Kamis, 11 November 2010

SAKSI BISU KORBAN PENJAJAHAN


BENTENG-BENTENG TUA
            Manusia memang punya banyak akal, kreatif dalam keadaan terdesak sekalipun. Salah satu bukti karya manusia, benteng pertahanan. Semula “arsitek”nya membangun benteng-benteng ini di Indonesia, untuk bertahan dari serangan musuh. Namun kini sisa-sisa bangunan yang masih berdiri dijadikan tempat wisata bersejarah, bahkan ada yang masuk rekor dunia.           

Benteng Victoria-Ambon
Sentral Perdagangan
            Sungguh menyedihkan, bila mengingat cerita dibalik berdirinya benteng yang dibangun oleh Portugis tahun 1775, tapi tidak lama kemudian diambil alih oleh Belanda. Lokasinya sangat strategis. Penjajah waktu itu bisa mengumpulkan rempah-rempah dari rakyat  Maluku, lalu mendistribusikan ke beberapa negara Eropa melalui jalur laut. Ya, jelas saja menguntungkan…Benteng ini ada di depan pelabuhan.
Samping bangunan yang juga digunakan buat benteng pertahanan melawan serangan masyarakat Maluku, ada pasar tempat pedagang pribumi menjual hasil panennya. Ketika pertempuran sengit masih berlangsung, pahlawan Pattimura tertangkap dan akhirnya digantung di depan benteng ini, tepat 6 Desember 1817.
Benteng yang kini dibuka buat wisatawan ini, masih menyimpan beberapa meriam berukuran raksasa, patung-patung dari kayu pilihan, lukisan koleksi petinggi Belanda waktu tinggal di Maluku dan peta perkembangan Ambon dari abad 9 hingga abad 17. Serunya lagi, bila kita berdiri di sisi depan benteng yang memiliki julukan Boulevard Victoria itu, kita bisa melihat Pantai Honipopu. Teluk Ambon yang sangat indah ketika matahari tenggelam pun bisa terlihat dari tempat ini.   

Benteng Pendem-Cilacap
Tertimbun Pasir
            Sesuai namanya, pendem atau terpendam, benteng peninggalan Hindia Belanda yang dibangun bertahap dari tahun 1861 sampai 1879  ini pernah terpendam tanah pesisir pantai Teluk Penyu, Cilacap Jawa Tengah.  Bangunan yang ada di area seluas 6,5 hektar, tepatnya 0,5 km arah Selatan Teluk Penyu  itu awalnya digunakan sebagai markas pertahanan tentara Hindia Belanda dari serangan yang datang dari arah laut.
Tim arsitek dari Belanda yang mendesainnya memang berhati-hati, sampai menghabiskan waktu 18 tahun buat menyelesaikan pembangunannya! Pondasinya sangat kokoh. Benteng juga dikelilingi pagar dan parit sedalam 1-3 meter. Sayang, Jepang berhasil merebut benteng ini tahun 1941. Ketika Nagasaki dan Hiroshima dibom sekutu, Jepang meninggalkan Indonesia. Benteng diambil alih TNI dan mereka menggunakannya sebagai tempat latihan perang bagi pejuang kemerdekaan.
Saat perang berakhir, kondisi benteng yang ditinggalkan sempat memprihatinkan. Hingga nyaris “menghilang” karena terpendam pasir pantai. Namun tahun 1986, pemerintah daerah menggalinya kembali. Hebatnya, beberapa ruang yang ada, masih utuh dan bagus kondisinya. Benteng Pendem memang kelihatan sederhana, namun isinya lengkap, seperti:  60 kamar barak, benteng pertahanan, benteng pengintai, gudang mesiu, ruang penjara, dapur dan klinik. Konon, ada terowongan dalam bangunan ini yang bisa tembus ke benteng lain dan bahkan sampai ke Pulau Nusakambangan. Wow!  

Benteng Vastenberg-Solo
Pusat Garnisun
            Lokasinya ada di kawasan Gladak, Surakarta. Kabarnya Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff tang memerintahkan pembangunan benteng Vastenberg tahun 1745. Awalnya bangunan itu digunakan buat pusat garnisun dan kantor pemerintah Belanda yang ingin mengawasi penguasa Surakarta.
Bentuk bangunannya, berupa bujur sangkar yang sekelilingnya ada parit buat perlindungan dengan jembatan di pintu depan dan belakang. Benteng ini terdiri dari beberapa barak, lantas di halaman tengah ada ruang terbuka buat persiapan pasukan atau apel bendera. Berseberangan dengan gedung ini ada kediaman gubernur Belanda, tapi kini menjadi kantor Balaikota Surakarta.

Benteng Du Bus-Papua
Benteng Pertahanan
            Pasukan Hindia Belanda memang tidak menyisakan sedikit pun kesempatan untuk meraih keuntungan di negeri jajahannya, seperti Indonesia.  Mereka pun membangun benteng pertahanan di Papua, 24 Agustus 1828 yang namanya diambil dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, L.P.J. Burggraaf du Bus de Gisignies. Mereka menganggap Papua sebagai wilayah jajahannya, namun mereka baru berhasil menguasai tanah di Papua sepenuhnya akhir abad 19.
            Fort Du Bus, sebutan lain benteng ini menjadi saksi bagaimana hubungan Belanda dan penduduk pribumi kala itu. Banyak surat perjanjian ditandatangani oleh di sana, seperti pengangkatan Raja Namatote, Raja Lokajihia (Kasa), Lutu (orang kaya di Loba, Mewaea dan Sendawan) sebagai kepala daerah.  

Benteng Malborough-Bengkulu
Warisan Inggris
            Pemerintahan Hindia Belanda memang banyak meninggalkan benteng di Indonesia, namun Inggris juga pernah membangun benteng di Bengkulu tahun 1713-1719 di bawah pimpinan gubernur Joseph Callet. Tujuannya sebagai benteng pertahanan. Benar juga, benteng ini ternyata benteng terkuat Inggris di wilayah Timur, selain benteng St. George di Madras India. Lokasinya ada di atas bukit buatan, menghadap kota Bengkulu.
            Campur tangan arsitektur Inggris abad 20-an membuat bangunan ini kelihatan megah. Detail pondasinya yang bergaya Eropa, seakan ingin menggambarkan kejayaan Inggris saat itu. Penampang keseluruhan bangunan bentuknya mirip tubuh kura-kura. Besar dan kokoh.
            Masyarakat Bengkulu yang marah, pernah membakar bangunan itu, sampai penghuninya mengungsi ke Madras. Mereka kembali tahun 1724. Namun tahun 1793, benteng kembali diserang. Robert Hamilton, opsir Inggris tewas, menyusul tahun 1807 residen Thomas Parr juga meninggal. Buat memperingati jasa mereka, pemerintah Inggris membangun beberapa monumen di Bengkulu.

Benteng De Kock-Bukittinggi
Nama Lain Bukittinggi
Bangunan peninggalan Belanda ini dibangun tahun 1825-1826 oleh Kapt. Bauer, saat perang paderi berlangsung. Lokasi benteng yang awalnya bernama Strrenschans ini ada di atas Bukit Jirek, sekitar 300 meter sebelah utara Pasar Bukittinggi. Pemerintahan saat itu,  mengubah namanya menjadi Fort de Kock yang diambil dari nama Komandan Militer dan Wagub Jendral Hindia Belanda, Baron Hendrik Markus de Kock. Sejak berdirinya bangunan ini, pemerintah Hindia Belanda menyebut kawasan ini Fort de Kock, sementara warga asli Minangkau tetap mengakui namanya Bukittinggi.

KARYA NEGERI SENDIRI
            Bukan hanya benteng-benteng pertahanan yang dibuat pemerintahan Hindia Belanda, Portugis dan Jepang saja yang tercatat sebagai benteng tua di Indonesia, peninggalan orang Indonesia sendiri pun ada, seperti:

Benteng Rotterdam-Makassar
Filosofi Penyu
            Bila beberapa benteng tua yang kita kenal merupakan peninggalan Belanda dan Inggris, ternyata masyarakat asli Indonesia pun bisa membangun benteng, seperti yang dilakukan Kerajaan Gowa Tallo. Mereka di bawah kepemimpinan Raja Gowa ke 9, bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’kallona tahun 1545, membangun benteng berasitektur era 1600-an dengan dinding kokoh setinggi 5 meter yang berbahan dasar tembok batu dengan campuran tanah liat yang dibakar sampai kering di dekat pantai Losari, sebelah barat kota Makassar.
            Saat Raja Gowa ke 14, Sultan Alauddin memerintah, beliau mengubah konstruksi benteng menjadi batu padas yang berwarna hitam dan keras, diambil dari Pegunungan Karst di daerah Maros. Bentuk di dalamnya, rumah panggung khas Gowa. Uniknya,  bangunan ini menyerupai seekor penyu yang merangkak turun ke lautan. Filosofinya, penyu dapat bertahan di darat dan laut. Hal itu juga berlaku bagi Kerajaan Gowa yang menguasai laut dan daratan saat itu.
            Ketika Belanda mendarat di Makassar, mereka menginginkan bisa menguasai perdagangan di Gowa, maka pasukan Belanda dibawah pimpinan Speelman tahun 1666 menggempur benteng, hingga setahun kemudian isi benteng hancur. Kekalahan raja Gowa membuat mereka harus menandatangani perjanjian Bongaya, 18 November 1667. Penjajah yang menetap di sana, mengubah bangunan ini dengan gaya Belanda. Bentuknya seperti persegi panjang. Mereka memberi nama Fort Rotterdam atau Benteng Rotterdam, nama tempat kelahiran gubernur Belanda saat itu, Cornelis Speelman.
            Bila kita masuk benteng yang kini menjadi museum cagar budaya ini, kita akan melihat nuansa etnik, kental sekali dengan pintu kayu dan gerendel kuno. Pemerintah kini menggunakannya sebagai pusat kebudayaan Makassar. Selain melihat arsitekturnya yang masih asli, kita juga bisa melihat bekas ruang tahanan Pangeran Diponegoro yang dibuang Belanda tahun 1830 ke Menado, lalu tahun 1834 dipindahkan di sini. Biliknya sangat sempit dengan dinding melengkung, sangat kokoh.  

Benteng Keraton-Buton
Rekor Dunia
            Jalan-jalan ke Buton, tidak lengkap bila tidak melihat benteng yang tahun 2006 lalu masuk rekor sebagai benteng terluas di dunia. Bangunan yang berada di Bau-bau, Sulawesi Tenggara ini awalnya dibangun tahun 1597 pada masa pemerintahan La Sangaji. Beliau adalah Sultan Buton III yang bergelar Sultan Kaimuddin atau Sangia Makengkuna. Sederhana saja. Hanya tumpukan batu yang disusun mengelilingi kompleks istana. Tujuannya membuat pembatas antara kompleks istana dengan perkampungan di sekitarnya.
            Ketika La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin memerintah sebagai Sultan Buton IV, bangunan ini disempurnakan menjadi bangunan permanen. Bukan itu saja, obyek wisata bersejarah itu pun menjadi benteng pertahanan dari serangan musuh. Ternyata fungsinya bagus juga lho…Terbukti selama beberapa puluh tahun, benteng Keraton mampu melindungi pemerintahan Buton dari serangan musuh.
            Uniknya dalam kawasan benteng, terdapat situs peninggalan sejarah yang masih dirawat oleh penduduk setempat. Tepat di tengah benteng, ada sebuah mesjid tua dan tiang bendera yang dibangun ketika pemerintahan Sultan Buton III.  (steph)

Tidak ada komentar: