Selasa, 19 Juli 2011

Ground Zero



             Bocah laki-laki berambut pirang, bermata kecoklatan itu bener-bener menggemaskan. Berulangkali dia mencuri pandang dari balik tubuh mamanya yang tambun, bikin aku pengen menghampiri dan mencubit pipi kemerahan itu. Sayang, kelihatannya mereka terburu-buru. Sepasang suami istri separuh baya dengan baju pantai, bermotif bunga-bunga warna cerah menghampiri mereka dan mengajaknya beranjak, meninggalkan coffe shop ini. Matahari Bali memang belum tinggi…Kesempatan buat turis seperti mereka untuk berbelanja atau main ke pantai. Fuiihh, senangnya! Nggak seperti aku yang datang ke Legian, karena ditugaskan perusahaan tempat aku bekerja. Artinya, nggak ada banyak waktu buat shopping, apalagi ngerasain ombaknya pantai.
            “Pilih penerbangan terakhir saja dari Jakarta, ntar baliknya juga sama. Kamu bisa hemat waktu. Rabu pagi, laporannya sudah ada di meja saya ya…” pesan Pak Andry, atasanku. Mmm, enak saja dia ngomong. Hanya diberi waktu dua hari saja untuk pulang balik Jakarta, Bali. Memang sih, tugasku hanya mengecek dua butik milik perusahaan yang baru dibuka setahun di daerah Nusa Dua dan Legian. Tapi bukan berarti, nggak diberi kesempatan buat cuci mata dong. Jauh-jauh datang ke pulau dewata itu, kalau tidak menikmati suasananya, rugi banget.
            “Silahkan, ibu…”  Seorang pramusaji coffe shop meletakkan seporsi omelet yang tadi kupesan. Aromanya begitu menggoda…Perut pun langsung berontak, minta segera diisi. Sarapan pagi yang sempurna. Omelet plus segelas kopi.  Sesekali pandanganku menyapu ke sekeliling coffe shop hotel yang lumayan ramai. Waktunya orang-orang makan pagi.
            Daddy…Please wait for me…” teriak seorang bocah perempuan, berambut blonde. Rambutnya dikepang kecil-kecil, banyak. Dia kelihatan tengah mengejar laki-laki yang dipanggilnya dengan sebutan ayah. Nggak lama, beberapa anak muda sebayaku ikutan bergabung, lantas mereka beranjak pergi. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri, melihat keriuhan di pagi hari ini.
            Enjoy banget,  liburan bisa dihabiskan bersama keluarga dan teman-teman terdekat. Orang bule memang pandai banget memanfaatkan waktu luang mereka. Sehabis bekerja keras,  mereka tidak segan menggunakan tabungan mereka buat traveling. Kubaca lagi beberapa catatan penting di laptopku. Lantas buru-buru kumatikan, beranjak meninggalkan tempat itu. Kerja…kerja…kerja!
            Meeting dan checking butik cabang di Nusa Dua siang ini, berakhir menyenangkan. Orang-orang yang bertugas di sana, tahu tanggungjawabnya. Mereka begitu detail dan rapi, menyusun neraca rugi laba, presentasi hasil promo tiga bulan terakhir ini, sampai mengajukan usulan produk yang lagi trend saat ini. Kupikir, aku bakal disuguhi basa basi nggak penting dari mereka yang gila hormat. Nyatanya, nggak… Pak Nyoman dan Ibu Wastu penanggungjawabnya, begitu profesional. Mereka tidak segan mengkritik rencana kantor pusat, kalau memang tidak sesuai dengan kondisi daerah mereka. Bagus juga…
Beres sidak ke Nusa Dua, jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lebih baik makan malam di hotel saja. Badanku rasanya rontok. Capek. Ozon makin menipis kali, seharian di luar sana tubuhku seperti terbakar. Panas. Heran tuh bule-bule, mereka bukannya bersyukur tinggal di negaranya yang dingin, malah cari terik matahari ke Indonesia.
Brakkk! Kaki ini menyenggol pot tanaman, hingga terguling gara-gara mendadak menghindari sepasang bule yang melintas dekat kolam renang, jalan menuju restoran hotel ini. Astaga. Mungkin ngantuk, mataku sudah tidak bisa fokus lagi. Niatku mau minta maaf, takut mereka marah…Eh, belum sempat ngomong, pasangan ini sudah melenggang pergi, seakan tidak terjadi apa-apa.
Makan malam kali ini, kutuntaskan dengan cepat. Bantal dan kasur empuk begitu menggoda dari tadi. Sebelum balik ke kamar, masih sempat berpapasan dengan rombongan bule. Kelihatannya mereka mau dugem, kelihatan dari pakaian yang dikenakan. Tapi…astaga! Sebuah dompet nyaris terinjak kakiku.  Jangan-jangan milik salah satu dari mereka. Buru-buru kuambil dan berbalik, mau memanggil mereka kembali. Blasss! Lho, kok nggak ada? Cepet banget sih, mereka pergi? Terpaksa kutitipkan ke receptionis, karena kucari-cari mereka juga sudah tidak ada di lobi.
**************
Capek banget! Pinggang rasanya mau patah, mondar mandir Nusa Dua-Kuta di mobil seharian saja bikin pegel. Kalau kuceritakan hal ini pada Dweko, teman sekantor. Pasti dia ngeledek…”Faktor U tuh, Win! Usia…” Dasar. Ngantuk yang tadinya menyerang, malah hilang. Bolak balik di kasur, mataku belum juga bisa terpejam. Ingatan melayang ke mana-mana. Urusan butik di Legian, laporan keuangan sampai rencana renovasi halaman belakang rumahku yang berulangkali terbengkalai.
“Ting tong! Ting tong!”
Aku menajamkan pendengaran ini. Nggak salah, itu suara bell kamar? Perasaan nggak order makanan, ngapain malam-malam ada petugas roomservice? Malas banget. Tapi bell kembali berbunyi.
“Ya, siapa?” tanyaku, sembari membuka pintu. Kosong! Tak ada siapa-siapa. Kulihat lorong kanan dan kiri kamar, sama. Sepi. Hanya kulihat dua orang anak muda, berambut gimbal, berjalan sempoyongan ke ujung kamar di lantai ini. Pasti mereka habis dugem, minum-minuman keras…
Nyebelin banget. Bel pintu nggak hanya sekali berbunyi. Tiga kali! Tiap kali kulihat, sama. Nggak ada siapa-siapa. Jangan-jangan korslet  atau rusak, hingga berulangkali bunyi. Terpaksa istirahatku terganggu. Kupanggil petugas hotel untuk memeriksanya, tapi kesimpulan mereka belnya baik-baik saja. Ya, sudahlah. Mungkin halusinasi saja. Moodku sudah drop banget. Nggak bakal bisa tidur deh, bete begini. Kuambil jaket, IPad dan dompet, lantas keluar kamar. Niatnya turun ke lantai bawah, buat sekedar mencari udara segar.
Gara-gara terlalu serius mikirin pekerjaan, sampai-sampai aku tidak sempat memperhatikan ada apa saja di hotel ini. Nyatanya, kafe di bawah menyediakan music live, ruang karaoke, bahkan ada layanan internet 24 jam. Kupilih duduk di sudut kafe, lantas mulai menyalakan IPad.
“Kursi ini kosong?” sapa seorang laki-laki separuh baya dengan aksen Indonesia yang terpatah-patah, sembari menunjuk kursi di seberang mejaku. Mmm, sekilas kulihat dia bersama satu rombongan. Memang kursi di meja sebelah kurang. Aku tersenyum, mengiyakan. Lantas kembali asyik dengan IPad lagi. Giliran kuingin memesan minuman lagi, mereka sudah tidak tak ada di sana.
Wisawatan asing banyak banget di hotel ini, dibanding turis lokal. Beberapa kali aku sempat berpapasan dengan wisatawan beraksen Perancis, Belanda, bahkan British di jalan, dekat taman menuju ke kamar. Seperti pasangan suami istri ini, mereka begitu enjoy menikmati malam ini, sampai jalan pun nggak perduli dengan orang di depannya. Nyaris mereka menabrak aku, padahal sudah berusaha minggir…
“Excuse me…” tegurku, sambil berusaha menepi. Busyet. Cuek bener. Nggak minta maaf atau ngomong apa kek, ngeloyor saja mereka…pas aku balik badan, mereka sudah tidak ada!
  Beneran nggak punya tata krama, gerutuku. Tapi langkahku terhenti, ketika sampai di depan sebuah pohon kamboja…Seorang wanita berjalan terhuyung-huyung, limbung.  Kelihatannya dia mabuk. Tapi kok suaranya mengaduh, seperti orang kesakitan. Tangannya menutup wajah. Bercak darah terlihat di sela jari-jarinya. Astaga. Wanita itu berdarah? Jangan-jangan dia habis jatuh atau kecelakaan…
Aku mencoba mendekati, bermaksud menolong. Tapi dia tidak memperdulikanku, terus saja jalan sampai dekat tikungan jalan, menuju cottage di samping taman. Lantas, hanya dalam satu kedipan mata, dia menghilang! Kugeleng-gelengkan kepala. Pusing. Sadar banget, wanita itu melewatiku dengan ekspresi kesakitan,  lantas dia sembunyi ke mana?
“Mas, tadi ada turis lewat. Kelihatannya dia kesakitan,  tolongin dia mas…kok jalannya cepat banget…” laporku, ketika seorang petugas hotel, lewat. Laki-laki itu pun buru-buru mengejar ke arah wanita itu menghilang… Ah, kasihan. Kali saja aku bisa membantu…
Kejadian malam itu membuatku tidak bisa tidur. Bayangan darah dan ekspresi kesakitan itu, masih teringat jelas. Mungkinkah dia korban penyiksaan suaminya, seperti di koran-koran belakangan ini?
Keletihan yang amat sangat, sampai-sampai aku tidak lagi perduli ketika bel pintu berbunyi dua kali. Paling juga petugas kebersihan, malas banget. Kulihat jam di pergelangan tangan, masih pukul enam pagi. Ntar agak siangan saja, aku bangun dan turun ke bawah untuk sarapan pagi.
Meeting hari kedua, memuaskan. Kupikir,  Pak Andry juga akan menyambutku dengan senyum lebar. Dan lagi-lagi, aku musti masuk hotel lewat magrib. Nggak sempat jalan ke mana-mana. Boro-boro shopping, melihat sekeliling hotel saja nggak. Padahal katanya, hotelku ini di pusat keramaian. Maklum, jalan masuk ke hotel lumayan dalam dari jalan utama.
            Nasi campur Bali lengkap dengan sate lilit, kupesan buat menu makan malam kali ini. Sengaja, kupilih tempat duduk dekat kolam renang. Hingga aku bisa makan, sambil melihat orang lalu lalang. Suntuk banget rasanya, seharian menghadapi setumpuk laporan. Butuh refreshing!
            Lho, laki-laki itu? Aku nyaris tersedak. Dua cowok sebaya denganku, kelihatan tergopoh-gopoh melewati jalan di samping kolam renang. Baju mereka kelihatan kusut, seperti tercabik-cabik. Buru-buru banget, sampai nggak peduli orang di sekitar mereka. Perhatianku tertuju pada lengan mereka. Jelas banget, seperti ada bekas-bekas bilur luka dengan darah kering di sana-sini. Astaga…Perutku mual seketika. Aku memang paling anti, ngelihat darah…Sepertinya bilur-bilur itu makin jelas dan jelas…Buru-buru kubuang pandangan ke lain arah, lantas menyeruput  lemon tea yang tadi kupesan. Ketika pandanganku kembali ke mereka, dua cowok itu tak ada lagi!
********
            Puas banget, pagi ini bisa bangun tepat waktu. Rasanya nggak sabar, membayangkan Jakarta kembali.  Semua perlengkapanku sudah siap di lobi, menunggu jemputan mobil untuk ke bandara. Masih satu jam lagi…Lumayan, buat jalan ke depan. Kata petugas hotel, keluar  saja ke depan sudah jalan besar dan berderet toko di sana…
            Panas. Untung masih pagi… Benar juga, keluar dari jalan utama ke hotel, sudah jalan besar. Kanan kirinya langsung kafe-kafe dan toko-toko souvenir. Satu yang menarik perhatianku, kok ada monumen tepat di seberang sana? Baru sadar itu kan monumen buat memperingati korban bom Bali, tepatnya di ground zero, Kuta. Kabarnya banyak banget turis asing dan lokal yang menjadi korban, bahkan ada di antara mereka tidak berhasil ditemukan jenasahnya karena hancur…
            Aku menelan ludah. Pedih. Takut. Sedih. Campur aduk menjadi satu. Ingatanku langsung ke seorang kawan yang dulu tinggal di Denpasar. Dia pernah cerita, sejak kejadian bom itu percaya atau tidak, masih saja suka terlihat bule-bule jalan di sekitar kawasan itu. Saat mereka didekati, pasti langsung menghilang. Tanpa bekas. Konon energi dari mereka yang meninggal dengan cara tidak wajar, masih tinggal di lokasi kejadian. Mereka tidak mengganggu siapa pun, karena dimensinya sudah berbeda. Pertanyaanku sekarang, turis yang sering kutemui  mereka masih hidup beneran atau sudah meninggal? (ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: