Selasa, 19 Juli 2011

penunggu DANAU



          Ramalan? Nonsens. Omong kosong. Nggak percaya!  Meski teman-teman di kantor bilang, madame yang membuka stand di bazaar amal itu terkenal jago membaca keberuntungan seseorang. Andai bisa menebak setiap kejadian, berarti dia juga bisa memperkaya dirinya sendiri dong… Ikutan kuis atau pasang nomer undian misalnya? Pasti dia tahu, angka berapa yang akan keluar. Ngapain capek-capek ngeladenin banyak orang buat diramal?
“Gila ya, hari gini masih percaya ramal meramal…Kamu tuh, sarjana lulusan Aussie tapi masih aja memperhatikan hal kayak begituan… Konyol, tahu!” protesku, tajam. Jujur saja, aku tidak suka Siska sahabatku sejak kecil mengambil nomor, buat mengantri masuk ke tenda sang madame.
“Udahlah, Dit…Negative thinking nggak baik…Hitung-hitung buat lucu-lucuan saja kok, aku pengen tahu peramal itu beneran bisa ngeramal nggak. Bagusnya aku dengerin, jeleknya aku cuekin. Gampang kan…”
“Tapi ntarnya, kamu bakal mikirin itu terus…Susah banget sih diomongin!” Tanpa sadar, nadaku meninggi membuat Siska pucat pasi. Kasihan. Gara-gara ada masalah di kantor dengan beberapa klien, aku jadi emosian gini. Siska tidak salah…
Kutarik Siska menjauh dari tenda, lantas kami duduk berdua di bangku sebuah kafe tenda. Wajah cewek di depanku itu masih kusut masai. Kelihatan banget, dia ngerasa kikuk dan gerah dengan kelakuanku tadi…
“Soriiii…Aku bener-bener minta maaf, tadi emosi. Masalah kantor siang ini, membuat emosiku nggak bisa dikontrol. Tahu sendiri kan?”
Siska mengangguk, sambil mengaduk segelas cappucino yang baru saja kami pesan. Tangan kirinya masih menggenggam nomer antrian, sesekali tatapannya tak lepas dari tenda sang madame. Dasar. Masih juga penasaran tuh anak…
“Oke…oke… Aku nyerah deh, kalau kamu mau nyobain ke sana. Jangan diam gitu dong, aku kan ngerasa bersalah…”
“Bener! Aku mau ke sana, tapi sama kamu…Iseng saja yuk, buat seru-seruan saja. Nomerku ada dua nih, tadi kuambilin satu buat kamu sebelum kamu datang lantas nyerocos dan marah-marah…” Siska menunjukkan dua nomor di tangan kirinya itu…
Ampun deh. Ngerasa bersalah dan tak ingin mengecewakan cewek berambut ikal sebahu dengan mata bulat itu, aku pun mengekor saja ketika dia menarikku ke arah tenda. Nggak apa-apa deh, buat ngilangin suntuk…
Entah kenapa giliran Siska keluar dari tenda, aku menjadi mati rasa. Grogi. Bingung. Ragu. Beneran nih, pengen minta diramal? Apa yang musti kutanyain? Kenaikan jabatan atau gaji? Atau masalah jodoh yang belum ketahuan juga…
Aroma cendana langsung tercium, ketika aku masuk ke dalam tenda. Sebuah meja beralaskan kain hitam, bola kristal, beberapa kartu Tarot yang terserak di meja membuat jantungku berdebar kencang. Konyol banget. Mengapa harus takut? Kenyataannya, aku memang bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Keringat menetes di kening…Rasanya ada banyak mata mengamati dari seluruh sudut tenda, apalagi ketika paranormal atau madame yang sudah sejak tadi duduk di depan meja memandangku dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Gila. Pandai banget dia mensugesti orang, hingga baru ketemu saja sudah ngeri bawaannya? Tapi sungguh….nggak seperti acara ramal meramal di mall, lucu-lucuan dan seru. Kesan yang kutangkap, beneran serem. Sampai-sampai aku belum juga bisa menyebutkan, apa yang ingin kutanyakan…
“Tenang…Kamu nggak perlu sebutkan, saya tahu bahaya mengincar keselamatanmu. Sebaiknya jaga setiap ucapan dan kelakuan kamu di tempat yang baru kamu kunjungi. Mereka tidak suka, melihat kehadiranmu di sana. Kalau lengah, kamu bisa…” Wanita separuh baya berpakaian gypsi itu mengocok kartu, lantas mengaturnya sedemikian rupa di atas meja. Sebuah kartu dia ambil, bertuliskan Death alias kematian…”Kamu akan celaka!”
Deg! Jantungku mau copot. Bisa saja madame ini ngomong…Meski aku pernah ngotot tak percaya ramalan, entah kenapa omongan wanita tua ini membuat aku merasakan ketakutan yang amat sangat.
“Ada yang mau jahatin saya? Orang kantor? Sahabat terdekat atau teman jauh? Saya celaka karena apa?”
“Bukan orang terdekat, bukan juga dari kantor kamu…Ada…ada satu kejadian yang bikin kamu bisa celaka. Perhatikan itu! Ingat tempat-tempat yang kamu kunjungi..” Belum sempat aku bertanya lagi, madame itu sudah memberi kode agar aku keluar. Huhh..pelit bener datanya. Bagaimana aku bisa tahu, bahaya apa yang mengancamku?
Konyol banget Siska. Gara-gara ngikutin kemauannya masuk tenda ramalan, sekarang aku ketakutan begini. Belum jelas juga sih, siapa yang berani mengancam dan membahayakan nyawaku. Ah, peduli amat…Paling juga bohongan, batinku berusaha cuek.
*******
 Cuti bersama? Asyiiiikkk…. Artinya, rencanaku liburan bareng Siska kesampaian juga. Meski nggak bisa ke Bali karena kehabisan tiket, Siska pun mengajak aku ikut liburan bareng Dante dan Danar, dua kakak kandungnya ke Jawa Barat…
“Ikut ya, Dit…Mas Dante udah nanyain mlulu tuh. Kita bakalan bikin tenda di dekat danau. Lupa namanya, tapi pernah digunakan buat syuting film…Bagus kok, aku pernah lihat di filmnya…”
“Film drama? Tumben, kamu melankolis gitu?” ledekku siang itu, ketika kami tengah menikmati makan siang di kantin kantor.
“Enak saja…Film horor tahu! “
Glek. Suapanku terhenti. Nggak salah nih cewek, memilih rujukan tempat karena pernah dijadikan tempat syuting film horor? Ya, biar aku tomboy tapi soal perhantuan begitu paling males.
“Tenang saja. Kan kita bawa dua bodyguard. Mas Dante dan Mas Danar…” katanya, seakan tahu apa yang kupikirkan. Pikir-pikir ngapain juga musti takut. Namanya kan hanya dijadikan lokasi buat syuting film horor, nggak berarti tempatnya serem kan… Buktinya, begitu kami tiba di lokasi, otakku langsung segar kembali.
Indah banget danaunya! Belum tercemar. Pohon rindang dan hamparan rerumputan di sekeliling danau yang kelihatan tenang dan jernih airnya itu. Udara pun begitu dingin, mengingatkanku pada kawasan wisata di Puncak atau Bromo.
 “Banyak penginapan di sekitar sini, meski nggak sekelas hotel berbintang. Tapi lumayan kan, keren tempatnya. Rencananya kita bakal pakai tenda saja…Anggap saja piknik, berkemah seperti jaman kuliah dulu,” kata Dante, ketika melihatku tak henti-hentinya mengambil gambar dengan kamera saku yang kubawa.
            “Bagus bangettttt! Siska nggak cerita, tempatnya sebagus ini…Tahu gitu, pasti sudah sejak lama liburan ke sini saja. Nggak masalah kok, nginap di tenda,” kataku sambil mencubit pipi temben Siska yang baru saja merapikan bawaan kami di mobil.
            Malam pertama, memang sungguh dingin. Nggak sangka, aku yang paling suka dingin pun bisa menggigil. Padahal sudah mengenakan kaos dobel plus jaket. Belum lagi, perut setengah melilit. Mungkin efek dari makan malam tadi. Aku kalap menghabiskan sambal mangga sendirian, padahal kata Siska pedasnya minta ampun…Tapi selesai numpang ke kamar kecil milik penduduk, ternyata sakit perutku bukan karena sambal. Aku baru ingat, kemarin sebelum berangkat hari terakhir datang bulan. Ternyata masih belum bersih benar, karena tadi celana dalamku masih terdapat bercak darah hingga musti kuganti.
            “Gimana, Dit? Masih melilit? Gara-gara sambal tadi ya…” tanya Siska, ketika melihat aku belum juga tidur.
            Aku menggeleng. Malu. Andai Dante dan Danar tahu…Malu! Aku sengaja memilih diam, apalagi Siska kan suka usil dan keceplosan. Celana dalamku yang kena bercak darah itu aku bungkus dengan plastik hitam, lantas kulemparkan ke rimbunan semak dalam perjalanan kembali ke tenda. Paling juga, nggak ada yang tahu…Malas banget membawa cd kotor …Ntar kan bisa beli lagi, batinku.
            “Tidur saja yuk, aku nggak apa-apa kok,” kataku sambil buru-buru mengambil posisi tidur. Siska yang kelihatannya sudah ngantuk banget, nggak banyak bertanya lagi. Dia langsung terlelap, begitu kepalanya mencium bantal.

            Minggu pagi, mustinya hari yang menyenangkan bagiku. Ngumpul lagi bareng keluarga kecilku, setelah kemarin berlibur ke danau bareng Siska, Dante dan Danar. Tapi nyatanya, balik-balik badanku demam. Kepala berat, berdenyut, menyakitkan. Mama khawatir, aku kena demam berdarah. Maklum, kalau siang suhu badan normal. Namun jelang magrib, hingga malam suhu tubuhku mendadak tinggi. Obat pereda turun panas pun sudah kuminum, tapi tak ada gunanya. Hingga hari kedua, mama mengajakku ke dokter, sekaligus test laboratorium.
            Hasilnya? Negatif. Bukan demam berdarah, tipes atau sejenisnya yang membahayakan. Dokter bilang, aku hanya kecapekan dan banyak pikiran saja. Musti santai dan istirahat. Tapi hingga obat penenang dan vitamin dari dokter habis, demamku masih saja tinggi. Makin hari, menurut mama yang sering menunggui aku tidur, sikapku juga makin aneh. Suka meracau atau mengigau, seperti orang ketakutan. Kadang aku teriak sendiri, lantas menangis… Masa sih? Aku sendiri nggak nyadar…
            Belakangan baru kurasakan, sakit anehku ini sangat mengganggu. Tiap tidur, badanku selalu meriang dan panas. Mama sampai menyediakan kompres, tapi tetap saja percuma. Aku juga sering dihantui mimpi buruk. Rasanya tengah berada di sebuah kastil atau istana kecil dengan banyak anak tangga. Pintu-pintu dan semua perabotnya dari kayu berukir, kuno dan tua sekali kesannya. Entah di mana aku berada, tapi setiap aku mencoba keluar dari rumah itu dengan menuruni anak tangganya, aku tetap tidak bisa menemukan lantai dasarnya. Ya! Seakan tangganya begitu banyak, tanpa akhir!
            Kondisiku makin drop. Nggak bisa berpikir jernih, karena setiap pagi pasti terbangun dengan badan menggigil. Semua energiku seakan habis terkuras tiap malam, dalam mimpi-mimpi panjangku. Tak jelas, kenapa setiap malam selalu dihantui mimpi yang sama… Mama sudah berulangkali membawaku ke dokter, bahkan psikolog karena khawatir aku stress akibat pekerjaan…Nyatanya, mereka semua tidak menemukan penyebab penyakitku…
            Siang itu, Siska muncul di rumah. Pasti dia kehilangan aku, entah berapa lama aku absen nggak ke kantor. Jangan-jangan, dia datang untuk menyampaikan kabar boss memecatku? Ternyata sahabatku itu datang dengan seorang laki-laki, setengah baya yang dia bilang pernah menolong ayahnya saat ditimpa kemalangan. Kemalangan apa? Aku tak perduli. Akal sehatku sudah nggak bekerja lagi…Aku mirip orang linglung. Hanya bisa senyum, ketawa dengar cerita Siska,  tapi sebenarnya tidak bisa mencerna semua yang dia omongin.
            Tatapanku nanar. Tak jelas lagi apa yang dilakukan laki-laki setengah baya itu. Sepertinya dia membacakan doa, lantas mengangsurkan segelas air putih yang sejak tadi dia pegang sebelum masuk ke kamarku.
            “Minum ya, Dit…Moga kamu bisa baikkan…” kata Siska, sambil membantuku meminum air putih itu. Dingin. Air yang menyiram kerongkonganku kurasakan begitu dingin, seperti air es. Perutku mendadak seperti berontak, tapi Siska membantuku seakan setengah memaksaku menghabiskan semua isi gelas itu.
**********
            Aroma roti bakar, menusuk indra penciumanku. Pasti mama sedang menyiapkan sarapan pagi. Buru-buru aku mandi, lantas menyusul mama ke dapur…Heran! Mama kok segitu kagetnya, melihatku. Sendok yang beliau gengam pun sampai terjatuh, hingga menimbulkan suara berisik…
            “Kamu sudah baikan? Syukur…Sarapan yuk sama mama?” Wanita yang sangat aku cintai itu tiba-tiba memelukku dan menangis. Pusing. Kenapa mama musti menangis…
            “Mama aneh deh, pagi-pagi heboh gini…Sarapan pagi, komplit banget. Kenapa mama musti nangis tadi?” tanyaku, setelah kami duduk bareng dan menikmati roti bakar buatan mama.
            “Kamu nggak sadar, selama ini apa saja yang sudah kamu alami? Kamu sudah bangun dari tidur panjang nak…Mama takut, takut kehilangan kamu!” tutur mama dengan nada terbata-bata. Baru kutahu, ternyata aku memang benar-benar nyaris mati karena kecerobohanku juga.
            Peringatan dari madame gypsi yang kutemui, kuacuhkan. Nyatanya ketika berlibur ke danau, aku sudah melakukan kesalahan besar dengan membuang  cd dengan bekas darah kotor di sembarang tempat. Padahal daerah danau biasanya banyak bersemayam jin atau makhluk halus sejenisnya. Mereka marah dengan kekurangajaranku, hingga akhirnya “menempel” mengikutiku sampai pulang ke Jakarta.
            Konon tanda-tanda seseorang ketempelan makhluk halus ya berawal dari demam biasa, lantas meningkat sampai terbawa mimpi.  Solusinya ya musti didoakan dan bapak tua yang diajak Siska ke rumah itu berhasil meminta makhluk yang ngikutin aku itu pergi. Sungguh, gara-gara kejadian itu aku sangat berhati-hati setiap berkunjung ke tempat-tempat wisata atau alam terbuka. Karena layaknya bertamu, musti sopan dan tidak mengotori tempat kita bertandang.(ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: