Sabtu, 06 Agustus 2011

NYANYIAN JENAR


         
            Pusing. Indra penciumanku merasakan bau anyir yang menusuk hidung. Benar-benar membuat isi perut seperti diaduk-aduk. Heran. Setahuku, siang tadi seluruh sudut rumah sudah kubersihkan. Nggak ada sampah, bangkai tikus atau sejenisnya. Tapi kenapa aroma tidak sedap itu kini begitu mengganggu? Meski mata terasa begitu berat, kupaksakan juga turun dari tempat tidur buat mencari penyebab bau yang makin menggila ini.
            Deg! Wanita itu… Entah darimana datangnya, tiba-tiba tepat di depanku berdiri wanita separuh baya. Tatapannya nanar, tanpa ekspresi. Satu hal yang membuatku menggigil ketakutan…wajahnya!  Paras cantik itu bermandi darah. Merah… Anyir. Belum lagi luka menganga di kening. Sepertinya, darah itu menyembur tak henti dari sana. Lemas. Kaki ini seperti tidak berpijak pada tempatnya. Sekelilingku berputar begitu cepat, terasa memusingkan…padahal perempuan itu tidak bergeming dari tempatnya. Dia hanya menatapku dalam diam. 
            “Siapa kamu? Ngapain  di sini?” tanyaku dengan suara bergetar. Meski jujur, aku sendiri tidak mengharapkan dia akan menjawab pertanyaanku. Ketakutan itu benar-benar seperti membunuhku, hingga tulang-tulang persendian ini terasa kaku.
            Wanita itu tidak juga bergeming dari tempatnya. Meski darah membanjir, hingga kurasakan kakiku menyentuh cairan yang hangat, kental dan menjijikkan…Darah di mana-mana! Nggak, nggak boleh pingsan. Pasti semua yang kulihat ini hanya mimpi…halusinasi!   Belum sempat kusadar apa yang tengah kualami, tiba-tiba saja wajah wanita itu sudah berada tepat di depanku. Ya… entah bagaimana caranya, tahu-tahu dia berada begitu dekat denganku. Sampai-sampai wajahnya nyaris menempel dengan wajahku! Matanya…mata itu seperti menyimpan dendam dan luka begitu dalam.
            “Ka…kamuuuu?!” Detik berikutnya, aku benar-benar ambruk. Pingsan!
********
            Kejadian malam itu, sengaja tidak kuceritakan kepada siapa pun. Takut, halusinasi saja. Ntar bukannya ditolongin, malah diketawain. Tahu sendiri Mas Wisnu, dia sangat antipati dengan namanya hantu, penampakan, atau apa pun itu. Laki-laki yang belum genap setahun ini menikahiku itu, memang selalu berpikir jauh lebih bijaksana daripadaku. Mungkin karena usianya jauh lebih tua dariku. Kami beda 15 tahun.  Aku menerimanya sebagai suami, karena kulihat kesungguhan dan perhatiannya luar biasa. Meski statusnya duda, waktu melamarku. Istri pertamanya meninggal dunia,  ketika rumahnya disantroni perampok.
            Mengaku tidak ingin terlalu dalam memendam kesedihan, Mas Wisnu pun menempati rumah baru. Katanya setiap tinggal di rumah lama, dia terbayang-bayang kejadian mengerikan itu. Makanya, laki-laki bertubuh atletis yang doyan nge-gym itu berencana menjual rumah lama.
Heran. Meski berulangkali diiklankan, bangunan itu nggak laku-laku. Mungkin karena posisinya kurang strategis, tapi harga yang diminta Mas Wisnu tinggi. Sempat juga dikontrakkan…tapi baru beberapa minggu, penghuninya pindah. Nggak masuk akal. Mereka rela dipotong sekian prosen, sebagai ganti rugi karena tidak menepati surat perjanjian kontrak, daripada disuruh bertahan tinggal di sana.
            “Gampang-gampang susah, ngejual atau ngontrakin rumah hari gini. Sayang juga kalau banting harga,” curhat Mas Wisnu, ketika kami masih pacaran. Cuma butuh waktu tiga bulan saja, kami resmi pacaran. Lantas penyuka motor gede dan olahraga tae kwondo itu pun melamarku. Meski jauh sebelumnya, kami sudah saling dekat layaknya seorang sahabat.
            Inget banget, ekspresi mama waktu Mas Wisnu datang ke rumah. Beliau sama sekali tidak menduga, kedekatan kami selama ini serius mau dibawa ke jenjang pelaminan mengingat usia laki-laki itu terlalu jauh. Seumuran dengan adik bungsu mama, Oomku yang tinggal di Makassar. Belum lagi statusnya duda… Baru setengah tahun ditinggal mati Mbak Jenar istri pertamanya, sudah berani menikah lagi. Tapi ya…namanya cinta. Aku tidak perduli dengan tanggapan negatif orang lain, termasuk penilaian miring dari mama dan keluarga besarnya.
            Pernikahan pun digelar, tanpa resepsi besar-besaran. Sederhana saja. Lantas, kami tinggal di rumah baru yang sudah Mas Wisnu beli sebelum melamarku. Berhubung rumah tengah direnovasi,  aku pun tidak menolak waktu diajak pindah sementara ke rumah lama. Resiko. Capek dan repot sedikit, it’s okey. Mumpung kami belum punya momongan…
            Eit nggak tahunya, capek banget ngebenahin seisi rumah lama. Padahal sudah dibantuin Bik Inah, pembantu kami. Baru selesai bebenah, sore. Kebetulan Mas Wisnu hari pertama kami pindah, tugas ke luar kota. Terpaksa kutidur sendirian, karena Bik Inah tidak menginap.  Ya gitu deh, mungkin karena kecapekan malam itu aku seperti melihat sosok perempuan bermandikan darah. Padahal kuyakin, nggak ada siapa-siapa bisa masuk dalam rumah, karena semua pintu terkunci rapat.
**********
            Gending Jawa? Kutajamkan pendengaranku. Bener. Nggak salah! Ada suara wanita seperti lagi nyinden, atau nembang lagu Jawa. Suaranya lirih, merdu banget. Ah, perasaan tadi nggak nyalain televisi. Lagipula jam segini, siapa orang yang iseng dengerin radio?
            Bulu kudukku tiba-tiba merinding. Dingin tengkuk ini, seperti ada es yang ditiupkan di belakang telinga. Aroma anyir, berpadu dengan bau busuk yang menyengat, mendadak menyesakkan indra penciumanku. Nyaris terbatuk-batuk dan muntah aku dibuatnya…Gila! Bau apalagi ini?
            Buru-buru kuambil tissue, lantas sambil menutup hidung kukeluar dari kamar. Mungkin Bik Inah lupa buang sampah, hingga gundukan sampah yang ada di tempat sampah dapur, baunya ke mana-mana? 
            Lirih suara wanita yang menyanyikan tembang Jawa itu, kini terdengar makin jelas, bersamaan dengan bau busuk di mana-mana. Sampai-sampai aku dibuat sesak nafas, karena mualnya. Duh, nggak enaknya tinggal sendiri. Dua hari ini, Mas Wisnu kok belum pulang juga…batinku mengaduh.
            Bersamaan dengan terbukanya pintu ruang tengah yang menghubungkan dengan dapur kubuka, tiba-tiba…Astaga! Wanita itu…Wanita bermandi darah dengan tatapan dingin itu sudah berada tepat di depanku. Dia tidak bergeming sama sekali, hanya tatapannya saja tajam, menusuk…Darah mengucur dari keningnya yang setengah berlubang. Menjijikkan. Perut ini rasanya teraduk-aduk, ingin muntah. Tapi ketakutanku jauh lebih besar dibanding rasa jijik dan mual….
            “Siapa kamu? Pergiiiii!” ujarku, setengah berbisik. Kerongkongan rasanya kering. Suara ini parau, meski aku berusaha teriak sebisanya.  Wanita itu tak bergeming dari tempatnya. Dia hanya berdiri dan diam, seperti menunggu…Sebelum aku sempat berteriak, tiba-tiba… deg! Wajah wanita itu sudah tepat di depanku, hanya sekian sentimeter saja jaraknya dengan mukaku! Brukkk! Kujatuh pingsan.
********
            Sumpah! Aku nggak mau dianggap kolokan, penakut, atau sejenisnya…tapi menghadapi gangguan selama dua malam berturut-turut begini, nggak tahan juga. Mas Wisnu yang baru datang dari luar kota, langsung kuberondong dengan ceritaku.
Gemes. Bener kan dugaanku? Bukannya dia prihatin, tapi malah setengah menertawakanku. Alasannya halusinasiku saja…karena nggak pernah sendirian tinggal di rumah. Memang sih, aku tidak pernah seumur-umur tinggal sendiri dalam rumah. Pasti ada keluarga atau pembantu, sampai menikah pun begitu. Kebetulan saja, karena pindah sementara ke rumah lama, pembantu kami nggak bisa menginap lagi seperti dulu.
            Mungkin juga karena kecapekan, sekaligus ketakutan nggak jelas, badanku meriang. Panas tinggi, meski sudah diberi obat penurun panas. Kasihan juga Mas Wisnu…baru datang,  bukannya aku ladenin malah sebaliknya. Dokter yang memeriksaku mengatakan, demam biasa. Kecapekan dan tensi darah drop.  Secara aku juga suka makan telat… Ya, jadi deh. Mmm, bener kali. Halusinasiku akibat kecapekan dan meriang.
            Tahu hasil test laboratorium, aku nggak kena tipes, demam berdarah atau penyakit menakutkan lainnya, Mas Wisnu bisa bernafas lega. Maklum, proyek barunya di Surabaya nggak bisa ditinggalkan. Akhir-akhir ini, dia harus bolak balik ngecek ke sana, hingga aku pun tinggal sendiri lagi.
            “Yakin, kamu nggak apa-apa kutinggal?” tanya laki-laki bermata elang dan berkulit sawo matang itu, serius. Aku menggeleng, sambil senyum. Kasihan juga, kalau dia musti mikirin kepentinganku. Padahal usahanya juga masa depan keluarga kami juga…
            Dugaanku keliru. Suhu tubuh yang tadinya turun, begitu ditinggal Mas Wisnu langsung naik lagi. Panas. Badan rasanya terbakar di atas bara. Malam itu, aku belum juga bisa tertidur pulas, ketika lamat-lamat tembang Jawa terdengar begitu dekat di telinga.
            Ampun! Jangan lagi deh, batinku. Nggak mungkin gangguan itu datang lagi. Halusinasi! Kucoba cuek, tetap bersembunyi di balik selimut. Meski jujur saja, kakiku gemetaran. Detak jantung seperti terdengar jelas, karena ketakutan. Tiba-tiba suara ketukan itu terdengar, sepertinya ada tamu? Kucoba tajamkan pendengaranku. Bener. Ada orang mengetuk pintu…Mmm, siapa malam-malam begini bertamu. Atau jangan-jangan mama nengokin? Mama memang pernah sms, bilang kangen dan pengen nengokin aku.
            Ffuuuih! Kuturun juga dari tempat tidur, sambil menyambar jaket di kursi. Dinginnya malam ini, beda dari biasa. Mungkin karena aku sakit dan demam tinggi. Rasanya dinginnya membekukan, sampai ke tulang-tulang.
            “Siapa ya?” Langkahku terhenti di depan pintu, ketika gorden kaca jendela sudah kusibak…Tak ada siapa-siapa di luar sana. Sengaja, aku tidak membuka pintu dulu, karena takut tamunya orang asing. 
            Sepi. Tak ada jawaban. Tak ada siapa-siapa. Huh! Iseng. Demam, pikiran jadi kacau gini, batinku kesal sambil balik badan. Ampuuunn! Tepat di belakangku, wajah wanita bermandi darah itu ….dia…dia benar-benar begitu dekat dengan wajahku. Sampai-sampai hembusan nafasnya terdengar dan terasa begitu jelas, meniup pori-pori wajahku!
            “Ka…kaaaa…kammmuuuu!” Persendianku lemas seketika. Rasanya mau ambruk, tapi berusaha kutahan. Nggak boleh pingsan! Ntar dia berbuat jahat…Nggak boleh! Batinku, sambil menahan berat tubuhku sendiri di kursi yang ada di sampingku. Wanita itu tidak bergeming dari tempatnya. Tatapan nanarnya itu menghujam, dingin. Sementara luka di keningnya, tak henti mengucurkan darah. Merah….merah di mana-mana….tiba-tiba, kurasakan tanganku begitu dingin dan lengket. Waktu kuperhatikan lagi, jemariku sudah penuh darah. Darah!!!
*******
            Entah, sudah berapa lama aku pingsan. Herannya, mama Mas Wisnu malah mengira aku tertidur di sofa ruang tamu. Soalnya beliau yang kebetulan memiliki kunci rumah, melihatku tertidur begitu pulas di sana.
            “Ma…kapan datang? Kok aku nggak denger?” tanyaku, sambil buru-buru merapikan rambutku yang berantakan. Malu. Ketahuan mertua, jam segini masih tertidur di sofa pula…
            “Pagi tadi, tapi mampir dulu ke rumah bude kamu. Jemput Mia…” kata mama, sambil menyodorkan susu coklat hangat. Ampun. Malu. Masa mertua malah nyediain minum buat menantunya…
            “Mama denger kamu sakit…Ya, nggak apa-apa…mama saja yang bikinin minum dan tuh ada sarapan di meja makan. Mandi dulu sana…” kata mama, seakan tahu apa yang tengah kupikirkan.
            Mama rupanya tidak datang sendiri. Dia membawa Mia yang dulu pernah bekerja di rumah yang kami tinggali sekarang.
            “Mama kasihan, meskipun ada Bik Inah yang ngeberesin rumah tapi kan nggak nginap. Kalau malam, pas suamimu tugas luar kota, pasti kesepian. Makanya mama bawa Mia balik ke sini. Dia lumayan lama bekerja di sini, waktu almarhum Jenar itri pertama Wisnu masih ada,” kata mama, sebelum pamit pulang.
            Asyik juga, sebenarnya. Ada Mia, ada teman. Aku bersyukur, memiliki mertua sayang dan perhatian. Beliau juga tidak pernah membanding-bandingkan aku dengan Mbak Jenar, menantu pertamanya itu. Meski dari status, kami juga beda jauh. Kudengar Mbak Jenar masih berdarah biru alias bangsawan dan anak pengusaha terpandang. Keberhasilan bisnis Mas Wisnu sekarang pun, kata mama berkat bantuan modal dari keluarga Mbak Jenar.  Sayang saja, 10 tahun perkawinan, mereka tidak dikaruniai anak sampai peristiwa naas itu terjadi.
*********
            Kondisi badanku yang mulai membaik, minggu ini sejak kedatangan Mia, ternyata tidak bertahan lama. Gara-gara nekad menerobos hujan, sepulang dari mall, badanku demam lagi. Untung Mia tahu banget, apa saja yang kubutuhkan. Hingga aku tidak perlu repot, turun dari tempat tidur. Secangkir susu coklat hangat dan roti bakar, sudah dia sajikan di meja, samping tempat tidur sebagai makan malamku. Bener-bener, mirip orang sakit parah. Aku malas beringsut dari kasur…
            Setengah tertidur, tiba-tiba kudengar tembang Jawa itu lagi. Ah, mimpi kali? Tapi kenapa suaranya makin terdengar jelas dan begitu dekat? Badanku menggigil. Antara takut dan demam…Sungguh, aku tak sanggup membayangkan andai sosok wanita bermandi darah itu muncul lagi.Lagipula, dia bakal muncul di mana? Dapur? Ruang tamu? Atau jangan-jangan dia bakal nyamperin ke kamar?
            Keringat membanjir di dahi, kaki dan tanganku, bergetar hebat. Gemeretuk gigiku seakan beradu, bersaing dengan jantung yang berdebar nggak keruan. Terpaksa, daripada “dia” menghampiriku, kucari saja sumber suara itu berasal…
            Ampun! Nggak salah? Aku mengusap-usap mata, berusaha menajamkan penglihatan…Nyaris tak percaya, suara itu berasal dari Mia yang tengah menggoreng camilan di dapur. Perempuan yang kutebak usianya baru dua puluhan itu, kelihatan menikmati banget pekerjaannya sampai-sampai dia tidak sadar aku sudah berada di belakangnya.
            “Mia? Kamu suka nembang Jawa?” tanyaku, terheran-heran. Bukan masalah kebisaannya itu, tapi kenapa lagunya sama persis dengan tembang yang sering menghantuiku belakangan ini?
            Mia tersipu, malu. Sambil menyajikan camilan yang dia goreng, dia menarik kursi di sampingku…
            “Ya, mbak… Dulu waktu sama Mbak Jenar, kami suka nembang lagu ini sama-sama. Mbak Jenar malah yang ngajarin…kalau saya kan aslinya bukan dari Jawa. Tadinya nggak ngerti sama sekali,” kata perempuan berwajah bulat telur dengan rambut ikal sebahu itu, polos.
            “Kamu deket banget ya sama Mbak Jenar? Saya belum sempat kenal dengannya. Baik banget ya?” pancingku lagi. Jujur, aku juga penasaran. Karena selama ini cerita tentang sosok Jenar sendiri belum tahu banget. Maklum, takut bikin Mas Wisnu sedih, ingat luka lama.
            “Baikkk banget mbak…Meski saya orang kampung, nggak sekolahan…tapi Mbak Jenar rajin ngajarin masak, menjahit, sampai nembang. Kalau lagi sedih, karena berantem sama suaminya yang bolak-balik bilang mau menikah lagi, Mbak Jenar suka nembang sendiri di dapur. “
            “Oh, Mbak Jenar suka nembang lagu yang kamu nyanyiin itu?” Entah kenapa, perasaanku jadi nggak enak. Bener juga, rumah ini kan tempat wanita itu meninggal, dibunuh perampok? Mungkin saja, hantunya masih suka muncul? Hih!!
            “Kenapa mbak, kok pucat gitu?” tanya Mia, membuyarkan lamunanku. Konyol. Andai dia tahu, isi pikiranku pasti diketawain. Mana ada sih, hari gini hantu? Lagipula, aku kan nggak kenal dengan Jenar? Ngapain dia muncul di depanku…Tapi kenapa aku baru tahu, dulu Jenar dan Mas Wisnu suka berantem?  Mas Wisnu suka ngancam, mau nikah lagi? Sama siapa? Aku???
            “Kasihan ya mbak…Orang kalau baik, mati muda. Bapak tega banget…” Deg! Jantungku kembali berdetak kencang. Bapak? Perampok-perampok itu? Bukankah Mia juga ada di tempat kejadian ketika rumah ini dirampok? Hanya kudengar, dia berhasil selamat karena sembunyi di lemari dapur….
            “Perampoknya sudah bapak-bapak? Kamu sempat lihat orangnya?” tanyaku, hati-hati. Mia menggeleng. Matanya menatapku, tajam. Lantas melihat ke kanan dan kiri, seolah-olah takut ada yang bakal mendengarkan pembicaraan kami….
            “Bapak…Suami Mbak Jenar…Suami mbak…Karena sebenarnya, Mbak Jenar hanya pingsan, kepleset di dapur. Perampoknya kabur.  Nggak lama bapak datang, tau deh. Seperti orang bingung,  dia  hantam kepala Mbak Jenar dengan ulekan…Saya pura-pura nggak tahu…Takut mbak…takutttt.” 
            Gelap. Aku tidak bisa mendengar lagi apa yang dikatakan Mia. Bumi yang kupijak, seperti begitu dingin. Beku. Lantas bayangan wanita bersimbah darah itu muncul, mengejarku…Wanita idaman lain yang membuat dirinya mati mengenaskan! (ft: berbagai sumber)

1 komentar:

Sundari mengatakan...

wow...
kalo cerita ini dipanjangin, bisa jadi novel nih.. ala ala v.lestari gitu hehe...

mungkin karena terlalu pendek, jadi klimaksnya kurang dapet ya..
mas wisnu-nya kurang diceritain detil, gimana personality-nya. Terus si Mia, masa mau aja balik lagi ke rumah tempat dia jadi saksi pembunuhan...

coba panjang, asik nih.. hehe...