Sabtu, 24 Desember 2011

JINGLE BELLS


            Jingle bells…jingle bells…Jingle all the way… Jelas Christmas, mall-mall, hotel, tempat hiburan pasti meriah dengan pernak pernik serba Natal.  Christmas Three, lampion warna-warni, nggak ketinggalan pas deketan Natal, ada Santa Claus dan Piet Hitam bagi-bagi permen ke pengunjung mall…Mmm, siapa sih mereka? Beneran ya, mereka asalnya dari kutub dan biasa naik kereta salju??

Santa Claus

            Sosok santa yang dalam dongeng, begitu dekat dengan anak-anak, karena identik dengan bagi-bagi hadiah dan gula-gula tiap malam Natal ini,  happening dengan panggilan Sinterklaas  di Indonesia. Asalnya dari bahasa Belanda. Tetapi, Santa Claus juga punya sebutan lain;  Saint Nicholas, Father Christmas atau Kris Kringle atau Santa yang sederhana.  Umumnya sih, beliau tampil dengan mantel merah dengan bulu-bulu putih, sabuk kulit warna hitam, sepatu boot dan topi senada dengan warna bajunya. Ciri khas lainnya: janggutnya yang putih, tebal hingga hampir menutupi sebagian dagunya.
            Kostum Sinterklaas yang kini populer dengan mantel merahnya itu,  dikenal sejak awal abad 19 di Amerika Serikat dan Canada, lewat karya kartunis Thomas Nast diikuti dengan kemunculannya di sejumlah acara televisi, film dan buku.  Kalo ngikutin legendanya sih, Santa Claus tinggal di kutub Utara sekitar tahun 1820-an. Beliau biasa berkeliling dengan mengendarai kereta salju yang ditarik rusa terbang. Tahun 1934-an, kita kenal lagu Santa Claus is Coming To Town, buat menggambarkan sosok Santa yang jauh-jauh dari kutub datang menemui anak-anak di berbagai belahan dunia buat membagikan hadiah Natal. Beliau akan masuk ke rumah-rumah melalui cerobong asap, tepat tengah malam, lantas mengisi kaos kaki yang digantung anak-anak di dekat tungku perapian dengan hadiah.   
            Sebelum warna merah menjadi ciri khasnya Santa Claus, warna hijau juga pernah dipakai menjadi kostum andalannya British Father Christmas atau Bapak Natal-nya masyarakat yang tinggal di British.  Soalnya mereka ngebayangin pohon-pohon pinus yang ditutupi salju ketika musim dingin tiba.  Kita bisa dengerin storinya di lagu A Christmas Carol.. 

Grinch

            Tokoh dalam fiksi yang diciptakan oleh Dr. Seuss ini dikenal sebagai sosok protagonis sekitar tahun 1957 dalam buku dongeng, How the Grinch Stole Christmas.  Konon sosoknya berlawanan dengan Sinterklaas yang mencintai anak-anak dan suka bagi-bagi hadiah, karena dia benci perayaan Natal, kado, keramaian dan cerianya anak-anak.  Sosoknya digambarkan seperti makhluk berwarna hijau dengan mata kuning mengenakan mantel merah ala Santa Claus dan tinggalnya di dekat Whoville.  Dia pengen sekali, mencuri kado Natal yang akan dibagikan Santa buat anak-anak.
            Versi filmnya, Grinch mempunyai kekuatan super. Waktu kecil, dia sudah bisa mengangkat pohon Natal di atas kepalanya, lantas dilemparin gitu aja.. trus mengukir dinding batu dengan kedua tangannya. Giliran sudah dewasa, dia bisa ngangkat kereta salju lengkap seisi-isinya…   Tahun 2000, Grinch pun mulai diangkat di layar lebar dengan sutradara Ron Howard. Jim Carey yang jadi sosok Grinch-nya terbilang sukses. Bahkan menyusul dibikin video games-nya dan sequel-nya. 

Piet Hitam

            Kalo ngelihat ada sosok cowok dengan wajah hitam gelap, rambut kriwil, lantas membawa karung kosong dan tongkat, nah…itu sih bukan pemulung. Tapi Piet Hitam atau Zwarte Piet bahasa Belanda-nya yang biasa nemenin Sinterklaas kalo bagi-bagi hadiah. Sosoknya emang agak serem, makanya ada ortu yang manfaatin ini buat nakutin anaknya. Katanya kalo nakal, bakal dihukum dan dimasukin dalam karung. Padahal dikaitkan sama dongeng rakyat  Belanda dan belia, Piet Hitam ini teman Saint Nicholas yang perayaan kemunculannya tiap  tanggal 5 di Belanda dan 6 Desember di Belgia. Biasanya mereka bagi-bagi permen dan hadiah, untuk anak-anak. 
            Jan Schenkman yang awalnya menulis cerita tentang Saint Nicholas dengan pelayannya, Piet Hitam tahun 1845. Dia menggambarkan sosok Piet ini sebagai cowok berkulit hitam, karena asalnya dari Afrika. Tapi waktu itu belum diberi nama. Akhirnya tahun 1950-an, sosoknya sempat dinamain Pieter, Zwarte Pieten. Sampai akhirnya ditetapkan awal abad 20, namanya Zwarte Piet.  

Eggnog

            Sejenis menu yang bahan dasarnya susu, gula, telur yang dikocok, lantas campurannya bisa non alkohol, atau alkohol, seperti brandy, rum, atau whisky. Awalnya populer di Amerika dan Kanada buat merayakan musim dingin, seperti acara Thanksgiving, Natal dan Tahun Baru.  Eggnog bisa menjadi campuran makanan dan minuman, termasuk kopi dan teh. Selain bisa dijadiin custard, bahan dasarnya ice cream.  Awal namanya sendiri berasal dari kata egg and grog, campuran telur dengan minuman yang dibuat dari rum.  Minuman ini populer di kalangan bangsawan Britania. Karena dulu kan harga susu dan telor mahal, belum lagi mereka musti memiliki lemari pendingin pribadi. 

Mistletoe
            Tanaman hemi parasit yang masuk dalam keluarga Santalales, biasanya tumbuh nyelip di antara cabang pohon atau perdu. Banyak jenisnya, seperti  Viscum album yang  tumbuh di daratan Eropa dan Britania Raya.  Kalau jenis Phorandendrom serotinum biasa banyak di Amerika Utara. Jelang Natal,  mistletoe digunakan buat hiasan Natal. Biasanya dipasang di pintu. Pernah ada kepercayaan kuno, kalao seorang cowok dan cewek ketemuan di bawah Mistletoe yang  tengah tergantung, mereka musti berciuman. Wow! Bahaya tuh!

Kaos  Kaki Santa
            Sering dalam film-film Natal, ada gantungan kaos kaki di dekat tungku api atau di dinding dalam rumah, dekat kamar misalnya.  Sebutannya kaos kaki Natal atau Christmas Stocking.  Anak-anak masih percaya, kalau mereka nice, Santa akan datang tengah malam pas Natal, lantas menaruh hadiah di masing-masing kaos kaki mereka. Memang bener sih, biasanya pagi-pagi mereka akan berlarian ngecek kaos kakinya dan ternyata, udah ada isiannya… Yah, sebenarnya bukan Sinterklaas sih yang beliin tuh barang-barang. Ortu kita juga…  Kadang kita juga bisa request sama Sinterklaas dengan nulis barang yang kita inginkan di secarik kertas, trus masukin ke kaos kaki. Ntar ortu kita juga yang baca dan beliin hehehhe..
            Konon, jaman dahulu kala tinggal seorang lelaki miskin dan 3 anak perempuan yang cantik.  Dia nggak punya uang, buat menikahkan anak-anaknya. Makanya dia khawatir, gimana nasib anak-anaknya, kalau dia meninggal. Santa Clauss kebetulan lewat, ketika dia mendengar cerita ini dari penduduk desa. Santa mau bantu, tapi laki-laki miskin itu tidak mau menerima sumbangan. Makanya, Sinterklaas melakukannya secara diam-dia. Dia menunggu malam tiba, lantas masuk dalam cerobong asap, sambil membawa tiga tas yang berisi koin emas. Masing-masing anak ceweknya dia kasih satu.  Santa bingung, mau meletakkan hadiahnya di mana. Pas dia melihat kaos kaki yang  lagi dijemur, digantung oleh cewek-cewek ini… Maka Santa pun meletakkan hadiahnya ke dalam kaos kaki itu…Esoknya, begitu cewek-cewek itu bangun, mereka mendapati kaos kakinya sudah berisi tas yang ada koin emasnya…Mereka bertiga bisa menikah dan bahagia selamanya. 

Gingerbread

            Sejenis cookies yang terbuat dari terigu, jahe, madu, dan gula.  Ginger bread awalnya diperkenalkan di daratan Eropa tahun 992 oleh Gregory Makar yang tinggal di Bondaroy, Perancis. Dia tinggal di sana hampir 7 tahun lamanya dan selama itu, dia membuat sendiri cookies ini, hingga abad 13 akhirnya diperkenalkan di Swedia oleh imigran asal Jerman.
Kalo bentuknya semula sangat sederhana, tidak menggoda untuk dimakan, kini makin beragam. Karena bentuk dan hiasannya yang terbuat dari gula, lucu-lucu, sesuai musimnya. Khusus buat Natal, pasti ada lukisan boneka salju, Santa, mistletoe etc…
            Berbagai negara, punya gingerbread andalan. Seperti Belanda dan Belgia yang menyebut ginger bread-nya Peperkoekor Ontbijtkoek. Biasanya disajikan saat sarapan pagi, bentuknya berlapis dan dimakan dengan  margarin yang sudah disediakan di atasnya.  Kalo di Polandia namanya Pierniki. Salah satunya yang terkenal, Torunski Piernik yang cara memasaknya masih menggunakan tungku tradisional.   Sementara sejak tahun 1991, masyarakat Norwegia biasa menyediakan ginger bread sebelum Natal. Namanya Pepperkakebyen. 

Rusa Penarik Kereta Sinterklaas
            Pernah nonton film Santa Claus yang lagi naik kereta salju, trus ditarik 8 ekor rusa? Rusa-rusa ini punya nama lho! Dasher, Dancer, Prancer, Vixen, Comet, Cupit, Donder, dan Blitzen.  Kabarnya nama-nama itu diperoleh dari puisi yang dibuat tahun 1807 oleh Mayor Henry Livingston, Jr dengan judul Kunjungan St. Nicholas. Sedangkan nama Donner dan Blitzen sempat diubah menjadi Dunder dan Blixem oleh Clement Clarke Moore.  

Pohon Natal
            Umat Kristiani suka menyebutnya Pohon Terang, yup…soalnya kan biasa dihias dengan lampion, lampu warna warna yang kalau malam indah banget nyalanya. Awalnya sih hanya sebagai simbol buat menyambut Natal, biasa dipajang dalam rumah. Kalau mau aslinya sih, bisa langsung hias pohon cemara sendiri di halaman … Biasanya orang Amrik, bela-belain beli pohon aslinya lho..Tapi ntar Natal berikutnya, mereka  ganti baru…
            Biasanya puncak cemara/pohon terangnya dipasang satu bintang besar atau boneka malaekat. Trus ntar kado-kado yang mau tukeran, diletakkan di bawah pohon. Pas malam Natalnya, abis makan malam atau ke gereja, saling tukeran kado antar keluarga, teman dekat, dan buka sama-sama. Seru ya..

Senin, 12 Desember 2011

Tangisan Bayi Tengah Malam

            Tangis bayi??! Berulangkali aku berusaha menajamkan indra pendengaranku, tapi benar-benar bukan halusinasi. Apa yang barusan kudengar, suara bayi menangis. Lirih. Tersenggal-senggal, seperti kehausan, lapar atau malah kesulitan bernafas? Nggak. Kali saja, memang bayi itu lapar. Jatahnya sang ibu, buat menyusui. Hingga beberapa menit, tangis itu belum juga reda. Malah makin jelas, hingga membuat tidurku gelisah. Nggak bisa tenang…
            Beginilah resikonya, tinggal rumah petak, di mana dinding satu dengan lainnya berdempetan. Suara bayi menangis saja begitu jelas kedengeran, apalagi kalau tetangga berantem… Walahhh, bisa semalaman aku nggak tidur. Apalagi tetangga sebelah rumah nih, Bang Jafar dan Mpok Rohaya, pasangan betawi asli yang sejak menikah dan pindah ke rumah itu, mirip kucing dan anjing. Hobinya berantem mlulu. Nggak pernah akur. Masih mending, suaranya bisa ditahan. Giliran ribut, tetangga dari ujung ke ujung sampai tau. Bukan rahasia lagi…
            Untuk kesekian kalinya, aku ganti posisi tidur. Hadap tembok, balik lagi. Sama saja. Mata susah dipejamkan. Kalau pun mata ini mengatup, pikiran lari kemana-mana. Tangis bayi itu bikin stress. Heran. Sudah beberapa hari ini, tiap lewat magrib, apalagi tengah malam sering kedengaran. Padahal tetangga kan nggak ada yang punya bayi. Rata-rata anaknya sudah sekolah. Kalau pun ada pasangan muda, mereka belum dikaruniai anak.
            Bbbrrrr! Bulu romaku mendadak berdiri. Tengkuk terasa dingin. Malam ini seperti nggak ada tanda-tanda kehidupan di kampung tempatku tinggal. Semuanya sudah masuk dalam rumah masing-masing. Hujan sejak sore, bikin adem dan enak buat tidur cepat. Beda denganku yang malah sulit memejamkan mata.
            Gemerisik daun di luar sana, terdengar jelas. Maklum, persis di belakang jendela kamar kan ada rimbunan pohon bambu yang kalau tertiup angin menimbulkan suara gemerisik. Sudah lama aku pengen memotongnya, menebang habis tuh pohon. Geli dengernya. Lagi-lagi Bang Jafar yang sok tau mitos dan sebangsanya itu bilang, nggak boleh. Ntar penunggu pohon itu marah. Aneh. Hari gini masih percaya supranatural gitu. Kalau aku sih, nggak peduli. Mana ada, pohon ditungguin….
            Oeeekkkkk…oooeeekkk… bener. Suara bayi itu lagi? Bulu kudukku makin meremang, seiring dengan gemerisik bambu yang suaranya menggiriskan hati. Aku merapatkan sarung yang kupakai buat selimut. Tapi sama saja. Dingin yang mendirikan bulu roma itu terasa…Sampai-sampai, perasaanku mengatakan aku tidak sendiri di dalam kamar…Astagaaaa!
            Aku tangkupkan kedua telapak tanganku di wajah, sambil membaca doa. Nggak boleh, percaya yang aneh-aneh. Aku masih beriman… batinku, sambil berusaha tidur. Entah sampai pukul berapa, aku masih mendengar tangis bayi itu, sebelum akhirnya mata ini benar-benar terpejam. Aku tertidur, kelelahan.
*****************
            Rencana ikutan kerja bakti di kampung, nyaris batal. Gara-gara Bima, teman sekantor ngajakin nonton bola di GBK. Aneh-aneh saja tuh orang. Main bolanya jam berapa, kita datangnya jam berapa…
            “Pagian dong, Im. Biar kita bisa dapat posisi strategis. Selain itu kan banyak yang bisa dikecengin. Lucu-lucu lho yang nonton…” katanya, ketika menelponku pagi-pagi. Padahal aku sudah mengenakan t-shirt, celana bermuda, dan sandal jepit. Siap ngebantuin warga kampung bersih-bersih.
            “Apanya yang lucu? Ada ondel-ondel? Atau layar tancap??”
            “Haiyyyahhh kamu tuh, kayak aki-aki aja..Udah nggak up date.. Ya, cewek-ceweknya lah… Pantesan aja sampe sekarang masih dapat predikat jomblo. Lha, ngumpul acara beginian aja, kamu nggak pernah. Nyingkir duluan… Outbond orang kantor, misalnya? Kamu malah pilih nungguin renovasi rumah,” kata Bima lagi, setengah senewen.
            “Ya udahlah, ntar aku nyusul. Tapi masih ntar…kan acaranya masih sore. Sekarang mau bantuin kerja bakti dulu. Jangan sampai aku dicap sombong lagi, nggak peduli orang kampung…”
            “Trusssss, nasibku gimana??” Bisma kedengarannya kecewa.
            “Ya, kalau sabar, tungguin. Kalau nggak, kamu kan bisa ajak tuh Danesh dan Fikri datang pagian. Mereka kan juga mau nonton sore ini, rame-rame lagiiii…”
            “Ya udah, aku telpon mereka. Ntar jangan kelamaan ya kerja baktinya. Buruan telpon aku lagi…” Bisma menutup telepon. Aku tersenyum lega. Dasar tuh anak, dia saja yang nggak pernah gaul sama tetangga. Tinggalnya saja di apartemen. Beda sama aku yang baru sanggupnya bayar kontrakan rumah petak di kampung.
            Hueeekk! Nyaris aku muntah, ketika membersihkan selokan di samping rumah. Sampah main lempar begitu saja, selama ini. Mungkin anak-anak yang nggak diajarin, bagaimana musti menjaga lingkungan. Bayangin saja. Selokan sudah padat, tertimbun. Plastik kresek bekas belanjaan, daun, kertas, botol minuman, kaleng, ampunnn. Masih untung, air selokan nggak luber. Belum musim hujan dan kebanjiran. Coba kalau banjir, pasti sumber penyakit dan melebar ke mana-mana…
            Aku memang belum ada setahun tinggal di rumah petak ini, tapi rasanya sudah bertahun-tahun. Ya, karena pusing melihat kondisi sekeliling rumah yang jorok. Habis mau bagaimana lagi. Tahun ini aku harus super hemat, karena rencana tahun depan sudah mengambil cicilan rumah. Sementara waktulah, aku bersakit-sakit dulu…
            “Mas… sampahnya sudah bisa diangkut??” tanya Pak Jalil, tetangga depan rumah yang kebagian jatah ngangkutin ke bak sampah besar, membuyarkan lamunanku. Dia memang sehari-harinya bekerja di dinas kebersihan.
            “Oh, sudah Pak…Terima kasih… Saya sudah kumpulkan semuanya…” kataku, sambil membantu dia menarik wadah dari bambu yang buat mengangkut semua kotoran dan sampah tadi. Huueeekkk! Lagi-lagi aku hampir muntah. Untung masih bisa kutahan. Malu, kalau dibilang mentang-mentang kerjanya kantoran, kerja bakti sedikit saja sudah mabok.
            Sekeranjang besar sampah sudah diangkut, tapi aku masih menyapu halaman dengan sapu lidi, dekat rimbunan pohon bambu itu. Beberapa kali, angin yang bertiup kencang membuat sampah daun suka beterbangan. Sreeetttt! Pandanganku tertuju pada gundukan tanah, tak jauh dari pohon bambu. Kelihatannya bekas diaduk-aduk. Mungkin kucing atau anjing liar, menyimpan “harta karunnya” di situ? Kuingat waktu kecil, binatang itu kan suka mencuri ikan, lantas menggali tanah dan menyimpannya dulu di sana. Ntar giliran mereka lapar, mereka akan menggalinya lagi dan makan harta curiannya. Mmm, iya gitu kali… Sudahlah, masa aku mau merampas harta mereka. Kasihan. Lagian pasti jorok dan bau.
            Aku menyelesaikan kerja bakti pagi itu, dengan badan rontok. Rasanya persendian ini copot, pegal semua. Terpaksa, kubatalkan janjiku nonton bola. Biar Bima marah-marah dan ngomel nggak keruan. Soalnya kalau pun aku paksain, bisa-bisa besok malah tidak ke kantor karena sakit.
            Oeeekkk….oeeekkk! Tangis bayi lagi? Astaga! Kulihat jam di dinding. Masih pukul sebelas malam. Kepala ini berdenyut, pusing. Pegal seharian tadi masih terasa. Lumayan, bisa tidur. Keterlaluan tuh orangtua yang membiarkan bayinya menangis malam-malam gini. Mustinya langsung diberi susu atau dibujuk, agar bisa tidur. Kenapa suaranya masih kenceng gitu? Apa tetangga lain nggak terganggu juga? Aku balik badan, menutup telingaku dengan sarung. Bbbbrr.. Dingin. Tengkukku, terasa nggak enak. Aduh, kenapa lagi iniii…
            Mau nggak mau, aku turun juga dari tempat tidur. Bayanganku, tetangga pasti ada yang cuekin anaknya sampai nangis  begitu. Segera kuseduh segelas susu coklat, sebelum aku akhirnya duduk di ruang tamu, sambil menyalakan televisi. Jrenggg! Ampun, tengah malam isinya film horor pula. Kalau nggak, channel lainnya malah acara uji nyali. Apes banget sih. Kuingat, malam ini bukan malam Jum’at. Ngapain juga televisi kompakan memutar acara seram-seram sekarang?
            Peeettt!!!! Listrik mati! Gelap. Duuukk. Jantungku berdebar nggak keruan. Tangan ini meraba-raba, berusaha mencari jalan buat ke dapur. Kuingat, masih ada beberapa batang lilin. Tangis bayi itu masih terdengar, lirih dan menggiriskan hati. Ketika aku akhirnya berhasil menemukan lilin dan menyalakannya dengan kompor gas.. Ruang tengah, nggak gelap gulita lagi. Lega. Lamat-lamat, suara tangis bayi itu pun menghilang. Kayaknya kapan-kapan aku musti tanyain ke tetangga deh, siapa yang memiliki bayi dibiarkan kelaparan tiap malam.. Soalnya benar-benar mengganggu. Migrainku selalu kambuh, kalau tengah malam tiba-tiba terbangun dengar suara itu.
********
            Laporan kantor yang kubawa pulang ke rumah malam ini, benar-benar membuat kepalaku pening. Banyak koreksian. Keterlaluan juga tuh Dwi yang main mengundurkan diri, detik terakhir. Taunya, pekerjaan yang seharusnya sudah dia bereskan, malah dialihkan ke aku. Celakanya lagi, aku baru nyadar, dia nggak teliti. Acak-acakan… Banyak koreksian yang bakal membuatku terjaga sampai pagi. Soalnya kalau kukerjakan di kantor, nggak bakal keburu…
            Sreeekkkk…Sreeeekkk. Langkah orang diseret, kembali kudengar. Begitu dekat dengan jendela kamarku. Huhh! Siapa main mengendap-endap di deket jendela orang? Atau jangan-jangan selama ini, aku punya tetangga yang punya kelainan? Sukanya ngintipin orang?? Waduhh!
            Pusing aku mikirinnya. Mau dicuekin, suara itu masih saja terdengar. Ranting-ranting diinjak, lantas nggak lama, tangis bayi lagi. Aku mengacak-acak rambutku. Kesal. Baru mau mulai konsentrasi kerja, ada saja gangguannya.
            Jendela kamar kubuka, … “Siapa ya???!”
            Sepiiii. Nggak ada siapa-siapa. Aku malah mendengar suaraku, kok kenceng banget. Soalnya tetangga sudah menutup pintu rumah mereka rapat-rapat. Heran. Orang kota kok jam segini sudah mengunci pintu semua. Kayak di desa.
            Jendela mau kututup kembali, ketika tiba-tiba kulihat… seorang anak kecil, berdiri dengan kepala nunduk, dia menenteng sebuah boneka usang…Baju bocah itu nggak terlalu jelek. Bagus malah.. Tapi dekil. Bocah perempuan itu juga bertelanjang kaki, tubuhnya seperti belang-belang kena lumpur atau debu..
            “Heiii…kamu siapa? Ngapain di situ?” Bocah itu tidak menoleh, tidak bergeming di tempat dia berdiri. Bulu kudukku meremang. Perasaanku nggak enak. Tapi nggak mungkinlah, anak ini kan manusia juga… Paling dia abis dimarahin orangtuanya, trus ngambek dan berdiri di situ…dekat jendela rumahku.
            “Rumah kamu mana? Pulang gihhh…Udah malam…Ntar masuk angin di situ…” Dia diam saja. Nggak gerak. Angin yang bertiup, menyibak rambutnya yang ikal, berombak, menutupi sebagian wajahnya… Dueeerrr!!! Wajahnya seperti ada gurat luka memanjang, merah…Berdarah!!!
            Aku melongo. Kaget. Nggak bisa ngomong apa-apa, pas cewek itu perlahan-lahan mendongakkan kepalanya. Wajahnya langsung terlihat begitu jelas, … wajah perempuan yang pipinya terdapat luka memanjang dan menganga lebar, masih ada darah merembes dari situ!
            “Kamuuuu???” Gadis cilik itu nggak menjawab, dia langsung balik badan dan menghilang dalam kegelapan. Aku tertegun, bengong dan shock berdiri di tempat itu, entah berapa lama…Baru nyadar, pas handphoneku bunyi… Bisma.
            Kejadian malam itu, nggak kuceritakan pada siapa pun, terutama Bisma. Bisa saja, temanku itu malah menganggapku gila. Mana ada sih, malam-malam bocah cewek keluyuran, trus wajahnya berdarah-darah? Belum lagi ceritaku soal suara bayi..Pasti ujung-ujungnya aku disuruh pindah apartemen. Lebih aman, nyaman.
********
            Minggu pagi kali ini, aku sempatkan diri buat olahraga. Lari keliling rumah kontrakan, lantas senam sekedarnya di depan rumah. Kulihat Mpok Rohaya dan Bang Jafar, lagi beres-beres halaman.
            “Pagiiiii….” Sapaku. Bang Jafar dan Mpok Rohaya kaget.  Mereka saling pandang, pas ngeliat aku sudah mengenakan baju olahraga…Mpok Rohaya, masuk ke dalam, sementara Bang Jafar ngeliatin aku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
            “Oh iya,….udah lama nggak olahraga, bang….” Cowok itu mengangguk-angguk, lantas meneruskan pekerjaannya, merapikan halaman…
            “Hebat, mas saya perhatiin rajin banget. Kerja sampai malam, pagi-pagi olahraga..”
            “Ya,  kebutuhan Bang. Pengennya sih, pulang cepet. Tapi selalu ada saja lemburan kantor..Herannya di sini warga sore-sore udah ngunci pintu ya Bang. Padahal kan belum lama bener. Sepiii jadinya…”
            Abang Jafar tiba-tiba menghentikan pekerjaannya. Dia terduduk, mengusap keringat yang membanjir, sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu…
            “Kenapa Bang? Sakit?” Aku jadi bingung.. Bang Jafar menggeleng. Dia nunjuk aku, supaya ikut duduk di sampingnya….
            “Abang udah lama mau negor kamu, sebaiknya jangan pulang malam. Minimal kalau lembur di rumah, kunci pintu rapat-rapat….”
            “Ohhhh….rawan todongan atau maling, Bang?”
            “Bukannnn… Pernah kejadian, seorang warna di sini nggak nyadar dirinya hamil. Sampai lima bulan! Dia main pijat, kerik saja….akhirnya tuh bayi keluar… Seluruh warga sampai panik, kami berusaha nahan bayinya nggak sampai jatuh…Soalnya kan masih kelilit tali pusar…”
            Glekkkkkk. Bulu kudukku meremang. Aku sampai nggak bergerak, susah bernafas, denger cerita Bang Jafar….
            “Trus ibunya tuh bayi??? Bayinya???”
            “Ibunya selamat, warga sini bawa ke rumah sakit. Tapi bayinya nggak bisa diselamatkan. Dia dimakamkan di sini juga…Yah namanya orang nggak mampu, dimakamkan di pekarangan..Sejak kejadian itu, warga suka merasa melihat anak kecil jalan sendirian…atau mereka denger tangis bayi…Makanya rumah selalu dikunci rapat-rapat, padahal belum terlalu malam. Mereka takut, bawa sial…”
            Aku mengangguk-angguk. Paham sekarang, kenapa warga di sini suka mengurung diri sore-sore.. “Keluarga bayi itu tinggal di mana Bang? Saya kenal mereka?”
            Bang Jafar menggeleng. Dia melihat ke sekeliling rumah, lantas menatapku dalam-dalam, seperti mau menceritakan sesuatu yang sangat rahasia dan penting….
            “Mereka sudah pindah. Kabarnya  ibu kandung perempuan yang keguguran itu, memintanya balik ke rumah mereka…Asal mas tau saja… Dulumereka tinggal di samping rumah mas… dan jenasah bayi itu dimakamkan di dekat jendela mas, tepat dibawah pohon bambu. Tapi nggak dikasih nisan…sekedarnya gitu…”
            Wussss! Badanku langsung terasa enteng. Kepalaku berkunang-kunang. Jadi?? (Ft: Berbagai Sumber)

Natal Terakhir Natalie



           Lagu Jingle Bells samar-samar kudengar. Senang. Meski aku tidak merayakannya, tapi mendengar lagu-lagu yang diputar Natalie belakangan ini, membuat perasaan ikutan ceria. Nggak terasa, sebentar lagi sudah Natal dan Tahun Baru…Astagaaa… Baru kuingat, masih banyak catatan yang belum berhasil aku selesaikan tahun ini. Musti harus lebih baik tahun depan…Lagipula, umur makin nambah, artinya tanggungjawab makin besar. Dan sisa waktu kita pun di dunia ini makin terbatas.
            Biasa, tinggal di kost-kostan, kita merayakan berbagai hari raya bersama. Jelang Ramadhan misalnya. Genk si Putri yang suka bikin kue, sering ngumpul di rumah. Rame-rame nyiapin parcel buat dijual. Beberapa kali pengajian dan acara buka bersama, diadakan di kost. Lantas pas Lebaran, sepiiii… semua mudik. Bahkan yang non muslim pun ikutan pulang…Biasa, tinggal aku yang tersisa. Maklum pekerjaanku di sebuah rumah sakit swasta membuatku nggak bisa cuti lama. Ntar gimana dong, kalau ada orang sakit mau berobat?
            Giliran perayaan Nyepi, kami di rumah pun menahan diri. Nggak bikin keributan, seperti biasanya. Bagi yang suka putar CD kenceng, kali ini stop dulu. Buat menghormati Gangga dan Wastu, sesama penghuni kost yang beragama Hindu. Ntar giliran mau Natal, seperti sekarang ini…kami ikutan rame, bantuin Natalie menyiapkan parcel buat anak-anak panti asuhan yang sering dia bantu. Atau, nemenin dia cari pernak-pernik di mall…
            Lonceng berdentang, lagu-lagu yang ceria, hiasan dari kertas, balon, pita yang dominan warna hijau, merah dan putih, belakangan sudah menghiasi tiap mall. Biasa. Jelang Natal dan Tahun Baru… jadi hiburan tersendiri bagi kami. Maklum, tiap hari di rumah, di depan televisi saja kan bosan…
            “Sy, ntar temenin aku pesan kue ya..buat oleh-oleh aku pulang nanti..” pinta Natalie, ketika aku tengah membereskan tumpukan majalah di ruang tengah. Anak-anak kost memang suka slebor. Kalau sudah membaca, lupa dah ngembaliin ke tempat semula.
            “Kapan kamu pulang, Nat? Wah, kesepian lagi nih akunya… Kan anak-anak juga pada pulang semua. Kebetulan  rame-rame dapat cuti tahunan dari kantor masing-masing. Aku aja jadi penjaga rumah…”
            Natalie ketawa, melihat wajah senduku. Dia mencubit pipi chubyku, lantas menggoyang-goyangkan badanku kayak lagi mainin bonekanya saja. Salah satu kebiasaan Natalie, suka menganggapku adik kecil, sekaligus boneka kesayangannya…
            “Tenang aja, ntar kan ada aku nemenin kamu…. Aku nggak akan biarin kamu sendiri, apalagi sampe kesepian…Jagain terus dehhhh….”
            “Gampang deh, ngomongnya. Ntar liburan Natal kan kamu mudik juga…So??? Gimana mau nemenin dan jagaiiinnnn…”
            Natalie terkekeh, melihat aku menghentakkan kaki, seperti anak kecil kalau lagi ngambek. Yah, hanya sama dia saja aku suka kelewat kolokan. Padahal aku sudah bekerja… Udah gede.
            “Ya, abis aku pulang ke rumah, aku kan balik ke sini lagi….”           
            “Artinyaaa…. Selama kamu pulang, aku sendiriiiiii!!!!”
            Natalie menepuk-nepuk kepalanya sendiri. “Ya, gitu deh.. Maksudnya begitu… Sama juga boong ya? Hahahahaha….” Dia ngakak, lantas mengacak rambutku. Asal.
            “Ah hanya seminggu ini juga…Nggak ngaruh! Lagian giliran kamu sibuk kerja, aku juga suka dikacangin. Dilupain….Akunya nyantai tuh, ngeliat kamu wara wiri sibuk sendiri..”
            Bener juga. Aku senyum sendiri. Giliran jadwal tugasku lagi padat-padatnya, aku mirip manusia yang tinggal di dunianya sendiri. Nggak ngeliat ada orang lain. Kalau nggak di kamar seharian, di ruang tengah, tapi masih dengan buku catatan yang numpuk.
            Entah kenapa, kepulangan Natalie kali ini terasa berat sekali bagiku. Selain aku lagi banyak masalah di kantor, butuh teman curhat, aku juga mulai merasa ada ikatan batin antara kita berdua. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Sahabat, saudara…. Lengkap.
            Nggak ada penghuni kost yang seloyal dia… Ketika aku sakit, seharian ngurusin. Giliran aku stress, dia pendengar dan penasehat yang baik. Pas aku lagi bingung, musti ambil keputusan, dia yang maju duluan. Bantuin…
            “Jangan lama-lama ya baliknya…” kataku, sambil memilih-milih kue yang mau dibeli Natalie buat oleh-oleh. Dia geleng-geleng.
            “Bawel ya… Janji! Sumpah! Gue pasti balik lagi nemenin kamu…”  katanya lagi, sambil memasukkan beberapa kotak kue dalam tas belanjaannya. Perhatiannya kini tertuju pada deretan boneka yang ukurannya serba mini. Boneka Santa Claus, Piet Hitam, sampai boneka salju yang putih itu lengkap dengan topi merah panjangnya dan tongkat. Lucu-lucu…
            “Lucu ya…Bisa buat oleh-oleh keponakan!” katanya, sambil memilih beberapa boneka. Lantas dia ambil boneka Piet Hitam.
            “Tau nggak, waktu kecil aku suka takut sama Piet Hitam. Soalnya kata mama, dia biasa menangkap anak-anak nakal yang malas belajar, suka bandel, hahahaha….” Aku geleng-geleng kepala, ngeliat dia memainkan boneka itu bersamaan dengan boneka Santa Claus…
            “Trus aku juga percaya kalau kita pengen sesuatu, taruh catatan di sepatu trus kasih rumput. Ntar Santa Claus yang beliin… Bener, permintaanku sering dikabulkan. Kalau pagi bangun pas Christmass, selalu ada barang lucu untukku di sepatu… Baru aku tahu, pas udah gede, semua hadiah itu kan papa dan mamaku juga yang beliin. Kocak ya….”
            “Kamu sekarang, masih suka lakuin ritual itu?”
            “Ya…keponakanku yang masih kecil-kecil banyak. Aku suka melihat binar bahagia di mata mereka, ketika menemukan hadiah di sepatu mereka.”
            “Seru juga ya… Ntar kapan-kapan aku juga ah, taroh rumput trus minta mobil sama Santa Claus…” Doengg! Natalie menjitakku, sambil tertawa terbahak-bahak.
            “Mintanya jangan yang mahal-mahal donggg. Kasihan Santanya, nggak cukup uang dia….”
            Kami berangkulan berdua, timpuk-timpukan boneka, kayak anak kecil, sampai akhirnya disamperin sama yang punya toko.
            “Jadi mau beli yang mana bonekanya mbak??” Natalie menatapku, aku juga angkat bahu. Kita ketawa bareng….Dasar.

**************
            Siang ini, aku baru membereskan isi lemari pakaian. Lumayan. Libur seharian, bisa kugunakan buat bebenah. Lagipula, kost sepi. Anak-anak masih jalan ke mall. Kayaknya hari ini juga Natalie janji pulang. Senin besok, dia kan balik kerja.  Ingat itu, buru-buru aku mengeluarkan perlengkapanku membuat kue. Cewek itu suka banget brownies bikinanku. Katanya beda sama yang di toko…
            Ah, kumasakin sebentar. Masih ada waktu. Sambil bikin kue, aku putar CD lagu miliknya yang dia pinjemin ke aku, sebelum dia mudik. Pilihannya oke juga… lagu-lagu Indonesia jadul. Tapi liriknya bagus-bagus, kayak lagunya KLa Project yang didaur ulang ini…
            Beres! Browniesku sudah kupotong-potong. Sebagian kusajikan buat anak kost, sebagian lagi sengaja aku simpan buat Natalie. Jam di dinding berdentang, sudah lewat pukul tujuh malam. Anak-anak kost masih belum pada pulang, ketika tiba-tiba kurasa tengkukku dingin… Ampun! Aku lupa menutup korden kamar. Pantas saja, angin yang bertiup kencang bikin tengkuk ini terasa dingin…
            “Ngelamun… Jangan di kamar mlulu dong!” Suara itu? Aku mendongakkan kepala, melihat siapa yang muncul di pintu. Natalie.
            “Ehhhh sudah balikkkk…. Kok sore amat… Biasanya kamu suka balik kost, siang-siang. Trus sorenya udah molorrr…”
            Natalie menghempaskan dirinya di tempat tidurku. Matanya pucat, sayu. Kantung matanya tebal. Kayaknya dia habis menangis. Nggak ceria seperti biasa…
            “Kamu kenapa? Sakit? Ada yang dipikirin…”
            Aku menggenggam tangannya, dingin. Tatapannya membuatku iba. Kenapa nih anak.. Masih homesick pasti. Abis mudik lama, biasanya masih berat ninggalin mama papanya di rumah..
            “Masih kangen banget sama mama dan papa…” Dia bengong. Matanya berkaca-kaca…” Kenapa ya,  aku selalu nggak punya pilihan. Aku nggak bisa memilih tinggal di sini, selama liburan nemenin kamu… Aku juga nggak bisa memilih, tinggal di rumah selamanya nemenin mama dan papa yang makin tua…”
            “Oh kamu kepikiran mereka? Ya, sabar Nat. Tiap orang punya tugas masing-masing.  Ntar juga kalau kamu sudah sibuk lagi, kamu pasti bisa senyum lagi..”
            “Masih ada waktu? Masih bisa aku bikin orang yang aku sayang bahagia?” tanyanya sambil menunduk. Kupegang bahunya. Kugenggam tangannya yang dingin..
            “Udah jangan pikir macem-macem… Masih ada waktu pasti…” kataku. Dia berdiri, meninggalkan aku sendiri tanpa bicara apa-apa. Aku pun nggak berusaha mengejarnya. Mungkin dia masih capek. Biar dia ganti pakaian dulu, ntar juga balik nyamperin seperti biasa.
            Tebakanku salah. Hingga waktunya tidur, Natalie tidak muncul ke kamarku. Mungkin dia kecapekan. Kamarnya terkunci. Padahal biasanya, dia nggak pernah mengunci kamar, sehingga aku bisa langsung masuk.
            Pagi-pagi aku sudah dijemput Sasha , sahabatku waktu SMP yang ngajak reunian, sepedaan bareng temen-temen di bundaran HI. Sampai siang, baru aku pulang kelelahan. Ketika kulihat, Raisha yang kukenal sebagai sepupu Natalie yang kuliah di Jakarta juga, tengah membereskan barang-barang Natalie di kamar. Lho, Natalie kemana? Kok kayak mau pindahan kost aja…
            “Sha, kok beres-beres? Natalie mau pindah ke mana? Semalam dia nggak cerita apa-apa?”
            Raisya tertegun menatapku. Kantung matanya tebal dan hitam, sama dengan Natalie. Seperti kelamaan menangis dan kurang tidur. Dia memelukku, lantas menangis. Bingung aku.. Nih anak, kenapa lagi…
            “Kamu dimarahin Natalie? Kamu disuruh-suruh beresin ini? Kenapa sih? Cerita dong…”
            “Natalie sudah pergi, Sy… Waktu mudik kemarin, kendaraannya tabrakan di tol. Dia meninggal di tempat… Kami semua sibuk di rumahnya, sampai semua urusan pemakaman berakhir. Nggak sempat kabarin kost, karena kami juga tau kost kan kosong. Waktu kami telpon, pas nggak ada yang angkat. Hari ini saya dimintain tolong keluarganya, ambil semua barang Natalie yang masih tersisa. Mereka belum bisa datang sendiri kemari, karena masih berduka…”
            Aku terhenyak, jatuh terjajar di kursi yang biasa digunakan Natalie kalau lagi dandan. Semalam aku bicara sama siapa???  

Misteri 11 Januari



            Kebaya warna merah jambu itu masih tergeletak di tempat semula, kardus warna coklat bermotif batik. Nggak ada yang berani memindahkan atau mengambil dan membawanya pulang. Meski semua orang yang melihatnya pasti tau, itu baju mahal. Bahannya sangat halus, motifnya indah dengan jahitan sempurna. Pasti, perempuan yang mengenakannya akan terlihat makin cantik. Masalahnya, kebaya itu menjadi salah satu barang bukti tewasnya seorang pesinden lokal yang belum lama ini ditemukan, meninggal di kamar kontrakannya dengan kepala memar. Dugaan sementara, dia terpeleset, kepalanya jatuh menghantam meja hingga mengalami pendarahan di otak.
            Barang-barang di kamarnya,  masih rapi. Tumpukan kain, selendang  dan saputangan yang masih harum, tertata rapi di dalam keranjang plastik. Tempat baju-baju yang baru selesai disetrika. Beberapa kebaya juga masih ada dalam gantungan. Sementara satu buah kebaya merah jambu itu yang kelihatannya baru, alias belum pernah dipakai, masih terbungkus plastik dan diletakkan dalam kardus coklat bermotif batik. Nggak ada tanda-tanda kekerasan di dalam kamar, selain lantai yang lengket bekas gel rambut yang konon diduga sebagai penyebab Srintil, panggilan akrab sinden itu terpeleset dan meninggal karena luka dalam.
            Paling nggak enak ya begini ini… memiliki usaha kamar kost-kostan yang penghuninya kondang. Soalnya, baru meninggal saja sudah digosipkan macam-macam. Berulangkali aku musti menolak wartawan yang datang, ingin wawancara aku, maupun anak kost lainnya. Nggak etislah, menurutku Srintil yang tinggal di kamar paling ujung, dekat tangga yang menuju lantai dua, rumahku ini, dibilang simpanannya pejabat. Makanya dia dibunuh oleh istri tuanya yang cemburu. Lain lagi cerita wartawan yang dari tabloid hiburan. Dia mengatakan, Srintil memiliki banyak saingan. Wajar kalau salah satu di antara kompetiternya itu, sakit hati. Lantas menggunakan berbagai cara buat menyingkirkannya.
            Gila. Hari gini, semua orang membahas orang meninggal saja dengan berbagai versi. Hiperbola. Berlebihan, menurutku. Karena setauku, wanita yang berasal dari Purwakarta itu tidak memiliki musuh.  Srintil, pribadi menyenangkan. Periang, santun, tidak suka ngegosip, ringan tangan, dan gampang membaur dalam lingkungan mana pun.
            Ingat banget, waktu dia baru satu bulan datang ke kost, dia nggak segan ikut membantu Bik Atun, pembantu kost merapikan dapur. Kadang Srintil menemaniku berkebun, membuang ilalang dan daun-daun kering. Sesekali dia beri kami kejutan dengan gorengan pisang dan sukunnya yang enak. Entah, apa bumbunya. Tapi kalau dia yang bikin, pasti rasanya beda. Kata Srintil, mungkin karena menggorengnya memakai cinta. Duhhh…nih, anak…selalu saja bisa membuat kami, seisi rumah senyum.
            Meski perempuan, dia sangat mandiri. Sampai-sampai, mengutak-atik motornya yang ngadat atau mengangkat belanjaan segitu banyak, dia lakukan sendiri. Pernah, dia minta ijin aku, mau mengubah tata letak kamar, sekaligus warna cat dindingnya. Aku sih mengiyakan, karena kupikir malah bagus. Nggak perlu rehab dengan biaya sendiri. Pasti juga Srintil nggak akan repot, dia tinggal panggil tukang.
            Tebakanku meleset. Srintil ngerjain semuanya sendiri. Dua hari aku tidur di rumah mama, sehingga sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di kost-kostan. Siang itu, waktu kumasuk rumah, kedengaran suara berisik dari arah kamar Srintil. Gubrakkkkk! Klontangggg… Astagaaa. Apaan itu? Buru-buru kusamperin ke arah suara itu berasal, takutnya ada maling atau jangan-jangan Bik Atun yang lagi beres-beres trus jatuh. Dan…astagaaa… Aku nggak bisa menahan tawa, tapi juga kasihan begitu melihat ekspresi Srintil yang tengkurap di lantai, tertimpa tangga, sementara badannya berlumuran cat. Rupanya dia ancang-ancang naik tangga, mau ngecat kamar. Tapi entah gimana, dia terpeleset, tangganya ngejatuhin dia lengkap dengan kaleng cat yang dia gantungin…
            “Yahhh, mbak Jasmin. Kok malah saya diketawain??” Katanya polos. Ya, gimana nggak mau ketawa, ngelihat posisinya kocak abis. Buru-buru aku letakkan belanjaanku, lantas kubantuin dia bangun. Kamar yang katanya mau diperbaiki dan dipercantik, malah porak-poranda nggak keruan. Akhirnya, dia menyerah juga. Kami memanggil tukang, buat mengecat kamar dan membantu memindahkan perabot kamar, seperti yang diinginkan Srintil.
            “Maksud saya ngerjain sendiri kan lebih kreatif mbak… Hasilnya, bisa dimacem-macemin.  Nggak kaku, seperti kerjaannya tukang,” katanya ngeles, waktu kulihat kamar dia akhirnya rapi kembali.
            “Kreatif, kalau badan kamu biru semua, gara-gara jatuh dan ketimpa barang-barang gimana? Masih untung cuma benjol, kalau patah kaki, kesleo, gegar otak, kan bahaya…Seluruh warga Purwakarta bisa demo ke sini, nuntut mbak musti bertanggungjawab sebagai pemilik kost.”
            “Walahhh, jangan lebai gitu dong mbak…Masa sampai gegar otak segala, serem ahhh,” katanya sambil menggelendot, manja di pundakku. Srintil memang sudah seperti adik kandungku sendiri. Secara aku juga lahir sebagai anak tunggal, lantas dikasih wewenang mama buat ngurusin kost, sementara mama tinggal di rumahnya menjalankan usaha catering.
            Srintil sendiri yang kutau, dia bungsu dari 4 bersaudara. Beda usianya dengan kakak-kakaknya lumayan jauh, katanya sih tadinya orang tuanya yang pengusaha kripik itu sudah tidak ingin punya momongan lagi. Srintil ini hasil kecolongan. Makanya, dia manja banget. Pas di kost, ketemunya aku yang suka kesepian, karena nggak ada saudara. Ya, klop.
            Satu hal lagi yang kukagumi dari dia, soal suara. Suaranya memang bagus, bahkan boleh dibilang nggak kalah dengan penyanyi yang biasa muncul di televisi. Hanya soal keberuntungan saja, dia kalah. Makanya dia memilih menjadi sinden, khusus buat acara pernikahan, hajatan.
            “Susah ya mbak, cari uang di Jakarta. Musti pinter-pinter lihat celahnya, selain itu juga ngati-ati. Soalnya mencari orang yang tulus mau memberi kita pekerjaan halal, juga makin sedikit,” keluhnya, sore itu ketika kami sedang ngobrol di teras, sambil makan singkong goreng bikinan Bik Atun.
            “Ya, kerja apa pun nggak perlu malu kok, Sri. Yang penting, halal dan kamu juga tulus, senang ngejalaninnya…” kataku, sambil memperhatikan dia membetulkan kancing kebayanya yang copot.
            “Ntar kalau Sri terkenal, hidup sudah jauh kecukupan, nggak bakal lupain mbak deh. Kita masih bisa ngobrol bareng kan mbak…Trus jalan-jalan ke tempat bagus, nanti aku yang traktirrr hihihihi….”
            Perempuan ini memang polos, baik. Suka terharu aku, kalau dengar dia cerita. Gara-gara takut membebani orangtuanya, dia memilih menerima pekerjaan sebagai penyanyi kafe. Tapi nggak lama,…karena dia mengaku tidak suka tempat dia bekerja. Banyak asap rokok dan bau minuman keras, bikin dia sering sesak nafas. Kini, dia memilih bekerja sebagai sinden, khusus hajatan, kawinan. Ternyata rejeki memang sudah Tuhan yang atur. Dia nggak pernah kekurangan pekerjaan. Bahkan makin hari, jadwal manggungnya makin banyak. Sampai menolak-nolak, kalau jadwalnya bentrok.
            Rencananya mau kuliah lagi pun, tertunda. Srintil  bahkan sudah bergabung dengan sebuah Event Organizer (EO) besar, yang jadwalnya gila-gilaan. Lihat saja, kebayanya yang selama ini nggak lebih dari lima buah saja, suka dia bolak balik pakai lagi, sekarang sudah dua almari. Belum lagi pernik-perniknya. Selop cantik, asesoris anting, kalung, pelengkap kebaya, sampai sanggul tambahan, buat dia tampil. Karena aslinya, rambut Srintil hanya sebahu saja panjangnya.
            Senang. Bangga. Aku ikutan bahagia, melihat Srintil berhasil. Meski tidak jarang, aku suka wanti-wanti supaya dia berhati-hati. Namanya manusia, ngeliat barang cantik dan mulus seperti dia pasti tergoda. Apalagi Srintil dikaruniai kulit putih, tubuh proporsional, mata bulat dengan bulu mata lentik, leher jenjang,  dan hidung bangir… Sempurna. Giliran dia pakai kebaya, makin menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah, mmm… andai aku laki-laki, pasti juga sudah naksir berat.
            “Tenang. Jangan khawatir, mbak. Aku juga lihat-lihat kok, kalau klien macem-macem. Nggak pernah aku mau ikutan after party atau pesta yang diadakan abis acara pernikahan di tempat dugem, malam-malam pula. Aku juga kan nggak tahan, asap rokok, bau minuman…bisa muntah-muntah dan bengek aku, mbak…”
            Lega, aku mendengarnya. Hingga suatu hari, kulihat Srintil nggak ceria seperti biasa. Wajahnya murung, bahkan beberapa kebaya yang biasa dia gantung rapi, masih kelihatan berantakan di atas tempat tidur. Pintu kamarnya dia biarkan setengah terbuka, makanya nggak sengaja aku melihat semua ini, hingga membuatku ingin tahu, apa masalahnya…
            “Sri, kamu sakit? Kok pucat banget wajahnya…Bengong dari tadi, mbak perhatiin. Kamu nggak nyadar kan, mbak di depan pintu lamaan?”
            Sri diam, dia masih termenung, seperti memikirkan sesuatu. Omonganku pun kelihatannya nggak dia dengerin. Sampai akhirnya, aku duduk di sampingnya, dia tergagap kaget…
            “Mbak?? Kapan datangnya? Bukannya tadi mau nengokin mama mbak, trus nginap di sana?”
            Mata bulat itu berkaca-kaca. Kulihat, jemarinya yang lentik dan biasa menggunakan cat kuku warna soft itu, menggenggam amplop surat. Kelihatannya, surat itu yang membuatnya gelisah…
            “Kabar dari bapak ibu kamu? “
            “Nggak mbak…Ini hanya surat…” Suaranya menggantung. Aku memilih diam, nggak memaksa kalau dia nggak mau cerita. Mungkin saja, masalahnya terlalu pribadi. Jangan-jangan, dia mulai jatuh cinta nihhh..
            “Ini hanya surat dari temanku di Purwakarta. Dia mau ke Jakarta, nengokin aku…”
            “Lha, baguslah…Kenapa bingung? Mmm, teman spesial ya?”
            “Ah, mbak asal deh…Semua teman, spesial kok bagi Sri..” Wajahnya bersemu merah. Nggak salah lagi, pasti ini kaitannya sama cowok. Soal cinta.
            ‘Trus, kenapa? Biarin dia main ke sini…kenalin sama mbak, kali aja mbak bisa kasih pandangan buat kamu…Mungkin juga dia suka sama kamu atau sebaliknya?? Hayooo…”
            Srintil senyum. Mendung di wajahnya, nggak kelihatan lagi. Meski matanya masih menyiratkan, kebimbangan. “Dia sudah lama bilang, suka dan mau melamar Sri, tapi akunya yang belum bisa. Masih ingin bekerja, masih ingin bergaul dan mengenal banyak orang, mbak…”
            Oooh, itu ternyata masalahnya. Memang kalau di daerah, gadis seusia Sri itu sudah layak menikah, berkeluarga. Biasanya, perempuan urusannya di dapur dan ngurusin anak. Hari gini, adat seperti itu masih ada. Tapi Sri nggak mau mengalami nasib sama dengan perempuan di kampungnya. Dia masih punya tekad, menyelesaikan kuliah. Lantas bekerja kantoran…
*************
            Masalah Sri dengan teman lelakinya di desa dia, kelihatannya masih menggantung. Nggak jelas. Soalnya laki-laki yang bernama Bondan itu, ketika datang ke kost juga masih belum bisa menerima penolakan Sri, lengkap beserta alasannya. Mereka memang teman main sejak kecil. Bahkan kedua orangtua mereka pernah bercanda, ingin menjodohkan anak mereka. Mungkin karena itu pula, Bondan kepedean. Dia merasa, Sri pasti akan menjadi miliknya.
            Parahnya, pria anak pengusaha furniture itu playboy kelas kakap. Suka menggandeng perempuan, berganti-ganti.  Sisi lain dia juga posesif berat. Bondan nggak suka melihat Srintil menyanyi di depan banyak laki-laki, trus terima sms atau bbm dari pria, apalagi terima bingkisan. Maklum saja sebagai sinden acara hajatan, Sri sering memperoleh tips berupa uang, kadang barang tanda terima kasih.
            Pernah kejadian, Sri menerima tamu seorang laki-laki yang sebenarnya seumuran dengan ayahku almarhum. Beliau juga sangat santun, orang terhormat. Kedatangannya mau tandatangan kontrak dengan Sri, buat acara pameran kesenian. Apa yang terjadi? Bondan pas datang, nengokin Sri. Melihat tamunya itu, dia main hajar saja. Kerah baju itu Bapak, dia tarik dan hampir wajah bapak yang separuh baya itu kena bogem mentahnya. Sri sampai menjerit, ketakutan. Nggak puas itu saja, Bondan menarik tangan Sri, menyuruhnya masuk dan jangan keluar lagi, sampai Bapak itu pergi. Pulang.
            Keterlaluan memang. Nggak heran, kudengar dari Srintil dia minta putus sama tuh cowok, meski Bondan nggak langsung mengiyakan. Tapi Sri selalu menghindarinya. Entah telpon, bbm, sms, sampai kalau muncul ke kost pun, Sri nggak akan menampakkan batang hidungnya.
            Srintil memang sinden primadona. Belakangan juga ada dua cowok yang menunjukkan perhatian ekstra. Prabu dan Ihsan. Kedua-duanya bekerja di satu building yang sama, tetapi lain perusahaan dan profesi. Entah gimana ceritanya, mereka bisa mengenal Sri, hingga akhirnya suka muncul ke rumah.
            Senang aku melihat Prabu. Dia eksekutif muda, gayanya sangat laki-laki. Macho. Santun. Etikanya ada. Selain itu, kehidupannya juga kulihat sudah mapan. Terbukti dari dua mobil sedan yang sering dia pakai secara bergantian, waktu main ke rumah.  Beda dengan Ihsan yang agak temperamen, suaranya aja kenceng ketika bicara. Maklum, mungkin karena dia biasa memimpin proyek di lapangan… Soal masa depan, dia juga pria mapan. Meski kadang slonong boy, alias tata kramanya nggak ada. Suka urakan. Kata Sri, dulu memang Ihsan anak jalanan yang insaf, terus kerja kantoran dan sukses.
            Herannya, Sri malah kelihatannya lebih suka sama Ihsan yang temperamen, slebor ini. Alasannya sih, karena Ihsan mendapatkan semua miliknya sekarang itu dari hasil keringat dia sendiri. Pekerja keras. Beda dengan Prabu yang bapaknya juga punya posisi bagus di sebuah bank swasta. Jadi Prabu lahir dari keluarga yang punya fasilitas lengkap.
            Minggu pagi, kost sepi. Maklum liburan semesteran. Anak-anak kost di rumah ini, kebanyakan masih kuliah. Makanya sekarang pada mudik, kecuali Srintil  yang sudah bekerja. Kucari-cari Bik Atun nggak ada di belakang. Baru kuingat, semalam kupesan banyak belanjaan. Mungkin dia sudah berangkat ke pasar, takut kesiangan, ntar banyak barang habis. Kulihat Sri belum juga bangun, padahal matahari sudah tinggi. Tumben nih, anak…
            “Sriiii…udah bangun belum? Udah siang lho, ntar rejekinya kabur…” kataku, sambil mengetuk pintu kamarnya. Sepi. Nggak ada jawaban. Pintu kembali kuketuk, beberapa kali… Sama. Kuintip dari lubang kunci, ada kunci tertempel dari dalam. Artinya, di dalam ada orang dong… Kok Sri nggak bangun juga?
            Penasaran, aku ketuk pintu lagi, sambil memegang gerendel pintu. Lha, kok nggak terkunci? Taunya, kunci dari dalam itu hanya disangkutin, tapi pintu nggak dikunci. “Sri, mbak masuk ya…” kataku sekali lagi, sambil membuka pintu.
            Jleeebbb!! Jantungku mau copot. Kulihat Sri sudah terbujur dalam posisi tertelungkup di lantai, tidak bergerak sama sekali. Buru-buru kuhampiri dia, kubalikkan badannya… Wajahnya sudah pucat, membiru. Badannya dingin, kaku. Dahinya biru, lebam, seperti habis menghantam sesuatu. Hidungnya keluar sedikit darah, seperti orang mimisan. Aku panik. Tubuhku juga mungil. Ingin mengangkatnya ke kasur, nggak kuat. Kusambar saja handphone dia yang masih tergeletak di atas tempat tidur, lantas kuhubungi ambulance.
            Shock. Sri  dinyatakan sudah meninggal beberapa jam, sebelum aku temukan. Alasan sementara, pendarahan di dalam kepala, karena benturan keras. Memang, dahinya lebam, biru dan benjol besar. Dugaan lain, dia jatuh terbentur gara-gara terpeleset, ada bagian lantai yang licin seperti bekas gel. Waktu dicocokin memang gel itu biasa dipakai Sri buat merapikan rambutnya. Sisanya juga masih ada di meja rias…
            Sungguh, aku sangat terpukul. Sebagai orang yang ngerasa paling dekat dengannya selama di Jakarta, seperti kakaknya sendiri… dan aku orang pertama yang menemukan dia meninggal. Kenapa dia meninggalnya tragis begitu? Sri dimakamkan di kota kelahirannya. Sedih. Sepi, kost ini rasanya. Meski semua penghuninya sudah balik dari mudik, aku tetap merasa kehilangan.
****************
Sebelas Januari bertemu, menjalani kisah cinta ini
Naluri berkata engkaulah milikku. Bahagia selalu dimiliki. Bertahun menjalani bersamamu.  Kunyatakan bahwa engkaulah jiwaku

            Suara itu sepertinya aku kenal? Lagu 11 Januari-nya Gigi dinyanyikan begitu sempurna, tapi kesan yang menyanyikannya lagi sedih. Malam ini, aku tidak bisa tidur. Bulu kudukku belakangan suka berdiri. Tengkuk dingin. Beberapa kali aku mencium aroma parfum yang biasa dipakai Srintil atau lagunya Gigi itu dinyanyikan dengan nada lirih… Hiiiihh! Kata orang, sebelum genap 40 hari meninggalnya seseorang, dia masih ada di sekitar kita… Ah, aku nggak ingin parno. Takut sama takhyul…
            Tapi bener, belum sempat aku memejamkan mata…telingaku kembali berdenging. Seperti ada angin bertiup. Dingin. Lantas langkah kaki itu kedengeran begitu jelas, lewat depan kamarku. Siapa lagi, anak kost tengah malah lewat kamarku. Secara kamarku di ujung, bersebelahan dengan kamar Srintil. Kalau mau ke dapur kan arah yang berlawanan.
            Sreeekkk..sreeekkkk… Langkah itu terdengar lagi, lantas menghilang, bersamaan dengan suara pintu seperti ditutup. Blam! Pintu kamar sebelah??? Aku berjingkat, melompat dari tempat tidur. Gila. Mana mungkin ada orang masuk ke kamar sebelah. Kuncinya kan masih kusimpan. Nggak ada yang kuperbolehkan memindahkan barang-barang Srintil, karena aku sendiri yang ingin merapikannya.
            Gelisah. Takut. Meski mau tidak mau aku musti memastikan, bukan perampok atau pencuri yang masuk . Dueerrr! Pintu kamar Srintil berusaha kubuka, tapi…masih terkunci.  Trus siapa yang bisa membuka dan menutupnya lagi? Penasaran, pintu kamar itu kubuka. Lampu kunyalakan. Kosong! Nggak ada siapa-siapa. Aroma parfum Srintil kembali tercium, bulu kudukku berdiri…Ya Tuhan, aku musti berani. Toh selama ini, aku nggak pernah ngejahatin Sri.
            Kulihat baju kebaya Sri warna merah jambu yang masih baru dalam kardus kotak motif batik itu, masih di tempatnya. Hanya, tutupnya terbuka? Perasaan aku nggak pernah utak atik wadahnya. Aku duduk di meja rias Sri, memperhatikan perlengkapan make up-nya, ketika tiba-tiba kudengar lagu itu kembali ada yang menyanyikan. Lirih. Refleks aku melihat ke cermin di depanku. Dueerr! Lewat cermin aku melihat, seorang perempuan mengenakan kebaya merah jambu berdiri tepat di belakangku. Srintil!! Gelap. Aku sudah pingsan.
            Pagi-pagi, aku terbangun dengan badan mau patah. Tergeletak di lantai kamar Sri. Untung, anak kost nggak ada yang tau. Kalau nggak bisa heboh gosip macam-macam pula…  Bayangan semalam, kuanggap halusinasi. Hari itu juga kubereskan kamar Sri, sekalian biar ketakutanku yang nggak beralasan menyingkir. Sebuah kalender meja di meja riasnya juga kurapikan. Sempat kulihat, dia memberi lingkaran di angka 11, bulan Januari. Mm, sebuah kebetulan? Lagu 11 Januari dengan lingkaran di tanggal 11 Januari pula? Kuingat, dia nggak ulang tahun hari itu… Mungkin anggota keluarganya?
            Sore ini aku terhenyak kaget, ketika sejumlah petugas datang ke rumah. Lewat keterangan mereka, baru kutahu Srintil meninggal bukan karena jatuh tanpa sengaja. Tapi memang dibunuh. Prabu, laki-laki yang ingin menikahinya ternyata psiko. Dia kecewa, ketika tau Sri diam-diam menerima ajakan Ihsan untuk menikah 11 Januari nanti. Hajatannya sangat sederhana, hanya akad saja.
            Malam itu, ketika aku terlelap,  Prabu bertamu. Sri mengusirnya dan masuk ke dalam. Ternyata Prabu mengikuti masuk. Sri yang panik, karena seumur-umur tak pernah ada laki-laki diijinkan masuk ke kamarnya, mendorong Prabu ke luar. Prabu emosi, dia balik mendorong Sri dengan kerasnya sampai kepala cewek ini terbentur pinggir tempat tidur. Hingga akhirnya pendarahan dan meninggal di tempat. Prabu kabur.  Kasus ini sebenarnya nggak ada yang bakal tau, kalau saja Prabu tidak dikejar bayangan Srintil yang menuntut pertanggungjawabannya. Prabu sampai kebawa mimpi, bahkan seperti orang gila, kemana saja ketakutan. Dia melihat stafnya di kantor pun, serasa melihat Sri…
            Kasihan Srintil. Mimpinya bahagia di tanggal 11 Januari tidak kesampaian. Sejak Prabu menjalani hukumannya, aku nggak pernah terganggu lagi. Hingga malam ini, aku tengah menyeduh secangkir kopi sambil menyalakan laptop…kudengar samar-samar, seseorang nembang dari kamar sebelah. Lagu 11 Januari! (Ft: Berbagai Sumber)