Sabtu, 06 Agustus 2011

BOCAH PENUNGGU VILLA

            
          Busyet! Lagi enak-enaknya memeluk guling, ada saja gangguan. Ketukan di pintu berulangkali, terpaksa membuatku beringsut turun dari tempat tidur. Dinginnya malam ini, bikin gigi nyaris beradu. Niat nyelesaiin novel keduaku, terkalahkan. Bantal dan guling, lebih menggoda ketimbang laptop dan setumpuk revisian dari penerbitku. Bukan ide bijaksana sebenarnya, memilih menyepi di villa yang ada di kawasan Cipanas, Garut ini. Karena ide yang diharapkan mengalir lancar, malah sebaliknya. Bawaannya pengen makan dan tidur… Males banget! Apalagi sehabis magrib, jalanan sudah sepi. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi.
            Tek…tek…tek… Astaga. Nyaris lupa, ada tamu. Tadinya kuberharap, tamu itu berubah pikiran. Lantas pergi. Eh, tahunya masih mengetuk pintu juga. Kaget. Asli! Dua bocah cilik, berambut plontos, wajah tirus dan pucat lengkap dengan kaos lusuh sudah ada di depan mataku, begitu pintu kubuka.
            “Malam,  kak…” tegur bocah yang memiliki tompel di dagu kirinya itu. “Maaf, kami ganggu. Mau numpang ke kamar kecil…Boleh?”
Glek. Jantungnya berdebar kencang. Nggak biasanya, perasaanku nggak enak begini. Malam-malam di tempat asing, kedatangan dua bocah cilik, tak jelas asal usulnya. Bulu kudukku meremang. Apalagi kuingat, malam ini malam Jum’at. Apes bener, kalau sampai aku nemuin yang beginian…
“Kak, boleh? Nenek kami saja yang numpang ke belakang kok. Kami nggak ikutan. Kasihan nenek…”
Nenek? Baru kusadar, dua bocah ini tidak sendiri. Tak jauh dari mereka berdiri, seorang wanita tua dengan rambut memutih digelung tak beraturan, berselendang warna hijau tua duduk di kursi teras. Kasihan. Iba juga, ngelihat malam-malam begini mereka masih keluyuran di luar. Rumahnya masih jauh kali ya?
Aku nggak sempat bertanya banyak. Nenek itu kuantarkan ke kamar kecil, tepat di sebelah kamarku. Lantas, kubalik ke depan sambil membawakan sekaleng biskuit. Lumayan. Siapa tahu, bocah-bocah itu lapar.
Blas! Tak ada siapa-siapa di depan. Kedua anak laki-laki itu kemana? Pulang nggak bilang-bilang…Kasihan sekali, sang nenek ditinggalkan begitu saja. Setengah bersungut, aku balik ke kamar mandi. Maksudnya ingin memanggil nenek itu, kali saja sudah selesai. Tapi kok, pintu kamar mandi masih terkunci dari dalam. Satu, dua ketukan…beliau tak menjawab juga. Aduh. Jangan-jangan terjatuh, pingsan di kamar kecil?
Panik. Aku buru-buru mengambil linggis di bawah gudang belakang, buat ngejebol pintu. Niat belum dilaksanakan, pintu kamar mandi sudah setengah terbuka. Dan…nenek itu tidak ada! Kucari-cari di teras depan pun, beliau sudah tidak ada. Jantungku kembali berdetak kencang. Keringat mengucur deras. Meski udara begitu dingin membekukan, tapi ketakutan yang amat sangat terasa mencekik, membuat tulang-tulangku seperti dilolosi. Lemas. Tak bertenaga.
Dua bocah plontos dengan nenek-nenek? Astaga. Kubasuh wajahku dengan air di kamar mandi. Nggak boleh takut, batinku. Andai mereka bermaksud jahat, pasti sejak awal aku sudah dikerjain. Nyatanya mereka hanya numpang kamar kecil…Itu saja.  Untung saja, udara dingin dan mata berat ini membuatku langsung terlelap. Lupa dengan kejadian yang baru saja kualami.
*****
Kebiasaan. Pak Bayu, tukang kebun villa ini selalu meletakkan barang-barang tidak kembali pada tempatnya. Gemas. Setengah menggerutu, aku merapikan sapu lidi dengan gunting pemotong rumput yang digeletakkan di teras. Kulihat, beberapa potongan kayu, bekas bongkaran gudang belakang juga teronggok begitu saja. Nyaris tadi sewaktu mau masuk rumah, aku jatuh benda-benda itu.
            “Maaf, kak…Saya bantuin boleh?” Seraut wajah pucat itu, sudah ada tepat di depanku, tanpa kusadari kapan dia datang. Tubuhku spontan terhuyung ke belakang, karena kaget. Kedua tanganku bergetar hebat. Bocah itu… ya, bocah berambut plontos dengan tompel di dagu kirinya.
“Ka…ka…kamuuu!”
“Ya, saya kak…Masih ingat? Kemarin nganterin nenek, numpang ke kamar kecil bareng Aryo, kakak saya. Kenalin saya Arya,” kata bocah itu, sambil menggenggam tanganku. Dingin. Refleks, buru-buru kulepaskan genggamannya. Bocah itu mengeryitkan dahi. Heran.
“Kakak nggak suka ya, berteman sama kami? Orang kampung?”
Ya ampun…kaget juga aku mendengar pernyataan bocah sekecil ini. Padahal bukan maksudku meremehkan statusnya, tapi sungguh…hatiku masih takut. Amat sangat takut…
“Bener kata Aryo…Orang kota sombong. Nggak suka ngebantuin orang kampung seperti kita…” kata bocah itu lirih. Mata bulatnya berkaca-kaca. Astaga. Apa yang sudah aku lakukan? Melukai hati bocah tak berdosa ini, hanya karena ketakutan berlebihan?
“Maaf, Arya. Maafin kakak…Kamu sih, suka muncul tiba-tiba. Ngagetin kakak, tahu?” sahutku, coba bercanda. Ngobrol dengan bocah ini, ternyata menyenangkan. Aryo yang menyusul belakangan juga seru. Meski jujur saja, hati kecilku masih sering berdebar tidak jelas. Aroma melati itu langsung menusuk indra penciumanku, tiap aku berdekatan dengan mereka. Belum lagi, udara di sekelilingku tiba-tiba terasa lebih dingin dari biasanya. Sampai-sampai bulu kuduk ini berdiri.
“Aryo, kapan-kapan ajak kakak main ke rumah kamu ya? Nggak jauh dari sini kan?” tanyaku, sore itu. Bocah berkulit sawo matang itu menggeleng, berat. Heran. Nggak Aryo, nggak Arya… Keduanya selalu kelihatan bete dan malas, tiap kali aku menyinggung tempat tinggal mereka.
*********
Malam Minggu, kelabu. Nggak ada pacar, apalagi teman…Sendirian lagi, aku menghabiskan waktu di villa. Padahal siang tadi, Radit tunanganku bilang mau datang. Tiba-tiba saja, dia sms batal. Karena harus menemani mamanya yang sakit. Ya, sudahlah. Toh aku bisa ngebut, menyelesaikan tugas utamaku…novel kedua. Sengaja, sore ini kupindahkan semua pekerjaanku di ruang tamu. Biar nggak tergoda, tidur.
Tek…tek…tek…! Tamu lagi? Gggrhh…Padahal moodku lagi bagus. Tiga halaman baru saja kuselesaikan…
“Siapa?” Pintu kubuka. Aryo dan Arya! Dua bocah itu termangu, berdiri di depanku. Mirip tentara tengah berbaris, menunggu perintah sang komandan. Senyumku langsung mengembang…Malam-malam, tumben nih anak-anak main?
“Maaf Kak Rini… Nenek mau numpang ke kamar kecil. Boleh ya?” Aku mengusap mata ini yang terasa gatal, tiba-tiba. Nenek? Bener saja. Tidak jauh dari Aryo dan Arya, nenek tua yang pernah numpang ke kamar mandiku itu,  berdiri tertunduk. Selendang yang dia kenakan, menutupi sebagian wajahnya yang sudah keriput, termakan usia.
“Oh iya..iya…boleh. Masuk nek…silahkan… Aryo dan Arya tunggu di depan atau masuk juga? “ kataku, sambil membuka pintu lebar-lebar. Wanita tua itu setengah terhuyung, masuk ke belakang. Arah kamar kecil. 
“Nggak ikutan masuk, kak…Di sini saja,” sahut Arya, sambil menggaruk-garuk kepala plontosnya. Aroma melati itu kembali tercium. Bulu kudukku meremang tiba-tiba. Duh Tuhan, kenapa tangan bocah ini begitu dingin ketika kugenggam? Baru kusadar, cukup lama nenek itu kutinggalkan di kamar kecil. Siapa tahu dia membutuhkan bantuanku…
“Nek…Sudah belum?” tanyaku, sambil mengetuk pintu kamar mandi. Nggak ada sahutan. Sepi. Bahkan suara air kran yang tadi kunyalakan, sebelum nenek itu masuk pun sudah dimatikan. Ketukan ketiga, masih sama. Sepi. Akhirnya kucoba membuka pintu kamar mandi yang ternyata tidak dikunci… Kosong!
Entah kenapa, jantungku berdetak begitu kencang. Perasaan nggak enak, menyergapku tiba-tiba...Mungkin aku saja yang nggak nyadar, wanita tua itu sudah keluar kamar mandi dari tadi.
“Makasih ya nak…” Dug! Astaga. Tuh nenek ternyata tengah berdiri di belakangku. Wajah pucatnya kelihatan lebih segar.  Syukurlah, beliau tidak apa-apa. Khawatir bener aku, andaikan wanita yang jalannya sempoyongan ini, jatuh di kamar mandi.
Tanpa menunggu jawabanku, wanita itu ngeloyor saja keluar. Aryo dan Arya yang masih menunggu di depan, hanya mengucap salam, lantas mengekor di belakang perempuan tua ini pergi. Kasihan juga. Setua itu keluyuran malam-malam. Seharusnya dia sudah menikmati masa tuanya di rumah, bersama anak dan cucunya.
Ingin aku bertanya, mengapa dia selalu ditemani Aryo dan Arya…Apakah si nenek nggak punya anak? Tapi selalu saja aku lupa, setiap nenek itu numpang ke kamar kecil. Soalnya beliau juga kelihatan malas bicara, paling hanya mengucap salam, lantas pergi.

********
Malam Jum’at Kliwon…Hih! Sebagian orang percaya, malam ini setan-setan berbagai wujud berpesta atau gentayangan. Sengaja, aku memilih diam di kamar dengan setumpuk CD, sepiring pisang goreng dan segelas kopi. Tujuannya, biar bisa fokus menyelesaikan novelku. Nyatanya? Pikiranku malah melayang ke mana-mana.
Bayangan Aryo dan Arya, muncul begitu saja. Mereka sebenarnya anak siapa dan tinggal di mana? Kok bisa-bisanya ngeluyur sampai ke villaku, tiap sehabis magrib?  Iseng, tanganku mencolok modem dan membuka situs internet. Beberapa artikel seram, kubaca. Astaga. Bego banget. Bukannya menenangkan hati, malah iseng cari yang beginian…Mitos tentang jin, kuntilanak, sampai tuyul…
Bulu kudukku berdiri. Dingin. Sweater yang kukenakan, seperti tidak ada gunanya. Aroma melati itu kembali tercium. Halusinasi lagi dah! Bujuk hati kecilku. Nyatanya bau itu tidak juga hilang, malah semakin terasa begitu dekat…
Bodohnya aku! Internet kumatikan. Laptop kututup. Setengah bersungut, aku naik ke atas kasur…Lebih baik tidur!
 Tek…tek…tek…. Tamu? Aku coba cuek, tak bergeming dari kasur. Tapi ketukannya makin keras dan jelas.
“Malam? Siapa ya?” kataku dengan nada tinggi.
Aryo dan Arya lagi… Dua bocah itu berdiri di depanku, begitu pintu kubuka. Mereka tidak sendiri. Seperti biasa, bersama nenek itu…Alasannya pun sama. Numpang ke kamar kecil.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Ingin marah, protes, karena ngerasa terganggu, tapi hati kecilku juga kasihan. Nolongin orang ke toilet saja kok pelit…pasti bakal diomelin mama, kalau beliau tahu.
Nenek berselendang lusuh itu pun berjalan terhuyung-huyung ke toilet. Tanpa perlu kuantar, tanpa perlu kutunjukkan tempatnya. Dia sudah hafal, seperti rumahnya sendiri.
Aku terduduk di meja, ruang tamu. Aryo dan Arya, kelihatan salah tingkah. Mereka berdiri saja sejak tadi di depan pintu. Kasihan juga. Kupegang tangan Aryo. Dingin. Wajah kedua bocah itu begitu pucat…
“Masuk yuk…duduk di dalam?”
Aryo menggeleng. Arya juga…Bulu kuduk ini kembali meremang. Dingin di sekitarku. Gemerisik batang bambu dan bugenvil yang ada di sekitar villa, terdengar begitu giris. Aku mencoba menghapus ketakutanku dengan mengutak-atik BB yang tadi kukantongi. Hingga detik berikutnya,  ketika pandanganku kembali ke depan. Aryo dan Arya sudah tidak ada! Malas banget deh, kalau sudah begini…Mereka main selonong saja, pulang. Nggak pamit. Mmm, sopan!
*******
Pagi yang sempurna. Segelas kopi, setangkup roti bakar dan omelet dengan mushroom sebagai sarapan pagiku. Rencananya, siang ini aku balik ke Jakarta. Cukup sudah, satu minggu berlibur sekaligus bekerja di villa ini…Sebenarnya, rencana awal dua sampai tiga minggu. Nyatanya, aku nggak betah…Bukannya banyak ide, malah semua pekerjaan tertunda…
Pak Trisna, sopir pribadiku yang baru saja datang langsung memasukkan barang-barang yang sudah kupacking sejak semalam, termasuk laptop, beberapa kardus buku dan CD. 
“Pak Trisna…semua kardus sudah dimasukkan mobil? Nggak ada yang kelupaan?” tanyaku, ketika melihat bapak separuh baya yang sudah mengabdi lama di keluargaku itu, kelihatan santai, duduk di bawah pohon sambil merokok.
“Sudah mbak…Semua ruangan saya check, sudah nggak ada kardus tertinggal,” katanya, sambil melanjutkan kebiasaannya. Merokok. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Kalau sudah kecanduan rokok, ya gitu deh…
Suapanku terakhir, belum selesai, ketika tiba-tiba kulihat Pak Trisna datang tergopoh-gopoh di depanku.
“Ada yang mau ketemu sama mbak…” katanya. Nggak perlu kutanya siapa, karena di belakang Pak Trisna, ada Aryo dan Arya. Dua bocah itu…Kenapa aku sampai lupa pamitan ya? Tapi bukankah mereka juga tidak pernah mau mengakui, dimana tinggalnya?
“Kak Rini, mau pulang ya? Jangan kapok balik ke sini ya?” Aryo mencium punggung tanganku. Terharu aku dibuatnya. Aroma melati itu kembali menusuk indra penciumanku… Dingin tangan bocah itu…
“Nggak…Nggak kapok…Kenapa musti malas balik? Kakak suka ada kalian yang menemani. Meski kadang nyebelin, kalau sudah ngajakin neneknya main. Nggak pamitan, main kabur…”
Aryo dan Arya saling pandang. Wajah keduanya tiba-tiba pucat pasi, seperti orang yang tengah diadili.
“Maafin kami, kak…Kami terpaksa, karena kami takut dimarahin Nenek Ijah kalau nggak nganterin ke rumahnya kembali…Tapi kakak tidak digangguin kan?”
Rumahnya? Aku tersentak, kaget. Kenapa dia bilang, villa ini rumah nenek yang mereka sebut Nenek Ijah itu?
“Nenek Ijah dulu bekerja sebagai pembantu di villa ini, sebelum akhirnya terjadi perampokan. Seluruh penghuni selamat,  tetapi Nenek Ijah ditemukan tewas dengan luka di sekujur tubuhnya. Beliau masih suka memperlihatkan diri di sekitar dusun ini, Kak, termasuk sama kami berdua. Karena dulu kami berdua sering diberi jajanan oleh Nek Ijah, tiap main ke sini. Sekarang, Nenek suka minta dianterin pulang ke villa…”
Tubuhku bergetar, hebat. Mataku terasa berkunang-kunang. Selama ini yang mereka anterin, nebeng ke kamar kecil itu Nenek Ijah? Korban pembunuhan sadis? Buru-buru kuselesaikan sarapanku. Habis berpamitan dengan dua bocah ini, aku pun balik ke Jakarta. Selamat tinggal Nek Ijah…Aku akan berpikir dua kali untuk balik ke villa ini lagi….
*******
Energiku benar-benar terkuras. Tapi lega, sampai juga di kamar kesayanganku. Beberapa kardus sudah kubongkar, sebelum kardus terakhir. Tiba-tiba, tatapanku nanar. Sebuah selendang kumal, tak jelas lagi warna dan motifnya kutemukan. Selendang Nenek Ijah! (ft: berbagai sumber)

2 komentar:

Sundari mengatakan...

dem!!!!
kirain semuanya hantu haha!
keren ini mbak stey, ngagetin. Untung nek ijah-nya gak jahat. Tapi kenapa si nenek itu senengannya ke kamar mandi? panjangin dong ceritanya, jelasin kenapa harus kamar mandi? apa karena meninggal di kamar mandi atau gimana hehe..
*tetep kepo*

Anonim mengatakan...

Kereeen banged ceritsnya. Untung si nek ijah ninggalin kmr manndi dlm keadaan bersih, ​"̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ "‎​"̮♡hϱϱ♡hϱϱ♡hϱϱ♡"̮.. . Ditunggu lg cerita hantunya. Aku jg ada pengalaman ktmu hantu (jiaaahh) nanti q ceritain ya.