Gila!
Lagi trend mungkin ya…bunuh diri dengan melompat dari atap bangunan pencakar
langit. Belum lama, kubaca seorang laki-laki muda melompat dari lantai enam
sebuah pusat perbelanjaan, karena ditolak cintanya. Lantas ada pengusaha di
sebuah mall, terjun dari halaman parkir yang ada di lantai tiga. Alasan
keluarga yang terakhir bersamanya, korban kelihatan stress. Bisnisnya pasang
surut. Bbeuuh…Segitu rapuhnya iman orang kota sekarang. Aku hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala, ketika pagi ini kulihat headline suratkabar kembali memberitakan kejadian serupa. Kali ini
di Pontianak. Untung, korban tidak meninggal dunia. Tapi patah tulang kali dan
tangan.
Syukur,
aku dibekali iman yang cukup sejak masih kecil. Kedua orangtuaku mengajarkan,
manusia musti takut akan Tuhan. Putus asa dengan mengakhiri hidup, berarti
mendahului kehendak Sang Pencipta. Lha wong,
kita mustinya bersyukur masih bisa bernafas dan bekerja, kok malah memutus
nafas sendiri.
Ffuih…kuhela
nafas panjang. Baru kuingat, besok pagi aku ada meeting dengan klien.
Berkas-berkas yang siang tadi ditumpuk di meja kerjaku, masih perlu dicek
ulang. Terpaksa, rencanaku pulang cepat kubatalkan. Kuharus balik lagi. Padahal
tadi aku sudah turun ke lobi gedung, tempat aku bekerja setelah menerima
beberapa tamu asing. Langkahku sedikit
bergegas. Sambil menenteng koran yang tadi sempat kubaca, tangan kiriku
memencet tombol lift.
Bing! Huh…lama
bener. Angka di atas lift yang menyala, menunjukkan berulangkali lift berhenti. Banyak juga kali yang mau
turun. Meski kulihat gedung ini mulai sepi. Jam di pergelangan tangan
menunjukkan angka 8. Nggak biasanya memang, kubalik ke kantor selarut ini.
Teman-temanku sejak pukul enam tadi sudah kabur, pulang. Mereka penganut
prinsip “tenggo” alias, jam enam teng ya…go
pulang. Apalagi hari ini tanggal 28, bertepatan dengan mereka gajian.
Bing! Kali ini,
angka menunjukkan lift terhenti di lantai 25. Satu menit, dua menit. Astaga. Keterlaluan
juga, nggak jalan-jalan. Nungguin apa sih? Batinku mulai kesal. Kakiku yang
sejak seharian tadi mondar mandir, mulai pegal juga.
“Malam mbak…mau
balik lagi ke atas?” Seraut wajah, muncul tiba-tiba di sampingku, membuat aku
nyaris tersedak. Kaget. Kutebak, perempuan itu baru 20 tahunan. Muda. Cantik.
Rambut ikal sebahu. Aroma parfumnya, langsung menusuk indra penciumanku. Jari-jari
lentiknya, dia sodorkan ke aku…
“Panggil saja
saya Mesya. Penghuni lantai 25. Mungkin kita tetanggaan ya mbak…” Bibirnya yang
mengingatkanku pada bintang film, Angelina Jolie itu merekah. Busyet! Kenapa
aku sedari tadi begitu mengagumi kecantikannya ya?
“Mbak…”
“Ohhh..maaf-maaf,
saya …
“Mbak
melamun ya? Kantor mbak di lantai berapa? Jam segini kok balik ke atas…Apa
masih ada orang?” tegurnya lagi…
Aku
tersenyum, malu. Sadar, sejak tadi terbengong-bengong, melihat kehadirannya
yang begitu tiba-tiba.
“Massayu…Panggil
saja Ayu. Saya mau mengambil berkas-berkas yang ketinggalan di lantai 19.
Memang kantor jam segini sudah kosong biasanya…” jelasku, sambil merapatkan
blazerku. Udara dingin menyergapku tiba-tiba. Entah mengapa, tiba-tiba bulu
kudukku meremang. Beberapa kali kurasakan angin meniup tengkukku, begitu dekat.
Baru aku sadar, Mesya cuek saja dengan baju super tipisnya itu.
“Mesya sendiri,
masih ada acara? Kok balik kantor?”
“Sudah nggak ada
meeting lagi. Orang-orang juga sudah pulang. Saya suka saja tinggal di sini…”
Tinggal di
sini? Mmm, luar biasa. Cewek semuda dia
sudah gila kerja. Sampai-sampai dibela-belain lembur di kantor. Dia mungkin
sudah terbiasa menginap di kantor, seperti suamiku. Ya, demi melancarkan bisnis
yang baru dibukanya, Desta suamiku sering lembur sampai larut malam di kantor.
Tak jarang, dia pulang pagi. Untunglah, meski lembur Mas Tirta selalu menelpon
ke rumah dari kantor. Sehingga aku tidak berpikiran yang macam-macam. Aku bisa
pastikan, dia selalu ada di tempatnya bekerja.
“Mari, Yu….”
Tegurnya, membuyarkan lamunanku.
Ouch. Pintu lift
sudah terbuka. Kosong. Heran. Perasaan tadi lift selalu berhenti, tanda ada
orang masuk untuk turun. Tapi kok sekarang, tak ada orang sama sekali?
Mungkinkah mereka keluar lebih dulu di lantai atas di jam-jam seperti ini? Aku
menggeleng-gelengkan kepala. Kenapa aku musti ambil pusing… Namanya juga gedung
perkantoran. Pasti ada saja pekerja yang
lalu lalang.
Bing! Pintu lift
kembali tertutup. Kurapatkan lagi blazerku. Berada di dalam lift, udaranya
makin dingin. AC central terasa begitu membekukan. Kulirik sekilas, Mesya malah
asyik mengutak-atik Blackberrynya.
Kuperhatikan lagi, ekspresi wajahnya dari cermin yang ada di sisi kanan
lift. Kelihatan sekali, dia serius sekali membaca beberapa pesan yang masuk.
Dahinya berkerut. Mendadak matanya seperti memerah dan berkaca-kaca…
“Terlalu…Laki-laki
semuanya sama,” gerutu Mesya tiba-tiba. Dia melirikku sekilas, lantas
menunjukkan BB-nya ke aku…
“Dia ingkar
janji lagi…”
“Dia?” tanyaku
spontan, tak mengerti siapa laki-laki yang Mesya maksud.
“Iya…Jaya. Mas
Jaya! Pembohong besar. Berulangkali bilang akan menikahiku secara sah…Tapi apa?
Datang ke rumah, bertemu dengan ibuku langsung pun tidak dia lakukan. Alasannya
sibuk, sibuk dan sibuk…” Mata Mesya berkaca-kaca, tapi tatapan penuh kebencian
itu tidak mampu dia sembunyikan.
“Pacar kamu?”
Bing! Pertanyaanku
belum sempat dia jawab, ketika pintu lift terbuka, tepat di lantai yang menuju
kantorku. Sorot matanya, membuatku iba. Tapi waktuku benar-benar terbatas. Ah,
mungkin lain waktu aku bisa ngobrol banyak dengannya.
“Maaf,
Mesya. Aku keluar duluan ya. Ntar kapan-kapan kita ngobrol lagi. Hubungi aku anytime kamu mau…” kataku sambil
menyodorkan kartu nama. Mesya hanya mengangguk, bibirnya seperti kelu. Kasihan
tuh perempuan.
****
Malam
ini, lagi-lagi aku harus lembur di kantor. Sungguh beruntung, Mas Desta lagi
tugas di luar kota. Soalnya, dia suka protes kalau melihat aku pulang
kemalaman. Alasan dia, khawatir kesehatanku terganggu. Beruntung, puji
teman-teman kantor. Aku memiliki suami yang perhatian, sangat mencintai aku.
Meski lima tahun perkawinan kami belum dikaruniai anak, tapi laki-laki itu
tidak pernah komplain.
Heran
ya, kami jadian karena dijodohkan orangtua. Ayah kami berdua sahabatan sejak
kecil. Awalnya, aku menolak keras ide
papa. Bayangkan saya…Jaman gadjet ini, masih saja pasangan hidup diatur
orangtua. Lingkungan kampus pun, membuatku punya banyak teman cowok. Salah
satunya, Fadil yang selalu menemaniku kala sedih dan senang. Kami hampir saja
bertunangan. Apa boleh buat, ayah Fadil
yang sakit parah di Banjarmasin, memintanya pulang. Belum habis rasa kagetku
Fadil pulang, tiba-tiba datang kabar laki-laki itu ditunangkan di kampung
halamannya. Tanggal pernikahan pun sudah ditentukan, atas permintaan ayah Fadil
yang sakit-sakitan.
Marah?
Sedih? Aku tidak tahu harus berbuat apa…Aku lebih suka menyibukkan diri dengan
berbagai kegiatan di kampus, sampai akhirnya wisuda dan bekerja. Hingga suatu
hari, papa dan mama mengajakku ikutan makan malam bersama koleganya. Ternyata,
kami bertemu keluarga Mas Desta.
Sungguh.
Tak sedikit pun rasa cinta terbersit di hatiku. Sampai-sampai setahun kami
sering jalan bareng, aku tetap dingin. Bagiku masa lalu dengan Fadil, pelajaran
berharga. Aku trauma disakiti dan kecewa lagi…
Ketelatenan
Mas Desta luar biasa. Keluarga kami pun sama-sama mendukung, hingga akhirnya
aku menyerah. Kami menikah, dua tahun setelah perjodohan itu. Ternyata, cinta
tidak selalu menakutkan dan mengecewakan. Laki-laki itu bertanggungjawab
mencintai dan menjaga aku. Lambat laut, perbedaan kami pun berubah menjadi
persamaan. Kami sering melakukan hobi yang sama, seperti berenang, fitness dan
nonton bioskop.
Kantor
Mas Desta juga tidak jauh dari kantorku. Nggak jarang, suamiku menjemputku
untuk makan siang bersama, atau bahkan sebaliknya. Entah karena sama-sama sibuk
dan letih, kami berdua belum dikaruniai anak hingga tahun kelima.
Bbbrr! Udara
dingin kembali menyergapku. Mmm, akhir-akhir ini badanku memang tidak fit.
Mungkin masuk angin, sehingga kena udara malam sedikit saja menggigil. Beberapa
berkas yang sudah ditandatangani, kurapikan. Lantas, buru-buru kuambil tas.
Sebaiknya aku pulang sekarang, jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan
angka sepuluh…Huuuh! Pasti perkantoran ini sudah sepi… Entah mengapa, aku suka
phobia sendiri. Mungkin gara-gara Ajeng teman sekantor suka cerita yang
seram-seram belakangan ini. Tentang hantu di terowongan Casablanca, mitos si
manis jembatan Ancol…Ah, ada-ada saja. Aku tidak pernah percaya, hal-hal
begituan…
Bing! Lif
terbuka. Kulihat wanita cantik itu sudah ada di dalam…Mmm, siapa…
“Ayu! Pa kabar?
Masih ingat aku kan?” jari-jari lentik itu menggenggam tanganku. Dingin. Baru
kuingat, ini kan…perempuan yang ketemuan nggak sengaja di lift beberapa hari
yang lalu.
“Yuuu…Ngelamun
lagi! Kamu sering ngelamun deh, kalau ketemu aku…” Suaranya renyah, mirip
penyiar radio. Andai aku laki-laki, pasti langsung jatuh hati. Udah cantik,
kelihatan dari penampilan pekerjaannya lumayan, dia juga ramah.
“Mesya?
Maaf-maaf, aku udah agak ngantuk. Nggak fokus nih…”
“Ya, nggak
apa-apa. Aku juga sering kok, lembur-lembur gini nge-blank. Hati-hati saja,
saranku. Untung kamu ketemu orang sebaik aku, kalau ketemu cowok jahil gimana?”
Aku tertawa,
melihat dia menasehatiku seperti orangtua saja. Matanya yang bulat bening itu,
mendadak seperti berkabut. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya…
“Mesya, kamu
baik-baik saja?”
“Mmm…ya,
iya…baik. Aku hanya kecewa, Mas Jaya ingkar lagi hari ini. Dia tidak
menjemputku…Dia membiarkan aku, sakit hati…”
Kulihat
tangannya yang menggenggam BB, bergetar. Emosi cewek ini mudah berubah-ubah.
Sebentar ceria, tiba-tiba bisa sesedih itu. Kugenggam tangannya. Dingin. Kuusap
bahunya…
“Tenang, Mesya.
Kamu bisa cerita, andai aku bisa membantu…”
“Mas Jaya
penjahat besar…Pembohong, penipu. Awalnya dia manis sekali, sekarang dia
berubah seratus delapan puluh derajat. Jangankan menikahiku, mengakui anaknya
saja dia tidak mau…“
Tangan dingin
itu menggenggam tanganku, seperti mencari kekuatan di sana. Aku hanya bisa
terdiam. Bingung, harus berkata apa…Aroma parfumnya menusuk indra penciumanku.
Entah kenapa, meski wangi tapi aku tidak pernah suka aroma ini.
“Kamu mau aku
temani? Kita ngobrol di kafe bawah yang buka 24 jam?” ajakku, sembari melirik
jam di pergelangan tanganku. Masih ada waktu. Aku masih berani pulang jam-jam
segini.
Kasihan. Mesya
yang akhirnya mau ngobrol lama denganku, ternyata perempuan yang sudah
tersakiti, lahir dan batin. Laki-laki yang bernama Wijaya itu hanya berlaku
manis, awal-awal ketemuannya saja. Mereka saling kenal gara-gara sempat
terjebak lift yang ngadat di building
tempatku bekerja. Setelah setahun pacaran, Jaya mulai berubah. Apalagi setelah
Mesya mengaku hamil. Bukannya dia datang melamar ke orangtua Mesya, tapi malah
mengantarkan wanita itu ke klinik, buat aborsi.
Aborsi yang
dilakukan pun tidak berhasil sempurna. Rahim perempuan ini harus diangkat,
gara-gara infeksi. Jaya makin berulah. Dia tidak pernah lagi mengajak Mesya
jalan. Jangankan jalan, sekedar beri kabar di BB-nya pun tidak. Hingga akhirnya
Mesya tahu, ternyata Jaya sudah beristri. Selama ini dia hanya dijadikan teman
selingkuhan saja…
“Lantas, rencana
kamu sekarang?”
“Belum tahu,
Ayu…Aku memilih menyibukkan diri, agar lupa dengan masalah pribadi. Teman-teman
yang tahu, menyarankan aku menghubungi istri Jaya. Agar dia memperoleh
pelajaran. Tapi aku menolak…”
“Kenapa? Kamu
takut balik dilabrak?”
“Bukan…Aku tidak
mau, wanita itu juga tersakiti.”
“Bukankah kamu
menyelamatkan wanita itu? Daripada Jaya melakukan kebohongan yang sama terhadap
korban berikutnya, sementara istrinya tak pernah tahu?”
Mesya menatap
mataku, dalam-dalam. Wajah cantik itu, pucat pasi. Baru aku sadar, dia seperti
perempuan yang sakit, benar-benar pucat…
“Aku sudah
pernah melihat istrinya, tapi…tapi aku tidak berani terus terang di depan dia.
Kasihan. Pasti dia juga sama hancurnya dengan aku.”
Wajah pucat itu
menunduk. Kedua tangannya menutup wajahnya, rapat-rapat. Lirih, tangisnya
terdengar. Pilu. Entah mengapa, perasaanku ikutan giris. Penderitaan perempuan
ini, luar biasa. Tega-teganya laki-laki yang sudah menipunya mentah-mentah itu.
Bersyukur banget, aku memiliki keluarga bahagia. Jauh dari ribut, jauh dari
kebohongan…
Malam itu, aku
tidak bisa tidur. Entah mengapa, bayangan Mesya selalu muncul di benakku. Hingga
akhirnya, jelang dinihari aku baru bisa memejamkan mata.
***
Bing! Suara lift
itu, kembali mengejutkan aku. Bbbrrr! Entah kenapa, aku suka terkaget-kaget
belakangan ini. Dengar suara telpon, lift, sampai temanku yang sudah sangat
halus, muncul di depan meja kerjaku saja, kaget. Aku juga sering kedinginan
tiba-tiba, apalagi ketika turun malam-malam sendiri ke lantai dasar. Mungkin
efek dari udara malam…atau…ah, aku tidak mau menebak yang macam-macam. Meski
seorang peramal kartu Tarot yang kutemui di mall minggu kemarin, meramalkan ada
bayangan gelap tengah mengincarku.
Bbbrrr.
Lagi-lagi dingin. Tengkukku seperti ada yang meniup. Hening di sekitarku, tak
ada siapa-siapa selain aku dalam lift, membuat jantungku tiba-tiba berdebar
kencang. Beberapa kali aku mencoba sms teman, buat menghilangkan gugup. Astaga,
sinyal kok blank. Ah, sebentar lagi juga sampai bawah, hibur batinku sembari
melihat angka di lift. Meski jalan, tapi rasanya lamaaa sekali. Hingga
akhirnya, pintu lift terbuka… Sepi. Gelap. Lho,
kok lantai dasar, tempat parkir? Seharusnya aku turun di lantai 1, baru
keluar lobi depan.
Tubuhku bergetar. Keringat membanjir di
kening. Beberapa kali kutekan pintu lift, tak juga mau menutup. Sementara di
luar, hanya kegelapan saja yang kulihat. Aduh, semoga tidak ada orang berniat
jahat…Hampir saja aku menangis ketakutan, ketika tiba-tiba pintu lift mau
menutup kembali.
Bing! Pintu
terbuka, tepat di lantai satu. Mesya sudah ada di depanku! Wajahnya yang biasa
selalu berkabut, kini kelihatan ceria. Tidak ada tanda kesedihan di sana.
Sementara tangannya menenteng sepasang sepatu merah bata, senada dengan warna
bajunya.
“Haiiii, Ayu!
Mau pulang ya…. Aku juga, mau balik nih!”
“Ya, Mis, aku
mau pulang. Tadi lift sempat ngadat, sampai stress. Kamu ngapain nenteng-nenteng
sepatu gitu? Kaki kamu kenapa?”
“Ha..ha..ha…iya
nih, capek pakai sepatu. Nggak enak…pengen santai saja, kan sudah tidak ada
orang ngelihat..”
“Mmm, kamu
senang banget kelihatannya…”
“Bener banget!
Aku lagi senang. Akhirnya aku berhasil menemui istri Jaya. Nggak sangka, dia
baik dan sabar. Kok bisa ya, Mas Jaya menipunya?” Misya terus saja nyerocos,
sambil berjalan menemaniku menuju lobi depan.
“Kamu bilang ke
istri Jaya soal semuanya? Dia nggak marah?” tanyaku terheran-heran. Luar biasa
juga perempuan itu.
“Nggak sih, aku
nggak ceritain semuanya. Aku baru mengenalnya saja, berusaha deketin dia. Ntar
kapan-kapan, dia juga tahu sendiri tanpa perlu kuberitahu kok…Tanpa sengaja,
kami kenalan di kantor. Kan satu building kerjaan kita…”
“Hah? Ternyata kalian
satu building? Berarti suaminya itu selingkuh dengan orang satu gedung dengan
istrinya? Gila banget ya…”
Misya
mengangguk-angguk saja. Wajahnya memang tidak seperti biasa kutemui.
Benar-benar ceria.
“Oke deh, aku
duluan ya…salam buat suami kamu. Kapan-kapan kita bisa ketemuan bareng,
ngobrol-ngobrol. Boleh kan?” kata Misya, sebelum akhirnya kami benar-benar
berpisah di depan perkantoran ini.
***
Sore
ini, suasana di kantor lebih ramai dari biasanya. Maklum, jelang weekend.
Teman-temanku yang masih pengantin muda, sudah bermalas-malasan kerja. Beberapa
di antaranya, malah ngumpul main jalangkung. Dasar iseng banget tuh anak-anak.
Aku nggak pernah suka main yang aneh-aneh.
“Yu,
nggak mau ikutan dengerin? Lucu lho…Seru!” ajak Bimo, ketika muncul di depan
mejaku.
“Seru?
Gila kali ya, sore-sore malah main begituan…”
“Bener
seru…Apalagi kali ini roh yang masuk, korban bunuh diri di building kita…”
“Bunuh
diri di sini?” Aku menghentikan pekerjaanku. Kok aku baru dengar ya, ada juga
orang yang bunuh diri di building ini.
“Kamu
terlalu sibuk dengan urusan kamu sih, sampai-sampai kejadian di sini nggak up
date. Tuh hantunya yang masuk lewat jalangkung, ternyata dicocokin sama koran,
sama…Dia mati karena kecewa, laki-laki yang menghamilinya tidak tanggung jawab.
Dia sempat aborsi segala. Laki-lakinya sudah beristri pula. Kasihan…”
Aku
menggeleng-gelengkan kepala. Rumpi banget sih, sampai sedetail itu tahunya…Apa
benar, jalangkung bisa memanggil roh dan rohnya curhat sampai seperti itu…
“Dasar
rumpiiii…”
“Yah,
lihat saja sendiri tuh korannya…” Bimo menyodorkan koran bekas yang sudah
kusut. Benar. Berita seorang wanita muda, lompat dari lantai 25 gedung ini.
Korban diduga kecewa, laki-laki yang dia cintai bersuami. Menurut visum, dia
pernah melakukan aborsi dan operasi pengangkatan rahim…Ya, Tuhan…
Foto
di TKP memperlihatkan tubuh wanita yang sudah ditutup koran sebagian. Sementara
di dekatnya, terlihat sepasang sepatu warna merah bata. Sepertinya aku kenal
betul sepatu itu…inisialnya pun M. Mungkinkah Mesya? Dan…astaga, tanggal kejadian meninggalnya
perempuan itu sehari sebelum aku bertemu Mesya! Tanggal 27 bulan lalu…
Rasa penasaranku terjawab sudah, ketika
kudatangi kantor tempat Mesya mengaku bekerja. Foto Mesya, memang benar seperti
Mesya yang kukenal. Dan teman-temannya di sana mengaku, bulan lalu perempuan
ini bunuh diri dengan melompat dari lantai 25…Meski sudah meninggal, kabarnya
dia suka muncul di lantai 25. Beberapa petugas keamanan sudah memaklumi
kejadian ini, karena Mesya tidak mengganggu. Ya Tuhan, berarti yang kutemui
kemarin?
“Saya sudah
mengikhlaskannya, mbak. Kasihan dia, sejak patah hati semua pekerjaan kacau.
Dia sering curhat sama saya saja, tapi tidak pernah menyebut cowoknya tinggal dimana.
Dia hanya sebut Jaya…Wijaya…saja. Padahal laki-laki itu kelihatannya baik,
sayangnya…” cerita Mira, sahabat Mesya yang kutemui siang itu. Dia menyodorkan
foto yang diambil dari dalam dompetnya.
“Ini
foto kami berempat. Saya dengan suami, dia dengan laki-laki itu. Kenangan
satu-satunya yang tersisa dari sahabat terbaik saya…” jelas Mira, berat. Kulihat sekilas foto itu,
astaga..mendadak kepalaku pusing. Tiba-tiba bayang-bayang Mesya seakan menyeringai
di depanku…Jari-jari lentiknya mencengkeram leherku, seperti mau mencekik. Foto
itu…Laki-laki dalam foto itu, bukankah Mas Desta? Mas Desta Wijaya-ku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar