Rabu, 06 Juli 2011

NICKY


           Sadis. Nggak bisa kubayangkan, sepasang suami istri dibantai di depan putra kandung mereka. Dendam dan sakit hati ternyata bisa membuat seseorang kalap, sampai tega menghabisi nyawa orang lain. Bahkan lewat cerita satpam penjaga apartemen ini, darah berceceran di mana-mana saat polisi mengamankan mengangkat tubuh korban dari TKP.  Kelihatannya korban yang tengah sekarat, masih berusaha melakukan perlawanan. Sia-sia saja. Mereka kehabisan banyak darah. Hasil otopsi menyimpulkan, pasangan suami istri ini ditusuk dengan pisau dapur. Ampun! Giris rasanya hatiku mendengar tragedi itu.  Untung saja, bocah laki-laki mereka selamat. Petugas menemukan dia meringkuk di bawah meja ruang tamu, sambil menangis ketakutan. Pasti dia trauma.
            Ingin rasanya aku mengadopsi Nicky, bocah yang kini yatim piatu itu. Tapi omanya yang baru datang dari Jerman, keberatan. Maklum, dia cucu satu-satunya mereka. Beliau bermaksud membawa cucunya balik ke negara asal Hitler itu. Papa Nicky memang berdarah Jerman, sementara sang sama asli Indonesia.
            “Maaf bu, bukannya kami menolak niat baik ibu…Tapi omanya sangat takut kehilangan dia. Cucu kesayangan, satu-satunya,” kata Ibu Marini, adik kandung dari mama Nicky sore itu ketika aku bertandang ke apartemennya. Kebetulan, kami memang tinggal di apartemen yang sama. Tetanggaan.
            Aku terduduk, lemas. Rasanya separuh nyawaku pergi. Ya. Aku sudah terlanjur cinta dengan bocah berambut kecoklatan, bermata bulat dan dagu belah itu. Nicky memang suka main ke apartemenku, sejak tragedi memilukan itu terjadi. Apalagi di rumahku, dia bisa bermain action figure atau playstation milik Mas Gading, suamiku. Sebagai ibu rumah tangga yang belum dikaruniai anak, wajar aku bosan di apartemen sendiri. Hiburanku satu-satunya …Nicky.
            Kuingat banget pertama kali, keluarganya pindah ke apartemen sebelah. Bocah ini masih malu-malu. Sering menyembunyikan wajahnya dibalik rok sang mama, ketika aku lewat di depan mereka atau ngobrol dengan orangtuanya. Mungkin, belum begitu kenal. Masih asing dengan kehadiranku.
************
            Sore itu, pulang dari belanja di supermarket kulihat bocah ini tertunduk, duduk di depan pintu apartemennya. Kelihatan sedih banget, sampai-sampai kedua bola matanya yang bulat itu berkaca-kaca.
            “Sayang, kamu kenapa? Sendirian saja? Mama ke mana? Main ke rumah tante yuk…” ajakku, sambil mengusap kepalanya. Bocah itu menggeleng, kulihat tatapannya seperti menyimpan luka yang dalam. Nggak lama aku mengajak dia ngobrol, sang mama muncul dari balik pintu dan ekspresinya sangat terkejut, melihat ada aku di sana…
            “Maaf, Nicky pasti merepotkan lagi ya? Jangan peduliin dia…Maaf!” kata sang mama dengan nada jutek. Tanpa basa basi, Nicky pun ditarik masuk. Bener-bener, nggak ada sopan santunnya nih tetangga, batinku. 
            “Sudahlah, jangan diambil hati. Mungkin saja dia kecapekan, ngurusin rumah seharian. Ngapain kamu musti kesal,” protes Mas Gading, waktu aku ceritakan kejadian itu.
            “Kita kan tetanggaan mas. Kalau ada apa-apa, pasti tetangga duluan kan yang bisa nolongin? Manusia kok tidak ada basa basinya…”
            Mas Gading malah tertawa, melihat aku manyun. Segelas kopi yang tadi sudah kuseduh untuknya dia minum, hingga tandas tak tersisa. Lantas, laki-laki yang sudah lima tahun ini menikahiku mengambil tas laptopnya dan beranjak akan pergi…
            “Berangkat dulu ya, sayang…Jangan ngomel-ngomel gitu lagi. Ntar cepet tua, keriput lho!"  Aku hanya bisa angkat bahu, mendengar ledekannya. Paling bisa tuh, Mas Gading mengademkan aku yang temperamen.
            Kuingat banget waktu kami baru kenal di kampus. Sebagai senior, dia memang lebih galak dan jutek dibanding aku. Apalagi saat melakukan perploncoan. Bener-bener tanpa ampun, tanpa senyum. Sampai-sampai aku sempat berjanji dalam hati, nggak bakalan mau berdekatan dengan laki-laki sombong itu. Ternyata, benci memang bisa berubah menjadi cinta.
            Usai perploncoan, baru kusadari Mas Gading jauh dari kata jutek. Sebenarnya dia cowok yang sangat pengertian, sabar dan bertanggungjawab. Sampai-sampai, dia bisa meladeni aku si keras kepala ini. Sebagai sesama aktivis di senat mahasiswa, kami memang sering mengadakan berbagai seminar dan workshop. Akibatnya kami sering pulang lewat magrib, padahal rumahku terbilang jauh. Angkutan umum, jarang. Untung, Mas Gading cepat tanggap. Dia rajin mengantarkan aku pulang. Sampai-sampai teman-temanku satu jurusan ngeledekin dia sebagai tukang ojek langganan.
            Kami pun jadian, setahun kemudian. Hingga akhirnya, usai wisuda dia melamarku di depan mama dan papa. Lantas memboyongku ke Jakarta, tinggal di apartemen ini. Sayang, kami belum juga dikaruniai anak meski sudah memasuki tahun kelima. Dokter mengatakan ada kista di rahimku. Musti diangkat, agar aku bisa hamil. Nyatanya usai operasi, sampai sekarang, belum juga positif.
            “Breemmm….breeemmmm… “ Suara itu? Lamunanku buyar. Ya ampun, Mas Gading sudah berangkat dari tadi. Aku masih saja bengong di depan apartemenku..Kulihat Nicky tengah bermain mobil-mobilan di depan pintu apartemennya sendirian…
            “Nicky…Main apa sayang?” kuhampiri bocah itu. Kasihan. Mustinya seusia dia lagi senang-senangnya main dan bermanja dengan kedua orangtuanya.
            “Tante, mobilnya pilih yang mana…. “ tanyanya, sambil menyodorkan dua mobil-mobilan milik dia. Kutunjuk satu, mobil balap warna biru. Dia tersenyum lebar…
            “Kita adu cepat ya…Nicky yang merah, tante biru…Ntar kalau menang, tante bagi coklat ya?”  Detik berikutnya, kami berdua sudah asyik bermain. Kuajak Nicky main ke apartemenku, setelah kupastikan tantenya yang menjadi orangtua asuh dia sementara, tahu.
            Nyaris, seharian kami tertawa dan main bareng. Sungguh, tak bisa aku menahan haru ketika kulihat Nicky lahap banget makan cookies bikinanku. Lantas dia menghabiskan segelas susu coklat hangat…
            “Makasih tante, besok boleh main lagi ya…” kata Nicky, waktu tantenya menjemput dia, untuk pulang. Kupeluk bocah itu, kurasakan detak jantungnya. Hangat. Air mataku nyaris menetes. Naluriku sebagai perempuan, calon ibu….
*******
            Rencana mengubah tata letak perabot di ruang tamu, tertunda lagi. Seharusnya akhir pekan ini, Mas Gading bisa menemani aku seharian di rumah. Nyatanya, tugas mendadak dari kantor membuat dia harus ke Bandung selama dua hari. Ya, sendiri lagi deh, batinku pedih. Terasa banget, tinggal berdua saja begini, jauh dari orangtua dan kerabat…Sepi.
            Oh ya, tiba-tiba kuingat Nicky. Ngapain ya dia weekend begini? Main bersama keluarga dari mamanya yang asli Indonesia atau jalan dengan omanya? Ah, kenapa nggak coba kubertandang ke apartemennya?
            Jantungku terasa berdebar. Nggak sabar rasanya melihat wajah bocah cilik itu. Sengaja, kubawakan pudding coklat. Pasti dia suka. Tapi beberapa kali kupencet bel, tak ada tanda-tanda ada yang akan membukakan pintu. Nyaris aku putus asa dan balik, tapi tiba-tiba…seraut wajah polos itu muncul dari balik pintu…
            “Tante? Sendiri?” tanya Nicky, sembari melongok ke kiri dan kanan lorong apartemen kami. Aku mengangguk, sembari menunjukkan apa yang kubawa. Spontan bocah itu melompat, kegirangan.
            “Asyiiik! Pudding coklat! Masuk tante…” katanya, sambil membuka pintu lebar-lebar. Kasihan. Hatiku kembali terenyuh melihat Nicky dengan lahapnya makan pudding buatanku. Rupanya di apartemen, tak ada siapa-siapa. Dia lagi sendirian. Tega banget, ninggalin anak seusia ini sendiri…
            Tanpa diminta, kusengaja menemani Nicky seharian di apartemennya. Meski ngantuk dan pegal, kunikmati sekali kebersamaan kami. Bocah ini memang cerdas dan tidak cengeng.  Buktinya dia suka bertanya dengan hal-hal mengejutkan, sama sekali di luar dugaanku. Seperti, andai orang meninggal itu akan ke surga atau neraka…Bagaimana kondisi di sana, setelah mereka nggak ada…Akankah kedua orangtuanya bisa datang lagi, menengok Nicky yang masih hidup? Benar-benar kewalahan aku menjawab pertanyaannya yang kritis.
            “Orang jahat pasti dapat balasan ya, tante? “
            “Iyalah… setiap kejahatan, pasti ada hukuman setimpal. Misalnya, kita melakukan kejahatan. Kan ada bapak polisi dan hakim yang mengadili…”
            “Tapi kalau kita menyakiti orang lain, gimana tante?”
            “Nggak boleh dong… Pasti ada hukumannya. Tuhan kan mengajarkan kita saling menghargai, mencintai sesama.”
            “Kalau kitanya yang disakiti,  apa nggak boleh membalas? Mama dan papa yang sudah di surga, bisa marahin Nicky lagi nggak kalau Nicky bandel?”
            Aku tersenyum, kritis banget bocah ini sampai aku nyaris kehabisan kata-kata. Obrolan sore itu nyaris aku lupakan. Apalagi Mas Gading yang baru datang dari luar kota, membawa kabar membahagiakan. Dia dipindahtugaskan ke Surabaya. Artinya, aku bisa tinggal satu kota lagi bersama mama dan papa yang memang asli Surabaya…
*********
            Berisik banget sih?! Habis mengantarkan Mas Gading turun ke lantai dasar apartemen, kulihat beberapa orang berkerumun di apartemen sebelah, apartemen Nicky. Beberapa petugas kepolisian, juga terlihat mondar-mandir masuk ke dalam. Naluriku mengatakan, pasti ada yang tidak beres…Jangan-jangan, omanya Nicky yang sudah lanjut usia itu kena serangan jantung. Atau tantenya yang pernah cerita punya asma, kambuh sakitnya?
            Kecurigaanku tak beralasan. Kulihat tante Nicky keluar dari apartemen dengan dipapah seorang petugas kepolisian. Aku tak bisa berbuat banyak, karena kelihatannya mereka semua tidak mau diganggu. Ah, sudahlah. Ntar juga kubisa bertanya pada Nicky…
            Siang itu aku bermaksud ke apartemen sebelah, namun kulihat Nicky tengah duduk termangu di depan pintu apartemennya.
            “Ada apa sayang? Sedih bener? Main yuk ke apartemen tante…” ajakku, sambil mengusap kepalanya penuh sayang. Dia bersandar di pelukanku, lantas menangis lirih. Kupegang tangannya begitu dingin. Kasihan. Dia pasti lagi sedih, karena ditinggal sendirian.
            “Yuk, main sama tante. Jangan nangis lagi…Malu dong anak laki-laki menangis…”
            Bocah itu menggeleng.
            “Tinggalin Nicky sendiri, tante. Lain kali, jangan tungguin Nicky main ya…Nicky musti pulang, nggak di sini lagi…” Air mataku pun menetes, sedih. Ya, pasti omanya sudah bilang dia mau diajak balik ke Jerman. Atau jangan-jangan mereka sudah siap-siap berangkat…
            Bip! HPku berbunyi. Mas Gading! Rupanya ada beberapa berkas ketinggalan, musti aku titipkan ke receptionis di bawah…Karena menolak kuajak, terpaksa kutinggalkan Nicky sendiri di depan apartemennya.
            Kangen. Sejak kutinggalkan Nicky di depan apartemennya, bocah itu tidak muncul lagi. Kebetulan aku juga benar-benar sibuk, musti membereskan beberapa barang buat pindahan rumah.
***********
“Sore, sayang….” Mas Gading sudah pulang! Tapi kenapa raut wajahnya nggak segar, kelihatan begitu sedih…Jangan-jangan, batal deh kepindahan kami ke Surabaya…
“Ada apa Mas? Sedih banget tampangnya…Kita batal pindah ya?”
            “Tabah ya, Rin…Aku tahu, kamu sayang banget sama Nicky…”
            “Nicky…Kenapa? Dia sakit? Dia sudah balik ke negaranya?” tanyaku, lemas. Meski tahu akan pindah ke Surabaya, aku tidak menduga dia bakal duluan balik ke Jerman.
            “Nggak, sayang. Nicky berpulang selamanya. Dia melompat dari balkon semalam…” Badanku lemas seketika, hingga hampir terjerembab ke lantai. Untung Mas Gading menangkap tubuhku, lantas memapahku duduk di kursi.
            “Nggak mungkin, Mas…Tadi siang aku melihatnya di depan pintu apartemen dia…”
            “Benar, Rin… Pagi tadi, waktu berangkat kerja aku bertemu polisi yang tengah membereskan lokasi kejadian. Kesimpulannya, semalam Nicky nekad lompat dari balkon…”
            “Tapi kenapa musti lompat? Kenapa bocah itu nekad? Nggak mau dipaksa balik ke Jerman?”
            “Sabar ya, Rin. Dia meninggalkan surat untuk omanya…ternyata, dia yang sudah menghabisi kedua orangtua kandungnya dengan pisau dapur…Alasannya, dia marah karena selalu dihukum setiap melakukan kesalahan…”
            Aku tidak lagi bisa mendengarkan penjelasan Mas Gading, karena bayanganku sudah langsung gelap. Aku pingsan.(ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: