Kamis, 11 November 2010

Percaya Ramalan



            Jujur. Indra keenamku tidak setajam alm. Mama Laurent, Alien Sahertian atau paranormal lain yang bisa meramalkan perjalanan hidup seseorang. Berawal dari iseng, suka membaca karakter tiap zodiak, lama-lama aku menjadi percaya bila seseorang itu kepribadiannya akan dipengaruhi bintang yang menaunginya. Gara-gara itu pula, aku suka menebak teman-temanku sendiri. Kocaknya, mereka pun percaya.
            Pernah suatu hari, Sari datang ke meja kerjaku. Dia curhat, capek sering berdebat dengan cowoknya yang tinggal di lain kota. Kutebak cowoknya yang berbintang Aries itu, tidak mau terlalu diatur dan keras. Namun soal kesetiaan, tidak perlu disangsikan. Hanya masalah posesifnya Sari saja yang perlu dikurangi. Tahu, apa reaksi Sari? Dia memelukku, sambil berkata, “Kok kamu tahu? Kamu hebat…Terus, bagaimana kelanjutan hubungan kami?”
            Begitu deh, teman-teman suka takjub mendengar komentarku. Mereka anggap, aku punya indra keenam, alias bisa meramal! Padahal aku bukan peramal, paranormal, atau apa pun itu julukannya. Hal-hal berbau mistis saja, aku takut. Apalagi membayangkan aku bisa memiliki kemampuan melihat dunia lain di depan sana…Aduh! Namun kupikir-pikir, tak ada salahnya aku bisa menyenangkan orang lain. Minimal, saran-saranku yang mungkin bisa mereka manfaatkan. Misalkan kutahu Marta, temanku yang berasal dari daerah itu pemalu dan sangat tertutup, aku akan bilang, dia punya kesempatan berkembang di kantorku, asal dia mau membuka diri. Karena dia punya talenta yang tidak perlu disembunyikan. Atau Marsya yang perfeksionis, suka membuat teman-temanku sakit hati karena kata-kata pedasnya, akan aku bilang dia memperoleh surprise yang mengubah hidupnya, bila mau lebih sedikit bersabar dan berempati dengan orang lain.
            Tanpa kusadari, aku pun merasakan kepuasan tersendiri, bila orang yang merasa aku “ramal” itu senang atau optimis. Tidak hanya teman-teman kantor, teman satu kost dan teman satu profesi pun akhirnya tahu “kemampuan”ku. Hingga ketika kantorku mengadakan acara keakraban, liburan bersama keluarga karyawan, aku didaulat membuka stand ramalan.
            “Anggap saja buat have fun,… Kamu minta properti apa saja, nanti panitia sediakan deh. Please?” bujuk Riska, salah satu sahabat baikku waktu itu, ketika aku mati-matian menolak tawaran dari panitia keakraban. Andai membaca karakter teman-temanku, aku masih sanggup. Karena aku kan secara tidak langsung mengerti karakter mereka dari kesehariannya juga. Sehingga antara bintang dan kelakuan asli mereka yang kulihat setiap hari, kugabungkan. Lebih mudah, dibanding keluarga karyawan…wow! Kenal mereka pun aku belum, bagaimana mau membaca kebiasaan mereka?
            “Kalau mereka kecewa, bagaimana Ris? Aku nggak bisa meramal…” Aku berusaha mengelak.
            “Pelit banget sih… Apa karena nggak ada bonusnya? Sesekali amal dong…”
            Bujukan Riska, membuatku tersedak. Waduh, mereka bisa menduga aku matre. Padahal sama sekali aku tidak pernah meminta imbalan. Berat, tapi kuterima juga. Biarlah bila tujuannya untuk menyenangkan orang, minimal bisa memotivasi orang lain bisa lebih baik, bukan malah menakut-nakuti mereka dengan hal seram-seram.
            Siang itu, aku mulai menjalankan “profesiku” sebagai peramal. Kududuk berdiam diri di dalam sebuah stand yang tertutup kain. Satu demi satu, “pasien”ku masuk. Lima orang pertama, masih enak kutanggapi. Dua puluh orang berikutnya, tenggorokanku mulai kering. Air mineral yang kuteguk pun rasanya tidak sanggup membuat aku tenang. Damn! Aku mulai kehabisan kata-kata. Namun akhirnya, tugasku pun selesai. Aku mengusap peluh yang membanjir, ketika Riska mendatangiku dengan membawa sekotak ice-cream kesukaanku.
            “Hebat kamu! Banyak yang kaget, kok tebakan kamu tepat. Apalagi tuh, ada suami istri yang curhat kalau mereka menjadi sama-sama terbuka, setelah keluar dari stand kamu. Kamu berguru di mana sih?” pujinya.
            Aku hanya senyum simpul. Mereka tidak tahu, ketika aku duduk dalam stand, orang-orang yang minta diramal sudah ribut saat mengantri. Salah satunya ya pasangan suami istri itu yang kedengarannya memang sama-sama kencang bicaranya. Mereka kelihatan sama-sama bete, padahal seharusnya have fun di acara keakraban ini. Ya, maaf… Bohong untuk kebaikan, mungkin masih bisa dimaafkan kan?  (dimuat di Majalah FEMINA no. 51)

1 komentar:

HANNA RITONGA mengatakan...

seru mba stey i like this story
mau donk diramal, kapan aku bisa married dan mendapatkan pekerjaan yg aku impikan that's ANNOUNCER
xixixixix....