Kamis, 11 November 2010

KISAH MISTERI SAHABAT BUAH HATIKU



HANTU SAHABAT BUAH HATIKU

            Kejadian ini bisa menimpa siapa saja. Jangan sekali-kali menyepelekan laporan anak kita, apalagi membiarkan dia bermain sendiri lewat mahgrib. Waspadai lingkungan rumah, karena bukan manusia saja yang bisa mengancam keselamatannya, tapi juga makhluk halus yang doyan bermain dengan anak-anak. Baca pengalaman keluarga Taufan yuk…
            Sebagai wanita yang pernah merasakan bangku kuliah, aku tidak pernah percaya bila ada mitos mengatakan, lahan kosong banyak ditinggali makhluk halus. Tetapi setelah aku nyaris kehilangan buah hatiku, baru kupercaya. Awal kisah ini bermula ketika keluarga kami pindah ke Serpong, Tangerang.
            Taufan, suamiku, bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan terkemuka. Ketika kami menikah, kami memutuskan tinggal di sebuah perumahan.  Terima kasih Tuhan, dua tahun usia perkawinan, kami dikaruniai seorang anak laki-laki. Edo namanya.
            Bocah laki-laki yang sehat, menggemaskan dan hiperaktif. Dia sudah mampu berjalan, ketika balita sebayanya belum bisa. Edo juga memiliki daya ingat tinggi. Bila dia bertemu dengan seseorang, dia akan mampu menyebut kembali nama orang itu meski bicaranya masih cadel.
            Sejak menikah, Taufan memintaku berhenti bekerja. Demi perkembangan anak-anak kami, alasannya. Namun tetap saja, aku yang tidak betah diam, mencari-cari usaha sampingan. Ketika Taufan bermain, aku asyik dengan laptopku. Membuka-buka Facebook dan beberapa situs, buat mengetahui berita terkini dan menjalin networking atau mengetik novel keduaku. Ya..sebelum menikah, aku bekerja di sebuah penerbitan. Kini, meski sudah berstatus ibu rumah tangga, menulis tetap menjadi kegiatan favoritku, sekaligus mata pencaharian.
            Ketika Edo berusia 3 tahun, aku mulai kewalahan. Entah mengapa, dia mulai merasa aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Novel ketigaku memang sudah masuk deadline…Jelas saja, aku kelimpungan, mengejar target. Sementara bocah kebanggaanku ini, makin kritis. Dia suka mencari perhatian dengan pura-pura jatuh atau kesakitan karena terbentur sesuatu saat bermain. Ketika aku panik menolong, eh…dia malah tertawa… “Mama, gotcha…” katanya, seakan menirukan adegan di film anak-anak yang biasa ditontonnya.
            Suatu hari, Taufan membawa oleh-oleh buat Edo, mainan kereta api lengkap dengan relnya. Duh, betapa senangnya bocah kesayanganku itu. Dia tidak lagi suka merengek-rengek, ketika melihat aku sibuk, atau membuat ulah, sejak memiliki mainan yang bisa digerakkan dengan batere itu. Kadang dia bermain sendiri di ruang tamu, kamar tidur atau kadang di teras depan rumah.
            Malam itu jam di dinding sudah menunjukkan pukul 19.00 malam, namun Edo dari meja kerjaku kulihat masih saja asyik bermain di teras depan. Berulangkali kupanggil, tetap saja dia cuek. Karena aku masih online, kubiarkan saja dia bermain. Namun saat kumatikan laptopku, kulihat Edo sudah duduk di sampingku dengan wajah ditekuk, seperti kebiasaannya kalau sedang kesal.
            “Edo kesal ma…Mainan Edo direbut…Adek ikutan main….” Lapornya. Adek? Kulihat teras, tak ada siapa-siapa. Kereta api mainan itu pun masih ada.
            “Adek siapa, Edo? Tuh keretanya masih ada…”
            Edo menggeleng. Matanya nanar. Dia seakan mencari seseorang, namun kulihat tak ada siapa-siapa… Jalan di depan rumah kami pun sudah sepi.
            “Tadi Adek datang, ma. Edo ajak main, malah dia rebut mainan Edo…”
            Aku hanya bisa geleng-geleng. Bocahku ini mungkin sedang menghayal, karena kuperhatikan, pagar depan rumah pun terkunci. Masa ada bocah datang dengan lompat pagar?
            Kejadian hari itu, sudah kulupakan. Edo pun sudah tidak pernah menyebut-nyebut nama Adek lagi. Dia kelihatan lebih semangat dari biasanya. Tanpa perlu aku temani, dia kini suka bermain sendiri di teras. Kadang kudengar dia ngoceh, seakan mengajak kereta apinya ngobrol. Ada-ada saja, batinku. Anak balita seusianya memang daya imaginasinya tinggi.
            Kuingat betul, hari itu Edo demam, sehingga kularang dia bermain di teras. Kuberi dia obat penurun panas, hingga bisa istirahat. Tidurnya kulihat sangat pulas. Padahal jam-jam segini, dia biasa bermain di teras. Mmm…aku jadi ingat, mainan Edo sudah kurapikan di kotak mainannya, tapi mengapa ketika kulihat dari balik jendela, kereta api plastik itu masih ada di teras. Mungkin, aku saja yang pelupa… Karena masih harus menyiapkan masakan buat makan malam kami nanti, kubiarkan saja mainannya teronggok di teras depan. Toh nggak ada siapa-siapa yang bakal mengambil, karena pagar terkunci.
            Hari ini, Edo mulai masuk playgroup. Kupikir, dia pasti bahagia, banyak teman baru. Nyatanya? Makin hari, pahlawan kecilku ini suka bengong sendiri di teras depan, setiap pulang sekolah. Mainannya yang biasa dia sentuh pun, dia biarkan teronggok begitu saja. Tapi ketika akan kusimpan di box, dia protes. Dia minta, mainannya dibiarkan saja di teras.
            Kecurigaanku dia sedang sakit, membuatku membawa Edo ke dokter. Namun hasil check up, dokter mengatakan anakku sehat. Apa yang mengganggu pikirannya ya?
            “Edo tidak suka sekolah?” tanyaku suatu hari…
            “Suka ma…”
            “Kenapa kelihatan sedih? Setiap mama lihat Edo suka melamun di teras? Cerita dong…”
            Dia menggeleng, pelan.  Tangannya yang mungil menggenggam jari-jari tanganku, erat. Seperti orang ketakutan, dia pun mendekati telingaku, lantas berbisik…
            “Adek mau main sendiri. Edo nggak boleh main lagi…Padahal Edo kan senang bisa main bersama Adek...”
            Jantungku nyaris copot. Adek lagi?  Padahal aku sudah menghapus nama itu dalam memori ingatanku. Kenapa muncul lagi?
            “Edo jangan sedih ya, nanti mama beritahu Adek jangan larang Edo ya...” bujukku, meski jantungku berdetak kencang. Aku masih penasaran, siapa yang dia sebut-sebut Adek itu….
            Malam ini, aku harus tidur larut karena menyelesaikan bab terakhir novelku. Taufan, suamiku tugas keluar kota. Setelah kupastikan Edo sudah tidur, kumatikan lampu ruang tamu, sambil memeriksa kunci pintu. Tiba-tiba kudengar suara bocah tertawa. Suaranya begitu jelas dan dekat….
            Bbrrr…bulu romaku berdiri. Aku berusaha membunuh rasa takutku yang muncul tiba-tiba. Baru kusadar, suasana sekitar perumahan ini begitu sunyi malam-ma;am begini. Lantas, siapa yang membiarkan anaknya bermain di tengah malam buta?
            Perlahan-lahan, kudekati pintu depan rumahku, tempat asal suara itu. Dari balik jendela, kulihat teras, mungkin saja halusinasiku yang sudah kecapekan, batinku berusaha menghibur diri. Astaga!!! Apa yang kulihat membuat nafasku seperti berhenti…
            Seorang bocah berambut kriwil, bermata bulat, sebaya Edo tengah bermain. Nggak hanya itu saja, dia menggerak-gerakkan kereta api mainan milik Edo dengan wajah berbinar, bahagia. Namun sesekali dia menyeringai, hingga giginya yang kotor dan tak beraturan, kelihatan. Naluriku mengatakan, kejadian ini tidak wajar, maka aku memilih mundur dan buru-buru masuk ke kamar, sambil membaca doa yang kuingat.
            Taufan menganggap aku mengada-ada. Namun dia baru percaya, ketika seorang paranormal yang menjadi salah satu kliennya datang menolong mengatakan, anakku sudah “bersahabat” dengan hantu yang tinggal di tanah kosong, dua rumah dari rumahku.
Memang, ada tanah kosong yang ada pohon bambunya di dekat rumahku. Menurut kepercayaan masyarakat, tanah kosong dan pohon bambu identik dengan makhluk gaib…Aku tak pernah percaya itu…Ternyata anakku sudah menjadi korbannya. Untunglah, dia masih bisa diselamatkan, sebelum terlambat. Kini, kami tinggal di blok yang berbeda. Semoga kejadian ini tidak dialami oleh anak-anak lain. (Kisah keluarga Taufan diceritakan kembali oleh Steph)

Tidak ada komentar: