Rabu, 06 Juli 2011

RAHASIA SEBUAH KALUNG


          
             Sebuah mobil avansa nyebur ke sungai di kawasan Jakarta Barat, pagi diri hari. Pengemudi diduga mabuk. Lima dari tujuh penumpangnya, tewas di tempat. Astaga! Hatiku bergidik ngeri. Banyak banget kecelakaan terjadi, akhir-akhir ini dengan penyebab sama. Pengemudi mabuk atau ngantuk. Mustinya, mereka berpikir dua kali, sebelum membahayakan jiwanya. Bahkan, nyawa orang lain pula… seperti kejadian yang dialami Pasha teman satu kantor. Tiap jelang weekend, dia memang paling suka mengajak kami menghabiskan waktu di kafe tenda, kawasan Semarang atas. Maklum, bujangan. Nggak ada yang nungguin dia di rumah. Beda dengan aku yang tinggal hanya berdua dengan mama, musti berpikir dua kali untuk pulang malam. 
            “Ayolah, Cinta. Satu kali ini saja, kamu ikutan kami…Mama kamu kan bisa ditelpon, biar nggak nungguin…” bujuk Pasha, Jum’at sore itu. Kulihat Rene, Shinta dan Alan sudah beranjak dari meja masing-masing, lengkap dengan perlengkapan pribadi mereka. Tanda siap-siap akan pergi.
            “Iya, say…Ngapain juga bengong di rumah? Bosan tau… Kafe ini menunya mukmer lho, murah meriah. Pasti kamu suka. Home band-nya bagus, kita juga bisa request lagu. Gimana?” Rene memandangku, penuh harap.
            Nggak tega juga sih, menolak ajakan mereka untuk kesekian kalinya. Apalagi, kami berlima memang biasa kompak di kantor. Meski berulangkali dihasut sesama karyawan, berusaha diadu domba, toh kami selalu solid dan tidak tergantikan.
            “Gimana? Ayolah…keburu macet nih, jam segini?” tanya Alan, sembari menunjuk jam di dinding.
            Aku menggeleng. Wajah mama, terasa sangat berat mengganggu pikiranku. Andai kami mau jalan bareng, kan bisa weekend. Nggak musti malam hari?
            “Sori banget…bangetttt. Maaf, aku nggak bisa. Kasihan mama, sendirian. Pasti beliau cemas kalau aku pulang larut…”
            Pasha menggeleng-gelengkan kepala. Teman-teman terbaikku itu menyerah juga, tidak berhasil membujukku untuk ikut. Mungkin lain waktu, batinku.
*******
            Dingin. Nyaris menggigil, karena air yang mengguyur tubuhku begitu dingin. Sebenarnya bisa saja aku bikin air panas buat mandi, tapi malas. Boros gas, pula. Belum selesai mandi, mama tiba-tiba menggedor pintu.
            “Cinta…Cinta…Masih lama mandinya? “
            “Ntar ma, hampir selesai…” jawabku, setengah berteriak. Tumben-tumbenan, mama gedor kamar mandi. Beliau kan bisa menggunakan kamar mandi di samping kamar mama? Ah, sudahlah. Buru-buru kuselesaikan urusanku di kamar mandi. Masih dengan rambut basah, terbalut handuk, kutemui mama yang kelihatan gelisah di meja ruang makan.
            “Kenapa ma? Mama sakit?”
            “Pasha, Cinta…Pasha!”
            “Pasha? Dia telpon ma? Tadi datang…”
            Mama menggeleng. Wajahnya pucat, seperti habis melihat setan lewat. Tangannya yang kurasakan begitu dingin, menggenggam tanganku. Mata beliau berkaca-kaca…Firasatku mengatakan, pasti ada yang tidak beres…
            “Pasha meninggal. Mobilnya selip dan menabrak pembatas jalan. Teman-teman kamu lainnya masih belum sadarkan diri di rumah sakit….”
            Kugenggam tangan mama, berusaha mencari kekuatan di sana. Kuingin pastikan, mama tidak bohong dan aku tidak sedang bermimpi. Tapi itulah kenyataannya…Kutahu dari Rene, satu-satunya korban yang selamat, malam itu Pasha memang ngantuk berat. Alan sudah menawarkan diri, menggantikan dia bawa mobil. Tapi Pasha menolak…
            Mobil mulai oleng, ketika melewati turunan, lantas kecelakaan tunggal itu pun tidak bisa dihindarkan. Pasha tewas di tempat, terjepit badan mobil yang ringsek berat. Alan dan Shinta meninggal di rumah sakit, karena pendarahan hebat di kepala. Rene saja yang duduk di belakang, masih bisa tertolong.
            Astaga! Tuhan masih melindungi dan memberi kesempatan aku untuk hidup. Andaikan malam itu, aku ikut mereka pasti mama sudah kehilangan aku. Andaikan selamat, bisa jadi aku akan cedera berat seperti Rene yang musti istirahat total dengan kaki kanan digips.
*********
            Bip! Ada pesan singkat masuk ke handphone-ku. Nggak nyadar, berapa lama aku melamun. Sekilas kubaca, lagi-lagi pesan mama supaya hati-hati pulangnya ntar malam. Yah, namanya seorang ibu yang hanya punya aku. Anak satu-satunya.
            “Mama kamu lagi? Sayang banget ya…Jadi ngiri…” teguran Aga mengejutkan. Cowok berambut cepak yang kini menjadi kepala divisi pemasaran, satu bagian denganku itu sudah duduk di depan mejaku tanpa aku sadari.
            “Tahu aja sih! “
            “Nebak…Kan aku paranormal…” katanya setengah bercanda, sembari mengambil koran yang sudah kuletakkan di atas meja.  “Kecelakaan lagi ya? Ngapain kamu baca beginian, hanya bikin sedih tahu!” lanjutnya. Kutatap matanya, tajam. Kali ini dia serius.
            Aga memang baru setahun bekerja di kantorku, tapi dia tahu banyak kejadian yang mengakibatkan tiga karyawan di perusahaan ini tewas mengenaskan.  Cowok itu juga tahu banget, aku masih terluka. Bayangkan saja, orang yang sangat aku percaya, begitu dekat, tiba-tiba semuanya direnggut dalam satu malam saja?
            “Haiiii Cintaaaa, aku masih di sini lho..”
            Aku tergagap, kaget. Ketahuan juga aku masih suka bengong, sendiri.
            “Nggak, aku hanya berpikir saja…Ada cenayang mirip kamu, gimana pasiennya? Sakit jiwa semua dibohongin….” ledekku, coba bercanda. Aga tertawa lebar, hingga kedua lesung pipitnya terlihat jelas.
            “Udahlah jangan kebawa suasana… Lebih baik mikirin yang ada di depan kita sekarang. Ntar siang, kita makan bareng di kafe depan kantor yuk. Bosan tiap hari menu kantin, sesekali boleh kan?” tawar Aga. Cowok ini memang paling bisa menghibur aku. Meski sebenarnya dia tahu, dulu aku hampir saja jadian dengan Pasha dan belum bisa melupakannya sampai sekarang. Sayangnya, Pasha ragu-ragu menembak aku langsung. Hingga aku baru tahu, setelah dia benar-benar pergi untuk selamanya.
            “Dia sangat mencintai kamu. Malam itu sebenarnya dia mau nembak kamu di depan kita-kita…Sayangnya, dia pergi secepat itu. Kamu pun tidak pernah mendengar pengakuannya langsung,” jelas Rene terbata-bata, ketika aku menjenguknya di rumah sakit. Lewat Rene pula, aku memperoleh kenang-kenangan terakhir dari Pasha, sebuah kalung dari emas putih dengan liontin sebuah batu safir warna biru. Satu hal yang sangat memukul perasaanku, tadinya kalung cantik ini  akan dia berikan di malam naas itu…Aku pun mengenakannya, hingga saat ini.
            Fuiiih! Aku menghela nafas, berat. Bener kata Aga, nggak boleh lama-lama memikirkan masa lalu. Kulirik mejaku, penuh dengan berkas yang harus segera dibereskan. Buru-buru konsentrasiku hanya tertuju pada tumpukan file, data di laptop dan telpon dengan sejumlah klien. Cukup.
*************
            Panas! Entah kenapa, malam ini udara terasa begitu panas. AC di kamar pun seperti tidak berfungsi. Rasanya panas itu berasal dari dalam tubuhku, terbakar… Kulihat bercak-bercak merah di sekitar leher dan lengan. Ampun. Masa sudah sebesar ini masih kena penyakit campak? Atau jangan-jangan alergi makanan? Takut membangunkan mama, malam itu kutidur dengan badan seperti berada di atas oven. Panas membara. Gendang telinga pun seperti berdenging. Sakit. Ingin menelan, kerongkongan seakan kering. Padahal sudah berapa gelas air es kutenggak tadi…Sama saja.
            Kuingat-ingat lagi. Mungkinkah gara-gara salah makan? Toh makan malam bersama Aga tadi di kafe langganan kami, tidak memilih udang atau kepiting, salah satu pantangan utamaku… Kocak banget. Pertama kencan dengan Aga, balik-balik bentol-bentol begini…
            Ingat kejadian malam ini, hatiku terhibur juga. Kehilanganku akan Pasha terobati. Aga lebih berani, menyatakan isi hatinya. Bahkan jelas-jelas tadi dia mengajakku dinner hanya berdua, tanpa melibatkan siapa-siapa. Biasanya, Pasha malah selalu mengajak Rene, Shinta dan Alan, teman satu genk kita di kantor. Aih-aih…kenapa ngebandingin Pasha dan Aga?
            Ketakutanku nggak bisa masuk kantor esok paginya, nggak beralasan. Karena ketika bangun, semua bentol merah hilang. Suhu badan pun normal kembali, seakan tidak pernah terjadi apa-apa semalam. Yah, mungkin saja kecapekan…
            Pagi ini, masuk ke kantor bukannya langsung ke meja kerjanya,  Aga malah menghampiri mejaku. Segelas coffe latte kegemaranku, dia sodorkan di meja.
            “Pagi, sayang….”
            Sayang? Untung nggak ada orang yang dengar. Ingin rasanya aku sembunyi, masuk dalam perut bumi karena malu. Biasa sih sebenarnya, sesama teman kantor cowok cewek menyebut dengan panggilan sayang… Tapi aku ingat banget, semalam Aga mengucapkan janji setianya untuk menjadi pacar dan menjagaku sepenuhnya.
            “Jangan gitu ah… Malu dilihat orang. Kerja sana…” protesku, tanpa mampu menyembunyikan semburat merah di pipi. Aga hanya senyum simpul, lantar melipir ke meja kerjanya.
            Hubungan cintaku dengan Aga, boleh dibilang makin serius. Mama pun setuju, bahkan semua teman-teman di kantor tidak ada yang protes. Kecuali Rene yang kelihatannya tidak begitu suka. Atau jangan-jangan, dia juga mencintai Aga?
            “Bukan aku tidak setuju, tapi pikir dulu. Keputusan kamu, terlalu cepat tidak menerima cinta Aga. Pasha pergi kan belum lewat setahun… “ kata Rene, ketika dia kuajak bicara empat mata.
            Entah mengapa, sejak jadian dengan Aga, Rene memang selalu menarik diri. Biasa jalan bareng, kini selalu ada saja alasannya buat menolak. Nggak hanya itu saja, seperti remaja yang baru demam cinta kali, aku selalu panas dingin setiap kali habis kencan dengan Arga. Malamnya, pasti badan panas membara, bentol merah di sekujur tubuh. Lucunya, Arga sendiri juga sering mengalami kejadian tidak menyenangkan ketika jalan denganku. Bannya bocor, kena jebakan paku. Handphonenya dipalak di lampu merah, mobilnya tiba-tiba mogok saat nganterin aku ke salon…Sampai-sampai, tanpa sadar aku pun mengaduh…
            “Jangan-jangan ada yang nggak ngerestuin hubungan kita nih? Sial mlulu, kalau abis berduaan…” candaku. Tanggapan Aga? Cuek. Maklum, cowok itu memang paling anti mengandalkan perasaan. Dia lebih percaya logika…
          ********             
            Minggu ketiga, aku resmi jalan dengan Aga…kondisiku tiba-tiba drop. Panas dingin, tidak keruan. Sampai-sampai untuk turun dari tempat tidurku pun, sulit. Aga yang datang mengunjungiku, kelihatan panik. Dokter pun mengatakan, aku baik-baik saja. Tapi mengapa semua persendianku seperti ngilu dan tidak bertenaga?
            Sepulang Aga, Rene baru muncul dengan sekotak pizza kesukaanku. Meski rasanya berat dan pahit, tetap saja kupaksakan makan demi tidak mengecewakan Rene.
            “Maaf ya Cinta, kondisimu makin memburuk…”
            “Maaf? Ngapain minta maaf sayang…Kamu kan nggak tahu apa-apa…” kataku, sambil memeluk Rene yang kelihatan terpukul. Butiran air matanya mendadak mengalir deras, membuatku jadi ikutan terharu dan sedih…
            “Rene…come on. Kamu sahabat terbaikku. Jangan gitu dong, aku sedih nih lihat kamu nangis begitu…Mana ledekanmu, biasanya kan kamu paling kuat…”
            Rene menggeleng. Dia mengusap rambutku, seperti seorang ibu mengusap kepala anaknya penuh sayang.
            “Aku sudah berusaha memperingatkan kamu, Cinta. Aku nggak menyangka akan separah ini akibatnya… Soal hubungan kamu dengan Aga. Beneran kamu mencintai dia?”
            “Ya iyalah, Rene. Masa aku main-main? Apa hubungannya dengan Aga…Kamu suka dengannya? Kamu marah?”
            Rene lagi-lagi menggeleng, hingga membuatku malah makin gemas. Apa-apaan sih maksudnya, ngomong berbelit-belit begini.
            “Malam sebelum kecelakaan itu, Pasha bilang di depan Alan, Shinta dan aku…Dia bersumpah akan menjaga dan mencintai kamu, sepenuh hati dan seumur hidupnya. Dia bilang, dia tidak akan rela kamu dimiliki orang lain. Selamanya dia akan menjadi bayangan kamu, kamu pun menjadi bayangan dia…Pasha mengatakan itu, bahkan bersumpah sambil membawa kalung yang kini kamu kenakan…”
            Ampun, Tuhan…Aku tidak mau percaya hal berbau mistis seperti itu. Tapi beberapa kejadian terakhir yang selalu menimpa aku dan Aga, sepertinya saling terkait. Aku sadar banget, akhir-akhir ini karena kesibukan di kantor dan hubunganku dengan Aga, aku tidak pernah lagi menengok makam Pasha, seperti dulu. Minimal dua minggu, sekali…Bahkan aku jadian pun, kubelum pernah ke makamnya atau mendoakan dia dalam doa malam seperti biasa. Benar-benar, aku sudah nyaris menghapusnya dalam memoriku…
            Sedih. Tanpa sadar, air mataku pun menetes. Kupeluk Rene, kami pun menangis bersama. Esok harinya, meski masih tertatih-tatih jalanku, kupaksakan diri ke makam Pasha bersama Aga. Kami berdoa, menaburkan bunga, tidak lupa sebelum pulang aku berbisik di dekat nisannya. Minta ijin, aku jalan dengan Aga…Minta kelegaan hati Pasha untuk merelakan aku, jalan dengan orang lain. Berangsur-angsur demamku pun turun. Kondisiku membaik. Hubunganku dengan Aga pun tidak bermasalah lagi, hingga suatu malam Aga datang ke rumah dengan membawa sebuah cincin , tanda dia mengajak aku bertunangan….(ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: