Rabu, 06 Juli 2011

NINI THOWONG

   

            Wuzzz…boneka dari sebilah bambu yang diikat dengan batok kelapa, menyerupai orang-orangan sawah itu mulai bergerak. Bergoyang, ke kanan dan ke kiri. Lambat-lambat saja, berirama. Ekspresi ketakutan Bayu, tidak bisa dia sembunyikan. Pucat. Kelihatan banget dia mulai panik, ketika kedua tangan kami yang memegang boneka bambu itu terasa semakin berat. Gerakannya yang tadi lambat, berubah semakin cepat dan tak beraturan.
            “Gimana nih, Jun?  Kita hentikan saja permainan ini. Makin berat nih, takut lepas,” kata Bayu, setengah berbisik. Mau saja sih, aku ikutan berhenti. Tapi gimana mengembalikan roh yang masuk dalam orang-orangan ini ya? Beberapa kali tangan kami berdua seperti ditarik kekuatan yang sangat dahsyat, sampai-sampai nyaris berdiri dari tempat kami duduk lesehan. Keringat mulai membanjir. Wajah Bayu benar-benar pucat pasi. Siapa sangka, cowok berbadan atletis yang suka fitness dan petualangan dengan motor gede itu, bisa takut juga…
            Beberapa kali angin yang berhembus di tengkuk, terasa dingin. Jendela kamar pun berderak, seperti ada yang berusaha membuka dari luar. Padahal sejak pukul sepuluh tadi, seluruh penghuni rumah ini sudah masuk ke kamar masing-masing. Tidur. Hanya aku dan Bayu saja yang nggak bisa tidur, lantas iseng-iseng mencari-cari “kesibukan”.
            “Kita main nini thowong saja yuk.. Ada alatnya nih, pas meminjam punya Desta anak jurusan Sosiologi. Tahu kan, dia suka mempelajari hal-hal supranatural gitu…” ajak Bayu, sembari menunjukkan sebuah boneka-bonekaan dari sebilah bambu dan batok kelapa. Busyet dah! Kurang kerjaan banget, malam-malam gini main begituan…
            “Maksudmu, kita memanggil arwah masuk ke sini gitu? Jalangkung dong… Serem ah! Males…” protesku, sambil merapikan buku-buku di meja.
            “Hiihhhh! Cowok kok penakut. Nggak ada apa-apanya kok, hanya permainan biasa. Kita bisa ngobrol sama roh yang masuk ke orang-orangan ini. Tanya-tanya apa kek, buat lucu-lucuan. Selesai itu, ntar dia balik lagi ke asalnya…”
            “Ya, kalau balik… Kalau dia marah, nggak mau balik?”
            Bayu menggeleng-gelengkan kepala. Tanpa menunggu persetujuanku, dia sudah duduk bersila di lantai sambil memegang boneka bambu itu.
            “Sini, duduk seberang aku. Ntar kalau aku sendirian, bisa lepas. Lho mau tanggungjawab?” tanyanya. Ini mah bukan ajakan main, tetapi pemaksaan… Setengah hati, aku ladeni juga permintaan Bayu. Iseng-iseng juga aku pengen tahu, apaan sih permainan nini thowong itu… Masa boneka bambu biasa bisa bergerak? Paling-paling tayangan yang sering kulihat dan kudengar di televisi atau bioskop juga akting dari pemainnya saja. Nggak beneran.
            Nyatanya, aku benar-benar dibuat panas dingin. Bambu yang kami pegang, awalnya begitu ringan bisa berubah berat. Aku sampai tidak berani menatap batok kelapa yang diberi gambar mata dan mulut menyeringai itu.
            Wuzzz… Angin terasa dingin, membekukan. Boneka di tangan bergerak makin kencang. Berat. Susah payah kami menahannya, tapi hanya dalam satu sentakan bambu itu terlepas dari genggaman dan… Prak! Jatuh ke tanah. Bayu menatapku dengan wajah pucat pasi.
            “Sudah selesai? Rohnya sudah pergi….”
            Aku tertunduk lemas… Akhirnya permainan konyol ini selesai juga. Nggak akan lagi, aku mau meladeni kemauan Bayu. Buru-buru aku bangkit dari lantai, lantas menyalakan televisi. Lumayan. Pas tayangan musik…Setidaknya, bisa mengademkan hati.           
            Malam itu benar-benar melelahkan, rasanya. Padahal kami nggak ngerjain apa-apa, selain main boneka dari batok kelapa itu. Bayu kelihatannya juga kapok. Nyatanya, pagi-pagi dia sudah kabur. Katanya mau ngembaliin batok kelapa itu ke pemiliknya.
***********
            Pusing. Nggak biasanya, Bayu emosian begini. Sebagai teman satu kost, capek juga mendengar ceracauannya. Lupa mengembalikan buku saja, dia marah besar. Kopinya salah ambil, dia juga langsung meledak. Biasanya, dia super sabar ngadepin aku yang slebor. Memang sih, aku pelupa dan ceroboh. Tapi bukan berarti, dia bisa segitu marahnya sampai-sampai seperti mau melukai aku seperti kejadian sore itu…
            Pulang kuliah, kulihat pintu kamar Bayu setengah terbuka. Mmm, pasti dia sedang main games seperti kebiasaannya…Sengaja, aku mengendap-endap ingin memberinya kejutan. Sambil membawa seplastik gorengan yang tadi kubeli di depan kost. Tapi apa yang terjadi?
            Begitu aku muncul tiba-tiba di depannya dengan maksud bercanda, Bayu marah hebat. Tangannya menyambar kotak CD kosong di dekatnya, lantas aku disambitnya. Untung, berhasil mengelak. Kotak CD itu pun hancur berhamburan.
            “Keluar!! Jangan ganggu aku!” teriaknya, bikin aku terpaku. Astaga. Nggak biasanya dia segarang itu. Sesekali marah sih oke…Mungkin dia lagi ditimpa masalah serius. Nyatanya beberapa hari ini, aku kena semprot. Ya, lebih baik menghindar jauh-jauh. Males…
            Perubahan sikap Bayu, makin membuatku giris. Dia nggak hanya emosian, tapi juga suka menceracau sendiri di kamar. Seperti orang mengigau. Tapi masa sore-sore dia sudah tidur? Nggak mungkin kan…
            Lega. Batin terasa adem, tiap habis mengikuti siraman rohani. Acara yang diadakan jurusanku, tiap bulan ini jelas tidak pernah kulewatkan. Kebetulan, sore tadi penceramahnya berasal dari luar kota. Pak Wahid, masih ada hubungan saudara dengan mama. Makanya, dia kuajak menginap saja di kost. Kebetulan masih ada kamar kosong yang bisa buat tumpangan bagi keluarga anak kost yang datang.
            “Juna, boleh saya kamu kenalin dengan teman sebelah kamar kamu?” tanya Pak Wahid, siang itu ketika aku baru saja pulang dari kampus. Heran, kok  beliau sempat-sempatnya nanyain Bayu. Meski sebenarnya malas, kuajak juga beliau ke kamar Bayu…Herannya lagi, beliau minta aku tinggalkan berdua saja. Kelihatannya serius sekali apa yang mau dia omongin dengan Bayu…
*******
            I don’t like Monday…kata orang-orang. Ya, hari Senin bikin orang-orang yang suka libur panjang, mengaduh. Malas. Rasanya libur Sabtu dan Minggu saja, belum cukup. Aku salah satunya… Pagi-pagi sudah harus merapikan tugas kampus, sebelum disusun siang ini.
            “Kopi, Juna… Kebetulan aku juga bikin roti bakar…” Bayu tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar dengan membawa segelas kopi dan setangkup roti bakar. Wow! Tumben, dia baik banget setelah beberapa hari ini emosinya meledak-ledak.
            “Yess! Selesai…” kataku, sambil mengambil roti bakar dan melahapnya nikmat. “Makasih banget, Bay…Tumben, kamu pagi-pagi sudah bikinin aku roti bakar…”
            “Husss! Jangan geer… Aku bikin buat Pak Wahid. Dia kan mau pulang siang ini. Tanda terima kasih saja…Eh, masih ada sisa buat kamu…”
            “Terima kasih? Kamu diberi apa sama beliau, segitu seriusnya…”
            Bayu tertunduk. Wajahnya mendadak berubah pucat, lesu… Waduh, jangan-jangan marah lagi deh dia. Aku terlalu terburu-buru, menganggap dia bisa diajak bercanda lagi seperti dulu.
            “Gara-gara permainan Nini Thowong itu…ternyata roh yang masuk, nggak balik. Dia menterorku setiap hari. Sampai-sampai aku ngerasa, nggak menjadi diri aku sendiri. Sekelilingku seperti ancaman…Tapi Pak Wahid sudah berhasil mengembalikan dia ke alamnya…Dia juga banyak ajarin aku lebih serius dalam beribadah…”
            Astaga. Berarti selama ini sikapnya berubah aneh karena “ketempelan”? Baru kutahu juga, ternyata kami tidak memainkan batok kelapa itu dengan semustinya. Sehingga, rohnya tidak kembali ke asal dengan sempurna. Dan sebutan Nini Thowong sendiri juga salah.
            Nini Thowong yang terbuat dari batok kelapa dengan bedak tebal warna putih hingga disebut thowong,  konon saudara perempuan jalangkung.  Sebutannya Nini, karena perempuan.Kabarnya dahulu seorang gadis yang berperangai buruk, dikutuk tetangganya. Lantas berubah menjadi Nini Thowong. Permainan tradisional ini asalnya dari Panjangrejo, Pundong, Bantul.
            Bahannya dari tempurung kelapa, rangka bambu dan diberi pakaian seperti orang. Biasanya dimainkan beramai-ramai anak-anak di desa. Tetapi ada kepercayaan, Nini Thowong yang kemasukan roh bisa memberi petunjuk obat bagi yang sakit. Jaman dulu, permainan ini juga sudah ada. Malah biasa dimainkan di bawah pohon angker atau tempat-tempat yang dianggap keramat.
Ada yang hanya menggunakan kalungan bunga telon saja untuk bisa “memanggil” roh masuk, ada juga yang musti menggunakan sesajian seperti cermin kaca, pisang raja setangkep, apem, kemenyan, kembang gambir, dan rokok, termasuk iringan musik saron, gong dan kendang.  Bahkan dinyanyiin tembang, seperti Yo dha mupu bocah bajang, rambute abang arang….yang artinya: mari memungut anak bajang berambut merah dan jarang. Syair itu musti ditembangkan berulang-ulang. Bisa juga liriknya: bagiya, bagiya, bagiya mbok rara lagi teka…
            Lantas, kalau bukan Nini Thowong berarti apa dong yang kami mainkan kemarin? Jalangkung? Ah, bodo amat…Aku tidak pengen memikirkan itu lagi, apalagi mencobanya. Amit-amit. Nggak! (ft:berbagai sumber)

1 komentar:

An.Suparjo mengatakan...

Di era tahun 1960-1970 nini thowong sangat populer di kampung Grudo Desa Panjangreja, Pundong Kabupaten Bantul. Pertunjukan diawali dengan menyanyikan parikan-parikan dalam bahasa Jawa, sejenis mantera dengan iringan saron ( bagian dari gamelan Jawa ), kemudian setelah boneka didiami roh barulah boneka mulai menari mengikuti irama. Perlu juga diketahui bahwa yang roh masuk tidak semuanya baik. Kadang kala yang masuk roh yang berperangai jahat sehingga pertunjukan baru mulai penonton sudah dibuat kacau/panik oleh ulah boneka tersebut, tetati kalau yang masuk ke dalam boneka roh yang baik, maka ketika pertunjukan berlangsung penonton akan merasakan keajaiban yang terjadi, misal; tadinya mendung/gerimis langsung menjadi reda setidaknya sampai waktu pementasan selesai. Indah, kesenian yang sudah sangat langka.