Jumat, 12 November 2010

JALANGKUNG VS QUIJA


BERMAIN DENGAN ROH PENASARAN
HATI-HATI BILA TIDAK PUNYA “PENGAMAN”

            Percaya atau tidak, masyarakat masih sering bermain-main dengan menggunakan roh penasaran. Medianya bermacam-macam. Masyarakat dunia pun ternyata juga mengenal permainan dengan memanfaatkan kehadiran roh dari dunia lain. Ingin tahu lengkapnya? Ikuti petualangan Shanon dan Eka, dua remaja berlainan budaya ini…

Jalangkung
             Dingin. Angin seperti tiba-tiba berhenti. Suasana terasa lenggang, sunyi yang begitu menggigit dan membekukan. Seakan tak ada lagi tanda-tanda kehidupan di sini. Shanon menatapku dalam-dalam. Kelihatan jelas, gurat ketakutan itu. Telunjuk tangannya bersama telunjuk tanganku, menekan sebuah koin yang diletakkan di atas sehelai kertas dengan tulisan abjad A sampai Z di sekelilingnya.
            “Kamu yakin, mau mencoba memanggilnya? Jangan terlalu ditekan koinnya…” kataku, setengah berbisik. Shanon hanya mengangguk. Wajah cewek blasteran Jerman Sunda itu, kelihatan pucat. Entah karena dia mulai merasa takut atau khawatir eksperimennya kali ini gagal…
            “Tapi aman kan, Ka? Perasaanku nggak …”
            Omongan Shanon belum selesai, ketika tiba-tiba kami rasakan koin di ujung telunjuk kami seperti ada yang menggerakkan. Berat. Uang 500-an yang kami gunakan itu pun  berputar-putar di atas kertas, tanpa bisa kami kendalikan. Lantas berhenti tiba-tiba di tengah…
            “Dia sudah datang???”
            Aku mengangguk, sambil memberi kode Shanon agar tetap tenang.
            “Siapa namamu?” tanyaku seolah-olah koin di depanku itu tamu yang sudah lama kami tunggu.
            Koin kembali bergerak. Berputar-putar sejenak, lantas berhenti di huruf D. Berputar sejenak…ke huruf A, berhenti kembali di huruf N…hingga akhirnya keseluruhannya membentuk kata Danar!
            “Danar, tolong beritahu kami, di mana kamu tinggal?” Kali ini, Shanon mencoba bertanya langsung…
            Koin berputar-putar. Kencang dan makin kencang…sampai akhirnya menunjuk beberapa huruf. Kesimpulannya: gudang belakang!
            Jantung kami seperti terhenti. Keringat mulai membajir di kening kami, telunjuk tangan yang semula menekan koin itu, seakan mati rasa. Gudang belakang rumah ini? Ampun…Kematian Danar wajar atau tidak wajar? Mengapa bisa ada di gudang?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak bisa terjawab, karena kami buru-buru memutuskan mengakhiri permainan yang tadinya dianggap tidak masuk akal oleh Shanon, karena memang budaya kami berbeda. Dia sudah lama tinggal di Aussie, sementara aku yang dibesarkan di Pulau Jawa, tahu benar tradisi memanggil arwah ini. Untung, Danar mau “pulang”. Sejak saat itu, Shanon tak pernah main ke rumahku. Entah, karena trauma dengan jalangkung atau takut dengan penunggu di gudang belakang rumahku…
            Bila kita suka menonton film horor Indonesia, pasti pernah mendengar film Jelangkung dan Tusuk Jalangkung. Kedua film itu bukan mengada-ada, karena diangkat dari permainan masyarakat di daerah buat memanggil arwah. Media yang digunakan biasanya batok kelapa dan bambu, lantas dibentuk seperti orang-orangan. Penduduk desa sering menggunakan media orang-orangan sawah. Saat roh yang dipanggil datang, dia akan masuk ke orang-orangan tadi… Biasanya kata-kata mantranya:….jalangkung, jalangkung di sini ada pesta, datanglah…datang tidak dijemput, pulang tidak diantar.
            Ketika budaya ini dimainkan oleh anak-anak sekolah atau orang kantoran yang iseng, mereka menggunakan media bisa berupa koin dan selembar kertas dengan huruf abjad, seperti yang digunakan Shanon dan Eka, bisa juga koinnya digantikan dengan sebuah jangka. Intinya, roh itu kita ajak komunikasi. Sekedar bertanya, darimana asal dan bagaimana kematiannya, sampai ke ramalan.
Ya! Orang-orang yang memainkan jalangkung suka bertanya soal masa depan mereka, keberuntungan dalam bisnis, perjodohan…Masalahnya sekarang, namanya juga mengusik roh yang sudah di dunia lain, jika kita apes, mereka yang datang bisa berasal dari roh jahat dan tidak mau pulang ke alamnya. Bayangkan!

Quija Board
            Kalau boleh jujur, bermain-main dengan roh bukan kali pertama bagi Shanon. Hal itu baru kutahu, setelah aku diajak bermalam di rumah salah satu pamannya yang baru liburan ke negara asalnya, Aussie. Malam itu, film di televisi terasa membosankan. Shanon pun langsung mengambil sebuah kotak yang isinya papan bertuliskan huruf abjad dan sebuah alat penunjuk, berbentuk segitiga. Semua bahannya dari kayu…
            “Kamu punya cerita soal jalangkung, kami di Eropa pun ada…Quija Board atau papan Quija namanya…” jelas Shanon, sambil merapikan meja kecil di depan kami. Lantas meletakkan Quija Board di atas meja.
            Sedikit berbeda dengan Jalangkung, permainan yang sudah dibuat filmnya ini sempat mengundang kontroversi. Teori pertama mengatakan, roh halus dari luar yang dipanggil masuk, menggerakkan alat penunjuknya. Tapi teori lain menyebutkan, alat itu dapat bergerak karena memang mengandung kekuatan atau ada spirit di dalamnya.
              Pertanyaan apa pun bisa kita lontarkan. Kadang, Quija juga memiliki pesan buat orang yang memainkannya. Bila Quija Board sudah tidak memiliki pesan lagi buat kita, dia akan diam dengan sendirinya saat kita tanya.
            Meski kelihatannya seru, jangan coba main-main dengannya. Konon, ada laki-laki yang suka berjudi, meminta jawaban kuda mana yang akan menang dalam lomba pacuan kuda. Hasilnya, dia berhasil meraup uang ribuan dollar. Sementara seorang bocah berusia 12 tahun, ketika bermain dengan Quija menanyakan kapan dia meninggal. Tahu jawabannya? Saat bocah itu berusia 13 tahun…artinya waktunya tinggal setahun lagi.
            Hidup bocah malang itu pun seperti tidak berhenti dari teror. Ketakutannya membuat dia depresi, sering mengurung diri, menangis dan emosinya sulit dikendalikan, bahkan oleh kedua orangtuanya sekalipun. Hingga ulang tahunnya ke 13 bocah itu, seperti orang yang dikejar-kejar kematian…Memang benar, dia tidak meninggal seperti yang dikatakan Quija. Tapi sisi lain, jiwanya sudah “sakit”, karena sejak mengetahui jawaban papan permainan itu, dia tidak lagi bisa hidup normal seperti bocah sebayanya. Hidupnya selalu dalam bayang-bayang ketakutan. 
            Kejadian mengerikan juga pernah dialami seorang abg yang bekerjasama dengan ibunya, membunuh sang ayah tahun 1933 di Kansas, Amerika. Pasalnya sang ibu mencintai laki-laki lain. Remaja ini mengakui, idenya membunuh didapat dari Quija yang menjanjikan dia akan mendapatkan uang asuransi 5000 dollar dan lepas dari jerat hukum. Nyatanya? Pengadilan menjebloskan sang ibu ke penjara selama 25 tahun dan abg itu pun masuk dalam sekolah rehabilitasi.  
            Hasil penelitian J.B Rhine, direktur parapsikologi dari Duke University, USA, menyimpulkan ada kekuatan gelap yang masuk, setiap kita memainkan Quija.  Sebaiknya, siapa pun yang ingin memainkan Quija harus mempelajari lebih dalam permainan ini. Ajak beberapa kawan yang berpengalaman serta bisa dipercaya, hati-hati dalam membuka dan mengakhiri permainan. Jangan lupa,  kita harus memiliki “pelindung” juga. Jika kita tidak siap, iman kita tidak kuat, atau sebelum main kita sudah ketakutan, akibatnya fatal. Bila ingin bermain, pertanyaan-pertanyaan yang kita lontarkan yang umum saja. Jangan memancing bahaya dengan menanyakan, kapan kita meninggal atau siapa kompetiter kita yang bisa mengancam posisi kita.
             Bila ingin memperoleh permainan ini bisa mencari di toko yang menjual alat-alat supranatural. Bahannya yang bagus biasa dari kayu, ukuran A3. Namun ada juga yang berasal dari karton atau kertas.
            Asal mula Quija sendiri dari China, sekitar tahun 1100 sebelum Masehi, ketika Dinasti Song berkuasa. Saat itu lebih dikenal sebagai Fuji, media perantara buat manusia bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang sudah meninggal. Sempat dilarang saat Dinasti Wing bertahta, metode Fuji akhirnya dikembangkan sampai ke Roma dan beberapa negara di belahan Eropa dengan nama Quija atau Ouija. 
            Elijah Bond dan Charles Kennard, dua pengusaha itu memiliki ide menjual papan Quija cetakan. Hasil karya mereka dipatenkan, 28 Mei 1890.  Awal abad 20-an, penggunaan Quija semakin populer, hingga saat ini.  (steph)
 

Tidak ada komentar: