Gila!! Ngeri juga
ngeliat perseteruan Adi Bing Slamet dengan Eyang Subur di televisi. Nyaris,
semua channel memberitakan hal yang sama selama beberapa minggu belakangan ini.
Denger apa yang mereka omongin aja, bikin bulu kuduk ini merinding. Ngeri ah,
berurusan dengan hal begituan.
Meski aku dilahirkan dalam keluarga yang taat
ibadahnya, nggak pernah diajarin untuk mempercayai hal gaib, masih saja hati
kecilku suka deg-degan, kalo nonton tayangan horor. Herannya, pembantuku Mbok
Saripah yang sudah sepuluh tahun mengabdi di rumah ibu, paling seneng nonton
begituan.
“Mbok! Ntar malem ada
wayang kulit lho di TVRI… Mendingan nonton itu, mbok. Di mana tuh, aku lupa…
ada lawak. Kesukaan mbok juga, kan?” bujukku, ketika hari sudah mulai larut.
Seperti biasa, Mp;ok Saripah masih aja betah duduk di depan televisi di ruang
tengah. Padahal mataku udah pedes, bawaannya pengen tidur.
“Wah, ndak ah, mbak
Stella. Kan ada Masih Dunia Lain, lebih maknyoss. Kalo ndak salah, mau ngomongin
Cipularang.”
“Yaellahhh, Mbok! Ini
kan malah Jum’at lagi. Nggak ada tontonan lain, apa?”
Mbok Saripah, ngeyel.
Dia menggelengkan kepala, sambil ngusap mukanya yang sudah termakan usia.
“Mbak Stella tidur aja,
biar ntar saya yang mati-matiin lampu… Pintu dan jendela depan sudah saya cek,
kok mbak. Ndak usah kuatir.”
Aku nepok jidat.
Pusing.
Ya, sudahlah. Seperti
biasa, pembantuku yang masih percaya adat kejawen itu, kutinggal masuk kamar.
Selain nggak betah melek, aku juga ngeri ngeliat seleranya. Outstanding
banget! Tapi ngelarang beliau nonton
juga, kasian. Toh seharian dari subuh sampai larut, masih aja ada yang
dikerjain. Mbok Saripah, baru mau duduk di depan televisi, setelah semua orang
di rumah ini, selesai makan malam. Meski
siang ada waktu, istirahat, beliau nggak pernah mau, leha-leha nonton. Makanya,
aku kasih kebebasan, nonton sampai tengah malam. Toh beliay juga sudah seperti
ibuku, sendiri. Orangnya sangat hati-hati, ngejaga dan ngerawat rumah.
Satu hal yang sampai
saat ini, masih nggak bisa aku mengerti. Kebiasaannya meletakkan beberapa
jumput bunga di piring kecil, lantas dia letakkan di beberapa sudut rumah.
Katanya sih niatnya buat kebajikan.
“Maaa!! Kalo ada
dedemit gimana? Kenapa pake sajen segala sih?” bisikku sama Mama, waktu nggak
sengaja, aku memergoki Mbok Saripah, lagi senandung sambil meletakkan piring
berisi kembang. Mama langsung meletakkan telunjuk jarinya di bibirku, tanda
supaya aku diam.
“Udah, biarin aja. Mbok
Saripah, ngedoain keselamatan kita. Kepercayaan dia waktu di desa pake
begituan… “
Aku terdiam. Sampai suatu hari, ketika tengah malam, tiba-tiba kudengar orang
menangis. Sedih, banget. Glekkk!! Bulu kudukku lagi-lagi berdiri. Siapa yang
nangis di tengah malam buta, gini?
Lamat-lamat aku dengar,
suaranya makin jelas. Asalnya dari kamar belakang. Heran. Satu-satunya orang
yang tinggal di kamar belakang ya, Si Mbok. Jangan-jangan, wanita yang sudah
lewat separuh baya itu sakit?
Buru-buru, aku
nyamperin kamarnya. Glekk!! Kosong!!
Hahhh!! Trus, suara
itu?
Aku ngelongok dapur,
sama juga. Kosong. Tapi suara tangis itu masih saja, terdengar. Makin jelas.
Sedih. Menggiriskan hati.
KLEEEKK!! Suara
gerendel pintu belakang, dibuka. Fiiuhhh! Hampir aja, aku melompat saking
kagetnya. Kulihat, Mbok Saripah, barusan
masuk. Rupanya, dia habis dari halaman
belakang.
“Mbok? Mbok sakit? Mbok
kangen rumah?” tegurku, ketika melihatnya menyusut air matanya dengan ujung
bajunya. Dia kaget, melihatku sudah ada di depan matanya. Dia menggeleng,
lemes. Malah, aku langsung dipeluknya, dia kembali menangis, tanpa suara.
Ya, ampun. Simbok,
kenapa sih? Bikin hatiku giris aja. Jangan-jangan, dia sakit, tapi nggak mau
terus terang? Atau anaknya yang di kampung minta duit dan si mbok seperti
biasa, nggak mau ngerepotin aku?
“Mbok.. cerita aja. Ada apa? Jangan bikin saya
kepikiran, mbok. “
Si mbok menggeleng
lagi. Dia buru-buru menyusut air matanya, trus mengunci pintu belakang dan
balik ke kamarnya dengan langkah diseret, terburu-buru.
*****
Kejadian semalam,
nyaris aku lupakan. Tadinya, aku mau cerita sama Mama, tapi Mama keburu
berangkat ke rumah Tante Siska, adik Mama yang tinggal di Tangerang. Sambil
nyelesaiin sarapan, tanganku meraih remote tv, lantas kunyalakan. Degg!!!
Lagi-lagi, breaking news pagi ini,
soal kecelakaan. Tabrakan beruntun di jalur, padat. Gara-gara ada truk
bermuatan pasir yang remnya blong.
Kulihat beberapa kendaraan hancur, nggak karuan bentuknya, termasuk
sebuah taksi. Hadeehhh!! Hari gini, nasib orang siapa tau.
Ngeri dengan berita
kecelakaan, aku langsung matiin televisi. Bersamaan dengan HPku yang berdering.
Aku mengeryitkan dahi, ngeliat nama tante Siska di layarnya.
“Ya, Tante.. Mama udah
sampai di sana, kan? Ada yang ketinggalan?”
Jantungku mau copot.
Tante Siska suaranya gugup dan parau, kayak habis nangis.
“Mama kamu, Stella!
Taksi yang dinaiki Mama kamu, kecelakaan. Beritanya baru aja ada di TV. Tante
Siska barusan ditelpon polisi, karena nomer terakhir di HP mama kamu, nomer tante..
“
Gelap!!! Kepalaku
pusing. Semuanya terasa ringan dan gelap. Aku pingsan.
Mama sudah pergi.
Secepat itu, Mama pergi. Padahal semalam, masih sempat cerita soal tante Siska
yang sebentar lagi ngelahirin anak pertamanya. Mbok Saripah memelukku, ketika
aku sadar. Ya, aku nggak punya siapa-siapa lagi, sekarang. Sebagai anak
tunggal, aku nggak ada saudara. Mama juga, anak tunggal, sementara dari
keluarga Papa almarhum, semuanya tinggal berjauhan.
Mbok Saripah
menemaniku, semaleman. Nyaris, nggak ada sesuap makanan pun bisa aku telan.
Baru kutahu, kenapa kemarin Si Mbok tengah malam nangis, memelukku. Katanya dia
sudah punya firasat, bakal terjadi sesuatu sama Mama.
Aku hanya bisa
tertegun. Nggak bisa komen apa-apa. Toh, Mbok juga nggak salah. Mana tau, kita
kalo Mama perginya lewat kecelakaan itu. Namanya manusia, di mana pun, bisa
saja dipanggil Tuhan, kalo memang sudah waktunya.
********
Sejak Mama nggak ada,
otomatis aku tinggal berdua saja dengan Mbok Saripah. Jujur. Aku bersyukur, ada
dia bersamaku. Kalo nggak, entahlah. Kebiasaan
si Mbok, nonton horor pun aku biarin saja. Nggak ada ruginya juga buatku.
Hitung-hitung, hiburan buatnya. Meski aku masih suka terkaget-kaget, ketika
tiap malam Jum’at, kulihat dia ngeracik kembang di piring, trus naruk di setiap
sudut rumah.
“Nggak sekalian nyalain
lilin, Mbok? Biar ntar aku jagain… “
Si Mbok ketawa, denger
aku setengah ngeledek. Tangannya yang kisut itu, noyor bahuku, geli.
“Eh, Mbak Stella,
ngeledek ya! Emangnya Si Mbok babi ngepet?”
Kami berdua ketawa,
sampai hampir meneteskan air mata, saking gelinya. Malam ini, malam Jum’at.
Entah kenapa, aku malah betah melek. Nggak bisa tidur.
Beberapa kali, aku
tengok jam di dinding. Rasanya lama banget, nggak keburu subuh. Hadeh! Migrain di kepala, nongol lagi.
Males-malesan, aku turun dari tempat tidur, coba ke dapur, mau cari sesuatu
yang bisa dimakan.
Deggg!! Kulihat, Mbok
Saripah masih di dapur, lagi cuci piring-piring kecil, yang biasa dia gunakan
buat meletakkan bunga. Aku mengeryitkan dahi.
“Mbok, kok dicuci
piringnya. Biasanya mbok pake buat narok kembang?” tanyaku, sambil mengambil
air minum di lemari es.
“Iya, mbak.. Udahan. Nggak
kepake, lagi. “
“Nggak kepake? Ohhh,
mbok udah nggak narok kembang lagi, tiap malam Jum’at?”
Aku noleh, deggg!! Si
Mbok udah nggak ada. Heh! Cepet banget sih, kaburnya. Kok nggak bilang-bilang?
Apa dia kebelet ke kamar mandi, sampai perginya juga aku nggak denger?
Aku hanya geleng
kepala. Kulihat jam di dinding, sekali lagi. Jam 1 lewat 15 menit. Ya,
sudahlah. Mendingan aku tidur.
Malam ini, bulu kudukku
entah kenapa berdiri. Nggak seperti biasa, susah banget, tidur. Bolak balik di
kasur, tengkuk pun terasa dingin. Beberapa kali kudengar, anjing tetangga
melolong. Giris. Konon, kalo anjing melolong tengah malam buta gitu, ada
makhluk halus lewat. Hih!!! Buru-buru aku tutupi wajahku dengan bantal. Serem!
********
Ya, ampun!!! Hampir
aja, kesiangan!! Gimana sih, Si Mbok nggak ngebangunin aku seperti biasa. Aku
mandi, seperti kesetanan. Sekedarnya aja. Langsung nyamber tas kerja, trus ke
ruang makan. Jrengg!! Belum ada sarapan?
“Mbok?? Nggak bikin
sarapan, ya? Ya, udah, saya jalan dulu, ya? Nggak keburu, nih?” teriakku, panik. Lihat jam di pergelangan
tangan. Mbok Saripah, nggak juga ngejawab.
Aku mengeryitkan dahi.
Apalagi kulihat, pintu dapur juga masih tertutup. Korden jendela, belum disibak
seperti, biasa. Kan udah siang banget?
“Mbokkk?? Mbok lagi
mandi, ya?? “
Mbok Saripah nggak
ngejawab. Aku buru-buru ke belakang, kulihat sendalnya masih di depan kamarnya.
Pelan-pelan, aku buka pintu kamar. Ya, Tuhan!! Mbok Saripah tergeletak di
lantai. Panik, aku langsung telpon
ambulance.
Kejadiannya
begitu cepat. Mbok Saripah, bener-bener pergi sekarang. Kata dokter, serangan
jantung. Yang bikin aku shock, dokter memastikan kematiannya sudah sejak
semalam, tepatnya pukul satu malam. So, semalam… yang cuci piring, bersamaku
siapa? (ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar