Rabu, 02 Februari 2011

MISTERI LANTAI 25


            Gila! Lagi trend mungkin ya…bunuh diri dengan melompat dari atap bangunan pencakar langit. Belum lama, kubaca seorang laki-laki muda melompat dari lantai enam sebuah pusat perbelanjaan, karena ditolak cintanya. Lantas ada pengusaha di sebuah mall, terjun dari halaman parkir yang ada di lantai tiga. Alasan keluarga yang terakhir bersamanya, korban kelihatan stress. Bisnisnya pasang surut. Bbeuuh…Segitu rapuhnya iman orang kota sekarang. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, ketika pagi ini kulihat headline suratkabar kembali memberitakan kejadian serupa. Kali ini di Pontianak. Untung, korban tidak meninggal dunia. Tapi patah tulang kali dan tangan.
            Syukur, aku dibekali iman yang cukup sejak masih kecil. Kedua orangtuaku mengajarkan, manusia musti takut akan Tuhan. Putus asa dengan mengakhiri hidup, berarti mendahului kehendak Sang Pencipta. Lha wong, kita mustinya bersyukur masih bisa bernafas dan bekerja, kok malah memutus nafas sendiri.
Ffuih…kuhela nafas panjang. Baru kuingat, besok pagi aku ada meeting dengan klien. Berkas-berkas yang siang tadi ditumpuk di meja kerjaku, masih perlu dicek ulang. Terpaksa, rencanaku pulang cepat kubatalkan. Kuharus balik lagi. Padahal tadi aku sudah turun ke lobi gedung, tempat aku bekerja setelah menerima beberapa tamu asing.  Langkahku sedikit bergegas. Sambil menenteng koran yang tadi sempat kubaca, tangan kiriku memencet tombol lift.
Bing! Huh…lama bener. Angka di atas lift yang menyala, menunjukkan berulangkali lift berhenti. Banyak juga kali yang mau turun. Meski kulihat gedung ini mulai sepi. Jam di pergelangan tangan menunjukkan angka 8. Nggak biasanya memang, kubalik ke kantor selarut ini. Teman-temanku sejak pukul enam tadi sudah kabur, pulang. Mereka penganut prinsip “tenggo” alias, jam enam teng ya…go pulang. Apalagi hari ini tanggal 28, bertepatan dengan mereka gajian.
Bing! Kali ini, angka menunjukkan lift terhenti di lantai 25. Satu menit, dua menit. Astaga. Keterlaluan juga, nggak jalan-jalan. Nungguin apa sih? Batinku mulai kesal. Kakiku yang sejak seharian tadi mondar mandir, mulai pegal juga.
“Malam mbak…mau balik lagi ke atas?” Seraut wajah, muncul tiba-tiba di sampingku, membuat aku nyaris tersedak. Kaget. Kutebak, perempuan itu baru 20 tahunan. Muda. Cantik. Rambut ikal sebahu. Aroma parfumnya, langsung menusuk indra penciumanku. Jari-jari lentiknya, dia sodorkan ke aku…
“Panggil saja saya Mesya. Penghuni lantai 25. Mungkin kita tetanggaan ya mbak…” Bibirnya yang mengingatkanku pada bintang film, Angelina Jolie itu merekah. Busyet! Kenapa aku sedari tadi begitu mengagumi kecantikannya ya?
            “Mbak…”
            “Ohhh..maaf-maaf, saya …
            “Mbak melamun ya? Kantor mbak di lantai berapa? Jam segini kok balik ke atas…Apa masih ada orang?” tegurnya lagi…
            Aku tersenyum, malu. Sadar, sejak tadi terbengong-bengong, melihat kehadirannya yang begitu tiba-tiba.
            “Massayu…Panggil saja Ayu. Saya mau mengambil berkas-berkas yang ketinggalan di lantai 19. Memang kantor jam segini sudah kosong biasanya…” jelasku, sambil merapatkan blazerku. Udara dingin menyergapku tiba-tiba. Entah mengapa, tiba-tiba bulu kudukku meremang. Beberapa kali kurasakan angin meniup tengkukku, begitu dekat. Baru aku sadar, Mesya cuek saja dengan baju super tipisnya itu.
“Mesya sendiri, masih ada acara? Kok balik kantor?”
“Sudah nggak ada meeting lagi. Orang-orang juga sudah pulang. Saya suka saja tinggal di sini…”
Tinggal di sini?  Mmm, luar biasa. Cewek semuda dia sudah gila kerja. Sampai-sampai dibela-belain lembur di kantor. Dia mungkin sudah terbiasa menginap di kantor, seperti suamiku. Ya, demi melancarkan bisnis yang baru dibukanya, Desta suamiku sering lembur sampai larut malam di kantor. Tak jarang, dia pulang pagi. Untunglah, meski lembur Mas Tirta selalu menelpon ke rumah dari kantor. Sehingga aku tidak berpikiran yang macam-macam. Aku bisa pastikan, dia selalu ada di tempatnya bekerja.
“Mari, Yu….” Tegurnya, membuyarkan lamunanku.
Ouch. Pintu lift sudah terbuka. Kosong. Heran. Perasaan tadi lift selalu berhenti, tanda ada orang masuk untuk turun. Tapi kok sekarang, tak ada orang sama sekali? Mungkinkah mereka keluar lebih dulu di lantai atas di jam-jam seperti ini? Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kenapa aku musti ambil pusing… Namanya juga gedung perkantoran. Pasti ada saja  pekerja yang lalu lalang.
Bing! Pintu lift kembali tertutup. Kurapatkan lagi blazerku. Berada di dalam lift, udaranya makin dingin. AC central terasa begitu membekukan. Kulirik sekilas, Mesya malah asyik mengutak-atik Blackberrynya.  Kuperhatikan lagi, ekspresi wajahnya dari cermin yang ada di sisi kanan lift. Kelihatan sekali, dia serius sekali membaca beberapa pesan yang masuk. Dahinya berkerut. Mendadak matanya seperti memerah dan berkaca-kaca…
“Terlalu…Laki-laki semuanya sama,” gerutu Mesya tiba-tiba. Dia melirikku sekilas, lantas menunjukkan BB-nya ke aku…
“Dia ingkar janji lagi…”
“Dia?” tanyaku spontan, tak mengerti siapa laki-laki yang Mesya maksud.
“Iya…Jaya. Mas Jaya! Pembohong besar. Berulangkali bilang akan menikahiku secara sah…Tapi apa? Datang ke rumah, bertemu dengan ibuku langsung pun tidak dia lakukan. Alasannya sibuk, sibuk dan sibuk…” Mata Mesya berkaca-kaca, tapi tatapan penuh kebencian itu tidak mampu dia sembunyikan.
“Pacar kamu?”
Bing! Pertanyaanku belum sempat dia jawab, ketika pintu lift terbuka, tepat di lantai yang menuju kantorku. Sorot matanya, membuatku iba. Tapi waktuku benar-benar terbatas. Ah, mungkin lain waktu aku bisa ngobrol banyak dengannya.
            “Maaf, Mesya. Aku keluar duluan ya. Ntar kapan-kapan kita ngobrol lagi. Hubungi aku anytime kamu mau…” kataku sambil menyodorkan kartu nama. Mesya hanya mengangguk, bibirnya seperti kelu. Kasihan tuh perempuan.
****
            Malam ini, lagi-lagi aku harus lembur di kantor. Sungguh beruntung, Mas Desta lagi tugas di luar kota. Soalnya, dia suka protes kalau melihat aku pulang kemalaman. Alasan dia, khawatir kesehatanku terganggu. Beruntung, puji teman-teman kantor. Aku memiliki suami yang perhatian, sangat mencintai aku. Meski lima tahun perkawinan kami belum dikaruniai anak, tapi laki-laki itu tidak pernah komplain. 
            Heran ya, kami jadian karena dijodohkan orangtua. Ayah kami berdua sahabatan sejak kecil.  Awalnya, aku menolak keras ide papa. Bayangkan saya…Jaman gadjet ini, masih saja pasangan hidup diatur orangtua. Lingkungan kampus pun, membuatku punya banyak teman cowok. Salah satunya, Fadil yang selalu menemaniku kala sedih dan senang. Kami hampir saja bertunangan.  Apa boleh buat, ayah Fadil yang sakit parah di Banjarmasin, memintanya pulang. Belum habis rasa kagetku Fadil pulang, tiba-tiba datang kabar laki-laki itu ditunangkan di kampung halamannya. Tanggal pernikahan pun sudah ditentukan, atas permintaan ayah Fadil yang sakit-sakitan.
            Marah? Sedih? Aku tidak tahu harus berbuat apa…Aku lebih suka menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan di kampus, sampai akhirnya wisuda dan bekerja. Hingga suatu hari, papa dan mama mengajakku ikutan makan malam bersama koleganya. Ternyata, kami bertemu keluarga Mas Desta.
            Sungguh. Tak sedikit pun rasa cinta terbersit di hatiku. Sampai-sampai setahun kami sering jalan bareng, aku tetap dingin. Bagiku masa lalu dengan Fadil, pelajaran berharga. Aku trauma disakiti dan kecewa lagi…
            Ketelatenan Mas Desta luar biasa. Keluarga kami pun sama-sama mendukung, hingga akhirnya aku menyerah. Kami menikah, dua tahun setelah perjodohan itu. Ternyata, cinta tidak selalu menakutkan dan mengecewakan. Laki-laki itu bertanggungjawab mencintai dan menjaga aku. Lambat laut, perbedaan kami pun berubah menjadi persamaan. Kami sering melakukan hobi yang sama, seperti berenang, fitness dan nonton bioskop.
            Kantor Mas Desta juga tidak jauh dari kantorku. Nggak jarang, suamiku menjemputku untuk makan siang bersama, atau bahkan sebaliknya. Entah karena sama-sama sibuk dan letih, kami berdua belum dikaruniai anak hingga tahun kelima. 
Bbbrr! Udara dingin kembali menyergapku. Mmm, akhir-akhir ini badanku memang tidak fit. Mungkin masuk angin, sehingga kena udara malam sedikit saja menggigil. Beberapa berkas yang sudah ditandatangani, kurapikan. Lantas, buru-buru kuambil tas. Sebaiknya aku pulang sekarang, jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan angka sepuluh…Huuuh! Pasti perkantoran ini sudah sepi… Entah mengapa, aku suka phobia sendiri. Mungkin gara-gara Ajeng teman sekantor suka cerita yang seram-seram belakangan ini. Tentang hantu di terowongan Casablanca, mitos si manis jembatan Ancol…Ah, ada-ada saja. Aku tidak pernah percaya, hal-hal begituan…
Bing! Lif terbuka. Kulihat wanita cantik itu sudah ada di dalam…Mmm, siapa…
“Ayu! Pa kabar? Masih ingat aku kan?” jari-jari lentik itu menggenggam tanganku. Dingin. Baru kuingat, ini kan…perempuan yang ketemuan nggak sengaja di lift beberapa hari yang lalu.
“Yuuu…Ngelamun lagi! Kamu sering ngelamun deh, kalau ketemu aku…” Suaranya renyah, mirip penyiar radio. Andai aku laki-laki, pasti langsung jatuh hati. Udah cantik, kelihatan dari penampilan pekerjaannya lumayan, dia juga ramah.
“Mesya? Maaf-maaf, aku udah agak ngantuk. Nggak fokus nih…”
“Ya, nggak apa-apa. Aku juga sering kok, lembur-lembur gini nge-blank. Hati-hati saja, saranku. Untung kamu ketemu orang sebaik aku, kalau ketemu cowok jahil gimana?”
Aku tertawa, melihat dia menasehatiku seperti orangtua saja. Matanya yang bulat bening itu, mendadak seperti berkabut. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya…
“Mesya, kamu baik-baik saja?”
“Mmm…ya, iya…baik. Aku hanya kecewa, Mas Jaya ingkar lagi hari ini. Dia tidak menjemputku…Dia membiarkan aku, sakit hati…”
Kulihat tangannya yang menggenggam BB, bergetar. Emosi cewek ini mudah berubah-ubah. Sebentar ceria, tiba-tiba bisa sesedih itu. Kugenggam tangannya. Dingin. Kuusap bahunya…
“Tenang, Mesya. Kamu bisa cerita, andai aku bisa membantu…”
“Mas Jaya penjahat besar…Pembohong, penipu. Awalnya dia manis sekali, sekarang dia berubah seratus delapan puluh derajat. Jangankan menikahiku, mengakui anaknya saja dia tidak mau…“
Tangan dingin itu menggenggam tanganku, seperti mencari kekuatan di sana. Aku hanya bisa terdiam. Bingung, harus berkata apa…Aroma parfumnya menusuk indra penciumanku. Entah kenapa, meski wangi tapi aku tidak pernah suka aroma ini.
“Kamu mau aku temani? Kita ngobrol di kafe bawah yang buka 24 jam?” ajakku, sembari melirik jam di pergelangan tanganku. Masih ada waktu. Aku masih berani pulang jam-jam segini.
Kasihan. Mesya yang akhirnya mau ngobrol lama denganku, ternyata perempuan yang sudah tersakiti, lahir dan batin. Laki-laki yang bernama Wijaya itu hanya berlaku manis, awal-awal ketemuannya saja. Mereka saling kenal gara-gara sempat terjebak lift yang ngadat di building tempatku bekerja. Setelah setahun pacaran, Jaya mulai berubah. Apalagi setelah Mesya mengaku hamil. Bukannya dia datang melamar ke orangtua Mesya, tapi malah mengantarkan wanita itu ke klinik, buat aborsi.
Aborsi yang dilakukan pun tidak berhasil sempurna. Rahim perempuan ini harus diangkat, gara-gara infeksi. Jaya makin berulah. Dia tidak pernah lagi mengajak Mesya jalan. Jangankan jalan, sekedar beri kabar di BB-nya pun tidak. Hingga akhirnya Mesya tahu, ternyata Jaya sudah beristri. Selama ini dia hanya dijadikan teman selingkuhan saja…
“Lantas, rencana kamu sekarang?”
“Belum tahu, Ayu…Aku memilih menyibukkan diri, agar lupa dengan masalah pribadi. Teman-teman yang tahu, menyarankan aku menghubungi istri Jaya. Agar dia memperoleh pelajaran. Tapi aku menolak…”
“Kenapa? Kamu takut balik dilabrak?”
“Bukan…Aku tidak mau, wanita itu juga tersakiti.”
“Bukankah kamu menyelamatkan wanita itu? Daripada Jaya melakukan kebohongan yang sama terhadap korban berikutnya, sementara istrinya tak pernah tahu?”
Mesya menatap mataku, dalam-dalam. Wajah cantik itu, pucat pasi. Baru aku sadar, dia seperti perempuan yang sakit, benar-benar pucat…
“Aku sudah pernah melihat istrinya, tapi…tapi aku tidak berani terus terang di depan dia. Kasihan. Pasti dia juga sama hancurnya dengan aku.”
Wajah pucat itu menunduk. Kedua tangannya menutup wajahnya, rapat-rapat. Lirih, tangisnya terdengar. Pilu. Entah mengapa, perasaanku ikutan giris. Penderitaan perempuan ini, luar biasa. Tega-teganya laki-laki yang sudah menipunya mentah-mentah itu. Bersyukur banget, aku memiliki keluarga bahagia. Jauh dari ribut, jauh dari kebohongan…
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Entah mengapa, bayangan Mesya selalu muncul di benakku. Hingga akhirnya, jelang dinihari aku baru bisa memejamkan mata.
***
Bing! Suara lift itu, kembali mengejutkan aku. Bbbrrr! Entah kenapa, aku suka terkaget-kaget belakangan ini. Dengar suara telpon, lift, sampai temanku yang sudah sangat halus, muncul di depan meja kerjaku saja, kaget. Aku juga sering kedinginan tiba-tiba, apalagi ketika turun malam-malam sendiri ke lantai dasar. Mungkin efek dari udara malam…atau…ah, aku tidak mau menebak yang macam-macam. Meski seorang peramal kartu Tarot yang kutemui di mall minggu kemarin, meramalkan ada bayangan gelap tengah mengincarku.
Bbbrrr. Lagi-lagi dingin. Tengkukku seperti ada yang meniup. Hening di sekitarku, tak ada siapa-siapa selain aku dalam lift, membuat jantungku tiba-tiba berdebar kencang. Beberapa kali aku mencoba sms teman, buat menghilangkan gugup. Astaga, sinyal kok blank. Ah, sebentar lagi juga sampai bawah, hibur batinku sembari melihat angka di lift. Meski jalan, tapi rasanya lamaaa sekali. Hingga akhirnya, pintu lift terbuka… Sepi. Gelap. Lho,  kok lantai dasar, tempat parkir? Seharusnya aku turun di lantai 1, baru keluar lobi depan.
 Tubuhku bergetar. Keringat membanjir di kening. Beberapa kali kutekan pintu lift, tak juga mau menutup. Sementara di luar, hanya kegelapan saja yang kulihat. Aduh, semoga tidak ada orang berniat jahat…Hampir saja aku menangis ketakutan, ketika tiba-tiba pintu lift mau menutup kembali.
Bing! Pintu terbuka, tepat di lantai satu. Mesya sudah ada di depanku! Wajahnya yang biasa selalu berkabut, kini kelihatan ceria. Tidak ada tanda kesedihan di sana. Sementara tangannya menenteng sepasang sepatu merah bata, senada dengan warna bajunya.
“Haiiii, Ayu! Mau pulang ya…. Aku juga, mau balik nih!”
“Ya, Mis, aku mau pulang. Tadi lift sempat ngadat, sampai stress. Kamu ngapain nenteng-nenteng sepatu gitu? Kaki kamu kenapa?”
“Ha..ha..ha…iya nih, capek pakai sepatu. Nggak enak…pengen santai saja, kan sudah tidak ada orang ngelihat..”
“Mmm, kamu senang banget kelihatannya…”
“Bener banget! Aku lagi senang. Akhirnya aku berhasil menemui istri Jaya. Nggak sangka, dia baik dan sabar. Kok bisa ya, Mas Jaya menipunya?” Misya terus saja nyerocos, sambil berjalan menemaniku menuju lobi depan.
“Kamu bilang ke istri Jaya soal semuanya? Dia nggak marah?” tanyaku terheran-heran. Luar biasa juga perempuan itu.
“Nggak sih, aku nggak ceritain semuanya. Aku baru mengenalnya saja, berusaha deketin dia. Ntar kapan-kapan, dia juga tahu sendiri tanpa perlu kuberitahu kok…Tanpa sengaja, kami kenalan di kantor. Kan satu building kerjaan kita…”
“Hah? Ternyata kalian satu building? Berarti suaminya itu selingkuh dengan orang satu gedung dengan istrinya? Gila banget ya…”
Misya mengangguk-angguk saja. Wajahnya memang tidak seperti biasa kutemui. Benar-benar ceria.
“Oke deh, aku duluan ya…salam buat suami kamu. Kapan-kapan kita bisa ketemuan bareng, ngobrol-ngobrol. Boleh kan?” kata Misya, sebelum akhirnya kami benar-benar berpisah di depan perkantoran ini.
***
            Sore ini, suasana di kantor lebih ramai dari biasanya. Maklum, jelang weekend. Teman-temanku yang masih pengantin muda, sudah bermalas-malasan kerja. Beberapa di antaranya, malah ngumpul main jalangkung. Dasar iseng banget tuh anak-anak. Aku nggak pernah suka main yang aneh-aneh.
            “Yu, nggak mau ikutan dengerin? Lucu lho…Seru!” ajak Bimo, ketika muncul di depan mejaku.
            “Seru? Gila kali ya, sore-sore malah main begituan…”
            “Bener seru…Apalagi kali ini roh yang masuk, korban bunuh diri di building kita…”
            “Bunuh diri di sini?” Aku menghentikan pekerjaanku. Kok aku baru dengar ya, ada juga orang yang bunuh diri di building ini.
            “Kamu terlalu sibuk dengan urusan kamu sih, sampai-sampai kejadian di sini nggak up date. Tuh hantunya yang masuk lewat jalangkung, ternyata dicocokin sama koran, sama…Dia mati karena kecewa, laki-laki yang menghamilinya tidak tanggung jawab. Dia sempat aborsi segala. Laki-lakinya sudah beristri pula. Kasihan…”
            Aku menggeleng-gelengkan kepala. Rumpi banget sih, sampai sedetail itu tahunya…Apa benar, jalangkung bisa memanggil roh dan rohnya curhat sampai seperti itu…
            “Dasar rumpiiii…”
            “Yah, lihat saja sendiri tuh korannya…” Bimo menyodorkan koran bekas yang sudah kusut. Benar. Berita seorang wanita muda, lompat dari lantai 25 gedung ini. Korban diduga kecewa, laki-laki yang dia cintai bersuami. Menurut visum, dia pernah melakukan aborsi dan operasi pengangkatan rahim…Ya, Tuhan…
            Foto di TKP memperlihatkan tubuh wanita yang sudah ditutup koran sebagian. Sementara di dekatnya, terlihat sepasang sepatu warna merah bata. Sepertinya aku kenal betul sepatu itu…inisialnya pun M. Mungkinkah Mesya?  Dan…astaga, tanggal kejadian meninggalnya perempuan itu sehari sebelum aku bertemu Mesya! Tanggal 27 bulan lalu…
             Rasa penasaranku terjawab sudah, ketika kudatangi kantor tempat Mesya mengaku bekerja. Foto Mesya, memang benar seperti Mesya yang kukenal. Dan teman-temannya di sana mengaku, bulan lalu perempuan ini bunuh diri dengan melompat dari lantai 25…Meski sudah meninggal, kabarnya dia suka muncul di lantai 25. Beberapa petugas keamanan sudah memaklumi kejadian ini, karena Mesya tidak mengganggu. Ya Tuhan, berarti yang kutemui kemarin? 
“Saya sudah mengikhlaskannya, mbak. Kasihan dia, sejak patah hati semua pekerjaan kacau. Dia sering curhat sama saya saja, tapi tidak pernah menyebut cowoknya tinggal dimana. Dia hanya sebut Jaya…Wijaya…saja. Padahal laki-laki itu kelihatannya baik, sayangnya…” cerita Mira, sahabat Mesya yang kutemui siang itu. Dia menyodorkan foto yang diambil dari dalam dompetnya. 
 “Ini foto kami berempat. Saya dengan suami, dia dengan laki-laki itu. Kenangan satu-satunya yang tersisa dari sahabat terbaik saya…” jelas  Mira, berat. Kulihat sekilas foto itu, astaga..mendadak kepalaku pusing. Tiba-tiba bayang-bayang Mesya seakan menyeringai di depanku…Jari-jari lentiknya mencengkeram leherku, seperti mau mencekik. Foto itu…Laki-laki dalam foto itu, bukankah Mas Desta? Mas Desta Wijaya-ku?

Tidak ada komentar: