Selasa, 19 Juli 2011

penunggu DANAU



          Ramalan? Nonsens. Omong kosong. Nggak percaya!  Meski teman-teman di kantor bilang, madame yang membuka stand di bazaar amal itu terkenal jago membaca keberuntungan seseorang. Andai bisa menebak setiap kejadian, berarti dia juga bisa memperkaya dirinya sendiri dong… Ikutan kuis atau pasang nomer undian misalnya? Pasti dia tahu, angka berapa yang akan keluar. Ngapain capek-capek ngeladenin banyak orang buat diramal?
“Gila ya, hari gini masih percaya ramal meramal…Kamu tuh, sarjana lulusan Aussie tapi masih aja memperhatikan hal kayak begituan… Konyol, tahu!” protesku, tajam. Jujur saja, aku tidak suka Siska sahabatku sejak kecil mengambil nomor, buat mengantri masuk ke tenda sang madame.
“Udahlah, Dit…Negative thinking nggak baik…Hitung-hitung buat lucu-lucuan saja kok, aku pengen tahu peramal itu beneran bisa ngeramal nggak. Bagusnya aku dengerin, jeleknya aku cuekin. Gampang kan…”
“Tapi ntarnya, kamu bakal mikirin itu terus…Susah banget sih diomongin!” Tanpa sadar, nadaku meninggi membuat Siska pucat pasi. Kasihan. Gara-gara ada masalah di kantor dengan beberapa klien, aku jadi emosian gini. Siska tidak salah…
Kutarik Siska menjauh dari tenda, lantas kami duduk berdua di bangku sebuah kafe tenda. Wajah cewek di depanku itu masih kusut masai. Kelihatan banget, dia ngerasa kikuk dan gerah dengan kelakuanku tadi…
“Soriiii…Aku bener-bener minta maaf, tadi emosi. Masalah kantor siang ini, membuat emosiku nggak bisa dikontrol. Tahu sendiri kan?”
Siska mengangguk, sambil mengaduk segelas cappucino yang baru saja kami pesan. Tangan kirinya masih menggenggam nomer antrian, sesekali tatapannya tak lepas dari tenda sang madame. Dasar. Masih juga penasaran tuh anak…
“Oke…oke… Aku nyerah deh, kalau kamu mau nyobain ke sana. Jangan diam gitu dong, aku kan ngerasa bersalah…”
“Bener! Aku mau ke sana, tapi sama kamu…Iseng saja yuk, buat seru-seruan saja. Nomerku ada dua nih, tadi kuambilin satu buat kamu sebelum kamu datang lantas nyerocos dan marah-marah…” Siska menunjukkan dua nomor di tangan kirinya itu…
Ampun deh. Ngerasa bersalah dan tak ingin mengecewakan cewek berambut ikal sebahu dengan mata bulat itu, aku pun mengekor saja ketika dia menarikku ke arah tenda. Nggak apa-apa deh, buat ngilangin suntuk…
Entah kenapa giliran Siska keluar dari tenda, aku menjadi mati rasa. Grogi. Bingung. Ragu. Beneran nih, pengen minta diramal? Apa yang musti kutanyain? Kenaikan jabatan atau gaji? Atau masalah jodoh yang belum ketahuan juga…
Aroma cendana langsung tercium, ketika aku masuk ke dalam tenda. Sebuah meja beralaskan kain hitam, bola kristal, beberapa kartu Tarot yang terserak di meja membuat jantungku berdebar kencang. Konyol banget. Mengapa harus takut? Kenyataannya, aku memang bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Keringat menetes di kening…Rasanya ada banyak mata mengamati dari seluruh sudut tenda, apalagi ketika paranormal atau madame yang sudah sejak tadi duduk di depan meja memandangku dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Gila. Pandai banget dia mensugesti orang, hingga baru ketemu saja sudah ngeri bawaannya? Tapi sungguh….nggak seperti acara ramal meramal di mall, lucu-lucuan dan seru. Kesan yang kutangkap, beneran serem. Sampai-sampai aku belum juga bisa menyebutkan, apa yang ingin kutanyakan…
“Tenang…Kamu nggak perlu sebutkan, saya tahu bahaya mengincar keselamatanmu. Sebaiknya jaga setiap ucapan dan kelakuan kamu di tempat yang baru kamu kunjungi. Mereka tidak suka, melihat kehadiranmu di sana. Kalau lengah, kamu bisa…” Wanita separuh baya berpakaian gypsi itu mengocok kartu, lantas mengaturnya sedemikian rupa di atas meja. Sebuah kartu dia ambil, bertuliskan Death alias kematian…”Kamu akan celaka!”
Deg! Jantungku mau copot. Bisa saja madame ini ngomong…Meski aku pernah ngotot tak percaya ramalan, entah kenapa omongan wanita tua ini membuat aku merasakan ketakutan yang amat sangat.
“Ada yang mau jahatin saya? Orang kantor? Sahabat terdekat atau teman jauh? Saya celaka karena apa?”
“Bukan orang terdekat, bukan juga dari kantor kamu…Ada…ada satu kejadian yang bikin kamu bisa celaka. Perhatikan itu! Ingat tempat-tempat yang kamu kunjungi..” Belum sempat aku bertanya lagi, madame itu sudah memberi kode agar aku keluar. Huhh..pelit bener datanya. Bagaimana aku bisa tahu, bahaya apa yang mengancamku?
Konyol banget Siska. Gara-gara ngikutin kemauannya masuk tenda ramalan, sekarang aku ketakutan begini. Belum jelas juga sih, siapa yang berani mengancam dan membahayakan nyawaku. Ah, peduli amat…Paling juga bohongan, batinku berusaha cuek.
*******
 Cuti bersama? Asyiiiikkk…. Artinya, rencanaku liburan bareng Siska kesampaian juga. Meski nggak bisa ke Bali karena kehabisan tiket, Siska pun mengajak aku ikut liburan bareng Dante dan Danar, dua kakak kandungnya ke Jawa Barat…
“Ikut ya, Dit…Mas Dante udah nanyain mlulu tuh. Kita bakalan bikin tenda di dekat danau. Lupa namanya, tapi pernah digunakan buat syuting film…Bagus kok, aku pernah lihat di filmnya…”
“Film drama? Tumben, kamu melankolis gitu?” ledekku siang itu, ketika kami tengah menikmati makan siang di kantin kantor.
“Enak saja…Film horor tahu! “
Glek. Suapanku terhenti. Nggak salah nih cewek, memilih rujukan tempat karena pernah dijadikan tempat syuting film horor? Ya, biar aku tomboy tapi soal perhantuan begitu paling males.
“Tenang saja. Kan kita bawa dua bodyguard. Mas Dante dan Mas Danar…” katanya, seakan tahu apa yang kupikirkan. Pikir-pikir ngapain juga musti takut. Namanya kan hanya dijadikan lokasi buat syuting film horor, nggak berarti tempatnya serem kan… Buktinya, begitu kami tiba di lokasi, otakku langsung segar kembali.
Indah banget danaunya! Belum tercemar. Pohon rindang dan hamparan rerumputan di sekeliling danau yang kelihatan tenang dan jernih airnya itu. Udara pun begitu dingin, mengingatkanku pada kawasan wisata di Puncak atau Bromo.
 “Banyak penginapan di sekitar sini, meski nggak sekelas hotel berbintang. Tapi lumayan kan, keren tempatnya. Rencananya kita bakal pakai tenda saja…Anggap saja piknik, berkemah seperti jaman kuliah dulu,” kata Dante, ketika melihatku tak henti-hentinya mengambil gambar dengan kamera saku yang kubawa.
            “Bagus bangettttt! Siska nggak cerita, tempatnya sebagus ini…Tahu gitu, pasti sudah sejak lama liburan ke sini saja. Nggak masalah kok, nginap di tenda,” kataku sambil mencubit pipi temben Siska yang baru saja merapikan bawaan kami di mobil.
            Malam pertama, memang sungguh dingin. Nggak sangka, aku yang paling suka dingin pun bisa menggigil. Padahal sudah mengenakan kaos dobel plus jaket. Belum lagi, perut setengah melilit. Mungkin efek dari makan malam tadi. Aku kalap menghabiskan sambal mangga sendirian, padahal kata Siska pedasnya minta ampun…Tapi selesai numpang ke kamar kecil milik penduduk, ternyata sakit perutku bukan karena sambal. Aku baru ingat, kemarin sebelum berangkat hari terakhir datang bulan. Ternyata masih belum bersih benar, karena tadi celana dalamku masih terdapat bercak darah hingga musti kuganti.
            “Gimana, Dit? Masih melilit? Gara-gara sambal tadi ya…” tanya Siska, ketika melihat aku belum juga tidur.
            Aku menggeleng. Malu. Andai Dante dan Danar tahu…Malu! Aku sengaja memilih diam, apalagi Siska kan suka usil dan keceplosan. Celana dalamku yang kena bercak darah itu aku bungkus dengan plastik hitam, lantas kulemparkan ke rimbunan semak dalam perjalanan kembali ke tenda. Paling juga, nggak ada yang tahu…Malas banget membawa cd kotor …Ntar kan bisa beli lagi, batinku.
            “Tidur saja yuk, aku nggak apa-apa kok,” kataku sambil buru-buru mengambil posisi tidur. Siska yang kelihatannya sudah ngantuk banget, nggak banyak bertanya lagi. Dia langsung terlelap, begitu kepalanya mencium bantal.

            Minggu pagi, mustinya hari yang menyenangkan bagiku. Ngumpul lagi bareng keluarga kecilku, setelah kemarin berlibur ke danau bareng Siska, Dante dan Danar. Tapi nyatanya, balik-balik badanku demam. Kepala berat, berdenyut, menyakitkan. Mama khawatir, aku kena demam berdarah. Maklum, kalau siang suhu badan normal. Namun jelang magrib, hingga malam suhu tubuhku mendadak tinggi. Obat pereda turun panas pun sudah kuminum, tapi tak ada gunanya. Hingga hari kedua, mama mengajakku ke dokter, sekaligus test laboratorium.
            Hasilnya? Negatif. Bukan demam berdarah, tipes atau sejenisnya yang membahayakan. Dokter bilang, aku hanya kecapekan dan banyak pikiran saja. Musti santai dan istirahat. Tapi hingga obat penenang dan vitamin dari dokter habis, demamku masih saja tinggi. Makin hari, menurut mama yang sering menunggui aku tidur, sikapku juga makin aneh. Suka meracau atau mengigau, seperti orang ketakutan. Kadang aku teriak sendiri, lantas menangis… Masa sih? Aku sendiri nggak nyadar…
            Belakangan baru kurasakan, sakit anehku ini sangat mengganggu. Tiap tidur, badanku selalu meriang dan panas. Mama sampai menyediakan kompres, tapi tetap saja percuma. Aku juga sering dihantui mimpi buruk. Rasanya tengah berada di sebuah kastil atau istana kecil dengan banyak anak tangga. Pintu-pintu dan semua perabotnya dari kayu berukir, kuno dan tua sekali kesannya. Entah di mana aku berada, tapi setiap aku mencoba keluar dari rumah itu dengan menuruni anak tangganya, aku tetap tidak bisa menemukan lantai dasarnya. Ya! Seakan tangganya begitu banyak, tanpa akhir!
            Kondisiku makin drop. Nggak bisa berpikir jernih, karena setiap pagi pasti terbangun dengan badan menggigil. Semua energiku seakan habis terkuras tiap malam, dalam mimpi-mimpi panjangku. Tak jelas, kenapa setiap malam selalu dihantui mimpi yang sama… Mama sudah berulangkali membawaku ke dokter, bahkan psikolog karena khawatir aku stress akibat pekerjaan…Nyatanya, mereka semua tidak menemukan penyebab penyakitku…
            Siang itu, Siska muncul di rumah. Pasti dia kehilangan aku, entah berapa lama aku absen nggak ke kantor. Jangan-jangan, dia datang untuk menyampaikan kabar boss memecatku? Ternyata sahabatku itu datang dengan seorang laki-laki, setengah baya yang dia bilang pernah menolong ayahnya saat ditimpa kemalangan. Kemalangan apa? Aku tak perduli. Akal sehatku sudah nggak bekerja lagi…Aku mirip orang linglung. Hanya bisa senyum, ketawa dengar cerita Siska,  tapi sebenarnya tidak bisa mencerna semua yang dia omongin.
            Tatapanku nanar. Tak jelas lagi apa yang dilakukan laki-laki setengah baya itu. Sepertinya dia membacakan doa, lantas mengangsurkan segelas air putih yang sejak tadi dia pegang sebelum masuk ke kamarku.
            “Minum ya, Dit…Moga kamu bisa baikkan…” kata Siska, sambil membantuku meminum air putih itu. Dingin. Air yang menyiram kerongkonganku kurasakan begitu dingin, seperti air es. Perutku mendadak seperti berontak, tapi Siska membantuku seakan setengah memaksaku menghabiskan semua isi gelas itu.
**********
            Aroma roti bakar, menusuk indra penciumanku. Pasti mama sedang menyiapkan sarapan pagi. Buru-buru aku mandi, lantas menyusul mama ke dapur…Heran! Mama kok segitu kagetnya, melihatku. Sendok yang beliau gengam pun sampai terjatuh, hingga menimbulkan suara berisik…
            “Kamu sudah baikan? Syukur…Sarapan yuk sama mama?” Wanita yang sangat aku cintai itu tiba-tiba memelukku dan menangis. Pusing. Kenapa mama musti menangis…
            “Mama aneh deh, pagi-pagi heboh gini…Sarapan pagi, komplit banget. Kenapa mama musti nangis tadi?” tanyaku, setelah kami duduk bareng dan menikmati roti bakar buatan mama.
            “Kamu nggak sadar, selama ini apa saja yang sudah kamu alami? Kamu sudah bangun dari tidur panjang nak…Mama takut, takut kehilangan kamu!” tutur mama dengan nada terbata-bata. Baru kutahu, ternyata aku memang benar-benar nyaris mati karena kecerobohanku juga.
            Peringatan dari madame gypsi yang kutemui, kuacuhkan. Nyatanya ketika berlibur ke danau, aku sudah melakukan kesalahan besar dengan membuang  cd dengan bekas darah kotor di sembarang tempat. Padahal daerah danau biasanya banyak bersemayam jin atau makhluk halus sejenisnya. Mereka marah dengan kekurangajaranku, hingga akhirnya “menempel” mengikutiku sampai pulang ke Jakarta.
            Konon tanda-tanda seseorang ketempelan makhluk halus ya berawal dari demam biasa, lantas meningkat sampai terbawa mimpi.  Solusinya ya musti didoakan dan bapak tua yang diajak Siska ke rumah itu berhasil meminta makhluk yang ngikutin aku itu pergi. Sungguh, gara-gara kejadian itu aku sangat berhati-hati setiap berkunjung ke tempat-tempat wisata atau alam terbuka. Karena layaknya bertamu, musti sopan dan tidak mengotori tempat kita bertandang.(ft: berbagai sumber)

Ground Zero



             Bocah laki-laki berambut pirang, bermata kecoklatan itu bener-bener menggemaskan. Berulangkali dia mencuri pandang dari balik tubuh mamanya yang tambun, bikin aku pengen menghampiri dan mencubit pipi kemerahan itu. Sayang, kelihatannya mereka terburu-buru. Sepasang suami istri separuh baya dengan baju pantai, bermotif bunga-bunga warna cerah menghampiri mereka dan mengajaknya beranjak, meninggalkan coffe shop ini. Matahari Bali memang belum tinggi…Kesempatan buat turis seperti mereka untuk berbelanja atau main ke pantai. Fuiihh, senangnya! Nggak seperti aku yang datang ke Legian, karena ditugaskan perusahaan tempat aku bekerja. Artinya, nggak ada banyak waktu buat shopping, apalagi ngerasain ombaknya pantai.
            “Pilih penerbangan terakhir saja dari Jakarta, ntar baliknya juga sama. Kamu bisa hemat waktu. Rabu pagi, laporannya sudah ada di meja saya ya…” pesan Pak Andry, atasanku. Mmm, enak saja dia ngomong. Hanya diberi waktu dua hari saja untuk pulang balik Jakarta, Bali. Memang sih, tugasku hanya mengecek dua butik milik perusahaan yang baru dibuka setahun di daerah Nusa Dua dan Legian. Tapi bukan berarti, nggak diberi kesempatan buat cuci mata dong. Jauh-jauh datang ke pulau dewata itu, kalau tidak menikmati suasananya, rugi banget.
            “Silahkan, ibu…”  Seorang pramusaji coffe shop meletakkan seporsi omelet yang tadi kupesan. Aromanya begitu menggoda…Perut pun langsung berontak, minta segera diisi. Sarapan pagi yang sempurna. Omelet plus segelas kopi.  Sesekali pandanganku menyapu ke sekeliling coffe shop hotel yang lumayan ramai. Waktunya orang-orang makan pagi.
            Daddy…Please wait for me…” teriak seorang bocah perempuan, berambut blonde. Rambutnya dikepang kecil-kecil, banyak. Dia kelihatan tengah mengejar laki-laki yang dipanggilnya dengan sebutan ayah. Nggak lama, beberapa anak muda sebayaku ikutan bergabung, lantas mereka beranjak pergi. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri, melihat keriuhan di pagi hari ini.
            Enjoy banget,  liburan bisa dihabiskan bersama keluarga dan teman-teman terdekat. Orang bule memang pandai banget memanfaatkan waktu luang mereka. Sehabis bekerja keras,  mereka tidak segan menggunakan tabungan mereka buat traveling. Kubaca lagi beberapa catatan penting di laptopku. Lantas buru-buru kumatikan, beranjak meninggalkan tempat itu. Kerja…kerja…kerja!
            Meeting dan checking butik cabang di Nusa Dua siang ini, berakhir menyenangkan. Orang-orang yang bertugas di sana, tahu tanggungjawabnya. Mereka begitu detail dan rapi, menyusun neraca rugi laba, presentasi hasil promo tiga bulan terakhir ini, sampai mengajukan usulan produk yang lagi trend saat ini. Kupikir, aku bakal disuguhi basa basi nggak penting dari mereka yang gila hormat. Nyatanya, nggak… Pak Nyoman dan Ibu Wastu penanggungjawabnya, begitu profesional. Mereka tidak segan mengkritik rencana kantor pusat, kalau memang tidak sesuai dengan kondisi daerah mereka. Bagus juga…
Beres sidak ke Nusa Dua, jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lebih baik makan malam di hotel saja. Badanku rasanya rontok. Capek. Ozon makin menipis kali, seharian di luar sana tubuhku seperti terbakar. Panas. Heran tuh bule-bule, mereka bukannya bersyukur tinggal di negaranya yang dingin, malah cari terik matahari ke Indonesia.
Brakkk! Kaki ini menyenggol pot tanaman, hingga terguling gara-gara mendadak menghindari sepasang bule yang melintas dekat kolam renang, jalan menuju restoran hotel ini. Astaga. Mungkin ngantuk, mataku sudah tidak bisa fokus lagi. Niatku mau minta maaf, takut mereka marah…Eh, belum sempat ngomong, pasangan ini sudah melenggang pergi, seakan tidak terjadi apa-apa.
Makan malam kali ini, kutuntaskan dengan cepat. Bantal dan kasur empuk begitu menggoda dari tadi. Sebelum balik ke kamar, masih sempat berpapasan dengan rombongan bule. Kelihatannya mereka mau dugem, kelihatan dari pakaian yang dikenakan. Tapi…astaga! Sebuah dompet nyaris terinjak kakiku.  Jangan-jangan milik salah satu dari mereka. Buru-buru kuambil dan berbalik, mau memanggil mereka kembali. Blasss! Lho, kok nggak ada? Cepet banget sih, mereka pergi? Terpaksa kutitipkan ke receptionis, karena kucari-cari mereka juga sudah tidak ada di lobi.
**************
Capek banget! Pinggang rasanya mau patah, mondar mandir Nusa Dua-Kuta di mobil seharian saja bikin pegel. Kalau kuceritakan hal ini pada Dweko, teman sekantor. Pasti dia ngeledek…”Faktor U tuh, Win! Usia…” Dasar. Ngantuk yang tadinya menyerang, malah hilang. Bolak balik di kasur, mataku belum juga bisa terpejam. Ingatan melayang ke mana-mana. Urusan butik di Legian, laporan keuangan sampai rencana renovasi halaman belakang rumahku yang berulangkali terbengkalai.
“Ting tong! Ting tong!”
Aku menajamkan pendengaran ini. Nggak salah, itu suara bell kamar? Perasaan nggak order makanan, ngapain malam-malam ada petugas roomservice? Malas banget. Tapi bell kembali berbunyi.
“Ya, siapa?” tanyaku, sembari membuka pintu. Kosong! Tak ada siapa-siapa. Kulihat lorong kanan dan kiri kamar, sama. Sepi. Hanya kulihat dua orang anak muda, berambut gimbal, berjalan sempoyongan ke ujung kamar di lantai ini. Pasti mereka habis dugem, minum-minuman keras…
Nyebelin banget. Bel pintu nggak hanya sekali berbunyi. Tiga kali! Tiap kali kulihat, sama. Nggak ada siapa-siapa. Jangan-jangan korslet  atau rusak, hingga berulangkali bunyi. Terpaksa istirahatku terganggu. Kupanggil petugas hotel untuk memeriksanya, tapi kesimpulan mereka belnya baik-baik saja. Ya, sudahlah. Mungkin halusinasi saja. Moodku sudah drop banget. Nggak bakal bisa tidur deh, bete begini. Kuambil jaket, IPad dan dompet, lantas keluar kamar. Niatnya turun ke lantai bawah, buat sekedar mencari udara segar.
Gara-gara terlalu serius mikirin pekerjaan, sampai-sampai aku tidak sempat memperhatikan ada apa saja di hotel ini. Nyatanya, kafe di bawah menyediakan music live, ruang karaoke, bahkan ada layanan internet 24 jam. Kupilih duduk di sudut kafe, lantas mulai menyalakan IPad.
“Kursi ini kosong?” sapa seorang laki-laki separuh baya dengan aksen Indonesia yang terpatah-patah, sembari menunjuk kursi di seberang mejaku. Mmm, sekilas kulihat dia bersama satu rombongan. Memang kursi di meja sebelah kurang. Aku tersenyum, mengiyakan. Lantas kembali asyik dengan IPad lagi. Giliran kuingin memesan minuman lagi, mereka sudah tidak tak ada di sana.
Wisawatan asing banyak banget di hotel ini, dibanding turis lokal. Beberapa kali aku sempat berpapasan dengan wisatawan beraksen Perancis, Belanda, bahkan British di jalan, dekat taman menuju ke kamar. Seperti pasangan suami istri ini, mereka begitu enjoy menikmati malam ini, sampai jalan pun nggak perduli dengan orang di depannya. Nyaris mereka menabrak aku, padahal sudah berusaha minggir…
“Excuse me…” tegurku, sambil berusaha menepi. Busyet. Cuek bener. Nggak minta maaf atau ngomong apa kek, ngeloyor saja mereka…pas aku balik badan, mereka sudah tidak ada!
  Beneran nggak punya tata krama, gerutuku. Tapi langkahku terhenti, ketika sampai di depan sebuah pohon kamboja…Seorang wanita berjalan terhuyung-huyung, limbung.  Kelihatannya dia mabuk. Tapi kok suaranya mengaduh, seperti orang kesakitan. Tangannya menutup wajah. Bercak darah terlihat di sela jari-jarinya. Astaga. Wanita itu berdarah? Jangan-jangan dia habis jatuh atau kecelakaan…
Aku mencoba mendekati, bermaksud menolong. Tapi dia tidak memperdulikanku, terus saja jalan sampai dekat tikungan jalan, menuju cottage di samping taman. Lantas, hanya dalam satu kedipan mata, dia menghilang! Kugeleng-gelengkan kepala. Pusing. Sadar banget, wanita itu melewatiku dengan ekspresi kesakitan,  lantas dia sembunyi ke mana?
“Mas, tadi ada turis lewat. Kelihatannya dia kesakitan,  tolongin dia mas…kok jalannya cepat banget…” laporku, ketika seorang petugas hotel, lewat. Laki-laki itu pun buru-buru mengejar ke arah wanita itu menghilang… Ah, kasihan. Kali saja aku bisa membantu…
Kejadian malam itu membuatku tidak bisa tidur. Bayangan darah dan ekspresi kesakitan itu, masih teringat jelas. Mungkinkah dia korban penyiksaan suaminya, seperti di koran-koran belakangan ini?
Keletihan yang amat sangat, sampai-sampai aku tidak lagi perduli ketika bel pintu berbunyi dua kali. Paling juga petugas kebersihan, malas banget. Kulihat jam di pergelangan tangan, masih pukul enam pagi. Ntar agak siangan saja, aku bangun dan turun ke bawah untuk sarapan pagi.
Meeting hari kedua, memuaskan. Kupikir,  Pak Andry juga akan menyambutku dengan senyum lebar. Dan lagi-lagi, aku musti masuk hotel lewat magrib. Nggak sempat jalan ke mana-mana. Boro-boro shopping, melihat sekeliling hotel saja nggak. Padahal katanya, hotelku ini di pusat keramaian. Maklum, jalan masuk ke hotel lumayan dalam dari jalan utama.
            Nasi campur Bali lengkap dengan sate lilit, kupesan buat menu makan malam kali ini. Sengaja, kupilih tempat duduk dekat kolam renang. Hingga aku bisa makan, sambil melihat orang lalu lalang. Suntuk banget rasanya, seharian menghadapi setumpuk laporan. Butuh refreshing!
            Lho, laki-laki itu? Aku nyaris tersedak. Dua cowok sebaya denganku, kelihatan tergopoh-gopoh melewati jalan di samping kolam renang. Baju mereka kelihatan kusut, seperti tercabik-cabik. Buru-buru banget, sampai nggak peduli orang di sekitar mereka. Perhatianku tertuju pada lengan mereka. Jelas banget, seperti ada bekas-bekas bilur luka dengan darah kering di sana-sini. Astaga…Perutku mual seketika. Aku memang paling anti, ngelihat darah…Sepertinya bilur-bilur itu makin jelas dan jelas…Buru-buru kubuang pandangan ke lain arah, lantas menyeruput  lemon tea yang tadi kupesan. Ketika pandanganku kembali ke mereka, dua cowok itu tak ada lagi!
********
            Puas banget, pagi ini bisa bangun tepat waktu. Rasanya nggak sabar, membayangkan Jakarta kembali.  Semua perlengkapanku sudah siap di lobi, menunggu jemputan mobil untuk ke bandara. Masih satu jam lagi…Lumayan, buat jalan ke depan. Kata petugas hotel, keluar  saja ke depan sudah jalan besar dan berderet toko di sana…
            Panas. Untung masih pagi… Benar juga, keluar dari jalan utama ke hotel, sudah jalan besar. Kanan kirinya langsung kafe-kafe dan toko-toko souvenir. Satu yang menarik perhatianku, kok ada monumen tepat di seberang sana? Baru sadar itu kan monumen buat memperingati korban bom Bali, tepatnya di ground zero, Kuta. Kabarnya banyak banget turis asing dan lokal yang menjadi korban, bahkan ada di antara mereka tidak berhasil ditemukan jenasahnya karena hancur…
            Aku menelan ludah. Pedih. Takut. Sedih. Campur aduk menjadi satu. Ingatanku langsung ke seorang kawan yang dulu tinggal di Denpasar. Dia pernah cerita, sejak kejadian bom itu percaya atau tidak, masih saja suka terlihat bule-bule jalan di sekitar kawasan itu. Saat mereka didekati, pasti langsung menghilang. Tanpa bekas. Konon energi dari mereka yang meninggal dengan cara tidak wajar, masih tinggal di lokasi kejadian. Mereka tidak mengganggu siapa pun, karena dimensinya sudah berbeda. Pertanyaanku sekarang, turis yang sering kutemui  mereka masih hidup beneran atau sudah meninggal? (ft: berbagai sumber)

Minggu, 17 Juli 2011

deadline is a must...

            
         long...long time ago with Yess! team
           Ga berubah. Ritual gw sekarang tiap pagi, sehabis mandi…Menyeruput segelas kopi, sambil membuka laptop. But the problem is…ketika hari itu gw sadar, nggak ada deadline. Boleh dipastiin, sampai siang kelimpungan. Bosan. Mmm, mau ngapain lagi sekarang?
            Beda banget, waktu masih ngantor. Habis rapat redaksi, pasti panik mengatur deadline. Rasanya, diri ini berkejar-kejaran dengan makhluk yang namanya deadline. Entah tulisan, entah liputan, entah penilaian reportase wartawan, banyak hal yang selalu dikaitkan dengan “batas waktu terakhir” yang nggak bisa ditawar.  Apalagi jelang liburan, seperti Lebaran…Waduh,  tulisan untuk beberapa edisi ke depan musti dimajuin. But, ternyata…kejar-kejaran itu membuat hidup gw lebih terasa berwarna. Nggak lemot, monoton, membosankan…
            Tanpa target, batas waktu, bikin kita (or gw pribadi) tidak memiliki tantangan. Tanggungjawab. Rasa “musti” beres dengan waktu tepat dan hasil maksimal. So, mustinya kita say, Thanks God…masih punya deadline. Artinya: masih bisa bermanfaat, bisa do something dan the most important is…bikin hidup lebih berwarna.

Senin, 11 Juli 2011

identitas...


            What?! Berulangkali gw baca kembali, nama-nama di list sebuah situs pertemanan. Ajaib-ajaib. Boleh ditebak, bukan nama mereka asli. Mix dari beberapa seleb, lantas digabungin dengan their nickname…atau nama panggilan. Boleh jadi, hal itu untuk menunjukkan seberapa “cinta”nya pada idol mereka masing-masing. Kocaknya lagi, kalau idolnya beberapa orang ya…tinggal digabungin. So, namanya jadi se-panjang “kereta api” sah-sah aja.
            Ngomongin mengidolakan seseorang, gw juga pernah. Bahkan waktu SMP, gw punya nama panggilan Pe’e (baca: Pi’i). Gara-gara sebuah media mengatakan, nama itu panggilan waktu kecil Fariz RM. Yup! Mereka banyak yang nggak “ngeh”, my nickname itu bukan nama gw sebenernya. Untung saja sih, gw nggak menambah nama Maulana di belakang nama gw setelah kuliah. Karena gw ngidolain Armand Maulana… Mungkin karena gw agak gedean kali ya, udah tahu apa arti sebuah nama.
            Nggak gampang lho, ortu kita nentuin nama buat anaknya. Nama juga bukan sekedar “label” , tapi “kebanggaan” masing-masing pemiliknya yang musti dijaga. Sering denger kan, beliau bilang “jaga nama baik”. (Nama aja kok dijaga. Nggak akan lari ke mana-mana…melekat erat dengan pemiliknya hehehe…)
             Jujur saja. Baby-baby yang lahir di era gadjet ini, namanya keren-keren. Gw sendiri pernah suka “hanya” dengan nama depan gw, nama belakangnya kok Indonesia banget ya…but sekarang, gw nikmati dan bangga dengan nama lengkap gw sendiri. Mau dibilang so Indonesia, jadul, pasaran, bodo amat… Bagi gw itu bukan sekedar tempelan, label yang bedain gw secara fisik dengan orang lain, but the most important is…jati diri gw. Stephanie yang keren, banyak…but Stephanie Aryanti…hanya satu. Ya, gw…hahahaha..nggak tergantikan, nggak bisa dibanding-bandingkan. Meskipun itu kekurangan atau kelebihan….(ft: berbagai sumber)