Minggu, 20 Maret 2011

KAMAR 212




Perfecto! Perempuan yang tengah berusaha membuka pintu kamar 212 itu, menurut penilaianku sungguh sempurna. Rambut hitamnya berkilau melewati bahu, hingga nyaris ke pinggangnya yang ramping. Mata bulat,  bulu mata lentik, bibir kemerahan meski tanpa lipstik, ditambah kaki yang jenjang dan kulit kuning langsat. Mmm…bolehlah diberi nilai sembilan. Naluriku sebagai laki-laki normal mengatakan, dia sungguh luar biasa. Andai saja aku yang masih jomblo ini bisa mengenalnya…
            “Mas…Maaf, mas bisa tolongin saya?” Ampunnn…suara lirih itu, membuat hatiku berdetak makin cepat. Pucuk dicinta ulam tiba. Perempuan ini minta tolong aku?
            “Mas…Maaf, saya mengganggu ya?” teguran yang kedua ini, membuyarkan lamunanku.
            “Ya, ya…nggak…nggak. Bukan….” Gila! Kenapa aku jadi salah tingkah begini? Buru-buru aku mendekati pemilik tubuh sempurna itu. Mmm, kelihatannya dia berusaha keras membuka pintu, tapi tidak berhasil juga. Peluh membanjir di keningnya…Biar gimana pun, dia tetap  c.a.n.t.i.k!
            “Maksud saya, apa yang bisa saya bantu?” tanyaku lagi.
            “Tolongin mas…Pintunya nggak mau kebuka. Padahal tadi saya keluar sebentar, nggak ada masalah. Malas, kalau musti turun ke bawah dulu, beritahu roomboy…” kata cewek itu, sembari menyodorkan kunci pintu kamar.
            Memang, kunci sedikit ngadat. Beberapa kali kucoba, gagal juga…Kelihatannya kunci yang berbentuk kartu dengan program komputer itu, musti diperbaharui lagi. Aku yang sering bertugas keluar kota dan menginap di hotel berbintang juga pernah mengalaminya. Terkunci di luar, gara-gara kartunya eror.
            “Mbak, kelihatannya kartunya musti diganti atau diprogram lagi. Sebaiknya, mbak ke bawah saja…Minta tolong receptionist. Atau…mau saya telponkan roomboy dari kamar saya? Hanya beda dua kamar dari kamar mbak kok?”
            Cewek sempurna ini menggeleng, lemas. Kelihatan banget dia kecewa.
            “Nggak perlu mas,…saya turun saja ke bawah. Ngerepotin! Terima kasih ya…”
            “Kok terima kasih? Kan belum kebuka pintunya?” Kucoba mengajaknya bercanda. Mmm, lumayan. Entah kenapa, bisa melihat senyumnya saja aku senang.
            “Yahhh…kan mas sudah bela-belain buka. Meski nggak sukses…Ngomong-ngomong kenalin, saya Getha. Baru semalam check in di sini. Rencananya seminggu. Ada tugas kantor..” Tangan dengan jari-jari lentik itu, dia menjabat erat tanganku. Bheuuuh! Lembut dan dingin.
            “Oh, panggil saja saya Gerry. Nggak perlu pakai mas segala… Mas kan di pasaran mahal! Umur kita juga paling beda tipis...” Aduh! Norakku kambuh. Ngapain coba, mengajak orang yang baru kukenal bercanda dengan gaya murahan begini. Mustinya sejak awal aku jaim. Masa manager sebuah perusahaan air mineral, gayanya lebay.
            “Ngelamunin siapa Ger?? Suka bengong dari tadi… “
            Aku tergagap-gagap, kaget. Sumpah! Bego banget aku bisa salah tingkah begini…
            “Ah, nggak…Nggak. Ngantuk saja kali, soalnya pagi-pagi buta musti mengejar pesawat ke kota ini. Abis check in, langsung meeting di kantor cabang sebentar tadi. Kebayang dong…capeknya?”
            “Hebat! Pekerja keras juga ya, Ger. Aduh, pasti saya udah gangguin istirahat kamu deh. Ya udah, saya turun dulu ke bawah. Selamat beristirahat. Ntar kita ketemuan lagi, kalau ada waktu…”
            Tanpa kusadari, Getha sudah menghilang dari hadapanku. Beruntungnya aku bisa mengenal cewek secantik itu. Seminggu dia bilang mau tinggal di hotel ini? Horeee, teriak batinku. Setidaknya aku tidak menghabiskan waktu di Yogya sendiri. Ada sahabat baru!
****

            Malioboro masih seperti tiga tahun yang lalu, ketika aku tinggalkan. Yup! Kuliahku memang di kota gudeg ini, hingga akhirnya memperoleh pekerjaan di Jakarta. Tak pernah terbayangkan, bisa kembali menyusuri jalanan yang padat pedagang kaki lima itu. Kerajinan dari kulit, kain batik sampai makanan yang menggoyang lidah, masih ramai seperti dulu.
            Suasananya benar-benar bikin kangen. Nggak pernah bisa aku temui, lesehan dan alunan musik pengamen jalanan seenak ini di Jakarta. Belum lagi keramahan orang-orangnya…Fuuih! Tanpa sadar, langkahku terhenti di sebuah warung lesehan yang menjual burung dara goreng dan gudeg kesukaanku.
            Sambil sesekali membalas BBM beberapa teman, kunikmati segelas es kelapa muda. Pesananmu belum juga datang. Seporsi nasi putih plus ati ampela dan burung dara goreng… Ngelihat menu favoritku, memang suka bikin kalap…
            Kuingat banget masa-masa kuliah dulu…Tiap tanggal muda, sehabis menerima transferan dari mama, aku biasa ngumpul dengan teman-teman satu angkatan di lesehan sekitar sini. Lantas kami ngobrolin apa saja. Mulai dari dosen killer yang selalu mematahkan argumen-argumen kami setiap ada tugas kelompok, sampai ngomongin adik kelas yang kami anggap bunga kampus.
            Ingat itu semua, batinku seperti dirobek luka lama. Ya, sayang aku tidak berhasil mewujudkan impian mama yang terakhir kalinya, jalan-jalan di kota ini. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, semustinya mama yang sudah menjadi orangtua tunggal, sejak kami anak-anaknya duduk di sekolah dasar,  tidak memanjakanku  berlebihan. Namun kecelakaan tragis itu, membuat kedua adikku, Gading dan Ganesh mendahului kami. Tinggallah, aku dan mama. Lagi-lagi, aku musti meninggalkan mama sendiri di Cirebon, ketika hasil testku di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogya bagus. Tanda aku musti kuliah di kota pelajar ini.
            Mama memang wanita kuat. Beliau mengijinkan aku tinggal di Yogya. Karena kesibukan beliau mengurusi rumah makan yang beliau buka, sejak aku masih SMA, mama tidak sempat menengokku di Yogya. Hanya cerita-ceritaku saja yang mama dengar.
            “Kelihatannya Malioboro seru banget tempatnya ya, Ger! Kapan-kapan, ajakin mama jajan lesehan ya, sambil ngelihat suasana kota di sana. Waktu mama masih pacaran sama papa, hobi kami juga sama. Jalan-jalan ke tempat yang masih kental budayanya seperti Yogya,” kata mama, waktu kupulang liburan semesteran.
            “Pasti, Ma! Mama wajib nyobain tempat makan kesukaanku. Nanti Gerry pesenin yang paling spesial,” janjiku.
            Kenyataannya? Jelang wisuda, mama dipanggil sang Pencipta. Serangan jantung! Benar-benar di luar dugaanku. Selama ini, orang yang sudah membesarkan aku dengan limpahan kasih sayang itu punya penyakit mematikan. Impianku mengajak mama jalan-jalan, usai wisuda, hancur berantakan. Nggak hanya itu saja…Aku juga belum pernah membahagiakan mama dengan uang hasil keringatku sendiri?
            “Mas, ada tambahan pesanan yang lain?” sapa seorang anak muda, berusia belasan yang mengantarkan nasi pesananku, mengejutkan.
            ‘Oh, nggak…nggak….Makasih. Ntar saya panggil lagi saja, kalau ada yang kurang…”
            Mmm…Andai Gading, adik bungsuku masih ada. Dia sebaya dengan cowok itu…Sayang! Kecelakaan motor merenggut dua adik kandungku sekaligus. Sejak mama meninggalkanku untuk selama-lamanya, aku memang menghabiskan waktuku dengan mengerjakan skripsi dan bekerja sampingan. Aku tidak mau, banyak waktu kosong membuatku mengingat pengalaman pahit keluarga kami. Gara-gara gila kerja, akupun nyaris tidak memikirkan pacar atau pasangan hidup. Jomblo karatan, ledek teman-temanku waktu itu. Biarlah. Ntar juga jodoh datang dengan sendirinya…
            Untunglah usai wisuda, aku mendapat pekerjaan di Jakarta. Kutinggalkan kota yang pernah membuatku jatuh cinta itu. Hingga akhirnya tiga hari yang lalu, atasanku memintaku tugas ke kota ini lagi.
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna…
            Lagu  yang dipopulerkan Kla Project itu  dinyanyikan sepasang pengamen yang datang, menghampiri warung lesehan tempat aku makan. Ah, andai saja…mama ada di sini. Mataku sekilas melihat bayangan seorang perempuan melintas di depan warung. Sepertinya Gheta? Mungkin dia tengah jalan-jalan sendiri, mencari makan? Buru-buru aku kejar bayangan itu, tapi sia-sia… Padatnya orang lalu lalang di sepanjang Malioboro tidak memungkinkan aku menemukannya dengan mudah. Ntar juga ketemu lagi…Kan kamar hotel kita hanya terpaut dua kamar? Hiburku sambil melanjutkan makan.

****
            Yogyakarta benar-benar dingin, malam ini. Hujan sepanjang sore, membuat udara dingin dan lembab. Kurapatkan jaket. Meeting melelahkan. Energiku seperti terkuras habis. Bayangan mandi, sambil berendam air hangat di bathtub dan tidur lebih cepat, sudah bermain-main di benakku sejak masuk lobi hotel tadi.
            “Malam, Gerry! Capek banget kelihatannya…Acara hari ini padat?” Aih..aih… si cantik itu lagi! Semangatku yang redup, kembali menyala melihat Gheta tengah berdiri di depan pintu kamarnya. Kaos ketat warna hitam, tanpa lengan plus celana legging warna senada itu, membuat tubuh rampingnya makin kelihatan sempurna.
            “Malam! Terkunci lagi?”
            Dia menggeleng. Senyumnya merekah, lebar…
            “Ngeledek ya? Aku baru mau jalan keluar, cari makan… Mau ikut?” tawarnya serius. Aduh! Andai badanku tidak seperti patah-patah begini, pasti aku iyakan saja ajakannya.
            “Capek ya?” tanyanya lagi… Tapi sorot matanya itu membuatku berat, menolak.
            “Abis seharian kerja, pasti aku nggak fresh lagi…Boleh, beri waktu aku mandi dulu?”
            “Wah, nggak perlu… Siapa sih yang mau cium-cium kamu? Ha..ha..ha…” tawanya membuatku makin salting. Dasar. Kok aku yang laki-laki menjadi kehilangan kata-kata ya?
            “Sudahlah…Nggak perlu mandi dulu. Kamu masih wangi kok. Taruh saja tas kamu di kamar, baru kita jalan. Aku tunggu deh…” ajaknya, sambil menunjuk tas laptop yang selama ini aku tenteng-tenteng.
            “Okey…Tunggu ya, aku masukkin tas saja…” kataku, lantas buru-buru ke kamar. Kusempatkan juga membasuh wajahku yang kelihatan kusam, dengan sabun muka. Nggak mau dong, kencan hari pertama…kesannya buruk? Kencan? Ha…ha..ha… Aku menertawakan ilusiku sendiri…
            Sayang, rencana menemaninya makan batal. Gheta membatalkan niatnya makan malam. Alasannya, dia kasihan melihat wajahku kelewat letih. Astaga. Ya, sudahlah. Mungkin malam ini bukan malam keberuntungan aku. Jujur saja, badanku memang kelewat capek. Buktinya, begitu menyentuh bantal, aku langsung tertidur pulas. Tanpa sempat mematikan lampu kamar, seperti biasa. Sungguh, hari yang melelahkan!
*****
            Benar-benar parah! Nyaris aku kehilangan kesabaranku. Meeting hari kedua di kota pelajar ini, menyebalkan. Klien yang aku temui, tidak menguasai bahan yang kami obrolkan. Padahal jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan diri, mempelajari setiap detail proposal yang mereka ajukan.
            “Sore…Kusut lagi wajahnya? Kapan ya, saya bisa lihat kamu pulang dengan senyum?” Suara Gheta yang sudah berdiri di depanku mengejutkan. Gara-gara terlalu serius memikirkan klien menyebalkan itu, sampai-sampai aku tidak sadar sudah ada di depan kamarku lagi…
            “Capek ya, tampangku?”
            “Ya iyalah…Coba lihat di kaca. Siapa pun pasti takut, lihat kamu…ha…ha..ha…” tawa Gheta renyah. Entah kenapa, dekat-dekat dengan perempuan ini, hatiku menjadi dingin dan tenang. Apa ini tanda-tandanya cowok yang tidak pernah ngerasain punya pacar? Konyol…
            “Tuh kan, tegang lagi?!”
            “Siapa?”
            “Ya, kamu… Masa aku?”
            Aku menggeleng-gelengkan kepala. Gheta sudah berani ngajakin bercanda. Perempuan ini menyenangkan, sebetulnya. Sayang, kita tidak pernah punya waktu banyak buat ngobrol berdua.
            “Siapa bilang?”
            “Apa?” tanyaku heran…
            “Siapa bilang, kita nggak ada waktu ngobrol. Kamunya saja yang sok sibuk?” Ting! Heran! Dia bisa menebak isi hati aku.
            “Sudah deh, jangan mancing lagi. Kemarin kamu juga yang ngebatalin rencana kita makan. Bukan aku kan? Sekarang, ada waktu? Mau kemana?”  tantangku, serius.
            Gheta memainkan kunci di tanganku. Matanya yang bulat itu, bersinar jenaka. Seperti mau ngeledek. Mmm…makin lucu nih, cewek.
            “Gini saja, kita ngobrol saja…Ngopi di coffe shop bawah? Gimana?” tawarnya.
            “Siapa takut??? Eh, maksudnya siapa yang berani menolak…Oks, aku masukin laptop dulu ya!”
            Sepuluh menit berikutnya, aku dan Gheta sudah duduk di sudut Coffe Shop yang ada di lantai dasar, hotel tempat kami menginap. Tapi Gheta tak juga menyentuh minuman yang dia pesan, meski aku sudah nyaris menghabiskan secangkir kopi.
            “Katanya mau ngopi, kok nggak pesan minum? Nggak haus ya?”
            “Nggak…Ntar saja ah, males. Takut terganggu, pengen buang air kecil kalau kebanyakan minum. Waktu kita lebih berharga…”  Wow! Apa aku nggak salah dengar? Dia menganggap kesempatan ngobrol berdua denganku itu, penting?
            Gheta ternyata tidak jauh berbeda denganku. Dia perempuan yang workoholic, sampai-sampai tidak sempat memikirkan pasangan hidup. Padahal usianya hanya beda dua tahun, dariku. Orang tua bilang, semustinya usia kami usia pas buat menikah.
            Gara-gara waktu sekolah dulu, dia sempat dikecewakan calon tunangannya. Laki-laki yang menjadi pacarnya selama tiga tahun itu, tiba-tiba memilih menikah lebih dahulu dengan perempuan lain. Konyolnya, dia menikahi perempuan yang sudah dia hamili. Berarti selama ini Gheta sudah diduakan diam-diam, tanpa dia sadari.
            Kariernya yang bagus, membuat Gheta akhirnya memperoleh posisi enak di kantor pusat yang ada di Surabaya. Namun lagi-lagi, dia sempat termakan rayuan laki-laki, relasinya di salah satu kantor cabang di Yogyakarta.
            “Saya terlalu bodoh, mempercayai laki-laki seperti Dhewa. Namanya saja yang bagus. Kelakuannya benar-benar mengesalkan. Tidak tahu malu…” kata Gheta, sembari mengusap air mata yang nyaris menitip. Astaga, sebegitu berartinya aku, sampai-sampai perempuan ini berani curhat jujur?
            Kuberanikan diri, kuusap punggungnya seakan ingin memberinya kekuatan. Kasihan perempuan cantik ini. Semua sudah dia miliki. Karier, harta, nama bagus di perusahaannya. Tapi dia tidak pernah mendapatkan laki-laki yang benar-benar mengasihinya. Padahal dia cantik, nyaris sempurna menurutku…
            “Dia selingkuh juga?” Ups! Kenapa aku bisa keceplosan begini ya? Tangannya yang dingin, menggenggam tanganku erat. Dia menggelengkan kepala…
            “Nggak…dia nggak selingkuh…”
            Kusodorkan secangkir kopi yang tadi dia pesan, sekedar buat menenangkan batinnya. Tapi dia menggeleng…
            “Aku nggak pengen minum…”
            “Ya…iya….Okey, aku masih mendengarkan ceritamu… “
            “Dhewa…Dia…dia menjerumuskan aku, sampai aku ketergantungan obat terlarang. Awalnya dosis kecil. Ketika aku sering mengeluh pusing, capek dari kerja, dia memberiku obat penenang. Memang, rasanya aku bisa tidur enak. Tapi kesempatan berikutnya, dia mulai memberi obat yang tak jelas gunanya apa,..”
            “Kamu minum juga?”
            Dia mengangguk, lemah. Astagaaa… Keterlaluan sekali cowok itu!
            “Lama-lama aku mulai merasakan ketergantunganku bukan hanya pada dia, tapi juga pada obat yang dia bawa. Nggak minum dua hari saja, badanku lemas. Kerjaku berantakan. Nggak fokus…”
            Kuseruput kopi di cangkirku yang sudah dingin, sedingin hatiku saat ini.  Entah mengapa, meski baru mengenalnya, aku benar-benar kasihan dan prihatin mendengar kisah hidup Gheta. Seharusnya, wanita secantik dan selembut ini dijaga dan disayang, bukan sebaliknya.
            “Uang tabunganku pun terkuras. Dhewa juga tidak perhatian seperti dulu lagi. Dia hanya datang, ketika aku meminta obat yang kubutuhkan. Kalau nggak, dia nggak perduli. Bahkan saat aku sakit pun, tergeletak sendirian di rumah kontrakanku, dia tidak menjenguk atau membantuku mencari makan.” Mata Gheta kulihat memerah. Dia berusaha keras, menahan air matanya agar tidak tumpah…
            “Sudah, jangan dipaksain cerita kalau berat dan bikin kamu sakit…” kataku, setengah berbisik. Gheta menggeleng, lemah. Dia terdiam, beberapa saat. Aku pun salah tingkah. Pengen rasanya memberi dia kekuatan, tapi aku juga khawatir kata-kataku malah bikin dia sedih.
            Malam itu, cerita Gheta membuat tidurku tidak nyenyak. Baru kutahu, Gheta pernah ketergantungan obat. Sampai-sampai, semua hartanya terkuras habis.  Kabarnya,  cowok yang bernama Dhewa itu pun kabur ke Yogyakarta kota kelahirannya, tanpa meninggalkan pesan apa pun…
            Entah apa hubungan kunjungan Gheta ke Yogya kali ini. Urusan kantornya atau Dhewa. Aku tidak berani bertanya lebih jauh. Toh, besok-besok kami masih punya waktu ngobrol lagi. Tadi dia kelihatan begitu letih dan terluka.
*******
            Malam ketiga, artinya malam terakhir di Yogya. Kuhabiskan dengan mengurung diri saja di kamar. Rencana mengajak keluar makan Gheta, batal. Kelihatannya dia lagi jalan keluar. Kamarnya kutelpon, tidak juga diangkat. Nomor HP yang dia berikan, juga nadanya nggak nyambung. Ah, moga saja besok pagi-pagi aku masih sempat bertemu dia...
            Nyatanya, pagi ini telephone di kamarnya tidak juga diangkat. Mungkinkah dia masih tidur atau breakfast di restoran, lantai dasar? Buru-buru kuganti baju, setelah mandi. Lantas turun ke lantai dasar…
            Ups! Rame banget! Ada rombongan turis baru masuk, rupanya. Setelah mencari-cari Gheta tak ada, aku pun memilih duduk di sudut dekat pintu masuk. Siapa tahu, Gheta datang…Aku bisa langsung mengajaknya, makan pagi.
            “Selamat pagi…Kopi atau teh, pak?” tawar seorang waitress.
            “Kopi saja…” Pintaku. Tatapanku tak lepas dari pintu masuk…
            “Menunggu seseorang Pak?”
            “Oh ya…Mungkin saja, dia juga makan pagi di sini. Soalnya tadi saya telphone ke kamarnya tidak diangkat.”
            “Teman bapak? Kamar nomer berapa, biar saya bantu check dia sudah ambil sarapannya atau belum…”
            “Boleh, boleh…Kamar 212. Kalau nggak salah, namanya Ibu Gheta…”
            Waitress itu pun kembali ke meja kasir, berusaha mencocokkan data yang kuberikan. Tapi mendadak kulihat ekspresinya berubah. Dia juga memanggil dua orang temannya yang tengah bertugas di situ. Mereka bertiga seperti membahas masalah serius. Ah, mungkin ada tagihan pelanggan yang salah hitung kali, batinku….
            Tebakanku salah besar. Karena tak lama kemudian, waitress itu menghampiri aku  dengan wajah pucat pasi….
            “Maaf, Pak…Mungkin bapak salah sebut nomer kamarnya?”
            “Ah, nggak! Nggak mungkin…Karena kamar kami beda dua kamar saja…Saya juga pernah mau ngebantuin dia membuka pintu kamar yang macet. Meski tidak berhasil…”
            Waitress itu menggeleng…
            “Benar kok…Semalam saya masih ngobrol dengannya di kafe seberang restaurant ini…”
            “Maaf, Pak…Benar-benar saya minta maaf. Kamar yang bapak sebutkan tadi sudah dikosongkan selama setahun, tanpa ada satu pun penghuninya. Kebijaksanaan dari hotel, menutup kamar itu untuk umum…”
            “Kok aneh? Kenapa ditutup? Masa saya salah kamar…Ya, meski dia tidak pernah mengajak saya masuk ke kamarnya…”
            “Benar, Pak…Kamar itu ditutup. Setahun yang lalu, seorang tamu hotel tewas. Kami temukan wanita itu overdosis. Untuk menjaga kenyamanan pengunjung, kami sengaja menutup kamar itu…”
            Kepalaku mendadak terasa berat. Bayangan Gheta, si cantik yang sempurna itu seperti menari-nari di depanku. Hingga akhirnya, semuanya berubah gelap. (FT: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: