Kamis, 11 November 2010

KISAH MISTERI


 PROTES DARI KORBAN ABORSI
            Jujur. Meski banyak pengetahuan yang menjelaskan bahayanya aborsi dan larangan agama, tapi masih saja ada manusia-manusia yang tega menggugurkan, membunuh dan membuang calon bayi yang tidak berdosa. Mereka sebenarnya sudah memiliki “nyawa” yang bisa protes, jika dirinya tersakiti…Dengar kisah Nita, mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Bogor…   
Tangan-tangan kotor, berlepotan tanah merah itu mendadak sudah meraih kakiku, hingga tubuh mungil ini terjerembab ke lantai.  Sekuat tenaga, apa saja berusaha kuraih, hingga kaki meja ruang makan yang terbuat dari ukiran kayu itu, bisa kupeluk. Namun ternyata bocah itu lebih kuat tenaganya dari yang kubayangkan.  Peganganku terlepas, lantas tubuhku terasa bagaikan kapas, begitu ringannya, sampai-sampai bocah dengan wajah penuh guratan luka itu begitu mudahnya menghempaskan badanku ke dinding…Kelihatannya, dia begitu bersemangat. Mulutnya menyeringai, lantas teriakannya yang lebih mirip lengkingan itu terdengar memekakkan telinga.
“Jangan coba-coba meninggalkankan tempat ini…Jangan mencampakkan kami begitu saja…” Suara parau itu menggeram, penuh kemarahan. Tiba-tiba wajahnya yang penuh gurat luka itu sudah ada, begitu dekat dengan wajahku…Astagaaa…baunya begitu menyengat, bagaikan air comberan. Nyaris membuatku muntah…
 Entah darimana kekuatan bocah yang kemarin masih bermanja-manja dalam pelukanku…Ya, bukankah dia Eka, anak jalanan yang kutemukan menggigil, karena menahan lapar di lahan kosong, tak jauh dari rumah? Mengapa dia begitu ganas, seperti tidak mengenali aku lagi?
“Ta, bangun Ta!” Suara itu membuatku tersadar. Mita, kembaranku! Ternyata aku bermimpi.
“Hai, Ta…Bangun! Mimpi serem ya, sampai teriak-teriak. Gue takut lo kesurupan…ha…ha…ha…. “  Mita tertawa terbahak-bahak, ketika melihat wajahku yang basah oleh keringat itu, masih terbengong-bengong, mirip orang linglung.
“Jam berapa, Ta? Semalam aku teriak-teriak???”
“Udah jam tujuh nih…Gue mau ke  atm ngecek transferan dari mama. Mau nitip apa?”
Aku menggelengkan kepalaku, badanku lemas.  Mimpi yang benar-benar seperti kejadian nyata. Heran. Bukan hanya sekali ini, bayangan bocah kecil itu mengganggu tidurku.  Ya, tepatnya sejak dua minggu belakangan ini, ketika aku mulai mengenal Eka. Bocah itu kutemukan sedang menggigil kedinginan di teras depan rumah, saat hujan mengguyur kotaku, Bogor.
Kasihan. Bocah ini hidup sebatangkara. Katanya, ayahnya tidak pernah mengakui dia sebagai anaknya. Sang ibu, meninggal ketika melahirkan dia. Benar-benar ironis, masih ada orangtua yang tega menelantarkan anak kandungnya sendiri. Apalagi kulihat, Eka bocah yang cerdas, meski dia tidak menikmati bangku sekolah, layaknya anak sebayanya.   
Pemilik mata bulat, rambut kriwil sebahu dengan kulit sawo matang itu, juga suka menatapku dalam-dalam, setiap kali melihat aku duduk di teras depan rumah.  Awalnya, kupikir dia anak kampung belakang yang kebetulan main, ternyata tidak hanya kali itu saja kulihat dia dengan tatapan nanarnya. Pernah, mama dan papa yang tinggal di Bandung, ketika menengokku, menemukan dia lagi duduk di depan pagar rumah. Tapi ketika didekati, dia buru-buru kabur.
            Rumah milik papa ini memang sudah setahun tidak ditinggali, sejak Kak Rain kakakku satu-satunya kuliah di Melbourne. Maklum, hanya dia yang paling rajin main ke rumah warisan orangtua papa yang nyaris mau dijual ini. Untung, aku berhasil meyakinkan papa, buat menunda niat beliau dengan pindah ke rumah ini bersama Mita kembaranku, sambil mengambil kuliah di Bogor.
 Kalau dipikir-pikir, rugi bila rumah yang berasitektur Belanda ini dijual. Apalagi dengan harga murah, seperti yang papa pernah ceritakan. Soalnya lokasinya strategis sekali. Lihat saja, ada klinik pengobatan yang standby 24 jam, tidak jauh dari tempat tinggalku. Bila butuh bahan pokok juga tinggal  berjalan kaki. Apalagi kalau mau memotong jalan…
Kulirik jam di dinding, astaga…sudah pukul delapan! Mita pasti akan mentertawakanku, jika melihat aku masih terbengong-bengong di atas tempat tidur. Buru-buru kuambil handuk, lantas mandi…
Bbbrrr! Segar. Bayangan menakutkan dalam mimpiku tadi sudah kulupakan. Bunga tidur saja, batinku sambil menyeduh secangkir kopi. Lantas, kuraih roti bakar yang sudah dibuatkan Mita untukku…Kembaranku itu memang pengertian…Dia tahu, semalam aku mengerjakan paperku sampai lewat tengah malam.
“Ta…, nggak ke kampus?” Ough! Dasar…Mita suka membuatku jantungan. Cewek berambut sebahu itu, langsung duduk di sampingku, lantas menyerobot kopi panasku dengan muka tak berdosa…
“Bagi ya…” katanya enteng.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, melihat kejahilannya. Meski kami kembar, kami memang sangat berbeda. Mita lebih terbuka, tomboy, jahil dan suka bercanda, sementara aku pendiam, pemalu dan suka main perasaan. Nggak heran, waktu kukenal Eka pertama kali, Mita nggak terlalu heboh seperti aku yang mati-matian menginginkan bocah itu tinggal di rumah kami. Entah mengapa, Eka menolak. Bocah itu hanya mau main sesekali saja, tapi tidak tinggal di rumah kami. Bila kutanya, dia tinggal dimana, jawabnya singkat…
“Nggak jauh dari rumah ini, mbak…” kata Eka, diplomatis nadanya.
            Ya, sudahlah. Mungkin dia punya kehidupan pribadi sendiri yang tidak ingin aku campuri.
            “Tuh kan, melamun lagi…Soal mimpi semalam lagi?” tegur Mita, mengejutkan.
            Ampun…Kenapa aku memikirkan bocah itu lagi ya?
            “Sudahlah, Ta…Jangan dipikirin lagi…Mimpi itu bunga tidur…Lagipula, selama ini tidak ada kejadian aneh-aneh di rumah kita kan? Papa juga sudah bilang kemarin, bulan depan kita musti pindah ke rumah baru yang lokasinya dekat kampus. Sedangkan rumah ini kan terlalu besar, sayang bila hanya kita yang menempati. Papa sudah menemukan pembeli yang cocok. Uangnya bisa buat tambahan biaya kuliah kita.”
            Omongan Mita barusan, membuatku tersadar. Ya, toh tidak lama lagi aku pindah. Mungkin ketakutanku berpisah dengan rumah ini saja, membuatku mimpi yang bukan-bukan…
***
            Gemuruh air di luar yang seperti ditumpahkan dari langit, membuyarkan lamunanku. Sepi. Malam ini, Mita yang suka ngoceh, menggoda aku, pulang ke Bandung. Katanya kangen mama…Duh, tuh anak. Ngaku tomboy, ternyata mellow juga hatinya. 
Guntur sesekali terdengar, membuatku merapatkan jaket. Ngeri. Bayangan seram suka menggangguku akhir-akhir ini. Angin kencang di luar juga membuat suara gaduh. Pohon-pohon kulihat dari balik jendela, kelihatan meliuk-liuk, seperti mau roboh. Dingin-dingin begini, paling enak menyeruput segelas susu coklat hangat!  Mmm..setengah malas, kulangkahkan kakiku ke dapur…
Tok…tok…tok…
Langkahku terhenti seketika. Suara itu terdengar jelas, asalnya dari teras depan. Siapa ya, malam-malam begini bertamu? Mungkinkah perampok? Tubuhku bergetar hebat. Ketakutanku kembali muncul…Jika perampok,…
Kuintip dari balik jendela, … wuzz…tidak ada siapa-siapa. Huh! Mungkin perasaanku saja… Namun, ketika kuhendak balik ke dapur, tiba-tiba ketukan itu kembali terdengar…Kali ini, ada suara yang sepertinya kukenali…
“Jangan tinggalkan kami… Kami tidak mau sendiri di sini…”
Bbbr….Angin bertiup, dingin. Bulu kudukku mendadak berdiri…
Suara itu…
“Tolong…tolong, jangan pergi…Kami tidak mau sendiri di sini…”
Glek. Aku menelan ludah, takut… Bayanganku adegan dalam film horror, berkelebat jelas. Selama ini, aku bisa tertawa, melihat film horror. Tapi kali ini, aku merasakan diriku ada di dalamnya, begitu nyata…
“Tolong…”
Badanku bergetar hebat. Pintu depan, berderak. Suaranya begitu berisik, seperti berlomba dengan suara hujan di luar…Buru-buru, kuberlari masuk ke dalam kamar, lantas menguncinya rapat-rapat. Belum sempat bernafas lega, tiba-tiba…lampu mati!
Tubuhku lemas. Nafasku terasa memburu. Tanganku mencoba mengaktifkan lampu yang ada di handphone, tapi karena gemetar, handphoneku malah jatuh ke lantai!  Suara itu makin dekat, dekat…dan kini terasa tepat di depan pintu kamar… Pintuku berderak, guntur yang bersahutan di luar, makin membuatku menggigil ketakutan…Aku pasrah, …keringat sudah membanjir, nafasku tersengal-sengal…
“Tolong…” Deg! Tanganku terasa ada yang memegang. Dingin…Badanku langsung ambruk mencium lantai. Gelap!
***
Gara-gara terlalu banyak nonton film horror, kata Papaku ketika keesokan harinya kusadar sudah berada di kamar ditemani Mita dan Papa. Kata Mita, semalam mereka menemukan rumah sedang mati lampu. Ketika mau membuka pintu, aku berteriak ketakutan. Bahkan mengusir mereka pergi, sampai akhirnya tubuhku ambruk, pingsan…
‘Benar, pa…Nita tidak bermimpi atau berkhayal. Semalam ada yang berusaha masuk ke rumah, menteror…” protesku, ketika papa tidak mau mendengar penjelasanku.
Gara-gara kejadian itu, aku istirahat total di rumah. Untung Mita dan Bik Mimin dari Bandung, menemaniku bergantian, karena aku tidak pernah mau lagi ditinggal sendirian. Papa memutuskan, kami segera pindah rumah. Selain mimpi-mimpiku yang kacau, juga rumah itu sudah ada pembelinya.
            Siang ini, sehabis membereskan beberapa perabot rumah yang akan kami bawa pindah, kami melihat beberapa petugas kepolisian lalu lalang di depan rumah. Kelihatannya ada kejadian serius, batinku.
            Belum habis rasa heranku, kulihat dua orang petugas datang. Beliau ditemui papa, kulihat dari ekspresi papa, beliau sangat terpukul, sampai menggeleng-gelengkan kepala…
            Papa tidak bicara apa-apa, ketika kutanya masalah petugas yang datang siang itu. Beliau baru menceritakan kejadian selengkapnya, setelah kami masuk ke rumah baru yang lebih mungil, tapi dekat dengan kampus.
            Baru kutahu…Klinik yang lokasinya dua rumah dari rumah kami, sering melakukan aborsi gelap. Banyak calon bayi tidak berdosa dibunuh, lantas dimakamkan seadanya di halaman klinik itu juga. Tragisnya lagi…dari pengakuan seorang bidan yang melakukan aborsi, ketahuan janin yang digugurkan itu juga ada yang dibuang dan ditanam di halaman rumah kami…Ketika dulu, kami jarang menengok rumah ini, mereka pikir, kesempatan buat menyembunyikan jejak kejahatan mereka…
            Papa dan Mita, mengakui sekarang… mimpi-mimpiku ternyata ada benarnya. Mungkin, Eka yang kukenal sebenarnya roh bayi yang penasaran…Roh yang selalu menggangguku, tidak ingin ditinggalkan sendiri, ya…roh bayi-bayi itu…Mereka mungkin merasa, jika keluarga kami cukup “bersahabat” dengan mereka. Karena  pembeli baru rumah kami bisa saja merenovasi bangunan rumah ini, sehingga “keberadaan” mereka terusik…(Kisah Nita ini diceritakan kembali oleh Steph)

Tidak ada komentar: