiri bersama Bik Surti, karena diboyong suamiku yang bertugas di Melbourne. Padahal sejak aku kecil, tidak pernah lepas dari sisinya.
            Kuingat benar, sebagai putri tunggal, kedua orangtuaku sangat memanjakan aku. Nyaris, apa pun yang kuinginkan, selalu dipenuhi. Beliau juga melindungiku seperti menjaga batu pualam…Lihat saja, suatu hari sepulang sekolah, tanganku lebam karena salah satu teman laki-laki mendorongku, sampai terjatuh. Papa langsung mencari bocah itu, keesokan harinya.
            Kupikir, sikap orangtuaku yang berlebihan itu berlaku karena usiaku masih sangat kecil. Kenyataannya, sampai aku duduk di bangku SMA pun, beliau sangat over protect. Nggak heran, beberapa cowok yang semula gigih, ingin mendekatiku, mundur perlahan-lahan. Mereka tidak ingin, setiap datang ke rumah selalu disambut dengan tatapan papa yang menusuk, penuh curiga.
            Sakit hati? Ya. Tanpa sadar, batinku merasa teraniaya. Keinginanku bisa dekat dengan seorang laki-laki yang akhirnya akan menjadi pelindungku, kandas. Bayangkan saja…Pulang terlambat saja, langsung kena tegur. Apalagi bila beliau melihat aku tengah asyik ngobrol dengan teman pria. Mmm…bisa seharian aku kena hukuman.
            Meninggalnya papa, saat kumasih duduk di semester satu, benar-benar memukul keluarga kami. Bulan-bulan pertama, beliau tidak ada, mama nyaris seperti orang lupa ingatan. Setiap hari hanya duduk termangu-mangu di teras, tempat papa biasa duduk. Secangkir kopi dan setangkup roti bakar kesukaan papa, selalu mama sediakan di meja. Bik Surti baru berani membereskan makanan yang tidak disentuh sama sekali itu, ketika mama sudah tidur.
            Untunglah, beberapa sahabat baikku sering datang. Mereka mulai “berani” bertandang, buat ngobrol atau mengerjakan tugas sekolah.  Rumah kami yang semula sepi, menjadi hangat kembali. Jujur, aku pun merasakan udara kebebasan yang sebelumnya tidak pernah aku rasakan. Mama pun memberi kebebasan aku buat berteman dengan siapa saja, termasuk memilih teman dekat, laki-laki.
            “Doorrr! Mama ngelamun ya? Hayo…kangen papa??” tembak Marcell, putraku semata wayang. Mmm…entah sudah berapa lama, aku termangu sendiri di teras depan, sampai kehadiran bocah berambut coklat dan bermata kebiruan itu, tidak aku sadari.
            “Mama belum jawab…”
            “Apa sayang? Mama hanya membayangkan, bila kamu besar nanti sayang juga nggak sama mama?”
            “Ya, sayang dong ma…Nanti Marcell bekerja, lalu membelikan mama rumah besar. Jauh lebih besar dari rumah eyang…”
            Mataku mendadak terasa pedih. Andai papa dan mama melihat cucunya ini tumbuh menjadi bocah yang cerdas dan menggemaskan…Sayang, mama tidak sempat melihat Marcell. Beliau meninggal, dua tahun lalu.
            “Ma..boleh Marcell bagi kue buat Dafa?”
            “Dafa??”
            “Ya, ma…teman baru Marcell. Sejak kita datang, dia suka mengajak bermain Marcell. “
            Kutatap mata anakku, penuh curiga. Setahuku tidak ada bocah lain selain dia di rumah ini. Bahkan bisa kupastikan, tetangga sekitar kompleks kami pun tidak memiliki anak kecil.
            “Yahhhh…Mama ngelamun lagi…”
            Kugelengkan kepala gemas, ketika melihat Marcell mulai menggembungkan kedua pipinya. Tanda dia nggak sabar, menunggu jawabanku.
            “Boleh-boleh….Daffa juga sekalian kenalin sama mama ya. Kok selama ini, mama nggak pernah lihat kalian main berdua. Jangan-jangan, Marcell main ke luar rumah ya? Hayooo!!”
            “Ih mama…Nggak kok. Mama saja yang selalu nggak ada, saat dia datang. Jika tidak sedang tidur siang, mama pergi…”
            Aku hanya bisa mengangguk-angguk saja. Soalnya, bocah cilik itu selalu memiliki banyak alasan, buat setiap pertanyaanku. Lebih baik kudiam, daripada membuat dia makin penasaran.
***
            Bbbrrr! Lagi-lagi aroma melati itu tercium lagi. Entah kenapa, malam ini perasaanku tidak enak. Mungkin karena Bik Surti pulang kampung, hingga aku harus berduaan saja dengan Marcell. Sementara Pascal suamiku yang berkewarganegaraan Australia, masih bertugas di Bali.
Beberapa kali korden di ruang tamu terdengar berderak-derak. Beberapa kali, hiasan yang digantung di depan juga terdengar, gemerincing. Begitu nyaring…
            “Ma!”
            Astaga! Nyaris aku melompat dari tempat dudukku, ketika Marcell tiba-tiba sudah ada di depanku. Masih dengan baju tidur kesayangannya. Rambutnya yang kriwil, kelihatan berantakan.
            “Apa sayang?”
            “Mama, takut gledekkk…”
            Belum selesai dia bicara, tiba-tiba guntur terdengar…Suaranya mengejutkan, hingga refleks bocah itu menyusup dalam pelukanku. Badannya menggigil, ketakutan. Dingin. Mmm..pantas, sejak sore tadi langit sudah sangat gelap. Pasti malam ini hujan turun…
            “Takuttt..” katanya, mirip suara erangan.
            Kuusap kepalanya dengan penuh cinta. Pelukannya kurasakan semakin kuat, hingga membuatku tidak bisa bernafas…
            “Sayang, jangan kencang-kencang dong peluk mama…Nggak apa-apa kok, suara itu hanya petir…tanda mau hujan. Kan ada mama di sini…”
            Aroma melati itu tiba-tiba tercium lagi. Perasaan tidak enak, kembali menyergapku. Entah mengapa, buku romaku berdiri. Padahal aku termasuk orang yang paling tidak takut hantu. Belum sempat kutenangkan Marcell, lampu mendadak mati! Astaga…
            Bocah itu kembali memperkuat pelukannya. Kurasakan bobotnya kini makin berat. Bocah kecilku, tumbuh sehat. Sampai-sampai, aku tidak sadar, dia makin bertambah tinggi dan besar. Karena dia sangat ketakutan kutinggalkan buat mencari lampu emergency, kami hanya duduk berpelukan saja di ruang tamu, sambil diterangi sebatang lilin yang kutemukan di bawah meja.
            “Ma…sayang aku nggak?”
            Dahiku berkerut, tiba-tiba. Pertanyaan aneh…
            “Ya jelas, sayang…Masa selama ini, mama nggak sayang kamu? Mama dan papa sayang banget sama kamu… “ Kuusap lagi rambutnya yang kali ini kurasakan, sangat kasar dan kusut. Mmm…sejak kapan, Marcell nggak menyisir rambut?
            Aroma melati tiba-tiba kembali tercium. Kali ini sepertinya begitu dekat. Sangat dekattt…Ya Tuhan! Baru kusadar, asalnya dari Marcell! Tanganku bergetar hebat. Mengapa aroma baju anakku seperti baru bunga melati?
            Pelukan Marcell mulai mengendor. Kulihat wajah bocah kesayanganku itu lekat-lekat. Di antara remang-remang lilin, kulihat Marcell tidak seperti biasanya. Dia…ya ampun, mengapa tatapan matanya seperti orang yang tengah menahan kemarahan? Dia menatapku dengan penuh kebencian. Sebelum kusadar apa yang kulihat, tangannya tiba-tiba mendorongku sekuat tenaga, hingga aku terjajar di kursi…
            “Mama bohongggg…”
            Bocah itu lari masuk ke dalam rumah, tanpa kubisa mengejarnya, karena mendadak lilin mati! Lilin baru bisa kunyalakan beberapa menit kemudian, setelah bersusah payah mencari korek api dengan meraba-raba isi laci meja yang ada di ruang tamu. Buru-buru kususul Marcell di kamarnya…Aihhh…bocah itu sudah tidur pulas. Sepertinya, dia sudah tidak memikirkan hujan atau gledek lagi.
****
            Minggu pagi ini, kusengaja menemani Marcell main, karena Bik Surti sudah datang. Sehingga aku tidak terlalu repot menyiapkan semua keperluan rumah, sendirian. Kejadian semalam juga nyaris kulupakan, seandainya saja Marcell tidak menceritakan sahabat kecilnya, Dafa.
            “Ma, kasihan deh…Dafa ternyata tidak pernah mengenal mamanya sejak lahir. Mamanya membuang dia…”
            “Huss! Jangan bicara asal…Kamu tahu darimana? Kasihan kan ngomongin teman sendiri?”
            “Bener ma! Dafa yang cerita kok. Dia bilang, mamanya nggak pernah sayang sama dia. Kalau mama, sayang tidak sama Marcell?”
            Bocah berwajah polos itu, menatapku dalam-dalam. Jari-jari kecilnya berusaha mengusap pipiku…Duh, kalau sudah begini, aku paling senang memeluknya erat, lantas mengayunkannya hingga dia tertawa, kesenangan.
            “Mama sayang banget sama kamu…Kenapa Marcell tanya itu melulu? Semalam juga…waktu hujan dan lampu mati?”
            Marcell menatapku lagi. Tangan mungilnya memeluk leherku, lantas mencium pipiku.
            “Makasih mama…Mama tidak membuang Marcell, seperti mamanya Dafa…Dia kejam ya ma…”
            Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Anak sekecil ini sudah tahu saja, masalah orang dewasa. Padahal dia juga belum tahu pasti, kejadian yang dialami Dafa itu benar atau tidak. Bisa saja, orangtua Dafa meninggal atau terpisah dengan anaknya dalam musibah.
            “Semalam, Marcell cepat sekali tidur? Gitu dong, berani tidur sendiri, meski lampu mati…”
            “Lampu mati, ma? Marcell nggak tahu tuh…”
            “Becanda ya, Marcell. Kan kamu sendiri yang lari ke mama, saat ada gledek semalam?”
Aneh. Kulihat, dia menggelengkan kepala.  Kutatap mata bulatnya. Tidak ada tanda-tanda dia bohong. Masa semalam aku bermimpi? Jantungku mendadak berdebar, kencang. Memang kuakui, semalam kurasakan Marcell aneh. Seperti bukan bocah kesayangan yang biasa kupeluk…Ah, mungkin memang aku berhalusinasi saja.

            Kejadian dua hari lalu itu sudah nyaris kulupakan, kalau saja sore itu selepas mahgrib, tiba-tiba saja Marcell muncul di depanku bersama seorang bocah laki-laki. Usianya mungkin satu atau dua tahun lebih tua darinya. Yang membuatku pusing mendadak, rambut kriwil dan tatapan matanya mirip sekali dengan Marcell. Bahkan, sepertinya aku sudah merasa sangat akrab dengannya…padahal kami tidak pernah bertemu.
            “Ma, boleh Dafa menginap di sini malam ini?”
            Aku terbelalak, kaget. Entah mengapa, perasaanku mendadak tidak enak. Bocah itu memang berulangkali tersenyum lebar padaku, tapi kurasa senyumnya mirip seringai yang menggiriskan hati.
            “Marcell, nanti keluarga Dafa mencarinya, bagaimana? Boleh saja Dafa main bersama kamu, tapi dia pasti dicariin bila tidak pulang malam ini…”
            Susah payah, kubujuk Marcell buat mengerti. Akhirnya, teman barunya itu pulang juga setelah makan malam bersama kami. Sebelum pulang, kulihat dia menatapku dalam-dalam.
            “Boleh saya peluk tante?” tanyanya tiba-tiba. Rasa haru menyergapku seketika. Sebenarnya, bocah itu kasihan. Jika cerita Marcell benar, dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Sungguh terlalu, seorang ibu yang tega membuang darah dagingnya sendiri, batinku. Kupeluk dia dengan sepenuh hati, hingga tanpa sadar air mataku menetes. Bocah itu pun kelihatan sangat puas, sebelum akhirnya pamit pergi.
           
            Malam itu, kulihat Marcell begitu pulas tidur. Sebelum tidur,  kurapikan dulu isi koperku. Besok, kami pulang ke Melbourne. Sebelumnya menyusul suamiku dulu di Bali…Beberapa baju sudah terlipat rapi di tempatnya, kurapikan meja kamar yang semula kugunakan buat meletakkan beberapa peralatan pribadiku selama di sini. Mmm…berat juga, meninggalkan rumah ini lagi..
            Kuingat betul, ketika rumah kami merasakan kehangatan lagi, setelah papa meninggal. Mama jadi memberi kebebasan buat aku bergaul. Karena tidak pernah merasakan kebebasan sebelumnya, aku makin bandel. Apalagi beberapa cowok terang-terangan menyukaiku…hingga akhirnya, pilihanku jatuh pada Danny yang beda fakultas denganku.
            Hubungan kami pun sangat dekat, hingga akhirnya tanpa kusadari, aku sudah melalukan kebodohan. Aku hamil! Mama sangat terpukul. Laki-laki yang semula kupuja itu, ternyata hidung belang. Dia tidak mau mengakui perbuatannya. Demi menyelamatkan nama baikku, mama memintaku berhenti kuliah dengan alasan pindah ke luar kota. Padahal aku hanya bersembunyi di rumah saja.
            Sungguh menggiriskan hati, ketika aku harus melahirkan di sebuah klinik bersalin tanpa didampingi suami. Kondisiku drop, sampai nggak sadarkan diri selama dua hari. Wajah bayiku pun tak sempat kulihat, karena kata mama, meninggal saat kulahirkan. Makamnya ada di halaman belakang rumah kami.
            Untunglah, mama berhasil mengembalikan kepercayaan diriku lagi. Aku berhasil menuntaskan diplomaku, lantas menikah dengan Bryan, laki-laki yang kini menjadi suamiku. Cowok berkewarganegaraan Australia yang kukenal lewat salah satu jaringan pertemanan di internet.  Sungguh, dia suami yang nyaris sempurna, meski kami berbeda latar belakang budaya. Mama juga bahagia, melihat perubahan besar dalam hidupku. Apalagi tidak lama setelah kami menikah, Marcell lahir.
            Bbbrrr! Aroma melati tercium lagi. Bulu kudukku kembali berdiri. Kenapa akhir-akhir ini, aku sering ketakutan yang tidak jelas? Jelang kepulanganku ke Melbourne, memang ada saja kejadian yang sulit kuterima dengan akal sehat. Marcell suka uring-uringan. Kadang dia merapikan mainannya yang kulihat berantakan di kamar, sambil mengomel berkepanjangan. Saat kutanya, dia hanya bilang…Dafa jahil. Padahal setahuku, bocah itu tidak datang ke rumah hari itu. Pernah juga, pagi-pagi saat Bik Surti ingin sholat subuh, menemukan mainan Marcell yang semula dirapikan di loker dalam kamar, tergeletak begitu saja di teras depan. Padahal tidak ada siapa-siapa di sana.
            Kuseka keringat yang menetes di dahi. Nggak boleh takut, batinku. Ketakutanku berlebihan, karena tidak ada siapa-siapa  di sini. Hanya Bik Surti, Marcell dan aku…Buru-buru kuselesaikan packing baju-bajuku. Lantas kuambil buku diary mama yang kemarin kutemukan di laci lemari. Kuingin membawanya buat kenang-kenangan, sambil dibaca-baca di perjalanan.
            “Mama...Jangan pergi! Aku takut! Jangan tinggalin aku….”
            Deg! Jantungku berdebar kencang. Suara itu, mirip suara Marcell? Kulihat sekelilingku. Sepi!
            “Mama tega, pergi lagi? Mama tidak pernah sayang aku!!!” teriaknya kali ini dengan nada penuh amarah. Kutajamkan lagi pendengaranku. Mungkinkah, halusinasiku lagi? Sementara aroma melati yang kembali tercium, membuat konsentrasiku berantakan.
            “Mama jahat!!! Mama nggak sayang aku!!!”
            Suara itu makin keras, hingga menyakitkan gendang telingaku. Sebelum kusadar apa yang kulihat, tiba-tiba sekelebat bayangan bocah kecil melintas di depanku. Tubuhnya tidak beda jauh dengan Marcell, tapi kuyakin dia bukan putraku…
            “Mama jahat!!! Mama nggak boleh tinggalin aku lagi!!” Tubuhku limbung, ketika berusaha mengejar bocah cilik itu…
            Gelap seketika, kurasakan. Tubuhku seperti terbenam dalam lubang yang sangat dalam dan dingin. Nyaris membekukan. Tak ada siapa pun di sekelilingku. Kucoba teriak, tak ada suara yang keluar dari kerongkonganku. Tubuhku berusaha meronta, meraih apa saja, agar tidak terjerembab semakin dalam, tapi kelihatannya sia-sia. Nafasku pun makin tersengal-sengal…hingga kupasrah…
            “Ma…Bangun! Udah siang!” teriakan itu mengagetkanku. Seperti…ah, bukan! Marcell! Ya, ini benar-benar suara Marcell…
            Sinar matahari yang masuk dari celah jendela, membuatku memicingkan mata sebentar, sebelum akhirnya sadar diriku masih ada di tempat tidur. Marcell sudah berdiri di depanku dengan wajah polosnya itu…
            “Ma, ayo mandi…Katanya kita susul papa di Bali…” tegurnya.
            Ampun…aku mimpi semalam? Kenapa rasanya begitu dekat dan nyata?
            Kejadian malam itu, tidak kuanggap nyata, seandainya aku tidak membuka kembali diari mama.  Beberapa kejadian saat kukecil, hingga ketika aku hamil beliau tulis rapi di situ. Mataku mendadak memerah, ketika membaca, satu kutipan…Maafkan mama, sayang. Mama terpaksa berbohong padamu, bila anak yang kamu lahirkan mati. Sebenarnya mama berikan bayi tidak berdosa itu pada sebuah keluarga kecil yang sudah lama mengidamkan memiliki keturunan. Mama berpikir, semua ini demi kebaikanmu. Mama ingin kamu bisa melanjutkan hidupmu, menikah dengan laki-laki pilihanmu, tanpa harus dibebani dosa masa lalu…
            Air mata ku pun tidak mampu kubendung lagi. Bahuku bergetar hebat. Teganya mama membuang darah dagingku yang berarti cucu kandung mama sendiri? Lantas, ada di mana anak kandungku sekarang? Buru-buru kubuka beberapa lembar catatan mama, hingga aku menemukan coretan mama yang membuatku makin terpukul…
            Benar-benar, mama menyesal dan minta maaf sayang. Mama melakukan kesalahan fatal, hingga menyengsarakan darah daging kamu. Beberapa bulan ini, mama tidak bisa menghapus rasa bersalah mama. Karena itu, mama berusaha menghubungi kembali pasangan suami istri yang mengadopsi anak kamu. Namun belakangan mama baru tahu, keluarga kecil itu mengalami musibah. Tetangganya yang membuka rumahmakan, kebakaran hebat. Namun api menjalar hingga menghanguskan beberapa rumah di sekitarnya, termasuk rumah mereka. Putramu, alias cucu mama pun tewas dalam kejadian itu…Mama tidak berani menceritakan kejadian ini. Mama pikir, biarlah masa lalu itu terkubur dalam-dalam. Semoga dosa mama terampuni, jika suatu saat mama meninggal.
            Entah, apa yang harus kulakukan sekarang? Menangis pun, tidak akan menghapus penyesalanku yang dalam karena telah meninggalkan darah dagingku yang ternyata laki-laki. Jika dia tumbuh dewasa, paling usianya hanya selisih dua tahun dari Marcell.
            Malam ini dalam sujudku, kumohon ampun buat mama, juga untuk dosa yang sudah kulakukan. Kuberharap, putraku yang belum sempat kuberinama, memperoleh tempat terbaik di sisi Nya. Entah, apakah itu ada hubungannya dengan kejadian-kejadian aneh yang sering kualami di rumah mama atau tidak. Namun sejak aku mendoakan putraku dengan tulus, aku tidak pernah lagi mengalami mimpi buruk. Setahun kemudian, ketika aku kembali liburan ke rumah peninggalan mama, aku tidak lagi diganggu oleh aroma melati atau penampakan bocah cilik yang tak jelas asalnya. Entah mengapa, Marcell pun tidak lagi kelihatan bermain dengan Dafa, sahabat kecilnya itu…(steph)
           

Tidak ada komentar: