Sabtu, 06 Agustus 2011

TEROR PENULIS HOROR


            Chicken? Penakut…Pecundang? Peduli amat. Telingaku sudah kebal dengan ledekan Zeeta, teman satu kost yang paling doyan menakut-nakutin orang dengan cerita-cerita seremnya itu. Cewek berambut cepak, blasteran Belanda-Sunda itu memang diakui selain tomboy juga paling berani di rumah ini. Entah karena sejak kecil, terbiasa hidup keras. Korban broken home. Mamanya balik ke Belanda, setelah papanya ketahuan kawin lagi. Zeeta ditinggalkan begitu saja pada sang nenek, sehingga tidak sempat merasakan kasih sayang kedua orangtua kandungnya.
             “Nggak ada yang musti ditakutin dalam hidup ini, Dee… Apalagi hanya kabar isapan jempol. Mau pocong, kuntilanak, atau apa pun itu bentuknya...Khayalan manusia saja…” katanya, suatu sore ketika kami tengah menghabiskan seporsi pisang bakar di teras depan rumah.
            “Kalau kamu ngerasa itu khayalan, ngapain malah suka banget menulis cerita yang tidak-tidak tentang mereka…Ntar suatu saat beneran datang, nyamperin gimana?”
            “Ah, nggak mungkin lah…Semua itu hanya cerita, khayalan. Puas juga aku bisa nakut-nakutin pembaca novel-novelku. Semakin mereka ketakutan, semakin puas…” Zeeta tergelak, melihat ekspresi wajahku yang kelihatan banget tidak setuju dengan komennya itu.
            Kami memang sama-sama bekerja di sebuah penerbitan. Bedanya, tugasku di bagian personalia. Zeeta? Cewek mungil, bermata kecoklatan dengan tindik di bibirnya itu, bagian redaksi. Selain menangani beberapa rubrik, Zeeta juga sudah menghasilkan tiga buah novel horor. Ya! Horor!
            Komentar pertamaku, ketika membaca novel Zeeta; mengerikan. Kuakui, cewek yang pernah memperoleh beasiswa di Melbourne, Australia itu mampu menggambarkan setiap kejadian seolah begitu nyata. Setting lokasi, alur cerita, penokohan, sangat detail dan nyaris sempurna. Sampai-sampai aku seperti melihat setiap kejadian yang dia ceritakan, di depan mata.
            Bagus? Memang. Sebagai penulis novel best seller, Zeeta luar biasa. Satu hal yang tidak kusuka, menurutku ceritanya terlalu sadis. Darah, penyiksaan, ketakutan, materi utama cerita-ceritanya. Termasuk cerita serial yang dia tulis di media tempat kami bekerja. Entah, bagaimana dia bisa dengan enak dan tenang menyelesaikan semua deadline tulisannya…
            “Kamu nggak pernah dihantui dengan tokoh-tokoh yang kamu buat sendiri, Zee? Gara-gara nonton sebuah film horor saja, aku sampai termimpi-mimpi…Pas ngetik malam-malam, nggak takut?” Bbbrrr…Bulu kudukku meremang. Ngebayangin aku sendiri yang tengah menyelesaikan tugas kantor di depan laptop, lantas tiba-tiba ada sosok asing di sampingku. Wah! Kupastikan, aku bisa mati berdiri.
            Tapi apa komentar Zeeta? Cewek itu malah tertawa, terbahak-bahak sampai bahunya berguncang…
            “Dee, sekali lagi itu khayalanku. Nggak ada yang namanya poci dan kawan-kawannya. Mitos, kepercayaan saja.”
            “Trus, cerita-cerita kamu?”
            “Ya, kuangkat dari hasil cerita orang-orang yang katanya mengalami…”
            “Nah, berarti beneran ada kan?’
            “Tau deh… Selama aku sendiri tidak merasakan kehadiran mereka, kuanggap semua itu omong kosong. Tapi sebagai penulis, aku menikmati sekali bisa membuat adrenalin pembaca naik…Tunggu saja, kejutan di novel berikutnya. Aku mau kerjain tokoh si kunti…” Gila. Kuntilanak pun enteng banget, dia sebut si Kunti.
*******
            Malam Jum’at Kliwon. Sengaja, aku sudah sejak sore masuk ke kamar. Bukan karena penakut seperti ledekan Zeeta selama ini, tapi asam lambung lagi tinggi. Gara-gara terlambat makan, banyak laporan yang musti diselesaikan siang tadi di kantor, maag kumat. Bener-bener nggak enak, musti meringkuk tidak berdaya di atas tempat tidur. Beberapa kali membaca pesan singkat di BB, membuat mata terasa berat. Ngantuk…
            “Deee….Deeta! Buka dong…Buka pintu!!!” Gedoran di pintu, membuatku tersadar. Berisik banget. Meski jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan malam, tetap saja mengganggu…
            “Deee….tolonggg….Deee…” Astaga. Kelihatannya, beneran ada orang butuh pertolongan. Dan begitu pintu terbuka, sosok mungil itu menubrukku, sampai nyaris kami ambruk ke lantai.
            “Zeeta? Ngapain kamu?” tanyaku, begitu sadar siapa cewek yang baru saja merangsak masuk kamar. Zeeta tak menjawab. Hanya tangis lirihnya saja yang terdengar. Tumben, bisa juga dia menangis. Tadinya kupikir dia bercanda, akting seperti biasa…tapi kali ini, kelihatan serius. Tubuh penyuka warna-warna gelap dan musik keras itu, menggigil ketakutan.
            Butuh waktu cukup lama, buat menenangkan Zeeta, sebelum akhirnya dia tertidur gara-gara kecapekan di kamarku. Mungkin lebih baik, dia tidur bersamaku malam ini. Kasihan juga, anak kost lain yang rata-rata masih kuliah, lagi libur semesteran.  
            Niat baikku menolong Zee, ternyata berefek buruk. Semalaman, nggak bisa tidur gara-gara mendengar ceracaunnya. Cewek ini mengigau sepanjang malam. Kadang menangis, berteriak ketakutan atau nyumpahin sesuatu…Nggak jelas. Pusing. Kasihan. Campur aduk. Apalagi selama ini Zee kuanggap seperti saudara sendiri.
            Pekerjaan kantor yang numpuk, bikin aku nggak sempat menanyakan kejadian semalam pada Zeeta esok paginya. Bahkan nyaris kulupakan, kalau saja Sabtu ini kejadian yang membuatku giris itu terulang..
********
            Retno dan Bening, dua sahabatku waktu kuliah dulu baru saja pulang. Rumah sepi. Masih pada liburan, kelihatannya. Sengaja, aku memindahkan laptop ke meja ruang tamu. Niatnya ingin buka-buka email yang masuk dan meng-update Facebook. Kesibukan bikin aku tidak sempat  buka situs internet lagi…
            Prang! Suara itu? Belum sadar apa yang terjadi, kulihat Zeeta muncul dari dapur, tubuhnya limbung, lantas ambruk tepat di depanku. Pingsan! Astaga. Panik, bingung...Untung, Bik Nah pembantu kost-kostan masih ada. Belum pulang….Kami berdua berusaha menyadarkannya, sebelum akhirnya memanggil Dio, dokter yang tinggal di rumah sebelah. Kebetulan, kami berteman cukup lama. Sehingga, kondisi darurat seperti ini, dia nggak segan nolongin.
            Malam yang melelahkan. Benar-benar aku tidak bisa tidur, karena ngejagain Zeeta. Selain dia masih suka mengigau, badannya juga demam. Kata dokter, besok mungkin lebih baikan. Hanya perlu dikompres, minum obat pereda turun panas dan banyak istirahat. Kesimpulan sementara, gadis itu kecapekan. Gggrh…mungkin saja, batinku. Karena belakangan ini, Zeeta sering tidur larut, bahkan sampai dini hari karena mengejar deadline novel terbarunya.
            Minggu pagi, pulang dari lari pagi kulihat Zeeta sudah kelihatan baikan. Meski matanya sembab dan tatapan itu…kosong. Selesai mandi, menggoreng pisang dan menyeduh susu coklat, kutemani Zeeta di teras depan rumah…
            “Makan Zee…masih panas, enak lho…”tawarku, sambil menyodorkan pisang goreng di piring. Cewek itu masih saja bengong. Tanpa ekspresi. Nggak ceria, konyol, seperti biasa. Mmm…masih demam, kali. Kuraba keningnya. Dingin. Tapi tatapannya, masih sama. Kosong. Bahkan seakan-akan, kehadiranku tidak dia perdulikan…
            Perubahan sikap cewek yang pernah dekat dengan sepupuku itu, mau tak mau membuatku bertanya-tanya. Hingga sore, Zee tetap sama. Lebih banyak diam, dingin, tak berkomentar apa-apa, meski kuajak dia bercanda. Ya, sudahlah…asal dia sehat, nggak demam lagi…
*********
            Malam ini, entah kenapa perasaanku nggak enak sejak masuk ke kamar. Udara di sekelilingku terasa lebih dingin dari biasanya. Padahal seharian tadi, panas minta ampun. Malam Minggu, waktunya anak kost keluar semua. Pacaran. Tinggal aku sendiri….Bengong. Mmm, lebih baik nengokin Zeeta. Cewek itu pasti juga masih di kamarnya. Pintu kamar Zee juga kelihatan setengah terbuka.
            “Zee…Lagi ngapain? Boleh aku masuk?” tanyaku, setelah sebelumnya mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Perlahan, kubuka pintu kamar… Cewek itu? Kulihat dia meringkuk di sudut kamar, gemetar. Badannya bermandi keringat, tatapan matanya liar,  seperti mengawasi setiap sudut ruangan. Bahkan ketika melihatku datang, dia seperti melihat musuh besarnya muncul.
            Tiba-tiba saja, dia melempariku dengan semua benda yang ada di dekatnya. Bantal, buku, sampai handphone hingga semua barang-barang berhamburan, pecah, berantakan. Kaget dengan sambutan Zee, nyaris aku tak sempat menghindar, hingga tiba-tiba kurasa tubuhku ditarik seseorang, sampai ambruk ke lantai. Nesya! Teman satu kost yang jago beladiri….
            Untung! Andai Nesya tidak menyelamatkanku, pasti kepalaku sudah bocor dihantam benda-benda yang dilemparkan Zeeta. Cewek itu seperti kerasukan. Kehilangan akal sehat. Untung dua kali, Nesya berhasil mengamankan Zee, hingga terkulai pingsan.
            Kesimpulan dokter, Zee sehat-sehat saja secara fisik. Namun jiwanya terganggu. Ngerasa ada yang tidak beres, keluarganya membawa dia  berobat ke beberapa pengobatan alternatif, sampai akhirnya ke seorang pemuka agama.
            Nyaris, dua minggu aku tidak bertemu Zee dan tahu kelanjutan cerita tentang kesehatannya, sampai sore itu kulihat seorang nenek datang ke rumah bersama seorang sopir, untuk membereskan semua barang-barangnya yang masih tersisa. Mereka juga kelihatan kurang bersahabat. Seperti ada yang disembunyikan. Tanpa banyak bicara, tanpa basa basi, sehabis membereskan semua barang-barang, mereka cabut.
            Misteri sakit dan kepindahan Zee, tidak ada satu pun anak kost yang tahu, termasuk aku. Hingga sore itu, ketika Bik Nah tengah membersihkan kamarku….
            “Kasihan mbak Zee ya…Moga-moga bisa hidup normal lagi. Makanya jangan meremehkan setiap penunggu rumah….” Celetuk Bik Nah, membuatku nyaris tersedak. Baru kutahu, Bik Nah sempat ngerumpiin kondisi Zee dengan sopir pribadi neneknya waktu datang ke rumah.
            Sahabatku itu memang jago menulis cerita seram, bahkan kelihatan tidak pernah ada takutnya sama sekali. Masalahnya Zee sudah melewati batas…Dia suka mengentengkan pendapat orang, kalau di tempat tertentu kita musti “permisi”, nggak bisa mengumpat sembarangan atau main-main dengan “mereka” yang tinggal di alam berbeda. Becandaanya kelewatan, bikin “penghuni” yang tinggal di rumah ini marah, hingga akhirnya Zee benar-benar diteror oleh sosok yang dia ciptakan sendiri.
Entah, apakah Zee masih tetap melanjutkan profesinya sebagai penulis novel-novel seram atau tidak, tapi yang kutahu gadis itu tak pernah menampakkan dirinya lagi di kost. Dan kami semua penghuni kost pun tak pernah memperoleh “gangguan” lagi. (ft:berbagai sumber)

Tidak ada komentar: