Kamis, 07 Juli 2011

HANTU KOLONG TEMPAT TIDUR



          Kretttt! Kreteeekkk… Sepasang tangan kotor, berlepotan dengan tanah merah, terjulur seakan ingin meraihku. Wajah pucat dengan bilur-bilur luka, pemilik tangan kotor itu menyeringai, hingga gigi-gigi tak beraturan itu kelihatan jelas. Matanya menatapku tajam, terasa begitu menusuk dan mengancam. Ingin rasanya aku berteriak atau lari, entah mengapa kaki ini mendadak lemas. Nggak bertenaga. Mau teriak, juga tidak bisa. Keringat dingin membanjir, jantung berdetak makin kencang. Pandanganku pun mulai kabur… Andai ini waktunya aku dipanggil sang Pencipta, aku pasrah.
Tangan kotor itu, berhasil menarik kaki kiriku, hingga tubuh mungil ini terjerembab mencium lantai. Tenaga yang tersisa, berusaha kukumpulkan buat melepaskan diri. Aku meronta sekuatnya, menendang apa saja yang kubisa…Tapi sia-sia! Sosok mengerikan itu sudah begitu amat sangat dekat, sampai-sampai aroma anyirnya tercium. Nafasnya yang memburu pun terdengar begitu jelas di telingaku…
“Jangan ganggu saya! Pergi! Tolong…” teriakku dengan suara parau. Baru kusadari, kuku-kuku tangan makhluk mengerikan itu panjang dan tajam. Dia berhasil mencengkeram kedua tanganku. Kukunya menimbulkan baret yang dalam. Perih!  Kucoba menggulingkan badan, hanya dalam sekali sentakan. Berhasil! Cengkeramannya lepas, tapi aku tak bisa menghindar dari kaki meja di dekatku. Kepala ini pun terbentur kaki meja, lantas…gelap!
*******
Bing! Nyaris aku melompat bangun, mendengar alarm BB yang kupasang berbunyi. Astaga. Pukul enam pagi? Masih setengah mengantuk, aku kabur ke kamar mandi. Nggak bisa kubayangkan, andai terlambat lagi sampai ke kantor. Pak Aldo pasti sudah meracau lagi, seperti kemarin…
Perih! Tiba-tiba aku berjingkat, kaget ketika tubuhku tersiram air dari shower. Pedih. Baru nyadar, kedua tanganku terlihat seperti ada bekas cakaran. Astaga! Bukannya semalam itu hanya mimpi buruk? Tapi kenapa kaki kiriku juga terdapat bekas cakaran? Gggrh! Malas mikir yang tidak-tidak, mengingat waktuku tidak banyak kejadian itu nyaris aku lupakan.
Bener saja. Gara-gara kesiangan, Pak Aldo kelihatan begitu menyeramkan pagi ini. Tanpa senyum, tanpa banyak bicara, dia hanya meletakkan berkas-berkas kertas kerja di mejaku.
“Gila kamu, satu minggu ini terlambat melulu. Nggak takut ya, ngelihat Pak Aldo marah?” tegur Ricardo, ketika muncul di depan meja kerjaku. Aku menggelengkan kepala. Bingung, tidak tahu harus bilang apa… Minggu yang melelahkan, memang.
Gara-gara pindah ke rumah baru yang mustinya aku syukuri, karena itu hasil dari keringat kerjaku sendiri, aku malah sering terlambat kerja. Mimpi buruk, trauma dengan suara-suara aneh yang sering terdengar tiap malam, membuatku selalu terbangun dalam keadaan letih, amat sangat. Bahkan, nggak jarang alarm BB dan jam weker pun nggak kedengeran.
“Kamu sakit ya? Abis jatuh dari motor? Kok baret gitu tangannya…Astaga! Udah diobatin belum?” Cowok bermata elang itu, kelihatan tersentak kaget ketika melihat bilur luka di kedua tanganku. Malu. Baru kusadar, baretnya kelihatan jelas…
“Nggak apa-apa, Do.  Baret dikit, biasa…”
“Gimana biasa? Kamu suka aneh belakangan ini. Gampang ngantuk di kantor, suka nggak fokus, seperti orang yang abis begadang semalaman”
“Biasalah Do, aku suka nonton tv sampai malam…Sulit tidur, insomnia…” Aku coba ngeles. Obrolan kami pun terputus, karena Ricardo dipanggil kepala bagian keuangan. Mmm, lebih baik begitu daripada aku dicecar pertanyaannya lagi. Jujur aku akui, perhatian cowok itu luar biasa. Dia paling tahu, kapan aku butuhin. Buktinya, minggu belakangan ini nggak ada teman kantor yang menanyakan perubahanku, selain Ricardo. Detil, malah.
*********
Terlalu. Belum selesai satu berkas, sudah dihujani berkas lain. Jelas saja, hari ini aku pulang larut malam. Meski kupikir, lumayan juga. Aku nggak kelamaan bengong, menyadari kesepianku tinggal di rumah sendiri. Mbak Ade yang membersihkan rumah dan mencuci pakaianku, nggak menginap karena sudah punya suami dan anak.
Mmm, secangkir susu coklat hangat sudah berpindah dalam perut. Tinggal tidur, lelap. Kumatikan lampu utama kamar, lantas beringsut naik ke atas kasur. Tapi tiba-tiba indra penciumanku mencium sesuatu yang tak sedap. Anyir. Benar-benar bau busuk, sangat menyengat. Sampai-sampai perutku seperti diaduk-aduk. Mual.
Kretttt…Kretttt… Dug…dug…! Suara itu? Astaga, suara itu lagi  sayup-sayup terdengar, makin lama makin jelas dan terasa begitu dekat. Bersamaan dengan bau anyir, memabukkan. Nyaris aku tidak bisa bernafas, udara di sekeliling ini seperti mencekikku. Belum sempat menyadari dari mana sumber suara dan bau menyengat itu, tiba-tiba kakiku seperti ditarik seseorang. Saking kuatnya, tubuhku terjerembab, mencium lantai yang terbuat dari ubin kayu.
Ampun! Pasti benjol, besok. Kurasakan kepala ini begitu berat, sakit. Benturannya ke lantai, begitu keras. Jangan-jangan berdarah? Akal sehatku sudah tidak bisa buat berpikir lagi. Hanya ada satu, lariiii! Tapi mau gimana lagi…kuhentakkan kedua kakiku, sia-sia. Cengkeraman makhluk tak jelas itu semakin kuat dan kuku-kukunya terasa menusuk dan meninggalkan luka…
“Tolong, jangan gangguin saya…Jangan ganggu saya…” bisikku, lemas. Hanya dalam satu sentakan, aku berhasil menendang makhluk yang berada di bawah kakiku itu, lantas berusaha berdiri, lari. Tapi apa daya, tangan-tangan kotor itu berhasil meraih kakiku lagi, sekali tarik tubuhku terbanting ke lantai. Pandanganku kabur. Kepala terasa begitu berat. Gelap!
****
Sungguh. Aku tersiksa dengan mimpi burukku belakangan ini. Hampir dua minggu, sejak pindah rumah, aku selalu masuk kantor dengan wajah kusut. Kurang tidur. Padahal seingatku, semalaman aku beneran tidur. Bayangan burukku itu hanya mimpi. Tapi kalau mimpi, kok rasanya seperti nyata? Guratan luka di tangan dan kaki, misalnya.
“Kamu ajak saja saudara atau teman tinggal di rumah, menemanimu beberapa hari… Mungkin mereka bisa ngebantuin kamu, mencari penyebabnya. Mimpi atau beneran,” kata Ricardo pagi itu.
Sulit juga, mengandalkan bantuan orang lain. Sejak lulus kuliah, aku memang terbiasa mandiri. Nggak mau ngerepotin orang. Nggak heran, mama pun tidak melarangku membeli sebidang tanah lantas di Yogyakarta, lantas membangunnya menjadi rumah pribadiku, meninggalkan mama bersama dua adikku di Surabaya. Yup! Empat tahun bekerja di perusahaan periklanan yang ada di Yogya, membuatku sedikit demi sedikit bisa menabung. Targetku hanya satu, punya rumah sendiri! Nggak enak bekerja mati-matian, tapi uang gaji dihabiskan untuk membayar kost.
Gara-gara terlalu serius mengejar karier demi sebuah rumah, aku pun rela dua adikku menikah duluan. Nggak apa-apa, toh hari gini wanita sudah biasa memilih karier duluan daripada lembaga perkawinan. Itulah kenapa, Ricardo yang pernah mencoba mendekatiku, lebih dari sekedar teman biasa sampai angkat tangan. Dia pun terpaksa mengikuti kemauan orangtuanya yang pengen segera menimang cucu dengan menikahi mantan sahabatnya di kampusnya dulu. Padahal kami sempat dua tahun pacaran.
“Ngelamun lagi? Banyak masalah ya?” tegur Ricardo, mengejutkan. Kuhargai banget, kelakuan cowok itu tak berubah meski sudah menikah. Kami tetap baik, layaknya dua sahabat karib. Saling mengingatkan dan menguatkan…
“Bingung Do…Suka mimpi buruk. Tapi kalau dibilang mimpi, kok rasanya nyata.”
“Aura rumah kamu kali, nggak cocok sama kamu?”
Astaga, cowok berdagu belah dengan mata kecoklatan itu masih saja percaya takhyul. Nggak berubah. Waktu pertama aku mengenalnya dulu, gara-gara ketemuan di kantin kantor, sedang membaca ramalan bintang. Trus nggak lama, kami tahu ditugaskan dalam satu divisi. Kulihat beberapa buku psikologi dan novel misteri ada di tumpukan buku di samping meja kerjanya.
“Mulai deh, cenayangnya mikir yang enggak-enggak…Udahlah, jangan bikin aku takut. Males ngomongin begituan…Nggak percaya!”
“Nggak percaya, kok takuttt??”  ledeknya, sambil menyodorkan secangkir kopi yang dia bawa. Mmm, baik juga. Ngebikinin kopi, saat moodku lagi jelek.
“Serius, Cahaya. Sebaiknya kamu konsultasi dengan psikolog atau paranormal kalau perlu. Mimpi-mimpimu pasti ada artinya. Dulu, almarhum nenek juga sering cerita kalau tempat tinggal kita seperti jodoh atau pacar. Musti ada kecocokan…Andai tidak, bisa membuat kita apes melulu…”
“Ya ellahhh…hari gini ngomongnya begituan…Udahlah, balik ke meja kamu dan kerja. Aku tambah pusing nih dengerin rumpian ajaib itu,” protesku, sambil memberi kode agar dia balik ke mejanya.
Pikir-pikir, bener juga kali. Rumah baru yang kutinggali sekarang, nggak bawa hoki malah sebaliknya? Gimana dong…Kan aku sudah membangunnya dengan susah payah. Desain interiornya saja, aku  ikut turun tangan.
Aku nggak bisa begitu saja mempercayai omongan Ricardo, meski hati kecilku kadang pengen membenarkan pendapatnya itu. Ntar juga aku terbiasa dengan rumah baru ini. Sengaja, aku mengubah penerangan di kamar menjadi lebih terang dari biasanya. Sprei, korden, karpet pun kuganti dengan warna lebih cerah. Tujuannya sederhana. Ubah mood lebih baik. Tapi nyatanya? Nggak berubah juga… Minggu ketiga, berat badanku sampai menyusut drastis. Gila banget, tiap hari ngerasain teror tidak jelas. Sampai-sampai aku pun pindah, tidur di sofa, ruang tengah…Baru deh, aku bisa merasakan tidurku lebih nyenyak. Meski suara aneh dan berisik itu, tetap saja terdengar. Sumbernya ada di kamar!
Sibuk ngantor bikin aku nyaris lupa dengan masalah di rumah. Toh, aku masih bisa mengantisipasinya dengan pindah tidur ke ruang tengah, lantas mengenakan earphone buat mendengarkan musik klasik sampai akhirnya benar-benar bisa tertidur.
********
Fuiihh! Capek juga keliling kompleks dengan bersepeda, minggu pagi ini. Olahraga ringan, menyehatkan. Salah satu alasan aku memilih membeli tanah di kompleks ini ya karena lingkungan sekitarnya, masih asri. Banyak lahan kosong, jalanannya pun sepi. Cocok buat lari pagi atau bersepeda kalau lagi libur gini…
“Pagi mbak… Tinggal di sebelah ya?” tegur seorang bapak tua. Kutebak usianya tidak beda jauh dengan mama. Kelihatannya dia tengah menemani calon penghuni baru rumah yang dibangun beda satu petak tanah denganku…
“Ya, pak…Mau pindah ke sini, pak?” tanyaku, sambil menunjuk sepasang suami istri yang berdiri tidak jauh darinya. Kelihatannya mereka tengah membicarakan tanah yang mau mereka beli itu…
“Bukan saya sih…Tapi adik saya bareng istrinya. Saya hanya mengantar, sekaligus melihat kondisi tanah di sini. Soalnya saya musti memastikan, tanah di sini bagus…”
“Oh…bagus Pak. Bukannya sekelilingnya masih asri, kompleksnya juga aman. “
“Bukan..bukan itu maksud saya,” Bapak tua itu mengeryitkan dahi. Heran. Tatapannya nggak lepas dari rumahku, lantas balik lagi ke tanah kosong yang ada di sebelah rumah…
“Sebaiknya, sebelum kita membangun rumah, pastikan tanahnya bersih. Nggak ada roh yang terikat, penasaran di sana..” jelasnya lagi. Deg. Jantungku berdebar, kencang. Bapak ini kupikir bercanda, tapi tatapannya serius. Dia nggak senyum sama sekali…
“Ah, bapak nakut-nakutin saja…Roh apa pak? Hantu gitu?”
“Iya…biasanya tanah kosong itu, musti kita cek dulu asal usulnya. Kadang pernah digunakan sebagai tempat pemakaman, bekas urukan danau atau tempat terjadi kecelakaan, pembunuhan…” Wuihhh, tiba-tiba saja bulu kudukku meremang. Aneh-aneh saja nih bapak, tapi tetap saja dia nyerocos…
“Adik saya sudah mau beli tanah di samping rumah mbak, tapi saya minta dibatalkan. Musti beda beberapa rumah dari sana. Karena tempat ini kan dulu pernah dijadikan tempat pemakaman penduduk kampung, belakang kompleks ini sebelum akhirnya dibeli kontraktor perumahan di sini. Kuburan yang ada memang sudah dibongkar, dipindahkan ke tempat lain yang layak. Masalahnya, masih ada yang tertinggal rupanya. Dia bisa mengganggu penghuni rumah, karena kediamannya diusik…”
Dug! Andai ada cermin, kupastikan bisa melihat wajahku yang berubah pucat seketika. Ingin aku tak percaya dengan komentar ngelanturnya itu. Kenyataannya, setelah kucek kembali ke beberapa penduduk kampung seberang, baru kutahu kompleks perumahan ini memang awalnya pernah digunakan sebagai kuburan.
“Sebaiknya kamu bongkar lagi kamar, tempat sumber suara itu mengganggu,” saran Ricardo, ketika akhirnya kuceritakan juga semua mimpi buruk dan komentar bapak tua yang aku temui.
Takut? Nggak boleh! Aku musti menghadapi apa pun masalah utamanya. Lagipula, aku juga nggak mau melepaskan rumah yang sudah kubangun dengan hasil keringatku selama ini. Tukang bangunan pun kupanggil, buat ngebongkar kamar.  Sebelumnya aku juga minta bantuan dari guru spiritual Ricardo.
Ya Tuhan! Benar juga…Ternyata, tepat di bawah tempat tidurku masih ditemukan beberapa tulang belulang dan rambut. Sepertinya kuburan yang ketinggalan, dipindahkan. Entah bekas makam siapa atau kerangka siapa itu, tetapi aku meminta bantuan orang untuk memindahkan dan menguburkannya dengan layak. Percaya atau tidak, sejak rumahku direnovasi kembali dan tulang belulang itu dipindahkan, tidurku tidak pernah diganggu apa-apa lagi. (Ft: berbagai sumber)

1 komentar:

Sundari mengatakan...

kali ini ceritanya terasa nyata... brrrr... sereeem! aku suka..

sayang, terlalu pendek.. hihi..
*mulai BM*

terbitin novel lah mbak steeey! isinya kumpulan cerpen macam begini.. aku pembeli pertama deh...