Senin, 31 Januari 2011

G.A.J.I


        Gila! Gaji 62 juta plus tunjangan 200 milyar, tidak cukup? Curcol orang nomer satu di negeri ini, spontan bikin “masyarakat” berang. Ya, meski masyarakat yang mana dulu nih? Kalau saya, cuek saja tuh. Namanya juga curhat. Boleh dong…Dia juga manusia biasa, pegawai yang tiap bulannya menggantungkan asap dapur dari G.A.J.I…
        Curcol itu pun biasa kita dengar toh? Nggak di rumah, di kantor, di komunitas kita…Apalagi kalau soal ngebanding-bandingin. Paling doyan deh. Mmm…kantor A, karyawan baru saja gajinya segini, kantor B tingkat managemen sudah dapat sekian lho…Belum lagi kantor C. Bla…Bla..Bla..Nggak ada habis-habisnya kalau dihitung, dibandingin dan dipikirin mlulu. Jujur saja, semua orang juga tanpa sadar suka ngomongin topik sama. Kebetulan saja dia orang nomer satu negeri ini. Kebetulan saja dia populer. Kebetulan saja… Lha kalau kita, curcol seribu kali ya paling komunitas kita saja yang denger.
        Pernah, bahkan sering…saya dengar orang-orang mengeluh masalah gaji, sampai seperti pita cassette yang diputar berulang-ulang. Okelah, gaji kita sekian…kita punya banyak kebutuhan. So, what? Ngeluh, ngomel, marah mlulu? Nggak nyelesaiin masalah…Kerjaan malah nggak fokus, teman-teman, keluarga atau atasan (yang tidak punya wewenang soal gaji) ikut kena imbas karena tanpa sadar kita suka uring-uringan, kepala kita pun rasanya mau pecah, karena terhimpit amarah. Semuanya kelihatan menyebalkan, buruk, capek, bete…pasti. Sampai-sampai, ngantor pun kebawa emosi, males-malesan, curi-curi peluang…
        Oke, gaji kita “hanya” (menurut kacamata masing-masing) segitu..But maksimalkan dengan nilai rupiah itu, gimana kita bisa merasakan nikmatnya hasil keringat sendiri. Gimana kita bisa melihat karya maksimal kita…Gimana kita bisa melihat, orang di sekitar kita happy with us…
        Nggak mau munafik…Waktu pertamakali ngantor dan merasakan menerima salary tetap, saya pun berangan-angan mempunyai gaji yang tiap saat berkembang, meningkat. Tapi seiring waktu, romantisme lain yang justru lebih bisa saya nikmati ketimbang nominalnya.
I’m happy…karena bisa ngerasain hasil keringat sendiri. Suka duka, saat tanggung bulan. Kapan bisa makan di mall, kapan musti pilih mie instant atau nasgor saja… Gimana rasanya, saya bisa nentuin apa yang saya mau…meski tetap dengan standar tertentu, tidak berlebihan.
I’m happy, karena saya memiliki komunitas baru…Teman sekantor, atasan dengan berbagai karakter. Ada yang sensi, lucu, meletup-letup, penyayang, macam-macam…Apa pun yang saya lakuin, everyday…nyaris selalu bersama mereka.
I’m happy, karena hasil pekerjaan saya dilihat orang. Terserah penilaian mereka..tapi setidaknya mereka bisa lihat, karya saya. Saya bisa mengenal dunia luar, orang-orang baru…
I’m happy, karena tiap hari terbangun dengan beragam tugas. Artinya, saya masih dibutuhkan orang, masih didengar orang, masih dilihat orang… Bayangin, jika kita dicuekin. Mau muncul, nggak muncul, bersuara, atau diam…masa bodoh… Sedih banget, kan?
So…kalau saya hitung-hitung untung rugi, gaji dengan semua itu…ya, nggak sebandinglah. Berapa pun nominal yang saya terima, relatif. Prinsip ekonomi bener juga, makin besar pendapatan, makin besar pengeluaran… Nggak akan terkejar deh, kalau ngikutin maunya saya…
        Jadi ya…berbesar hati-lah dengan berapa pun G.A.J.I yang kita terima. Nggak suka, nggak terima, ya…cari saja di tempat lain yang mungkin bisa memenuhi standar kita masing-masing. Nggak perlu ngomel mlulu tiap saat, nggak perlu kebawa bete di kantor, (bahkan) nggak perlu ngejelek-jelekin perusahaan kita sendiri di tempat lain.
        Andai mau bertahan di tempat yang sama, ya…enjoy saja. Rasakan kebahagiaan lain yang tidak bisa disetarakan dengan rupiah…Komunitas, karya, kebersamaan…(just my opinion…yang tidak setuju, tidak boleh marah…peace!)

Tidak ada komentar: