Selasa, 06 September 2011

CERITA DARI BANGSAL RUMAH SAKIT



            Pusing. Aroma karbol langsung menusuk indra penciuman, begitu kuterbangun. Lamat-lamat kudengar suara denting benda-benda yang sepertinya terbuat dari logam atau stainless stell. Mengapa tubuh ini terasa begitu dingin dan ringan? Meski mata rasanya begitu berat untuk dibuka, segalanya samar dan seakan berkabut, kupaksakan juga mengenali apa saja yang ada di sekelilingku….
            Perawat? Suster? Ruangan serba putih? Glek, mata ini kembali terpejam. Kucoba mengingat-ingat apa yang tengah terjadi. Astaga…bukannya terakhir aku terpelanting dari motor, gara-gara menghindar dari sebuah bola yang menggelinding di tengah jalan? Bola…ya, bola yang lebih menyerupai kepala manusia, plontos, botak, berlumuran darah, dan wajahnya itu…Wajah itu menyeringai, seakan menertawakan aku?
            Damn! Apa aku tadi bermimpi? Tapi kenapa kepala gundul itu, begitu jelas menggelinding di depan mata? Darimana memangnya aku tadi? Mmmm…iya…iya… Bukannya kuhabis menengok Tata, sepupu yang melahirkan? Sengaja kumanfaatkan cuti panjangku kali ini, buat main ke Semarang, sekaligus menengok salah seorang kerabat dan mantan teman kuliah. Toh, sudah lama nggak kangen-kangenan dengan mereka. Apalagi, cukup banyak juga teman kuliahku dulu yang memiliki usaha bagus di kota lumpia ini.
            Lumayan. Banyak kawan, banyak kemudahan. Buktinya, aku nggak perlu repot mencari penginapan, karena Danu sahabatku yang kini mengelola rumah kos-kosan, memaksaku menginap di sana, sekaligus meminjamiku motor. Agar mudah, buat ke mana-mana.
            “Anggap saja rumah sendiri…Motorku juga bisa kamu pakai. Jangan sungkan, dulu kamu kan sering banget direpotin,” katanya, sambil menyodorkan kunci motor dan STNK.
            Segan dan malu juga, dia bantuin sampai segitunya. Meski waktu kuliah memang sih, Danu sering banget menginap di rumah, buat ngerjain tugas kampus sama-sama. Makan, jalan, cari buku, sampai pedekate dengan cewek, kami sering lakukan bersama. Itulah mengapa, lama banget kami nggak pernah dapat pacar serius…
            Lulus kuliah, kami bekerja di kota yang berbeda. Dia tinggal di Semarang, aku memperoleh posisi lumayan di sebuah biro periklanan di Yogya. Tiga tahun sudah, kami keasyikan dengan karier masing-masing, sampai lupa memikirkan rumah tangga. Hingga kudengar sekarang, Danu baru saja bertunangan dengan adik kelas kami dulu. Rencananya sih, lima bulan lagi mereka menikah.
            “Mas, sudah sadar? Bisa dengar suara saya?” Lamat-lamat, suara lembut itu terdengar. Kurasakan sesuatu yang dingin, menyentuk tengkuk, lantas nadi di pergelangan tanganku…
            “Syukurlah, mas sadar. Hampir dua jam, mas pingsan…” kata pemilik wajah oval dan berseragam putih-putih itu, begitu melihatku membuka mata. Suster? Kuberusaha menggerakkan kepalaku, tapi …pusing! Denyut di kepala, seperti ribuan jarum. Sakit…
            “Saya di mana? Mengapa bisa di sini?”Kerongkongan ini rasanya tercekat, seperti sudah belasan jam tidak bicara. Kering. Perempuan berseragam perawat dengan rambut pendek sebahu, itu tersenyum…
            “Tenang, mas. Jangan banyak gerak dulu. Mas mengalami kecelakaan dan diagnosa dokter, gegar otak ringan. Kerabat mas sudah kami hubungi, besok akan datang. Sekarang, tidur saja lagi… Kalau butuh apa-apa, pencet bel ya. Saya piket malam ini,” kata perawat itu lagi.
            Aku hanya bisa menyeringai, lemah. Kelihatannya, pengaruh obat masih begitu terasa, sampai-sampai ingin membuka mata saja begitu berat. Gelap.
*******
            Bosan. Bayangin saja, seharian tidak bisa turun dari tempat tidur. Sendiri pula… Jam berkunjung sudah lewat, kini aku kembali sendiri di ruang berukuran sekitar 4X5 meter ini, seorang diri.
            “Siang, mas…Sudah baikan? Sebaiknya jangan terlalu diforsir buat membaca atau mikirin yang berat-berat,” tegur pemilik suara lembut itu… Oh, suster cantik ini lagi…
            “Tolong, panggil saya Dewa saja suster, jangan mas…mahal mas sekarang?!” kataku, mencoba bercanda. Hah, norak banget sih…Malu juga aku nyadar, kok lebai begini…Pasti perawat itu, langsung ilfeel. Eh, tahunya bukannya menunjukkan ekspresi sebel, cewek bermata bulat dengan bulu mata lentik, tanpa maskara itu malah senyum…
            “Okey Dewa…Kamu juga boleh panggil saya, Suster Tika. Kebetulan saya sering piket di bangsal ini…” katanya, sambil meletakkan makan siangku di meja, samping tempat tidur.
            “Mau makan sekarang? Saya bantu?” tanyanya lagi. Aku menggeleng. Tapi melihat kesungguhan tawarannya, boleh juga tuh. Lagipula ingin makan sendiri juga masih sulit…
            Tanpa kuminta dua kali, Suster Tika langsung membantuku makan… Ampun, kuingat terakhir kali merasakan disuapin ya waktu kecil dulu.
            Bayanganku tentang perawat yang pendiam dan dingin, ternyata tidak beralasan. Buktinya suster yang satu ini super ramah dan hangat. Dia mau mendengarkan cerita konyolku, bahkan sebaliknya dia juga nggak segan menceritakan keluarga kecilnya. Katanya sih, masih seorangan alias single. Tika tinggal bersama dua adiknya yang masih kuliah dan sang mama. Kasihan juga…Muda-muda sudah menjadi tulang punggung keluarga…
***********
            Obrolan siang itu, nyaris kulupakan. Kupikir nggak akan bertemu lagi dengan suster cantik itu, setelah aku dipindahkan ke ruang rawat biasa. Gabung dengan seorang pasien lain yang juga korban kecelakaan. Maklum, aku menolak tinggal di kamar VIP. Mahal! Tapi tahunya, malam ini  Tika juga yang berkeliling mengecek keadaan pasien. Sayang banget, kali ini dia tidak sendiri. Tapi ditemani perawat berambut kriting, cepak dengan warna kulit lebih gelap dari suster cantik itu. Hingga aku nggak bisa mengajaknya ngobrol, seperti kemarin.
            “Malam, Suster…” sapaku, sok akrab ketika dua perawat itu mendekati tempat tidurku. Deg, jutek banget! Teman Tika itu hanya senyum, sekilas kulihat id pengenalnya. Bertha. Mmm, nama yang bagus. Sayang tidak seindah pribadi orangnya, padahal kuperhatiin perempuan bertubuh mungil, berleher jenjang itu juga cantik. Bahkan kesannya lebih eksotik, dibanding Tika yang berkulit putih.
            “Kalau ada keluhan, silahkan pencet bel ya…Saya piket malam ini. Sebaiknya, anda tidur jangan terlalu larut…” pesannya dengan nada datar. Busyet, nggak ada manis-manisnya nih orang. Kulirik Tika yang berdiri disamping Bertha, hanya senyum-senyum, sambil menunduk. Seakan dia ingin menahan tawa, melihat ekspresiku yang masam dan shock…
            Sialan, pasti Tika menertawakanku dalam hati. Ya, lagian siapa pula yang sok akrab…Suster berwajah dingin itu, kelihatannya tak menghiraukan ekspresiku yang kaget. Cuek saja, dia memeriksa selang infus, lantas memastikan beberapa obat di meja, sudah kuminum.
            Bbbrrrr….Entah kenapa, perasaanku nggak enak. Dingin. Lebih dingin dari biasanya, udara malam ini. Bahkan, tangan Suster Bertha waktu memeriksa detak nadiku pun kurasakan begitu dingin…Sekilas, kulihat tatapan mata perempuan itu. Gggrhh, dingin pula! Tanpa ekspresi… Mati, deh…Kalau hari-hari terakhirku di rumah sakit ini musti bertemu dengannya melulu.
*********
            Bener juga, tebakanku. Sejak pindah ruangan, aku nyaris nggak ada waktu ngobrol banyak dengan Tika. Suster cantik yang diam-diam sudah membuatku terpesona itu. Bahkan, kehadirannya sampai aku promoin di depan Danu. Untung saja, temanku sudah punya tunangan. Kalau nggak, pasti Danu juga setuju dengan pendapatku. Cewek ini cantik, lembut dan baik…pas buat dijadiin pacar, atau bahkan, lebih dari itu…
             Suster Bertha, lebih sering muncul, mengantarkan makanan, memeriksa kondisiku atau memastikan semua pasien dalam kamar ini baik-baik saja. Andai kan Tika, ikutan datang…dia selalu bersama Bertha. Huuuh! Kapan ngobrolnya? Boro-boro ngobrol, menyapa saja…aku sungkan. Kulihat, Tika juga sedikit takut dengan Bertha. Mungkin dia seniornya kali.
            Sayang banget, padahal dua hari lagi aku dipastikan bisa pulang. Sore ini, sengaja aku keluar dari kamar, mencoba mencari udara segar sekaligus berharap bisa menemui Tika, minimal untuk terakhir kalinya…Tapi, lagi-lagi alamakkk….aku berpapasan dengan Suster Bertha.
            “Sore, Suster… “ sapaku, mencoba nekad. Huuh! Kali ini, nggak boleh nyerah deh...Demi….
            “Sore! Ada yang bisa saya bantu?” tanya Suster Bertha. Masih sama dengan yang kemarin. Tatapannya dingin. Meski kuakui, dia juga baik dan sigap meladeni semua kebutuhanku, tapi tetap saja dia tidak seceria Suster Tika.
            “Mmm….nggak…Suster, piket sendiri?” Aduh! Gila! Kutepuk jidatku sendiri, menyadari pertanyaanku begitu bodoh. Ngapain nanya-nanya, dia sendiri…
            “Ya, sering juga sendiri. Boleh saya periksa tensinya? “ tanya Suster itu, sembari mengikuti aku yang tengah membuka pintu kamar. Mmm, masuk lagi deh. Gerutuku. Entah mengapa, tiap berdekatan dengan suster ini, perasaanku nggak enak. Selain  udara di sekelilingku terasa lebih dingin dari biasanya, aroma melati yang mungkin dia pakai membuatku bergidik.  Benar-benar, aku nggak suka baunya…menggiriskan.
            “Lain kali, hati-hati kalau bawa motor. Apalagi lewat daerah bekas hutan randu itu…” kata Suster Bertha, sambil memeriksa obat-obatan di mejaku. Mmm, tumben nih suster, baik juga mau ngomong…
            “Ya, Suster tahu saya kecelakaan motor?”
            “Tahu dari Suster Tika, sebelum saya tugas di bangsal ini.  Sebenarnya sudah sering, korban kecelakaan tewas di tempat itu. Daerah bekas pohon randu. Anda saja yang beruntung, selamat…”
            Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak. Nih suster, beneran cerita, bersyukur aku selamat, atau malah nakut-nakutin sih…Tebakanku keliru. Suster Bertha, ternyata tidak kalah menyenangkan dari Tika. Hanya saja, tampilan luarnya saja serem. Padahal kalau sudah kenal, ternyata dia nggak segan diajak cerita. Apalagi pasien yang satu kamar denganku sudah pulang. Hingga, obrolan kami tidak mengganggu siapa pun.
            Lewat Suster Bertha pula, kutahu glundungan kepala plontos yang kulihat itu, bukan hisapan jempol. Beneran. Banyak orang kecelakaan di tempat itu, gara-gara melihat kepala menggelundung di jalan raya. Sebutannya bagi yang percaya, gundul pecengis. Kepala gundul yang menggelinding, sambil mecengis atau meringis.  Cerita itu muncul, awalnya dari seorang pria plontos yang ditemukan mati terbunuh di daerah yang dulunya banyak pohon randunya. Tubuh korban ditemukan, tergeletak di bawah pohon, terpisah dari kepalanya yang berada tak jauh dari tubuh itu.
            Hih!!! Bulu kudukku meremang, Cerita Suster Bertha ini bisa-bisa membuatku nggak bisa tidur. Meski malam ini, kulihat dua kali Suster Tika melintas di depan kamar, bersama seorang perawat. Mungkin dia piket malam. Ingin memanggilnya, tapi mataku sudah begitu berat. Hingga akhirnya, malam ini aku berhasil benar-benar terlelap.
**********
            Thanks God! Hari ini, aku bisa pulang…Danu yang menjemputku, sudah menunggu di mobil, karena kubilang mau pamitan dulu dengan perawat yang selama ini begitu baik, menjaga.
            Kuintip ruang perawat, mmm…Suster Tika kemana ya? Apa dia sedang keliling, memeriksa pasien? Belum sempat aku mengetuk pintu, tepukan di pundak nyaris membuatku melompat kaget. Suster Bertha!
            “Pulang sekarang ya…Hati-hati di jalan, jangan lupa tetap rajin check up, buat memastikan nggak ada efek samping dari benturan di kepala,”katanya, sambil menjabat erat tanganku. Dingin. Masih sama…
            “Maaf, Suster…Boleh, saya tahu Suster Tika kemana ya?” tanyaku hati-hati. Duh, jangan sampai suster galak ini tahu isi hatiku. Tapi melihat ekspresi wajahnya yang mendadak berubah, hatiku jadi nggak enak juga…Pasti dia menduga aku macam-macam…
            “Suster Tika?” Tanyanya lagi, serius. Aku menggangguk, meski heran melihat mata Suster Bertha mendadak memerah dan berkaca-kaca.
            Denyut di kepalaku mendadak muncul lagi, mendengar cerita perawat bertubuh langsing ini. Katanya, Suster Tika meninggal dalam kecelakaan sepulang piket malam. Kejadiannya tepat, setelah esoknya aku pindah ruangan. Duh, padahal aku masih melihatnya sering menemani Suster Bertha memeriksa kondisiku. Berarti…(Ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: