Minggu, 08 Mei 2011

my chef



             Master Chef Indonesia : Juna Rorimpandey
         Jujur saja, gw lebih suka berburu kuliner enak daripada shopping baju atau asesoris, layaknya cewek pada umumnya. Nggak perlu musti resto mahal, tempat makan kaki lima pun oke. Western food sampai yang tradisional, seperti nasi liwet, gado-gado dan pecel, i love it… Secara nggak langsung, gw juga suka nonton acara kuliner, seperti ala maknyus-nya Pak Bondan Winarno, this is it-nya Farah Quiin atau hao che-nya ala Benu Buloe. Padahal aslinya, gw sama sekali tidak jago memasak. Asal bikin tumis atau rebus mie instant sih bisa…
Takjub juga dengan mereka yang menamakan dirinya “chef” dan punya program acara sendiri di televisi. Edwin Law, Farah Quinn, Marinka, Aryo, Rudy Choeruddin… Dulu banget, boleh dihitung siapa sih yang bisa gawangin acara masak memasak?  Kayaknya juga penontonnya dipastikan hanya ibu-ibu, mereka yang biasa harus menyiapkan hidangan untuk keluarga. Namun sekarang? Berbagai kalangan dan usia, nonton.
Surprise banget gw ketika muncul masterchef Indonesia. Sebenarnya acara ini sudah diselenggarakan di 20 negara, bahkan disiarkan juga di 145 negara lainnya, dan baru kali ini Indonesia (RCTI kerjasama dengan fremantlemedia) ikutan menggarapnya.  Komen pertama gw, dahsyat.
Property, kemasan acara, peserta, bahkan sampai juri atau chef masternya… Tiga karakter yang berbeda, chef master Vindex, Marinka dan Juna Rorimpandey, bagi gw pribadi (ntar ada nggak setuju) angkat ibu jari. Menariknya, peserta juga tidak “dimanjakan”. Gw jadi inget waktu perploncoan di kampus, pas ngelihat chef master Juna ngomentarin peserta. Waktu browsing background cowok bertato ini, … pengalamannya memang nggak main-main. Pantas, dia boleh galak, keras dan nggak punya ampun buat mereka yang masak “ala kadar”nya.
 Ala Chef: Farah Quinn
Boleh ditebak, acara masak memasak yang biasanya dianggap nggak masuk ke kalangan anak muda, sekarang tidak ditabukan. Bayangan chef identik dengan seragam putih-putih, tempatnya musti di dapur, nggak lagi. Mereka malah eksis dalam berbagai acara layaknya selebritis, packagingnya keren… Lihat saja Farah Quinn, Edwin Law, dan kini… Juna.  Hingga gw nyadar, gw nonton acara ini sebenarnya mau belajar masak atau pengen melototin chefnya? OMG… (Ft: berbagai sumber / I wish, gw bs wawancarai dia suatu saat nanti…)

KEPULANGAN RANI


        
           Pulang lagi? Nggak salah, tuh…Kalau kuhitung-hitung dalam dua bulan ini, hampir tiap minggu Rani mudik. Padahal tahu sendiri, jarak Jakarta-Surabaya lumayan jauh. Minimal bikin capek. Mondar mandir naik kereta api atau bis umum. Buat ukuran anak kost seperti kami juga boros. Entah mengapa, belakangan cewek berambut sebahu, berlesung pipit dan hidung mancung itu, suka banget pulang.
            “Nggak rontok badan kamu? Aku ngelihat kamu saja, capek banget. Lagian kita hampir ujian semesteran lho. Stamina bisa drop…” tegurku, sore itu ketika kulihat wajah cantiknya kelihatan pucat.
            “Thanks, Ut…Jangan khawatir, aku bisa jaga kondisiku. Mumpung masih ada waktu, sesering mungkin aku pengen nengokin keluarga di rumah.”
“Biasanya kamu sms atau telpon doang. Nggak sesering ini deh, mudik. Tumben…”
“Iya kan,  selagi aku bisa nengokin… Kita nggak pernah tahu, besok-besok bakal ada kejadian apa…Gempa, tsunami, perang…”
“Ih, kok serem amat sih omongan kamu? Amit-amit deh…Jangan aneh-aneh,” protesku. Jujur saja, aku suka phobia setiap mendengar berbagai bencana alam. Trauma, lebih tepatnya. Bayangan Mas Iqbal, kakakku satu-satunya yang tewas ketika membantu korban tanah longsor  tidak pernah bisa hilang dari ingatan. Bayangkan, siang itu aku masih sempat dia bawain ice cream sepulang dari mall. Malamnya keluarga kami menerima kabar, Mas Iqbal meninggal dunia.
“Tuh kan, bengong! Mikirin aku ya?” tegur Rani. Lamunanku buyar seketika. “Sudahlah, nggak usah dipikirin segitunya. Kalau capek, vitamin juga banyak macamnya. Ntar minum obat kuat…” candanya membuatku mau tidak mau, senyum juga.
“Janji ya, makanan dan vitamin dijaga. Ntar kalau sakit, gara-gara kecapekan aku jitak nih…”
“Janji!” Rani langsung memelukku, hangat. 
****
Home alone. Yup! Malam minggu ini, lagi-lagi aku musti tinggal sendiri di kost-kostan.  Penghuni kamar atas, mudik semua. Malena dan Aini satu lantai denganku, keluar sama pacar mereka masing-masing. Sementara Rani yang ngakunya mau ke Tanah Abang, mencari baju untuk oleh-oleh mudik, belum juga kelihatan batang hidungnya. Tuh anak, memang kalau sudah belanja suka lupa waktu… Bukan karena doyan ngeborong, tapi cewek manis itu gigih banget menawar. Dia bisa betah berjam-jam, beredar dari satu toko ke toko lain untuk mendapatkan harga yang diinginkan. Hebatnya selalu saja dia berhasil nego, beda jauh dibanding aku yang gampang nyerah.
“Udahlah Ran, kasih saja…Capek nih?!” 
“Enak saja…Kemahalan tahu! Nggak ah, kita cari di toko sebelah. Pasti bisa dapat lebih murah…” komennya suatu siang, ketika kami tengah mencari perlengkapan memasak. Eh, benar juga. Meski harus keluar masuk lima toko, akhirnya kami mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga jauh lebih murah.
            “Tuh kan, apa kubilang? Kamu sih, boros dan nggak tegaan…” ledek Rani, sambil mencibirkan bibirnya. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan cewek yang sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri itu.
 Ingat kejadian itu, aku senyum-senyum sendiri. Ada-ada saja… Tiga tahun lalu, ketika Rani pertama kali masuk kost ini, aku tidak pernah membayangkan bisa kompakan dengannya. Dugaanku cewek ini manja, sombong. Maklum, anak tunggal dari keluarga berada. Siapa sangka, dia sangat menyenangkan, ringan tangan dan teman curhat yang seru. Meski kami beda empat tahun, aku sudah bekerja di sebuah biro periklanan, sementara dia masih kuliah, obrolan kami selalu nyambung. Tiap weekend, kami biasa habiskan waktu bersama. Entah nonton film, berburu CD baru atau kuliner seru.
Masalah keluarga, cowok-cowok yang berusaha mendekatinya sampai dosen killer di kampus, salah satu bahan curhatannya. Sebaliknya, sebagai seorang kakak aku selalu berusaha menjadi pendengar dan penasehat yang baik. Soal dia mau ngelakuin saranku atau tidak, kembali terserah Rani. Untunglah tuh cewek pengertian dan kesadarannya, luar biasa.
“Soreeee….” Suara cempreng itu, membuyarkan lamunanku. Tanpa kusadari, Rani ternyata sudah duduk di depanku.
“Sore? Malam tahu…Lama bener belanjanya?”
“Nawarnya ribet. Banyak pedagang jual mahal sekarang. Sombong mereka, ngotot harga pas. Hari gini, pelit…”
“Kamu tuh yang pelit. Mana ada, penjual mau untung seminimalis mungkin,” kataku lagi, sambil menjewer telinganya. Rani terkekeh-kekeh, geli.
“Yah, maklumlah. Anak kost. Musti hemat! Nggak apa-apa, capek dikit tapi aku puas. Tadi dapat kaos lucu-lucu, boneka Upin Ipin buat keponakan dan baju untuk mama…” cerocosnya, sambil nyodorin seplastik kripik singkong pedas, kegemaranku.
“Tadi ngelihat camilan, sekalian beli…” katanya lagi. Duh, nih anak selalu saja ingat menyenangkan orang lain. Sayang banget, pagi-pagi besok dia mudik lagi. Kali ini dia bakal liburan di Surabaya, satu minggu. Artinya, hari-hariku bakal sepi lagi nih.
****
Parah! Lagi-lagi kompleks tempat aku tinggal, kena pemadaman bergilir. Batere handphone dan laptop drop pula. Padahal beberapa proposal penting yang musti dibahas besok di kantor, belum selesai aku revisi. Kok bisa ya, hujan lebat di luar sana dan gelap begini, tetangga kamar tertidur lelap semua. Aku paling nggak bisa, tidur tanpa kipas angin. Panas.
Braak! Astaga, suara apa itu? Nyaris aku melompat dari tempat dudukku. Suaranya berasal dari depan. Mungkinkah tadi ada yang lupa mengunci pintu? Jangan-jangan…
“Siapa ya?” tanyaku, ragu. Sambil membawa lampu senter, kuberanikan diri melihat siapa yang datang…Padahal jantungku berdebar kencang. Lidah rasanya kering dan kelu. Bayangan yang serem-serem sudah terlintas di benakku. Gimana kalau perampok? Atau…hantu? Hiiiih! Bulu kudukku meremang. Tiba-tiba saja, perasaanku gamang. Nggak enak. Angin dingin seperti dihembuskan di tengkukku. Tangan yang menggenggam lampu, bergetar hebat. Ya Tuhan…
            Seorang perempuan mengenakan cappucone dengan penutup kepala itu, berdiri tepat di depanku. Nyaris, lampu senter yang kupegang terlepas. Bibirku bergetar…
            “Siapa ya?”
            Sosok asing itu tidak menjawab. Gila! Jantungku berdetak makin kencang. Bisa-bisa, mati berdiri karena ketakutan…
            “Rani…Maaf kemalaman…”  Perempuan itu pun membuka penutup kepalanya yang basah, terkena hujan. Syukurlah! Rani?! Ngapain lagi tuh anak pulang malam-malam begini, nggak bilang-bilang. Perasaan kemarin sms terakhir, dia mengatakan memilih kereta malam dari Surabaya, biar sampai di Jakarta pagi.
            “Ampun Raniii…Hujan gede begini, kirain siapa…Jantungku sudah mau copot tahu! Kehujanan ya…Buruan ganti baju sana, ntar kubikinin susu coklat. Takut masuk angin.” Tanpa menunggu dia menjawab, buru-buru aku balik ke dapur untuk membuat susu coklat.
            Untung, listrik kembali menyala tidak lama setelah Rani datang. Kupastikan dia tertidur lelap di kamarnya, setelah itu kukembali sibuk dengan laptopku. Malam ini, pekerjaanku harus beres!
*****
            Benar-benar hari yang melelahkan. Pagi-pagi benar, sebelum seisi rumah jalan berangkat kerja atau kuliah, aku sudah berangkat ke kantor. Maklum, hari Senin. Pasti di mana-mana macet. Aku tidak mau, meeting hari ini terlambat lagi. Koreksian proposal semalam juga belum aku print. Bisa gawat, kalau sampai Pak Robby atasanku yang julukannya mr. perfect saking perfeksionisnya itu datang lebih dulu. Dia pasti langsung meminta laporanku.
            Sembari makan siang, kucoba menghubungi Rani. Rencananya ntar malam, aku pulang larut. Padahal dia suka menungguiku, kadang malah menyediakan minuman hangat dan camilan. Memang cewek itu sayang dan perhatian banget. Pantas kan, sebaliknya aku juga menyayangi dia seperti adikku sendiri.
            Heran. Beberapa kali kutelepon, tapi nada HP-nya tidak aktif. Nggak biasanya. Mungkin dia lupa ngecharge HP atau lagi ke kamar kecil? Ah, sudahlah. SMS saja, ntar dia juga pasti baca.
            Terlalu banget, atasanku ini. Koreksian dariku, bukannya memperoleh pujian tapi justru tambahan peer. Artinya, aku benar-benar pulang larut. Ffuih! Ya, beginilah resikonya memperoleh kepercayaan dari boss.
            Nyaris tidak ada waktu buat ngobrol dengan Rani. Sampai rumah, kulihat kamarnya tertutup. Pasti dia sudah tidur kelelahan, setelah kemarin pulang kemalaman dari Surabaya. Ya, sudahlah. Setelah mandi dan minum secangkir coklat hangat, aku pun terlelap dalam mimpi.
*****
            Busyet! Pagi-pagi berisik banget sih…Nggak tahu, orang lagi enak-enaknya tidur.  Aku mengucek mataku yang masih berat. Suara gaduh di depan, benar-benar membuatku terbangun. Padahal rencananya hari ini aku ijin, datang agak siang ke kantor. Sejak semalam, badanku panas. Kepala seperti mau pecah. Mungkin kecapekan dan masuk angin.
            Kuambil perlengkapan mandi, lantas dengan berat hati keluar kamar. Apa boleh buat, tanggung… Kalau sudah bangun, aku sulit tidur lagi.
            “Hei, Ut…kamu semalam pulang jam berapa? Kami nggak ngelihat kamu balik…” tegur  Malena, teman kost ketika melihatku keluar dari kamar. Kulihat, wajahnya juga masih kusut masai. Kelihatan dia belum mandi…
            “Ya, Ut. Banyak kerjaan. Kok berisik banget sih, pagi-pagi di depan…Ada apaan sih?”
            Wajah Malena, pucat. Matanya berkaca-kaca. Tangannya yang bergetar, mengusap-usap bahuku. Kelihatan banget, dia seperti orang tengah berduka…
            “Tabah ya, Ut…Jangan kaget. Sabar, ikhlas…Kami semua juga sedih, apalagi kamu sahabat terdekatnya…” ucapnya, setengah berbisik. Suara Malena parau dan terbata-bata, membuatku makin bingung…
            “Apaan? Jangan bikin cemas dong…”
            “Rani…. Rani, Ut… Sahabat kita satu kost…”
            Aku menggeleng-gelengkan kepala, nggak ngerti. Memang sih, semalam aku belum sempat ketemu Rani. Kulihat dia sudah tidur duluan. Kamarnya terkunci….
            “Iya,kenapa Rani….”
            “Rani meninggalkan kita semua, Ut… Keluarganya baru sempat memberitahu, dua hari yang lalu, sebelum ke stasiun kereta untuk balik ke Jakarta, dia terserempet bis. Luka-lukanya sangat parah, hingga tidak terselamatkan. Dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.”
            Blarrr! Kepalaku berdenyut, pusing. Dua hari yang lalu, Rani pulang ke kost-an tengah malam, saat hujan deras dan lampu mati. Kami memang tidak sempat ngobrol apa-apa, karena kulihat dia pucat, kecapekan. Benarkah itu kepulangannya yang terakhir? Mataku berkunang-kunang. Sebelum akhirnya tubuhku limbung, ambruk ke lantai.(ft: berbagai sumber)

OLD MELBOURNE GAOL


              Bayangan orang tewas digantung saja, sudah seram. Apalagi tempat yang biasa digunakan sebagai rumah tahanan ini biasa mengeksekusi tahanan di tiang gantungan. Konon pembunuh serial legendaris yang diduga Jack the Ripper pun tewas mengenaskan di sini. Beruntung sekali, saya bisa berkunjung ke sana…

            Dingin. Entah mengapa, bulu roma saya langsung berdiri begitu masuk ke bekas rumah tahanan yang  lokasinya ada di Russel Street, Melbourne ini. Aroma tanah lembab, menusuk indra penciuman. Jantung berdetak cepat, ketika tangan saya meraba dinding-dinding bata, pintu bergerendel dari kayu dan besi setengah berkarat yang dibiarkan sesuai aslinya. Kengerian dan kebekuan itu, benar-benar terasa sejak awal kita melangkahkan kaki ke dalam bangunan yang mulai dibuka 1 Januari 1845 dan kini beralih fungsi menjadi museum itu.
            Old Melbourne Gaol kelihatannya memang seperti rutan biasa. Hanya dua lantai, sederhana. Tapi jangan salah, begitu masuk ke lantai dasar saya bisa merasakan kengerian masih menghantui siapa pun yang datang. Kanan kiri kita, sel-sel berisi dipan kayu yang sangat sempit. Sekitar dua kali dua meter. Konon, penjahat kambuhan harus melakukan aktivitas sehari-harinya di sel mereka masing-masing, termasuk keperluan pribadi seperti buang air. Hihhh!
            Pantas… mereka banyak yang stress. Nggak jarang, mereka yang melawan atau berbuat kesalahan selama dalam sel, memperoleh hukuman ekstra. Saya bisa melihat, kengerian itu makin terasa ketika menginjakkan ke lantai dua. Selain sel di kanan kiri jalan, sudut bangunan terdapat tempat untuk menyiksa dan menghukum gantung tahanan. Banyak pembunuh dan perampok kambuhan, dihukum gantung di tempat ini. Tiang gantungan yang terbuat dari kayu jati sederhana dengan talinya, masih ada lengkap… Bbbrr, buru-buru langkah saya percepat. Berusaha mengejar rombongan tour yang ada di depan sana…Nggak, nggak boleh sampai tertinggal sendiri.
Perasaan gamang, campur was-was membuat saya merasa ada yang mengamati gerak gerik rombongan kami sejak masuk tadi. Gemerincing gerendel pintu yang terbuat dari besi, ketika coba dibuka oleh salah satu anggota rombongan, membuat hati semakin giris. Astaga… jantung rasanya mau copot. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki, jangkung dan kekar muncul di depan kami. Wajahnya tidak bisa dikenali karena mengenakan baju dan penutup kepala yang terbuat dari kulit.
“Hannnn…Hanntuuuu!” teriak Anna, salah satu sahabat saya. Kaki kami bergetar, hebat. Ingin berlari keluar, tapi rasanya kaki ini dibebani oleh puluhan ton baja. Berat!
 Laki-laki itu maju selangkah ke depan, lantas membuka topengnya. Ampun! Dia tour guide kami. Dasar!
Usut punya usut, kostum yang beliau kenakan sebenarnya replika dari kostum yang biasa digunakan Ned Kelly, seorang penjahat legendaris dari Australia yang dihukum mati di Melbourne Gaol. Konon saking legendaris “karya” Ned Kelly, kisah hidupnya sampai diangkat ke layar lebar. Nggak hanya Ned Kelly, pembunuh serial Frederick Bailey Deeming juga dihukum gantung di sini. Total ada 135 orang digantung di Melbourne Gaol.Tahanan pertama yang digantung Elizabeth Scott, seorang wanita asal Victoria. Dia dieksekusi 11 November 1863. Orang terakhir yang digantung di Melbourne Gaol, Angus Murray tahun 1924, bertepatan dengan ditutupnya penjara ini. Seremnya lagi, tubuh tahanan yang dihukum gantung dimakamkan tanpa kepala, karena kepala-kepala itu digunakan untuk bahan praktek mahasiswa kedokteran yang belajar tentang phrenological. 
Sebelum Perang Dunia II, penjara ini sempat ditutup tahun 1924. Lantas pemerintah setempat mengubah fungsinya menjadi museum yang sekarang kami kunjungi. Mereka ingin menunjukkan data siapa saja tahanan kelas berat penghuni Melbourne Gaol, termasuk kapan dan bagaimana proses eksekusi mereka berlangsung.
Mengingat banyaknya jumlah orang yang meninggal, penasaran, beberapa paranormal memastikan museum ini masih dijadikan “tempat tinggal” mereka yang rohnya masih bergentayangan. Banyak kejadian di luar akal sehat sering ditemui di tempat ini oleh para petugas jaga atau peserta tour yang “beruntung”. Mereka sering mendengar suara-suara aneh di sekitar sel, seperti rintih kesakitan, tangis putus asa dan teriakan orang sedang marah.
 Kostum replika Ned Kelly bisa dicobain lho...

KORBAN MELBOURNE GAOL
Edward Kelly
            Pembunuh berdarah dingin keturunan Irlandia yang lahir Juni 1855 ini, sebenarnya dianggap pahlawan rakyat kecil ketika terjadi perang melawan penjajah. Saat Ned Kelly panggilan cowok ini masih sangat belia, dia sudah terlibat bentrok dengan polisi Victoria tahun 1878. Tawuran itu menyebabkan Kelly dan genknya dicap sebagai pemberontak.  Puncaknya ketika pecah kerusuhan di Genrowan, 28 Juni 1880. Kelly yang suka mengenakan baju terbuat dari kulit dan metal lengkap dengan penutup kepala itu pun tertangkap dan langsung dijebloskan ke penjara. November 1880, Ned Kelly pun dihukum gantung di Old Melbourne Gaol. 

Colin Campbell Ross
            Pemilik sebuah bar ini divonis bersalah, karena telah memperkosa dan membunuh seorang bocah perempuan berusia 12 tahun, Alma Tirtschke Desember 1921. Kasusnya dikenal dengan nama the Gun Alley Murder. Jelas saja, pembunuhan keji itu membuat masyarakat setempat marah. Mereka mendesak kepolisian menghukum Campbell dengan hukuman mati. Benar saja…April 1922, tepatnya 115 hari setelah jenasah Alma ditemukan, Campbell dihukum gantung di Melbourne Gaol. Tragis…Kabarnya tali yang digunakan untuk menggantung, sudah terlalu tua. Laki-laki ini tidak langsung meninggal di tempat. Dia meregang nyawa, lebih dari empat puluh menit tergantung-gantung di tiang gantungan sebelum akhirnya benar-benar tewas. Sejak kejadian itu, tali gantungan diganti baru dan tali yang lama tidak pernah digunakan lagi.

Frederick Bailey Deeming
            Laki-laki kelahiran 30 Juli 1853 ini, sejak umur 16 tahun sudah terlibat berbagai tindak kejahatan, terutama mencuri dan penggelapan uang. Dia dianggap bertanggungjawab atas kematian istri pertamanya, Marie dan empat anaknya di Rainhill, Inggris 26 Juli 1891. Nggak hanya itu saja, Bailey juga membunuh istri keduanya Emily di Windsor, Melbourne 24 Desember 1891. Tiga bulan setelah kemudian jenasah beliau baru ditemukan. Bailey pun akhirnya dijatuhi hukuman gantung, Mei 1892. Jelang eksekusi, masyarakat yang marah dan menjuluki Bailey sebagai Jack the Ripper memadati jalanan di depan Melbourne Gaol untuk memastikan laki-laki ini benar-benar sudah tewas di tiang gantungan.  (big thanks to Aneka Yess! Magz yg membuat saya bisa ke Melbourne. I'll never forget it....)

PESAN PENGHUNI TERAKHIR


           
            Sempurna! Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri di depan laptop, membayangkan ekspresi ketakutan pembaca novel keduaku. Kali ini tokohnya seorang gadis usia belasan yang sudah menjadi mesin uang bagi ayah tirinya. Dia dijual ke beberapa lelaki hidung belang, termasuk tunangan dia yang ternyata juga doyan main perempuan. Meski dalam kondisi sakit pun, Gina musti meladeni laki-laki. Hingga suatu malam, ayahnya menemukan dia tewas mengenaskan, karena melompat dari lantai dua tempat mereka tinggal selama ini. Kepalanya retak, sebagian besar  tulang rusuk dan kakinya patah.
            Hanya selang sehari setelah kematian Gina yang tidak wajar, berturut-turut lelaki yang pernah menyiksa Gina tewas mengenaskan. Mulai dari tunangannya, pelanggan di kafe tempat mereka biasa “transaksi”, hingga sang ayah yang berhati culas itu. Mereka ditemukan dengan kondisi menyedihkan. Ada yang kena aliran listrik  kantor tempat mereka bekerja, tertimpa papan reklame saat mobil mereka melintas, sampai ada yang terhimpit mobil pengangkut semen yang tiba-tiba remnya blong. Proses kematian mereka kubuat mengerikan. Ketegangan demi ketegangan kurangkai sedemikian rupa, hingga seakan penonton melihat tayangan filmnya.
            “Gila kamu ya…Ngeri banget, cerita-cerita kamu. Gue sampai terbayang-bayang, hingga kebawa mimpi! Kok bisa sih, Tan…Memang, kamu nggak takut sendiri?” komen Tika, salah seorang temanku terheran-heran. Aku hanya bisa tertawa lebar, melihat sahabatku waktu SMA itu geleng-geleng kepala. Soalnya nggak hanya dia saja yang komentar seperti itu…Teman-teman kuliah, redaktur dari penerbit yang mengedit tulisanku, sampai Nino laki-laki yang dua tahun ini menjadi pacarku, juga ngomong sama.
Jujur saja. Sebagai penulis, kepuasan tersendiri bagiku mampu mengaduk-aduk emosi mereka. Apalagi bisa membuat mereka ketakutan, bahkan kalau bisa sampai terbawa mimpi. Entah mengapa, sejak awal aku menyukai cerita-cerita horor yang bikin jantung siapa saja berdebar-debar.
Tulisan pertama yang kubuat waktu masih kuliah, ternyata membuat Bimo teman satu angkatan sampai phobia dengan kamar kecil di kampus kami. Gara-gara aku menceritakan kisah seorang gadis yang tewas, ketika berusaha menggugurkan kandungannya di kamar kecil sebuah kampus ternama. Cowok bertubuh tambun yang biasa cuek dan murah tawa itu, tiba-tiba saja menjadi pendiam selama beberapa hari. Jelas saja, kami teman-teman satu angkatan terheran-heran. Kocaknya lagi, ketika dia ketahuan minta ditemani ke kamar kecil. Astaga…Mahasiswa setua ini masih takut ke kamar kecil sendiri? Belakangan baru kutahu, dia suka kebayang-bayang sosok menakutkan di toilet kampus, setelah membaca ceritaku yang dimuat di sebuah surat kabar.
Perasaan bersalah, tapi juga bangga menghantuiku. Bangga, karena itu artinya cerita yang dibuat alur cerita dan penokohannya kuat, sampai-sampai pembaca seperti Bimo, bahkan teman-teman lain yang akhirnya ngakuin, terbawa suasana. Ngerasa bersalah, sebab secara tidak langsung aku membuat hidup Bimo tidak tenang. Untung, cowok itu bisa menghilangkan rasa takutnya…meski akhirnya dia tidak pernah berani lagi membaca karya-karyaku. 
            Ffuih! Jari-jari yang sudah beberapa jam menari-nari di atas keyboard, pegal juga. Kulirik jam di dinding, hampir pukul enam sore. Artinya aku harus buru-buru mandi, editing terakhir naskahku, sebelum besok mengirimkannya ke redaksi sebuah penerbitan yang selama ini selalu memuat cerita yang aku buat.
            Bbbrr.. Air yang menyembur dari shower, membuatku bergidik kedinginan. Memang nggak biasanya aku mandi sampai sore begini. Kalau pun kemalaman, pasti aku biasakan menggunakan air panas. Sambil bersenandung kecil, aku meraba-raba ke kotak sabun, berusaha meraih sabun cair beraroma  lavender,  kesukaanku.  Mmm, botol sabun berhasil kuraih. Tapi, begitu kutuang sabun cair yang biasa kugunakan, mengapa…Astaga…Wanginya terasa berbeda.  Anyir… bikin mual! Mungkinkah salah ambil atau sabun ini kadaluarsa? Kubuka mataku perlahan, …telapak tanganku… merah!   Tangan ini penuh dengan cairan berwarna merah kehitaman, menyerupai darah… Lagi-lagi baunya…
            Glek. Aku nyaris muntah. Buru-buru kubilas air. Tangan ini kugosok sekuatnya, sampai terasa pedih dan perih. Nggak, nggak boleh takut…Itu hanya halusinasiku. Kebanyakan lembur, bikin cerita horor, batinku berusaha menghibur. Sayangnya, ketakutanku bukan makin hilang tapi makin menjadi ketika kurasakan ada sesuatu yang tengah merayap di pundakku. Geraknya begitu lamban, tapi terasa liat dan licin.
Aku melompat jijik, sambil berusaha mengibaskan badanku agar benda asing itu jatuh.  Ampun…Tubuhku terpelanting, nyaris terbanting ke lantai kamar mandi. Lupa kalau lantai begitu licin. Tangan kanan pun menghantam sisi wastafel, hingga sakitnya terasa sampai ke ubun-ubun. Kulihat sekilas di cermin, tak ada apa-apa di pundakku. Benda asing itu juga tidak ada di lantai. Entah, apa wujudnya dan ada di  mana sekarang. Tanpa berpikir dua kali, kusambar handuk, lantas kulilitkan ke badanku sebisanya dengan tangan bergetar. Sepi! Keluar dari kamar mandi yang langsung terhubung ke kamar, kurasakan kesunyian yang amat sangat. Nggak ada siapa-siapa…
            Ah, sudahlah. Halusinasi jangan ditanggapi…Aku hanya bisa meringis, melihat tangan kanan lebam kebiruan.  Pasti aku tadi memikirkan naskah ceritaku yang akan datang, sampai-sampai kebawa mimpi. Sekilas kulihat dari jendela, keadaan di luar sudah gelap. Guntur juga terdengar berulangkali…Tanda malam ini bakal hujan besar…
            Tangan kanan yang lebam, kuolesi balsem sebisanya. Lantas, kunyalakan kembali laptop. Kelihatannya aku perlu menambahkan sedikit catatan buat tokoh utamanya, selain beberapa koreksian di bagian saksi mata. Biar hasilnya sempurna, batinku.
            Air mata Gina tidak berhenti mengalir, ketika dia menatap wajahnya di depan cermin kamar. Pucat. Lusuh. Pipi kirinya membiru. Bekas tamparan salah satu laki-laki hidung belang yang  kemarin malam menyusup ke kamar, atas ijin papa tirinya itu masih terlihat jelas. Tangisnya kembali pecah. Tubuh mungil itu limbung…Keseimbangannya goyah. Sembari bertopang pada dinding, Gina melangkah ke arah jendela kamar yang terbuka. Hanya dalam hitungan detik, tubuh sempurnanya melayang jatuh…
            Duh! Listrik mati… Aku nyaris melompat dari kursi, kaget sendiri. Tanggung banget. Lagi asyik mengedit tulisan sendiri, lampu mati pula. Untung, batere laptop masih full sehingga kamar tidak gelap gulita. Tapi ya tetap saja…mood-ku sudah hilang. Lebih baik kunyalakan lilin dulu, sebelum melanjutkan pekerjaanku.
            Hanya dengan mengandalkan layar HP, kucari-cari lilin di dalam lemari. Aih…ketemu juga. Lumayan. Kamar ini tidak segelap tadi. Minimal, aku bisa menyelesaikan editanku…Kembali aku duduk di depan laptop dan …Astaga! Ketikanku sudah terhapus, tepat saat kematian Gina…Ah, mungkin tadi tanpa sengaja kepencet keyboardnya. Buru-buru berusaha kucari copy file-nya…Tetap saja, tidak bisa. Bahkan kini, laptopku ngadat. Hang! Nggak bisa diapa-apain…
            Nyaris putus asa! Laptop kututup, kuhempaskan tubuhku di tempat tidur. Benar-benar, aku menyerah. Nggak mungkin juga memaksakan ngerjain editan, ketika lampu mati dan otakku juga ikutan kacau. Konsentrasi buyar…
            Bippp… Ada telephone masuk. Kulihat sekilas dari LCD Hp, mmm…mama!
            “Ya, ma…” sahutku berat, sambil memeluk bantal…
            “Tan, kok lesu banget suara kamu? Baik-baik saja kan?” Suara mama di seberang, nadanya khawatir…
            “Mmm…nggak apa-apa, ma. Hanya listrik mati…Intan lagi kesal saja, karena nggak bisa nyelesaiin kerjaan…”
            “Ya, sudahlah. Sabar saja… Memang listrik di rumah baru kita ini, suka mati-mati kalau hujan deras. Mama hanya mau bilang, pulang agak malam. Ntar dianterin Tante Rini, teman arisan mama. Soalnya mendadak diajak nengokin teman sakit.”
            “Beres, ma…”  Jawabku lemas, sambil mematikan HP. Bener juga kata mama, rumah yang baru kami tinggali dua bulan ini memang berulangkali mati lampu setiap hujan gede. Sebenarnya aku lebih nyaman dengan kontrakan kami yang dahulu, jarang mati lampu dan mungil, sehingga tidak repot membersihkannya. Tapi bagaimana pun, kata mama tetap lebih enak rumah sendiri. Ya! Hasil kerja keras mama dan aku digabung dengan deposito peninggalan papa almarhum, menghasilkan rumah ini…
            Hujan masih mengguyur Jakarta. Malam ini, aku tertidur kelelahan. Sampai-sampai tidak sadar, pukul berapa listrik menyala kembali.
*****
            Pagi yang sempurna. Meski jam di dinding kamar masih menunjukkan pukul tiga pagi, aku sudah duduk manis di depan laptop.  Editan naskah semalam yang tertunda gara-gara listrik mati, musti beres kalau tidak mau kena omel editorku hari ini. Beberapa halaman awal kubaca lagi… Perfect! Karakter tokoh, alurnya sudah enak. Tapi kenapa di bagian ketika perempuan malang itu bunuh diri, terhapus?
            Ya ampunnn… Keringat membanjir. Nggak hanya satu dua baris saja, hilang. Beberapa bab penting, lenyap. Kucoba mencarinya di folder lain, tetap sama. Tidak ada jejaknya! Ggrh…mau tidak mau aku mencoba mengulang beberapa bagian yang kuingat. Selebihnya, benar-benar mengarang bebas. Untung instingku di saat terjepit begini, selalu cepat tanggap. Kata-kata bisa mengalir begitu deras, kalau sudah terjebak yang namanya deadline.
            Hanya butuh dua jam saja, editing dua bab terakhir dari novelku berhasil kuselesaikan. Kulihat jam di dinding. Lumayan, masih ada kesempatan buat tidur sebentar barang satu dua jam…lantas ke kantor penerbit yang akan menerbitkan novelku. Mataku langsung terpejam, begitu mencium bantal. Pulas!
            Sesuai rencana, naskah yang sudah kupindahkan dalam flashdisc kuserahkan Mas Priyo, redakturku. Kelihatannya dia lagi tegang, selesai meeting dengan pihak managemen. Buktinya, dia tidak banyak senyum dan bercanda seperti biasa, setiap kali melihat aku masuk ke ruang kerjanya…
            “Udah beres, Tan? Kamu sudah koreksi lagi, sebelum kamu serahkan sama saya?” tanyanya, sambil membuka laptopnya. Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung meneliti isi flashdisc yang kubawa. Sebentar-sebentar matanya mengeryit, lantas terbelalak…Kelihatan banget Mas Priyo bisa mengikuti alur cerita yang kubuat…
            “Gimana mas? Saya tunggu koreksian mas langsung atau saya tinggal?” tanyaku, hati-hati. Mas Priyo menggeleng-gelengkan kepala, tiba-tiba tangannya mengacak rambutnya sendiri yang kriwil hingga makin kusut masai…
            “Waduhhh…Kamu nggak teliti lagi, Intan. Ngerjainnya sistem kebut semalam ya?” tegurnya, serius.
            “Nggak, mas… Kenapa? Alurnya nggak asyik ya mas? Atau tokohnya…”
            “Bukan..Bukan itu…Sepertinya ada satu atau dua halaman, terlewatkan deh.”
            “Ah, masa mas? Saya sudah edit ulang kok?”
            “Lihat saja sendiri, … Ketika tokoh Gina tewas. Tiba-tiba saja dia tewas, tapi tidak kamu jelaskan penyebabnya…Gimana jalan ceritanya, sampai dia bisa ditemukan meninggal.”
            Nafasku tercekat. Lidahku kelu. Astaga! Masa bagian itu hilang lagi… Mas Priyo menyorongkan laptopnya ke depanku. Benar. Terasa banget ada beberapa bagian yang tidak nyambung, karena ceritanya terpotong tiba-tiba…
            Aku tertunduk lesu. Nggak bisa bicara apa-apa lagi. Ngeles atau ngotot pun, percuma. Karena Mas Priyo paling tidak suka dibantah, apalagi kalau buktinya jelas-jelas ada.
            “Ya sudahlah, kamu bawa saja lagi flashdiscnya. Saya beri waktu dua hari dari sekarang, karena besok saya ke luar kota. Tapi saya minta, rapi dan sempurna ya…Jangan ulangi lagi, kesalahan serupa,” tegur bapak dari dua orang putra itu, berat. Aku hanya bisa mengangguk lesu, sebelum pamit dan berlalu dari ruangan beliau… Duh, apes banget hari ini!
*****
             Hujan lagi? Oh, no… Nyaliku sudah menciut duluan. Kebayang, andai listrik mati. Sementara pekerjaanku masih numpuk. Belum lagi wajah Mas Priyo editor killerku itu pasti semakin bengis…Hiiihhh!
            Mmm, sampai di mana aku tadi ya…Mataku yang minus ini meneliti halaman demi halaman, hingga tiba-tiba…
            Blam! Gggrh, bener kan…Lampu mati. Untung aku sudah menyediakan beberapa batang lilin, sehingga tidak perlu meraba-raba dalam gelap. Cukuplah dengan penerangan lilin dan batere laptop yang masih full, kuselesaikan beberapa paragraf yang hilang. Tapi…astaga, laptop ngadat lagi…
            Bener-bener mau menangis rasanya…Kesal dan kecewaku menggunung. Andai saja kami tidak pindah ke pemukiman yang suka mati lampu ini…
            Bbbrrr… Udara dingin terasa berhembus di tengkukku. Jendela kamar berderak tiba-tiba, seakan angin kencang di luar sana ingin menerobos masuk. Hujan memang begitu deras malam ini. Kurapatkan jaket yang membungkus tubuh mungil ini, tapi tetap saja dingin itu terasa menusuk tulang. Heran…Nggak biasanya aku menggigil, kedinginan. Kulihat jam di dinding menunjukkan angka sepuluh. Kelihatannya mama sudah tertidur dari sore tadi. Kasihan, beliau kecapekan setelah bekerja seharian.
            “Intan…” Dahiku berkerut, heran…kompakan dengan bulu kudukku yang berdiri. Siapa yang memanggilku? Kulihat sekelilingku yang gelap gulita… Tak ada siapa-siapa. Mungkinkah mama terbangun?
            “Mama ya?” tanyaku, lirih.
            “Intan… Tolong Intan….” Suara itu? Tubuhku bergetar hebat. Gigiku seperti beradu, mulut seperti terkunci. Ingin teriak, tadi suara ini hanya tercekat di tenggorokan saja. Kelihatannya suara itu, bukan suara mama…
            “Siapa ya…” Kulihat sekeliling kamar yang tetap sama…Gelap. Tak ada siapa-siapa. Suara jendela yang berderak, terdengar makin kencang hingga bikin berisik. Sendi-sendi kakiku lemas rasanya…Akal sehatku hilang. Padahal biasanya aku paling bisa menakut-nakuti orang lewat cerita-ceritaku…
            “Intan…” Jari-jari lentik itu tiba-tiba terasa begitu dingin, memegang bahuku. Nyaris, aku melompat pingsan!
            “Kamuuuu….!!!!”
            “Intan, ada apa nak?” Kuperhatikan lagi, pemilik suara yang kini sudah tepat berdiri di sampingku. Astaga…Benarkah itu mama? Untung, beliau tidak tahu kalau aku nyaris mati berdiri karena takut hal-hal yang berbau hantu, dedemit dan sejenisnya. Andai mama tahu, pasti habis aku diledeknya…Masa penulis kisah horor penakut?
            “Ah, mama…Ngagetin aja. Tadi kebangun ya, ma?”
            Mama mengangguk, lantas duduk di sampingku. Kuperhatikan samar-samar dengan bantuan cahaya lilin, mama memang tampak lelah. Matanya cekung, tatapannya seperti kosong dan raut wajahnya lebih pucat dari biasanya. Kasihan beliau… Pasti menanggung banyak pikiran..
            “Sudah selesai pekerjaan kamu, Tan? Gimana akhir ceritanya…?”
            “Sebenarnya sudah ma…Tapi beberapa kali, ada bagian yang terhapus dan musti dibenerin…”
            “Termasuk kisah tokoh utamanya? Siapa tuh namanya, Gita…Gina ya?? Dia bunuh diri, terjun dari lantai atas atau dibunuh sih, Tan?”
            Aku mengerutkan dahi, heran. Wah, mama kritis juga… Memang selama ini, sebelum ke penerbit biasanya mama ikutan membaca ceritaku, tapi tidak biasanya beliau berkomentar kritis begini. Benar juga ya…Andai aku kembangin ceritanya, kalau Gina ternyata dibunuh kan lebih seru…
            “Wah, mama hebat… Idenya keren, ma… Nanti Intan mau ubah sedikit bagian terbunuhnya Gina. Makasih banget ya, ma…” kataku sambil memeluk mama. Wanita separuh baya itu hanya senyum simpul, sambil geleng-geleng kepala melihat gayaku masih kolokan.
            “Ya sudah, mama tidur dulu ya…” Mama pun meninggalkan aku yang serasa energi baru. Apalagi tidak lama setelah mama tidur, listrik pun menyala kembali. Dan jari-jariku kembali menari di atas keyboard laptop…
********
            Siang ini, pulang dari menemui editorku kulihat mama tengah duduk di teras depan bersama seorang wanita sebaya beliau. Beliau langsung memberi kode, agar aku duduk bersama mereka…
            “Intan, kenalkan ini Bik Mimin… Dulu pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah ini, sebelum akhirnya kita beli…” jelas mama. Wanita yang disebut Bik Mimin itu langsung menjabat tanganku, santun…
            “Ya, mbak…Mbak Intan kan? Tadi ibu sudah cerita…” katanya lirih, sambil menundukkan wajahnya. Hatiku langsung tersentuh. Kelihatannya wanita ini memang datang tidak hanya untuk bertamu, tetapi membutuhkan pertolongan.
            “Begini, Tan…Bik Mimin ingin bekerja di rumah kita. Kebetulan kamu dan mama kan sibuk, lumayan kan ada yang membantu…”
            Wah, bener juga. Bik Mimin juga tidak sekedar membantu merapikan rumah, tetapi juga bisa menjadi teman ketika aku sendirian di rumah. Seperti sore ini, ketika mama belum pulang… Kisah hidup beliau ternyata seperti sinetron. Sungguh menyedihkan, tinggal sebatang kara. Anak tirinya yang sejak balita diasuh, sekarang sama sekali tidak perduli. Hanya  majikannya alias pemilik rumah kami sebelumnya yang sudah memperlakukan dia layaknya ibu kandung sendiri…
            “Iya, mbak Intan…Nyonya rumah ini dulu baik sekali, sampai-sampai bibik diperlakukan seperti keluarga sendiri. Sayang sekali, hidup beliau juga menderita…Bahkan lebih mengenaskan daripada bibik…Sedih deh, mbak kalau inget itu semua…” curhatnya sambil menyusut air mata yang tiba-tiba berderai…
            “Lho, kenapa bik? Suaminya selingkuh? Atau…dia sebatang kara juga?”
            Bik Mimin menggeleng. Tangannya yang mulai keriput itu, kelihatan gemetar.
            “Nyonya meninggal dalam usia muda, mbak…Kata orang-orang, bunuh diri...”
            Deg. Jantungku serasa mau copot. Bunuh diri? Kok seperti kisah-kisah horor yang sering kubuat…Di rumah inikah??
            “Bunuh diri, Bik? Di rumah ini? Kok kami tidak tahu…”
            “Ya, mbak…Beliau ditemukan meninggal di halaman samping, kondisinya mengenaskan. Tapi…tapi sebenarnya bukan karena bunuh diri, bibik tahu…Nyonya didorong tuan dari balkon…”
            Astagaaa… Aku nyaris tersedak. Kok serba kebetulan… Tokoh ceritaku kutulis bunuh diri, ternyata mama kasih ide dia dibunuh…
            “Ma…Kok mirip sama ide mama semalam ya…” Mama memandangku, terheran-heran.
            “Ide apa? Mama nggak tahu….Bukannya semalam listrik mati? Mama malas bangun, terus saja tidur sampai pagi…”
            Kutatap mama, lekat-lekat. Tak ada kebohongan di sana. Artinya, semalam wanita yang kuanggap “mama” itu siapa? (ft: berbagai sumber)