Selasa, 06 September 2011

BONEKA KORBAN TABRAK LARI



            Konon orang yang meninggal dengan cara tidak wajar, masih menyisakan energi di tempat yang dia tinggalkan. Seperti cerita tentang sebuah boneka yang sering “terlihat” nyangkut di pohon, pinggir jalan di daerah Siliwangi, Bandung. Benarkah boneka itu milik seorang bocah perempuan, korban tabrak lari?
            Ciiittttt! Jantungku seakan lompat dari tempatnya. Nggak salah! Tadi aku nyaris menabrak seorang bocah yang menyeberang jalan, tiba-tiba. Nyaris atau bahkan, aku sudah menabraknya? Benturan keras yang tadi terdengar, sebelum akhirnya mobil benar-benar berhenti di tepi jalan…bukankah???
Ah, aku nggak mau membayangkan kemungkinan terburuk yang bakal terjadi. Memang ini kesalahanku, membawa mobil dengan kecepatan maksimum. Gara-gara ingin buru-buru sampai di rumah dan jalanan mulai sepi, aku sampai lupa diri. Akibatnya, ketika kendaraan yang kubawa memasuki kawasan Siliwangi, tiba-tiba entah darimana datangnya, kulihat seorang bocah perempuan menyeberang begitu saja…
            Meski masih lemas, karena kaget sekaligus merasa bersalah, aku paksakan diri turun mencari bocah itu…Andai, dia tertabrak, apa yang musti aku lakukan? Gimana dengan keluarganya? Gimana kalau warga melihat, lantas mengeroyok dan menghajarku?
            Ketakutanku nggak beralasan, rupanya. Bocah itu, sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Tak ada tanda-tanda mobilku menghantam sesuatu, hingga kupastikan bocah yang kulihat tadi hanya khayalan. Aku pasti ngantuk…Baru kusadar, sekitarku begitu sepi. Wajar saja. Hampir tengah malam. Nggak satu pun pedagang atau mobil, lalu lalang…Kuhapus keringat yang mengucur deras, gara-gara tadi panik. Memang sepertinya aku butuh istirahat, cari angin sebentar. Jakarta Bandung, pulang pergi dalam satu hari bikin badan rontok…
            Kuambil sebatang rokok, lantas kunyalakan. Mmm, perasaan lebih baikan sekarang. Bayangin saja, pulang seminar tadi aku langsung tancap gas. Nggak sempat minum, ngopi-ngopi atau merokok, seperti kebiasaanku sebelum pulang kantor. Angin malam yang bertiup, terasa dingin tapi menyejukkan. Jarang-jarang aku bisa merasakan dinginnya malam di udara terbuka…Biasanya waktu habis dalam mobil atau ruang kerjaku. Sambil mengecek pesan di BB yang masuk, kusandarkan badanku yang pegal di mobil…mmm, nggak ada pesan penting. Paling Chelsea yang mengingatkan aku, besok ada meeting dengan kepala cabang di kawasan Kuningan.
            Bbbbrrr! Dingin…Tiba-tiba saja, tengkukku terasa berat. Angin yang berhembus, seakan berhenti bertiup. Gemerisik daun-daun di pepohonan, seperti berirama…hingga tanpa sadar, pandanganku tertuju pada satu bayangan di atas pohon. Bocah? Boneka? Nggak jelas, seperti sebuah bayangan putih, kecil dan…astaga…mirip boneka! Ya, boneka berambut ikal dengan tatapan aneh, seakan dia memperhatikan aku dari tadi…
Mungkinkah, itu milik penduduk setempat yang lagi main, lantas nyangkut di sana?
            Ah, masa bodoh. Toh, ngapain aku mikirin mainan orang lain …di pohon pula. Pasti kalau kuceritain, teman-teman di kantor  menganggap aku kurang kerjaan. Gokil. Sebatang rokok, tidak terasa sudah habis aku hisap. Sekarang waktunya pulang…Moga-moga saja, keluar dari Bandung nggak kejebak macet. Sebelum menyalakan mesin mobil, sekilas kulihat lagi pohon yang tak jauh dari tempat kuparkir.. Boneka…boneka itu kok sudah tidak ada di tempatnya semula?
Belum sempat berpikir panjang, naluriku seperti mengatakan ada yang tidak beres di seberang jalan, dan betul saja…pas aku menoleh…Duh! Boneka itu, kenapa dia sudah berada di situ? Posisinya terduduk di jalan. Matanya yang bulat plus bulu mata lentik itu,  membelalak, seperti menatapku!
            Tanpa komen, tanpa peduli dengan kaca mobil yang masih terbuka, langsung aku tancap gas. Nggak tahu lagi, berapa kecepatan maksimumku, tapi yang jelas…aku musti segera menyingkir dari tempat itu.
********
            Parah. Meeting sore ini, hasilnya membuat migrainku kambuh. Gimana nggak…Baru saja balik dari Bandung, Senin depan aku musti bertugas lagi ke sana. Padahal masih ada staf lain yang bisa ditugaskan, kenapa musti aku? Karena aku cowok, masih single alias nggak punya tanggungan keluarga? Hingga mereka tidak akan mengkhawatirkan aku yang sering pulang pagi? Dasar. Tahu begini, sejak awal aku sudah menolak penugasan Bandung.
            “Santai aja lagi…Hitung-hitung refreshing ke luar kota. Tempat shopping dan kuliner di sana kan seru, banyak pula…” bujuk Sita, adik kelasku dulu yang kini sekantor denganku.
            “Kamu pikir, sampai di sana sempat jalan-jalan?”
            “Ya, kan kali ini nggak langsung balik? Bukannya tiga hari ditugasin di sana. Lumayan tuh, masih bisa cuci mata…”
            Dasar cewek. Pasti yang dia bayangkan di Bandung, shopping, shopping dan shopping. Padahal aku sendiri, paling males keluyuran. Apalagi di kota orang, tanpa teman…
            Ngomong-ngomong teman, bukannya sepupuku sekarang tinggal di sana? Lama bener nggak ketemuan, wah boleh juga tuh…
            “Gimana, sudah ada ide?” tanya Sita lagi, mengagetkanku.
            “Rahasiaaa! “ kataku, sambil meninggalkan perempuan bertubuh mungil itu terbengong-bengong keheranan.
****
            Nggak salah, Bandung memang surganya belanja dan kuliner. Baru sehari saja tinggal di sini, aku sudah merasakan geliatnya. Ingin makanan apa saja, beragam bentuk, ada. Dewo, sepupuku yang menjemput di hotel tahu banget gimana meladeni tamunya. Nggak hanya nunjukkin factory outlet, dia juga mengajakku nongkrong di kafe tenda.
            “Thanks ya, Wo! Tadinya kubayangin tugas di sini tiga hari, bakal super ngebetein. Soalnya nggak tahu, mau kemana dan sama siapa…Bosan, kalau tiap kali ngendon di kamar hotel. Ngadepin meeting seharian saja, bikin kepala berasap,” kataku, sambil menyeruput segelas coffe latte.
            Seporsi tape dan roti bakar, sudah tandas di depan kami berdua. Tapi kelihatannya, makin malam makin seru live music di kafe ini. Sayang buat balik buru-buru…
            “Lagian, kamu ngelupain saudara yang sudah lama bener nggak ditemui. Kapan tuh, terakhir kamu ke rumah mama?” tanyanya, setengah menyelidik. Mau nggak mau, aku hanya bisa nyengir. Inget, kalau mama dia yang tinggal satu kota denganku saja, jarang kutengokin…
            “Tahu sendiri, urusan kantor suka bikin lupa segalanya. Balik rumah, capek, stress…Pengennya langsung cium kasur.”
            “Alasan lho… Inget, sampai sekarang masih aja ngejomblo. Ngundang-ngundangnya mau kapan? Jangan sampai jadi bujang lapuk, kasihan tuh mama kamu di Yogya…”
            Parah…Bagian ini nih yang selalu kuhindari. Ngomongin soal pasangan hidup. Memang Dewo, bener. Bayangin saja, karierku oke. Rumah sendiri, ada. Umur, cukup. Tapi masih saja, belum ada tanda-tanda mau married. Sementara teman-teman di kantor seumuranku, rata-rata sudah punya momongan satu, bahkan dua. Padahal, biarpun cowok, aku juga suka banget anak kecil…
            “Udah, jangan kebawa stress gitu. Peer saja, buat kamu di Jakarta ntar…Kita pulang yuk, udah hampir lewat tengah malam nih,” tegur Dewo, sembari mengenakan jaketnya kembali dan siap-siap beranjak pergi.
            Entah karena memang sudah mengantuk atau memikirkan omongan Dewo tadi, sepanjang jalan kami sama-sama lebih banyak diam. Sampai Dewo akhirnya kuturunkan tepat di depan rumahnya.
            “Hati-hati ya, baliknya ke hotel. Lewat Siliwangi kan? Jangan ngebut,” pesan Dewo, sebelum membuka pintu pagarnya dan masuk.
            Pacar…Pacar… Gimana mau cari pacar? Dekat dengan cewek saja, kemungkinannya kecil banget. Maklum saja, teman sekantor rata-rata sudah berkeluarga. Kalau pun belum, mereka sudah bertunangan atau punya pasangan. Akunya saja yang lemot, masih bertahan sebagai jombloners sejati.
            Huh! Sepanjang jalan pulang, pertanyaan Dewo ternyata meracuni pikiranku. Andai saja dulu aku tidak mengenal Rieka, calon tunanganku yang meninggalkan aku begitu saja tepat di hari pertunangan kami… Sebagai seorang pria, laki-laki dewasa, harga diriku benar-benar dicabik-cabik. Sakit hati, campur malu, membuatku bersumpah buat tidak memperdulikan yang namanya “perempuan”. Meski berulangkali mama dan sahabat-sahabatku berusaha meyakinkan, tidak semua perempuan berkelakuan sama…percuma. Aku terlanjur dendam dan marah.
            Cittttttttt! Sekelebat bayangan itu, tiba-tiba melintas tepat di depan mobilku. Astaga! Hampir saja, mobilku selip. Untung, jalanan sepi. Andai ada kendaraan lain, apalagi motor di dekatku, pasti udah kesamber.
            Nggak salah tuh? Aku mengucek mata, sekali lagi…Bayangan tadi, seperti ada bocah menyeberang? Gimana sih, malam-malam menyeberang seenaknya di jalan raya…
            Takut sudah mencederai orang, terpaksa mobil kuparkir di tepi jalan. Entah kenapa, tiba-tiba bulu romaku berdiri. Tengkukku terasa dingin. Kurasakan suasana di sekitar tempat ini, sunyi banget. Andai ada orang berbisik pun, kedengaran kali saking sepinya. Belum hilang rasa heranku, tiba-tiba kulihat bocah perempuan itu lagi…Jalan dengan cueknya, lantas dia menyeberang jalan tepat di depanku!
            “Haiiii…dik! Hati-hati, lihat kanan kiri dulu….” teriakku. Terlambat! Dia sudah nyelonong saja, menyeberang. Bertepatan dengan dia jalan, dari arah belakangku melaju sebuah mobil pick up dengan kecepatan tinggi. Tak bisa kucegah lagi, kupastikan cewek itu bakal terhantam mobil…Takjub, takut, panik, kuhanya bisa menutup mata dan balik badan…Nggak sanggup, melihat bocah cilik terlindas mobil…
            Wuzzz! Kurang ajar! Pick up itu, kabur begitu saja?! Gila! Batinku mengumpat geram, benar-benar tidak manusiawi. Buru-buru aku menghampiri arah bocah itu berada tadi, tapi….nggak ada!
            Kucari-cari di sekitar tempat kejadian…Sama saja. Tidak ada tanda-tanda, bocah itu berada. Mustinya, andaikan dia tertabrak atau terpental pun, dia nggak bakal jauh dari posisi mobilku diparkir. Lantas dia di mana?
            Bulu kudukku kembali berdiri. Perasaan khawatirku, berubah menjadi takut dan gamang. Baru nyadar, tempatku berdiri sekarang bukannya tempat kemarin waktu aku melihat bocah kecil itu…Bener saja, pas aku balik badan kulihat pohon besar yang dulu itu juga…tempat…
            Deg! Jantungku nyaris berhenti. Boneka! Boneka berambut ikal dengan mata belok dan bulu mata lentik itu, kelihatan masih tersangkut di atas sana. Tapi kenapa…wajahnya kini berdarah-darah??? Ampunnn…meski laki-laki, jujur aku paling males berurusan dengan hal “beginian”. Tanpa berpikir panjang, aku langsung masuk kembali ke mobil dan tancap gas. Lewat kaca spion mobil, kulihat boneka itu tidak lagi di atas pohon, tapi sudah berdiri di bawah! Tolongggg!
********
            Kurang ajar. Bukannya prihatin, Dewo malah menertawakanku pas denger kejadian yang kualami beberapa kali di daerah itu. Jelang balik ke Jakarta, dia sengaja mengajakku makan di tempat favoritnya, sambil menitipkan oleh-oleh, camilan buat anak-anak di kantor.
            “Kan sudah kubilang, hati-hati kalau lewat daerah Siliwangi…Asal kita nggak berpikiran negatif, pasti aman-aman saja…” katanya, membuatku makin penasaran.
            Baru kutahu, percaya atau tidak di daerah itu dulu pernah ada seorang bocah perempuan yang tewas, karena tabrak lari. Awalnya, tuh bocah baru dibeliin boneka oleh sang mama. Turun dari angkot, bocah itu terlalu girang ngeloyor saja jalannya. Sang ibu yang tengah membayar ongkos angkot, tidak melihat putrinya menyeberang.
            Malang! Tubuh bocah perempuan ini, langsung disambar mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi dan tewas seketika. Penabraknya kabur. Bonekanya terlempar, entah gimana tidak ada yang berusaha mencari. Tapi sejak kejadian itu, orang-orang yang melintas di jalan ini sering melihat boneka nyangkut di pohon. Pas diperhatiin, bisa tiba-tiba menghilang. Kadang juga, pengendara mobil yang lewat dikecohkan dengan bayangan seorang bocah perempuan menyeberang jalan dengan tiba-tiba. Syukur, meski sempat “bertemu” dengannya, aku tidak mengalami gangguan berarti. (Ft: berbagai sumber/Kisah Dani ini diangkat berdasarkan hasil penerawangan Fabian Hosoi, mentalis dari The Master3 yang diceritakan kembali oleh Steph)

Tidak ada komentar: