Kamis, 16 Juni 2011

status


            Damn! I’m too excited untuk ngerjain satu tulisan ini, namun kembali “dipatahkan” mood  gw dengan satu pertanyaan, “Pegang desk apa? Di mana?” Nggak gampang, gw musti melepaskan id card yang selama ini dipakai. As a journalist. Wartawan. Bheeeuhh! Mungkin, ada sebagian orang tidak bangga dengan status “wartawan” nya atau sebaliknya, ada orang yang memandang profesi ini nggak penting…but sumpah! It’s my owner be a journalist. Gw bangga memiliki profesi ini… Impian gw waktu SMP, bisa nemuin nara sumber dan tulisan gw dibaca banyak orang.
            Nyesek juga, waktu masih berstatus freelance. Hunting nara sumber, kadang dicuekin, dicurigain sebagai fans gelap, dianggap mau cari tontonan musik gratis. Ya ellahhh… Boro-boro nikmati show mereka. Acara tengah berlangsung aja, gw musti mlipir ke backstage, cari orang-orang yang bisa gw angkat dalam tulisan gw.
Hampir 10 tahun, gw menulis tanpa embel-embel wartawan atau karyawan di media cetak mana pun. Interview, laporan pandangan mata, semuanya… Toh, hasilnya juga ada. Beberapa media cetak sekaligus, malah. Finally, selembar kertas yang menyatakan gw beneran report untuk satu media remaja gw pegang. ID as a journalist gw miliki…but tetap sama kok, intinya gw menulis…
            Gw nggak heran, masih ada orang mengaku-aku wartawan atau sebaliknya…wartawan menyalahgunakan profesinya. Yup. Soalnya seorang jurnalis bisa nemuin nara sumber dari berbagai latar belakang, dapat update data duluan, tahu behind storynya dan bisa “mengangkat” atau bahkan “menjatuhkan” nara sumber lewat tulisannya.
            Gw juga nggak muna, ngerasain “fasilitas” dengan mengantongi ID itu, meski gw tidak minta. Nara sumber pun tidak sedikit yang bersikap lebih “manis” , bahkan tak jarang mereka rela “menghampiri” kita bukan kita yang musti “berkeringat” mengejar mereka. But the point is…gw menulis berdasar fakta, menulis dengan hati, karena gw suka pekerjaan ini…
            So, ketika gw tidak berstatus sebagai karyawan sebuah media mana pun “lagi”, nggak ada salahnya kan? Toh gw tetap bertanggungjawab dengan orang-orang yang gw mintain keterangan…Gw tetap menulis dengan data valid, bukan ngerumpiin atau ngejatuhin seseorang.  Status boleh beda. ID boleh tidak gw kantongi lagi. But gw tetap ngerasa, gw tetap seorang “jurnalis” dan penulis yang selalu menulis apa yang gw lihat, dengar dan rasakan...  (salam buat mereka yang selalu menilai seseorang dari status)

Rabu, 15 Juni 2011

AKIBAT SUMPAH PENAGIH HUTANG



            “Sumpah! Sampai mati pun, aku tagih!” Busyet dah! Pagi-pagi tetangga kamar, berisik banget. Suara cemprengnya sampai bisa membangunkan seluruh penghuni rumah kost-kostan ini. Terlalu. Padahal jam di dinding masih menunjukkan pukul enam pagi. Dia nggak tahu apa, aku baru menyelesaikan tugas kampus pukul empat dini hari tadi? Artinya, tidurku masih belum nyenyak betul.
            “Heiii…Jangan ngeles lagi ya. Pokoknya aku nggak mau tahu, bayar sekarang juga. Kalau nggak, sampai kamu mati pun nggak bakal aku lepasin…” teriaknya lagi. Beeuuhh! Mau nggak mau, aku bangun juga lantas buru-buru mandi.
            Keributan kecil pagi ini, ternyata belum juga berakhir. Sampai aku menyeduh kopi di dapur, ceracauan Linda teman kostku yang terkenal jutek itu masih terdengar. Nina yang baru saja muncul di dapur, malah senyum-senyum saja ketika melihat wajahku mirip kepiting rebus. Antara kesal dan masih ngantuk…
            “Pusing ya, Ta? Biasalah tetangga kamar… Linda memang nggak beri ampun, kalau sudah menyangkut duit. “
            “Memang siapa lagi yang pinjam uang sama dia? Sudah tahu, dianya galak minta ampun. Kata-katanya suka nyakitin telinga, juga hati,” tanyaku, sembari menyeruput kopi hangat hasil seduhan sendiri. Nina menarik sebuah kursi, lantas duduk di depanku.
            “Safira yang tinggal di lantai bawah… Kasihan juga. Kudengar, dia juga pinjam uang karena terpaksa. Ayahnya masuk rumah sakit, sehingga dia musti kirim uang buat bantuin biaya pengobatan.”
            Pahit. Bukan karena kopiku kurang gula, tapi aku jadi inget keluargaku di rumah. Dulu aku pernah menganggap enteng mereka, sampai-sampai kuliahku pun berantakan. Kupikir, kapan pun aku butuh uang tinggal sms atau telpon. Hingga akhirnya, usaha papa bangkrut. Mama musti ikutan banting tulang, membiayai aku putri tunggalnya. Kuliahku pun sempat terhenti… Untung, salah satu teman bisnis papa yang membuka cabang perusahaan di Yogyakarta, memberiku pekerjaan. Hingga sambil kuliah, aku bisa mencari uang buat menghidupi diriku sendiri di kota ini. 
            “Hei…kok malah ngelamun… Sedih ya?” Lamunanku buyar seketika. Nina menyodorkan piring berisi setangkup roti bakar.
            “Wah, makasih banget Nin! Pagi-pagi dapat rejeki… “
            “Makanya jangan ngelamun…Ntar rejeki kabur…”
            “Nggak, aku hanya inget orang rumah… Kebayang gimana bingungnya Safira. Tega ya, Linda ngatain sampai segitunya. Kalau ada duit, pasti kan dibayar…”
            “Ya gitulah Ta! Aku juga pernah ingetin. Takutnya omongan dia kena tulah. Ntar dia kuwalat…Kan suka tuh, nyumpahin orang seenaknya…”
            Bener juga. Linda memang anak kost “termakmur” di rumah ini. Selain orangtuanya pengusaha kaya, dia juga mempunyai bisnis kecil-kecilan. Jualan baju dan asesoris lewat jaringan internet. Pantas, banyak yang “terpaksa” minta pertolongannya. Misalnya: kiriman transfer dari rumah terlambat. Asal ingat saja, cewek berambut cepak itu tidak suka jika kita terlambat mengembalikannya.
            “Bener juga, Nin. Aku suka ngeri, denger dia nyumpahin orang. Kata orangtua dulu, omongan kita itu bisa beneran kejadian lho, andai diamini sama yang kuasa…”
            “Atau mungkin pas setan lewat, iseng ngerjain coba…” Nina terkekeh geli, melihat aku nyaris tersedak gara-gara omongan konyolnya itu. Dia tahu banget tuh, akunya penakut…
            “Jangan mancing ah, pagi-pagi gini… Aku balik kamar ya, mau siap-siap ke kampus. Yuk ah…” kataku, sambil beranjak pergi. Masih terdengar suara Linda sayup-sayup, entah kali ini dia menyumpahi siapa lagi…
*****
            Minggu pagi, kesempatan buat memanjakan diri. Rencananya hari ini, aku mau ke salon. Potong rambut. Sekalian membeli bahan pokok, seperti kopi, mie instan, susu coklat…Maklum, anak kost. Musti bikin stok sendiri, kalau tengah malam lagi lembur tiba-tiba lapar,  nggak keliyengan, musti keluar rumah lagi buat cari makan.
            “Nggak kemana-mana, Ta?” Suara cempreng itu, mengejutkan. Astaga. Linda yang muncul di depan kamarku, kelihatan begitu kusut. Matanya cekung, seperti nggak tidur semalaman…
            “Kamu sakit? Ada yang bisa aku bantuin?”
            “Boleh main ke kamarmu? Aku sendirian, takut… “
            Takut? Mau tidak mau, keningku berkerut. Heran. Tumben, cewek ini mau juga curhat ke kamarku. Biasanya dia paling cuek… Boro-boro curhat, negur saja kalau perlu-perlu saja. Cewek ini selain lebih “berada” dibanding anak kost lain, dia juga sombongnya selangit…
            “Memang anak-anak lain kemana? Pergi semua ya…” tanyaku, tanpa basa-basi. Linda tertunduk, lesu. Belum sempat kuminta dia duduk, dia sudah langsung masuk kamarku dan duduk di kursi, depan tempat tidur…
            “Pergi semua, kelihatannya. Sepi. Kulihat hanya kamu yang ada, makanya aku ke sini…Perasaanku nggak enak, butuh temen…”
            Gila. Giliran butuh teman saja dia main ke kamarku. Giliran aku lagi bermasalah, mungkin nggak dia juga sempet mikirin. Nyamperin, minimal? Tapi ya sudahlah, kulihat dari wajahnya dia seperti orang yang bener-bener lagi banyak masalah. Nolongin orang, nggak ada salahnya…
            “Dua hari ini, aku nggak bisa tidur Ta… Mimpi buruk terus. Rasanya ada yang mengejar-ngejar aku. Nggak jelas, siapa…”
            “Ah,  sudah tahu mimpi itu bunga tidur. Ngapain dipikirin, Linda…Biasanya kamu yang berpikir paling rasional di sini…”
            “Ya sih, tapi rasanya mimpi itu nyata banget. Ada seseorang mencari-cari aku…tapi waktu aku temui, dia mendadak wajahnya berubah sangat menakutkan…Nggak jelas, kok bisa dimimpiin gitu…”
            Kasihan. Kulihat Linda nggak main-main dengan ceritanya. Dia takut beneran. Kuhibur dengan sebisaku, selanjutnya ya kembali ke dia sendiri. Nggak mungkin aku menemani dia seharian di rumah.
            “Aku ikut kamu ya…Kamu mau ke mall kan? Nggak mau sendirian di rumah…Takut…”
            Ya ampun… Apes deh. Niat menghibur diri sendiri, batal. Entah kenapa, Linda begitu stress sampai-sampai aku pergi pun, dia mau ikutan. Jelas-jelas selera kami beda. Andai ke salon pun, dia pasti memilih salon mahal. Beda denganku yang berprinsip, asal potongannya rapi dan nyaman.
            Baru kutahu, Linda benar-benar lagi stress mikirin mimpi-mimpinya. Dia juga ngerasa, dua harian ini pintu kamarnya sering diketuk orang. Tapi ketika dibuka, nggak ada siapa-siapa. Lorong kost, sepi. Tidur pun, dia merasa dikejar-kejar seseorang yang tidak jelas bentuk wajahnya. Seperti ada yang mau diomongin, katanya.
            “Jangan-jangan ada yang main guna-guna ya? Dia nggak suka, lantas santet aku?” tanya Linda tiba-tiba. Aku tersedak. Permen yang tengah kukulum, nyaris tertelan. Gila nih cewek, masih saja berpikiran negatif sama orang lain… 
            “Ah, sudahlah Linda…Jangan negative thinking. Nggak baik…Banyak baca doa saja, sebelum tidur. Nggak ada apa-apa kok….Pikiran kamu saja yang lagi kalut, banyak tugas kali. Sampai-sampai kebawa alam bawah sadar kamu…”
            Obrolan kami pun terhenti sampai disitu. Aku bahkan nyaris melupakan, kami pernah ngomongin hal ini. Namun entah malam ke berapa, tiba-tiba satu kost gaduh… Aku yang tengah menyelesaikan tugas kampus, mau tak mau ikutan keluar dari kamar…
            “Linda, Ta! Linda….” Kulihat Nina tergopoh-gopoh muncul di depan kamarku masih menenteng boneka teddy bear kesayangannya.
            “Linda seperti orang kerasukan…Dia teriak-teriak ketakutan di kamarnya…Anak-anak yang terpaksa mendobrak pintu kamar, ngelihat dia seperti orang nggak waras…” Aku tertegun. Kenapa lagi cewek satu itu? Untung kegaduhan, berakhir. Ketika  Pak Haji yang biasa memberi siraman rohani di kompleks rumah kami datang dan membacakan doa untuknya…
****
            Kisah Linda yang kesurupan, langsung menjadi omongan seisi rumah esok harinya. Lewat pengakuannya kepada Pak Haji, terbongkar sudah masalahnya selama ini. Cewek bermata bulat dan hidung mancung dengan kulit sawo matang itu, memang dihantui Risty yang baru saja meninggal dunia, ketika mudik ke rumah orangtuanya. Gara-gara sumpah serapahnya Linda, Risty tidak tenang di alamnya. Dia mencari-cari Linda dengan maksud, “membayar” hutang-hutangnya. Masalahnya, siapa yang berani ditemui arwah orang mati?
Pelajaran berharga buat cewek itu… Nggak sembarangan menyumpahin orang. Karena tanpa sadar, apa yang kita ucapkan bisa berarti doa buat orang-orang itu. Baik atau buruk.(Ft:berbagai sumber)

JALAN-JALAN YUNANI

Tulisan dimuat di Majalah Aneka Yess! Edisi 11 /2011

Selasa, 07 Juni 2011

SEORANG PENGEMIS DAN TUKANG BECAK

    
            Pagi yang dingin dan basah. Hujan yang sejak subuh tadi mengguyur Semarang, membuat udara pagi ini terasa membekukan. Sungguh, kalau sudah begini cuacanya, aku pengen tidur lagi, sambil memeluk guling dan mimpi indah. Sayang sekali, hari ini bukan hari Sabtu atau Minggu. Artinya, beberapa pekerjaan kantor sudah menunggu. Pasti, kartu absenku berwarna merah, andai datang kesiangan. Alamat bakal ditegur bagian personalia…Bukan masalah tegurannya itu, tetapi malu. Masa karyawan baru, belum ada enam bulan sudah lelet kerjanya?
            Untung. Manusia menemukan minuman yang namanya kopi. Setidaknya, pagi ini segelas kopi mampu membuatku sedikit bersemangat. Sambil menguyah roti bakar, kuambil beberapa lembar koran pagi. Ya, masih ada waktu…Lima menit baca koran dulu.
            Ffuih. Beberapa judul berita di halaman kriminalitas, membuatku bergidik. Orang sekarang, tega-tega. Gimana nggak…Kubaca sepasang suami istri tewas diberondong senjata api, ketika sedang memarkir mobil di garasi rumah mereka sendiri. Untung, anak tunggal mereka yang berada dalam mobil itu juga, hanya luka-luka di bagian kaki. Tapi trauma dan masa depan anak itu, mmm…tidak bisa ketebak.
            Suapan roti kedua, nyaris aku tersedak. Lagi-lagi seorang perempuan separuh baya ditemukan tewas di rumahnya sendiri, gara-gara dirampok. Leher wanita itu terdapat bekas cekikan dan pisau yang membuat isi perutnya terburai, tergeletak tidak jauh dari jenasahnya. Apa nggak bisa ya, perampok itu mengambil saja barang-barang yang dia jarah, lantas pergi? Wanita tua itu cukup diikat atau dikunci dalam kamar…. Aku geleng-geleng kepala, pusing. Kurasa makin banyak manusia stress, sampai tidak bisa menggunakan hati nuraninya.
            Bing! Tanda ada pesan masuk di HP. Ugh. Kiki. Lagi-lagi cowok blasteran Belanda-Manado itu mengingatkanku... Dia memang paling rajin, absen pagi. Sekedar ngingetin sarapan, berkas yang musti kubawa, ngecharge HP lowbatt, sampai memilih jalur alternatif, agar nggak terjebak macet. Awalnya kuanggap dia lebai…Bawel. Gimana nggak, hampir tiap pagi ada saja pesanannya. Tapi realitanya, banyak juga manfaat sms-sms dari Kiki. Entah mengapa, dia ngingetin di saat yang tepat.
Minggu lalu misalnya, dia ngingetin aku musti memilih mengambil jalan pintas yang musti masuk kampung. Padahal biasanya, aku paling malas. Apalagi kalau habis hujan, jalanan di kampung itu becek banget. Banyak anak kecil juga suka jalan seenaknya, tanpa memperhatikan mobil yang lalu lalang, hingga kita musti bawa mobil ekstra hati-hati. Benar juga feeling dia. Esok paginya kubaca di surat kabar, sebuah pohon tumbang di jalan yang biasa aku lewati, hingga lalu lintas macet total.
Jelang penandatanganan sebuah proyek baru di kantor, aku ditugaskan boss mengerjakan beberapa proposal penting, tiga hari lalu. Seingatku, semua berkas sudah kurapikan dalam tas. Untung, sms Kiki pagi-pagi membuatku mengecek ulang isi tasku. Benar saja. Ada satu map tertinggal di laci meja. Padahal map itu berisi surat-surat penting.
            Kiki juga pernah bilang dalam sms, pagi ini sebaiknya aku tidak membeli sarapan pagi. Bikin mie instant saja sendiri, kalau bosan roti bakar tiap hari. Jangan jajan…, katanya. Tapi sms itu aku cuekin. Aku membeli seporsi bubur ayam yang dulu pernah menjadi langganan keluarga. Entah kenapa, belum sempat berangkat kantor, aku langsung diare. Bolak balik ke belakang, sampai badan lemas. Akibatnya hari itu musti ijin, tidak masuk kerja. Ingat sms Kiki, aku jadi menyesal…Andai kupatuhi saja, nasehatnya. Padahal tuh tukang bubur sudah langganan dulu, kok bisa-bisanya aku apes.
            Bing! Sms dari Kiki, masuk lagi. Tadi belum kubalas, pasti dia masih penasaran. Mmm, pesannya pagi ini singkat saja. “Jangan mampir-mampir. Langsung saja ke kantor,” kata Kiki. Aneh. Memangnya aku mau mampir ke mana? Nggak biasa, aku berhenti di warung atau rumah teman, sebelum ke kantor. Ya, sudahlah. Sms itu kubalas dengan kata “ya” saja, biar dia puas. Karena kalau tidak, pasti menyusul sms berikutnya.
            Bener-bener. Senin hari membetekan se-dunia. Jalanan macet. Kuambil jalan pintas saja, lewat kampung. Lumayan. Biar sedikit becek, tapi aku bisa tiba tepat waktu. Nggak akan kubiarkan kartu absenku merah.
            “Tolong nak… Kasihani kami…” Hah! Buru-buru kuinjak rem, kuat-kuat. Kulihat seorang ibu-ibu tua dengan kain lusuh menjadi penutup kepalanya, berdiri di pinggir jalan. Tapi dia terlalu ke tengah, sehingga mau tidak mau membuat siapa saja yang lewat melihatnya. Untung, jalanan masih sepi. Kalau tidak mobilku bisa diseruduk dari belakang, main ngerem mendadak.
            “Tolong nak…Kasihani kami…” katanya lagi… Tangan ibu tua renta itu menengadah, seakan minta sesuatu dariku, setelah mobil ku parkir di pinggir jalan. Kasihan. Pasti dia pengemis atau gelandangan yang biasa beredar di dekat lampu merah. Nggak ada salahnya, aku berhenti. Kuambil uang dari dompet, lantas kusodorkan ke wanita yang menyambutnya dengan mata berbinar…
            “Makasih…makasih nak…Kamu baik…Makasih…”
            “Ya, Bu…Hati-hati. Jangan di tengah jalan begini, nanti bisa kesambar kendaraan yang lewat.”
            “Nggak apa-apa, nak…Ibu sudah biasa...Kalau tidak, semua pengendara nggak melihat ibu…” Aku geleng-geleng kepala. Naluriku sebagai perempuan yang memiliki ibu sebaya beliau, tersentuh. Andai mama masih ada…
            “Nak, hati-hati ya…Ibu doakan kamu banyak rejeki…” ucapnya sambil menarik tanganku, hendak menciumnya. Jelas saja aku jengah. Masa ibu serenta itu mencium tanganku…
            “Ya…iya bu…Terima kasih. Saya jalan dulu ya. Takut terlambat kerja,” tuturku pamit. Kulihat bayangan ibu tua itu terakhir kalinya dari jendela mobil, sebelum akhirnya aku tancap gas ke kantor.
*******
            Malam Kamis, kelabu. Mustinya aku bisa pulang cepat, andai saja Renata teman satu divisiku masuk. Cewek yang sudah memiliki dua putra itu, absen. Alasannya si bungsu sakit. Huuhh! Ya, ginilah resikonya. Anak baru, kejatuhan jatah nyelesaiin semua peer dia yang belum beres, hingga aku musti pulang larut.
            “Mau kutemenin pulang?” tawar Kiki yang tiba-tiba sudah muncul di depan pintu, ruang kerjaku.
            “Temenin? Ah, nggak lah… Jurusan kita beda. Lagian, kita konvoi gitu, bawa mobil? Ada-ada saja…” Aku meringis, mendengar ide kocaknya. Tapi kulihat, Kiki tidak tersenyum atau tertawa. Raut wajahnya serius…
            “Perasaanku nggak enak, Cyn… Aku serius!”
            “Hush! Jangan nakut-nakutin ah… Kamu pikir, karena aku cewek, trus takut gitu…Gini-gini aku juga bisa beladiri. Inget kan? Aku pegang ban hitam, karate. Mau coba?”
            Kiki menggeleng. Dia lantas mengambil kursi di depan mejaku, lantas duduk di situ…
            “Bener. Niatku baik. Kutemenin. Konvoi sekali-sekali nggak apa-apa.” katanya, sambil mengetuk-getuk jari di meja. Seperti kebiasaannya…
            “Nggak lah…nggak apa-apa. Makasih banget, kamu perhatian. Doain saja, nggak ada apa-apa. Aku selamat sampai di rumah,” kataku lagi. Laki-laki bertubuh jangkung itu pun hanya bisa angkat bahu, menyerah…
            Cuaca malam ini, bagus. Nggak hujan. Nggak ada salahnya pulang kemalaman sendiri. Sehabis membereskan semua berkas kantor, kuambil kunci mobil dan pulang! But, astaga…kenapa perasaanku nggak enak ya? Gara-gara terpengaruh kata-kata Kiki, kali. Sejak keluar dari parkiran, feeling-ku mengatakan malam ini tidak seperti biasanya. Rasanya gamang dan sepi. Sedih, entah kenapa.
            Mungkin karena terlalu capek, hingga tanpa sadar aku terkantuk-kantuk…. Bing! Ampun, sms dari Kiki pasti! Sekilas dengan tangan kiri, kubuka HP. Bener saja. Pesan cowok itu singkat. “Hati-hati…Jangan perduliin sekitar, jangan mampir.”
            Aneh… Mampir? Mau kemana aku malam-malam begini? Tanpa sadar, aku senyum-senyum sendiri. Cowok itu mirip paranormal saja, omongannya nakutin tapi sering kejadian. Ffuih! Kupindahkan HP ke tangan kanan, sambil tetap menyetir aku coba balas sms Kiki…tapi…
            Brrakk! Astaga! Suara apaan tuh? Mobilku seperti habis menggilas sesuatu…Jantungku berdetak cepat. Apa ada polisi tidur di daerah sini? Kayaknya bolak balik aku lewat sini, nggak ada. Buru-buru aku mengurangi kecepatan…Kulihat sekelilingku, sepi…Gelap. Mobil tetap saja dengan kecepatan lambat…Hingga mataku menangkap sebuah bayangan! Seorang wanita tua, berjalan terbungkuk-bungkuk di pinggir jalan. Dia tidak sendiri…Ada seorang tukang becak yang menuntun becak di sampingnya…Aneh! Malam-malam gini, wanita tua itu masih keluyuran.. Tapi hati kecilku mengatakan, mungkin dia butuh bantuan…
            Kuhentikan  mobil di pinggir jalan, hingga wanita itu akhirnya mendekat ke mobil…
            “Ibu? Kok malam-malam masih jalan?” Bener-bener terkejut aku dibuatnya. Wanita itu, ibu tua yang sempat kuberi uang beberapa hari lalu. Pengemis yang nyaris kuserempet, karena jalan di tengah jalan…
            Wanita itu hanya menatapku dengan tatapan nanar. Wajahnya kuyu dan pucat. Kasihan. Jangan-jangan dia lapar atau kedinginan, malam-malam di jalanan. Sementara bapak becak yang menemaninya juga sama, kuyu. Kutebak usia mereka hampir sama… Astaga. Kenapa hatiku jadi trenyuh begini ya…
            “Ibu mau pulang ya…Naik becak? Kenapa nggak dinaikin? Masih jauh rumahnya?” Kulihat sekilas, laki-laki tua itu menunduk. Dia hanya menunjuk roda becaknya yang kempes. Astaga. Kasihan bener. Nggak tega…
            “Ibu mau saya anterin? Ikut saya?” Wanita itu menggeleng, lantas memeluk lelaki abang becak tadi. Oh, mungkin dia suaminya? Aku hanya bisa menebak-nebak sendiri. Entah, kenapa pengemis dan tukang becak ini tidak berkata sepatah kata pun. Mungkin malu, capek atau segan…
            Kuambil lembaran uang yang tersisa di dompet, lantas kusisipkan dalam genggaman tangan wanita tua itu. Dingin. Tangannya kurasakan begitu dingin. Lagi-lagi, hatiku trenyuh. Sudahlah, ntar aku malah menitikkan air mata di sini. Buru-buru aku pamit, lantas tancap gas…

            Jum’at pagi yang menyenangkan. Selesai sarapan dan membaca sms Kiki seperti biasa, kuambil kunci mobil, bergegas hendak ke kantor. Kali ini aku bisa masuk kantor lebih pagi…Kulihat Kiki sudah duduk di ruanganku…Aneh. Semangat banget tuh cowok…
            “Pagiiiii Cyntia! Gimana semalam? Nggak mampir kan? Aku udah khawatir saja…ternyata pagi ini kamu bisa ngantor tepat waktu. Syukur!”
            Aku menggelengkan kepala. Meski mau nggak mau, perasaan bersalah menggangguku juga. Semalam kan aku berhenti di jalan, gara-gara nggak tega melihat pengemis dan tukang becak itu…
            “Ada apa memangnya Ki? Lama-lama kamu seperti paranormal deh, punya indra keenam…Saranmu suka ada benernya…”
            “ Dasar! Memangnya aku cenayang? Aku hanya khawatir saja, tingkat kejahatan sekarang kan tinggi. Gila-gilaan, nekad. Kalau ngerampok saja nggak apa, tapi main bunuh…” katanya, sambil nyodorin koran pagi. “Lihat nih, barusan ada seorang pengemis dan tukang becak dibunuh preman-preman yang memalak uang mereka…Korbannya dibiarkan terkapar di jalan…Tuh deket jalanan kampung yang biasa kamu lewati…”
            Glek! Aku tersedak. Kurebut koran yang tengah dipegang Kiki…Benar saja, berita tentang terbunuhnya seorang pengemis dan tukang becak ada di sana. Mereka pasangan suami istri yang ditodong kawanan preman. Sadis. Bulu kudukku pun meremang…Semalam, siapa ya yang aku temui? Benarkah itu mereka? (Ft: berbagai sumber)

RAHASIA SEORANG CHEF...


           
           Gila! Enak banget ya, gaya beberapa juru masak memotong bawang bombay dan wortel. Ada tekniknya segala…Baru tahu, aku. Kebayang andai aku yang diminta memasak di depan chef berwajah tirus dengan tatapan dingin itu. Widiiih…Berantakan, pasti.  Selain masih asing dengan berbagai perlengkapan dapur, aku juga nggak tahan dengan cara chef ganteng itu menatapku.  Entah mengapa, setiap makan di kafe yang dapurnya terbuka hingga pengunjung bisa melihat chef-nya menyiapkan masakan ini,  aku merasa cowok itu sering mencuri-curi pandang. Bahkan pernah, beberapa kali kami bertatapan cukup lama. Lantas tiba-tiba dia tersenyum… Astaga! Baru kusadar, dia tambah manis!
            “Geer kamu, Min! Mana ada chef profesional, ganteng, sempat-sempatnya merhatiin kamu…Jangan-jangan dia heran dengan cara makanmu yang rakus? Atau ada saos di wajah kamu?” ledek Tyas, ketika mendengar ceritaku.
            “Beneran! Ntar kapan-kapan kita makan bareng di sana yuk…”
            “Ya, boleh-boleh. Kamu traktir aku gitu?” tantang Tyas lagi. Dasar nih cewek, paling cepet ngebahas makan gratis. Sayangnya, kami memang nggak pernah ada waktu buat jalan bareng akhir-akhir ini. Sejak ngurusin mamanya yang sakit-sakitan, Tyas musti pulang tepat waktu.
            Nyaris bertolak belakang denganku yang tinggal di rumah kontrakan. Nggak mau ribet memasak dan bengong sendirian, makanya setiap pulang kantor musti cari makan dulu. Tiba di rumah, tinggal mandi, istirahat. Entah dapat bocoran dari siapa, aku sendiri lupa, katanya makanan di kafe ini enak dan murah meriah. Ternyata pas dicobain, bener saja…Menunya cocok dan lokasinya searah dengan jalan menuju rumah. Selain itu, aku suka dengan tata letaknya. Pengunjung bisa melihat koki-koki berpengalaman itu meracik, hingga menyajikan masakan pesanan mereka.
            “Ada pesanan tambahan, mbak?” tegur seorang pramusaji, setelah meletakkan menu pesananku di meja. Lamunanku buyar seketika. Aku hanya senyum dan menggeleng. Mmm, lagi-lagi cowok itu…Bukan aku kegeeran, tapi cowok berseragam chef itu kuyakin banget memperhatikan aku sejak pesan makanan tadi. Moga-moga saja, masakan dia tidak salah bumbu, gara-gara iseng ngelihatin pengunjung…
            Jujur. Lama-lama penasaran juga sama pemilik mata elang itu. Kebiasaannya suka menatapku membuat aku suka tanpa sadar, mencari-cari sosoknya tiap datang ke kafe ini. Seperti malam ini, ketika aku pulang larut dari kantor. Kulihat dari pertama duduk, aku tidak melihat tanda-tanda chef itu ada. Biasanya cowok itu suka mondar mandir, mengawasi beberapa stafnya. Kali ini hanya kulihat beberapa juru masak, sibuk dengan racikannya masing-masing. Tak jauh dari mereka bekerja, seorang bapak separuh baya berseragam putih layaknya chef mengawasi mereka. Mmm…seniornya kali, batinku.
            Nyadar atau tidak, sop buntut yang biasa kusuka banget kini terasa begitu hambar. Selera makanku hilang. Antara mikirin banyaknya proposal di kantor yang belum beres atau si ganteng yang tidak muncul malam ini. Entahlah… Sejak tadi, nasi di piring masih nyaris utuh…
            “Maaf mbak, kelihatannya tidak berselera malam ini…Ada masalah dengan masakannya?” Suara datar itu mengejutkan. Lamunanku buyar. Ya ampun…Nggak salah lihat? Cowok berwajah tirus itu sudah berdiri di sampingku dengan tatapannya seperti biasa. Tajam, menusuk…
            “Mmmm…Nggak…Nggak…Makan…Maksud saya…” Busyet dah. Kenapa mendadak aku begitu gugup…
            “Bila ada yang kurang, mbak boleh utarakan pada kami. Kami terima masukan dari pelanggan tetap seperti mbak kok…” Mmm, masih saja suaranya datar dan dingin. Sekilas kulirik tanda pengenal di kemejanya, tertulis nama Jonas…Jadi si ganteng ini Jonas namanya?
            “Ya, panggil saja saya Jonas, andai mbak ada masalah dengan menu kami. Selamat menikmati hidangan kafe ini mbak…” katanya, lantas berlalu. Astaga. Tuh cowok nggak ada basa-basinya juga. Kirain dia bakal begitu baik, bisa diajakin ngobrol berlama-lama. Pikir-pikir, mungkin etika kerja juga. Meski malam ini, dia tidak mengenakan seragam chef-nya seperti biasa, dia nggak boleh kelamaan ngeladenin pengunjung kafe…Sudahlah, apa peduliku?
            Kenyataannya, Jonas benar-benar virus…Aku nggak bisa ngelupain cowok super cuek satu itu. Kalau biasanya nongkrong di kafe itu karena tuntutan perut lapar, kali ini malah karena desakan pengen bisa melihatnya lagi, lagi dan lagi. Heran. Bisa kebetulan banget, setiap aku ngajakin teman kantor ke kafe ini, Jonas malah tidak masuk. Bete banget. Padahal aku kan pengen banget, promoin “kelucuan”-nya… Sebaliknya, chef senior yang sempat kulihat sebelumnya itu, malah lebih sering lalu lalang mengawasi tiap hidangan yang mau disajikan.
*****
            Malam Jum’at yang menyebalkan. Meeting siang tadi di kantor, hasilnya tidak memuaskan hingga terpaksa aku malam lagi. Seporsi nasi goreng ikan asin dan segelas ice lemon tea sudah terhidang di meja, sejak beberapa menit lalu. Tapi belum juga aku sentuh…
            “Sibuk banget, mbak? Makan dulu…Nanti keburu dingin, nggak enak…” tegur pemilik suara datar itu. Konsentrasiku yang lagi asyik membaca beberapa berkas kantor, buyar. Jonas? Nggak salah?
            Cowok dengan tatapan dingin itu, entah sudah berapa lama ada di berdiri di situ, tepat di depanku, tanpa aku sadari. Tanpa seragam chef, hanya tanda pengenal saja.
            “Mmm…ya, terimakasih. Saya sedang sibuk dengan berkas kantor saya…”
            “Bila ada masalah dengan menu kami, beritahukan saja ya… “ kata Jonas, sembari menunjuk tanda pengenalnya. Entah kenapa, aku nggak bisa berkata apa-apa. Lidahku mendadak kelu. Nggak menyangka, bisa sedekat itu dengan cowok yang selama ini diam-diam menyita perhatianku. Dan belakangan baru kusadar, dia tidak sedingin yang kubayangkan… Buktinya, tanpa sengaja aku bisa mengenalnya lebih dekat. Ya, gara-gara sering kelihatan duduk makan sendirian…Jonas pun biasa menemaniku ngobrol, saat dia tidak bertugas di dapur.
            “Maaf ya kalau kelihatannya saya terlalu tegang atau cuek… Soalnya setiap pekerjaan, butuh keseriusan, konsentrasi. Saya nggak mau, pengunjung kecewa dengan racikan saya atau mereka kelamaan menunggu. Jaminannya nama baik kafe ini kan…Artinya mempertaruhkan nasib seluruh karyawannya juga,” kata Jonas, malam itu ketika aku kembali makan malam di sana sepulang dari kantor.
            Benar juga! Nyatanya cowok ini jauh lebih baik dan perhatian dari yang kubayangkan sebelumnya. Ngobrol apa pun, kami nyambung. Sampai-sampai ketika suatu malam aku datang dengan wajah muram, karena habis kena semprot bos di kantor seharian, Jonas bisa membuatku senyum lagi.
            “Masalah nggak akan ada habisnya. Hari ini kita sempurna, besok pasti ada celanya…Biar nggak sakit banget, nikmati saja. Jangan terlalu happy saat kita dapat sesuatu, tapi juga jangan sedih dan depresi banget saat apa yang diharapkan tidak sesuai kenyataan. Enjoy saja.” Fuiiih… Jonas. Tahu banget dia, gimana bikin hatiku adem lagi.
            Sayang banget, waktu kami memang nggak banyak. Sebagian besar, habis di kantor. Andai aku bebas, Jonas pasti masuk kerja. Sebaliknya, andai cowok bertubuh atletis itu libur, akunya banyak acara di kantor. Hingga tidak ada kesempatan buat kami ketemuan, selain di kafe tempat dia bekerja.
*******
            Malam Minggu. Pantas, kafe tempat Jonas bekerja rame. Tyas yang baru kali ini kuajak makan bareng di sini, terlihat begitu antusias. Bolak-balik matanya melirik ke arah dapur saji, hingga mau tidak mau membuatku jengah…
            “Ssst…jangan ditunjukkin gitu dong, kalau kamu mau lihat Jonas. Malu kan?!” tegurku setengah berbisik. Apalagi kulihat, chef senior yang biasa bertugas selain Jonas itu tengah memperhatikan kami.
“Cieeee….malu atau cemburu?  Sori, aku terlalu antusias. Penasaran, mau tahu segimana dinginnya cowok yang membuat temanku ini jatuh cinta…”
“Apa??! Heiii..baru datang, udah bikin malu ya…Awas lho, jangan keceplosan ntar di depan Jonas…” Panik banget aku. Cewek ini memang suka ceplas-ceplos. Gimana coba, kalau Jonas tahu selama ini aku sering ngerumpiin dia dengan Tyas?
            “Ngomong-ngomong, mana Jonas… Buruan panggil dong…”
            Aku menggeleng-gelengkan kepala. Nggak sabar banget sih… Padahal dalam hati kecilku juga kecewa. Kelihatannya Jonas nggak masuk hari ini. Sayang banget, sejak awal kenal aku sama sekali tidak punya keberanian meminta nomer handphone-nya. Padahal kami sudah sering ngobrol begitu dekatnya. Masa cewek duluan yang minta nomer HP?  
            “Hus! Jangan berisik. Sejak tadi kita diperhatiin chef senior itu tuh…tahu!” bisikku. Tyas melirik ke arah dapur saji lagi…
            “Mana? Nggak ada tuh…. Cuma ada asisten-asisten chef di sana…” katanya lagi. Ah, yang bener saja? Kulihat tadi, jelas-jelas bapak-bapak tua yang mengenakan seragam chef itu memperhatikan kami berdua dengan tatapan dingin. Masa Tyas nggak melihatnya?
            “Masa sih, Tyas. Ada tuh, bapak-bapak yang suka ngelihatin kita dari tadi… Gara-gara kamu gelisah, memperhatikan anak buahnya bekerja kali…”
            “Nggak tuh..Nggak ada bapak-bapak tua, atau chef tua yang kamu bilang? Memang dia seniornya Jonas?”
            “Ya, kali. Soalnya jauh lebih tua dari Jonas… Dia tuh yang suka memperhatikan aku dan Jonas kalau lagi ngobrol. Sebel banget kan? Jangan-jangan sirik, karena Jonas punya waktu senggang…Sementara dia tetap saja di ruangannya, nggak kemana-mana…”
            “Kamu udah bilang Jonas? Kali itu atasan dia, ngerasa terganggu ngelihat kelakuan kalian berdua…”
            “Ya ampun, Tyas. Nggak lah…Kami makan dan ngobrol biasa. Lagian di luar jam tugas Jonas kok. Herannya laki-laki tua itu kenapa ya, merhatiinnya meja kami berdua saja? Perasaanku jadi nggak enak deh, seperti ada mata-mata ngawasin,” ucapku setengah berbisik. Entah mengapa, tiba-tiba perasaanku benar-benar nggak enak. Dingin. Ngomongin bapak tua itu, hatiku jadi nggak tenang seperti biasa….Perutku juga seperti diaduk-aduk, hingga aku pamit sama Tyas ke toilet…
            Deg! Jantungku mau copot rasanya. Gara-gara terburu-buru ke toilet, nyaris bertabrakan dengan seorang laki-laki, bertubuh besar, jangkung dan … Astaga! Chef tua itu…
            “Maaf mbak…Ingin ke kamar kecil? Sebelah kanan mbak, silahkan…” tegur pemilik suara itu. Badanku mendadak terasa begitu dingin. Angin seperti berhembus di tengkuk, hingga bulu kuduk ini meremang… Mata lelaki tua itu seperti ingin menguliti aku…Tajam dan dalam. Ampun…Jangan-jangan… Tanpa permisi atau mengucapkan terima kasih, buru-buru aku kabur kembali ke mejaku, tanpa ingat masalah perutku lagi...
            “Lho…kok cepet? Kamu baik-baik saja? Pucat banget gitu, seperti habis ketemu setan?”  ledek Tyas, melihat aku sudah duduk kembali di hadapannya.
            “Gila! Tadi aku nggak sengaja menabrak bapak tua yang kepala chef itu… Tatapannya aneh banget. Buru-buru aja aku balik, sampai lupa kalau sakit perut…”
            “Chef tua? Mana sih? Kamu dari tadi bilang ada chef tua yang gantiin Jonas. Nggak ada tuh? Ada juga chef muda yang tadi kutunjuk dan kamu bilang, dia bukan Jonas…”
            Aku mengusap mataku, lagi. Masa sih Tyas nggak nyadar, tadi ada chef yang sudah bapak-bapak itu di sana? Berarti dia…?
*******
            Bayanganku yang serem-serem soal chef itu nyaris kulupakan. Bahkan aku tidak menceritakan kejadian itu pada Jonas, takut dia menertawakan kekonyolanku. Hingga suatu sore, ketika aku tengah makan sendiri di kafe itu seperti biasa…
            “Terima kasih, mbak. Kami senang, mbak salah satu pelanggan tetap di sini. Semoga menu-menu kami tidak mengecewakan…” tegur pemilik suara berat itu. Jantungku mendadak berdetak makin kencang. Bapak tua itu! Ya, chef senior itu…. Kini sudah ada di depanku… Ya Tuhan, kenapa tanganku mendadak terasa begitu dingin ya?
            Kulirik sekilas, laki-laki tua ini tidak mengenakan seragam chefnya seperti biasa. Mungkin dia sedang tidak bertugas di dapur. Ya Tuhan, ngapain dia dekat-dekat aku? Untung dia segera berlalu. Iseng-iseng, kupanggil seorang pramusaji yang tengah melintas di dekatku.
            “Mas, tahu nggak chef kepala yang sudah bapak-bapak itu?”
            “Ohh…Chef Dudy? Dia memang senior di sini mbak, selain chef Radit. “
            “Chefnya bukan tiga? Ada Chef Jonas juga?” tanyaku, penasaran. Cowok yang masih kelihatan muda banget di depanku itu mendadak wajahnya berubah pucat dan sedih.
            “Maaf mbak,  memang betul dulu ada asisten chef, Chef Jonas. Sayangnya waktu terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan sebagian besar dapur kafe ini, beliau meninggal, terperangkap api…”
            Keringat mendadak membanjir di keningku. Jantungku seperti berhenti berdetak. Matamu terasa berat, berkunang-kunang. Berarti Jonas…(Ft: berbagai sumber)