Minggu, 20 Maret 2011

gara-gara CICAK...

            
            Kejatuhan cicak lagi? Perasaan tidak enak, langsung menyergapku. Tatapanku nanar. Kosong. Sebenarnya, aku tidak mau mempercayai tahyul dan mitos orang tua dulu. Apalagi ketika kita sudah sangat bergantung teknologi dan memiliki pegangan agama yang kuat. Masa sih, masih takut dan cemas melihat tanda-tanda kesialan akan menimpa kita? Tapi beberapa kejadian, membuatku mau tidak mau percaya. Cicak tanda sial. Konon, bila kita kejatuhan cicak, salah satu anggota keluarga ada yang meninggal dunia atau celaka. Astagaaa…Aku menelan ludah.,Pahit.
            Pernah, aku kejatuhan cicak ketika asyik mandi. Dua minggu kemudian, tanteku, kakak dari mama meninggal dunia. Padahal beliau tidak pernah mengeluh sakit sebelumnya. Sangat sehat, bahkan. Rajin berolahraga dan makanan pun sangat dijaga. Kepergiannya yang begitu tiba-tiba, sangat memukul kami semua kerabatnya.
            Kejatuhan cicak kedua, waktu aku lagi asyik nonton bola bersama teman-teman satu kampus di rumah. Entah darimana binatang melata itu tiba-tiba melayang, jatuh tepat di bahu kananku. Satu minggu kemudian, nenek dari papa meninggal dunia. Kesialan serupa yang kuanggap berasal dari cicak, saat aku tengah membenahi kamar tidur. Tahu-tahu, makhluk menggelikan itu mendarat tepat di atas kepalaku, hingga membuatku melompat-lompat kegelian. Lebih tepatnya antara jijik, geli dan kesal. Pertanda apa lagi nih? Batinku langsung bertanya. Gelisah, takut, bingung… Benar saja, tiga hari kemudian,  adik bungsu mama yang biasa suka memanjakan aku waktu aku kecil, meninggal dalam sebuah kecelakaan.
            Sungguh. Aku trauma mengingat semua kejadian itu. Mitos tentang kematian, benda dan binatang pembawa sial, semua terekam jelas, sampai menjadi seperti hantu menyeramkan bagiku. Berulangkali, mama mengingatkanku untuk tidak memperdulikan cerita lama itu. Aku tahu sih, beliau sebenarnya hanya berusaha menghibur aku. Setengahnya lagi, mama juga mempercayai tanda-tanda itu.
            Mama sendiri sering cerita, ketika bermimpi giginya patah atau tanggal. Pasti tidak lama setelah kejadian itu, salah satu anggota keluarga besar kami mengalami musibah. Bahkan, meninggalnya papa yang terserempet bus antar kota pun, didahului tanda-tanda yang sama. Mama bermimpi, salah satu giginya patah. Dua hari setelah mimpi itu datang, papa terserempet bus, dalam perjalanan ke kantor.
            Ah, sudahlah…Aku tidak ingin mengingat-ingat lagi, duka lama. Tinggal bersama keluargaku, yaitu mama dan dua adik kebanggaanku, Radit dan Rado saja, sudah bersyukur sekali. Mereka semua hartaku paling berharga. Meski aku harus bekerja mati-matian, sampai melupakan waktunya menikah, aku tidak pernah menyesal. Lantas bagaimana dengan cicak itu lagi?
            Kuseduh segelas susu coklat di dapur, untuk menenangkan diri. Kulihat, Radit, Rado dan Mama tengah bercanda di ruang keluarga, sambil menonton televisi. Meski teman-teman kuliah dua adikku itu banyak, mereka tidak suka keluyuran. Lebih banyak waktunya dihabiskan di rumah, menemani mama yang mulai sakit-sakitan. Mmm…jantungku berdetak makin kencang. Mungkinkah, satu di antara mereka akan meninggalkan aku? Bagaimana seandainya, mereka celaka atau sakit?  Mataku berkaca-kaca…Tangan yang menggenggam cangkir, bergetar. Benar-benar aku takut, ….takut kehilangan salah satu di antara mereka. Orang-orang yang sangat aku cintai…
            “Kak, kenapa bengong? Sakit ya…Kok pucat banget?” teguran Radit yang tiba-tiba muncul di depanku, mengejutkan. Nyaris membuat cangkir yang kupegang jatuh. Cowok bermata elang dan berambut ikal itu, mewarisi wajah papa banget. Setiap kutatap matanya, seperti aku menatap papa…
            “Kak…Kakak baik-baik saja? Mikirin apa sih?” Radit menepuk bahuku perlahan. Tangannya mengambil alih cangkirku yang sudah nyaris tumpah, isinya. Lidahku kelu, sulit bicara. Hanya gelengan kepala saja yang sanggup kulakukan…
            “Ayolah, duduk di depan. Kita ngobrol rame-rame. Kelihatannya kakak kecapekan kerja melulu…” Radit mengusap bahuku. Lembut.
            “Nggak, Dit…Kakak nggak apa-apa… Mungkin tadi kedinginan saja, setelah semalaman hujan. Nanti kakak gabung ke depan…sekarang mau bikin roti bakar dulu, buat dimakan sama-sama…”
            “Asyiiikkk….Ada roti bakar… Tapi beneran ya, kak..Nggak ada apa-apa?”
            “Benerrr.. Kapan kakak bohong sama kamu?”
            Radit tersenyum lebar. Adik pertamaku itu  memang tahu betul, kapan aku mau menceritakan masalahku dan kapan aku memilih diam. Tapi ujung-ujungnya, pasti aku curhat ke dia-dia juga. Satu-satunya laki-laki yang sudah kuanggap seperti pengganti papa. Beda dengan Rado yang masih duduk di bangku SMA. Masih terlalu muda dan polos untuk memikirkan masalah keluarga.
            Ffuihh…Lagi-lagi aku menarik nafas, berat. Kuperhatikan dari dapur, mama, Radit dan Rado…ah, siapa lagi yang akan mengalami nasib sial? Semoga bukan salah satu di antara mereka, Tuhan…Please, pintaku dalam hati. Namun andaikan bukan mereka, pasti salah satu dari keluarga besar kami. Keluarga adik mama di Bandung, saudara papa di Yogyakarta atau…jangan-jangan, kerabat yang tinggal di Surabaya?
            Gila kali ya…menentukan nasib orang dari cicak. Aku jadi ingat pendapat seorang motivator kondang. Kata beliau, kita tidak boleh ketakutan akan suatu hal yang tidak pasti. Karena ketakutan kita bisa menjadi kenyataan, kalau dipikirin terus…Buru-buru, kuambil roti dan selai coklat. Lebih baik, daripada mikir yang tidak-tidak, kubikin roti bakar saja sekarang…
***
            Siang ini, begitu gelap. Hujan sejak tadi mengguyur Jakarta. Air begitu deras, seperti ditumpahkan dari langit. Petir juga tidak henti bersahutan. Benar-benar menyeramkan, cuaca hari ini. Kulihat dari balik kaca, kantor tempat aku bekerja…Jalanan macet. Beberapa pengendara motor, saling salip di antara mobil dan bus yang nyaris tidak bisa bergerak. Benar-benar padat merayap…Tiba-tiba kuingat adik bungsuku. Kasihan, Rado. Pagi tadi dia terpaksa naik kendaraan umum, karena motornya ngadat.
Raditya dan aku, sama-sama tidak bisa mengantarnya ke sekolah. Maklum, Jakarta. Tempat tujuan kami, ujung dengan ujung…. Kalau aku atau Radit ngedrop dia, pasti terlambat banget sampai ke kantor. Bahaya juga buat status Radit yang masih kuliah sambil magang di sebuah perusahaan advertising. Bisa-bisa dia kena sanksi…
Ggrrh! Nyaris, jantungku berhenti berdetak. Lagi-lagi seekor cicak sudah ada begitu dekat denganku. Dia merayap di dinding, dekat jendela. Astagaaa…binatang mungil itu seperti teroris. Menakutkan...Kehadiran binatang melata itu mengingatkan mimpiku, dua hari lalu. Ampun…jangan,….jangan sampai anggota keluargaku celaka… Nafasku tercekat. Apalagi tadi aku baru saja mengingat Rado yang pagi ini, musti naik angkutan umum. Padahal hujan dari pagi tidak berhenti.
Tanganku bergetar hebat. Buru-buru kuambil handphone, kuhubungi adik bungsuku itu lewat telephone. Tulalittt….Ah, nadanya kok mati? Kucoba sekali lagi…Sama! Heran. Padahal tidak biasanya dia mematikan HP. Jam-jam segini, mustinya dia sudah sampai di sekolah. Pelajaran pertama pun belum dimulai…Perasaan tidak enak, kembali menyergapku. Kucoba sms, tapi pesanku tidak masuk juga. Statusnya masih tertunda.
Pusing di kepala makin menjadi. Kerongkonganku kering. Tanganku memencet nomor Radit. Ya ampun, dia juga tidak aktif HP-nya? Tuh anak ke mana, membuatku makin senewen. Ketika kuhubungi rumah, mama bilang Radit sudah jalan, nggak lama setelah aku berangkat. Masa HP juga tidak diaktifin?
“Rani…Ran…Kamu kenapa?” teguran Ika, sahabat baikku mengejutkan. Dia sudah ada beberapa menit di depanku, tapi aku tidak menyadarinya.
“Aku takut, Ka…Takut terjadi apa-apa dengan adikku…”
“Tumben, kamu sepanik ini? Anak cowok, udah gede, ngapain dipikirin?”  Ika mencoba mengajakku bercanda. Tapi gurauannya seperti angin lalu…
“Serius, Ka!”
“Sori..soriiii…Bukan maksud ngeledek kamu…Nggak biasanya kamu khawatir berlebihan seperti ini deh. Pagi-pagi sudah mikir yang bukan-bukan. Apalagi dua adikmu itu kan terkenal jagoan. Mereka bisa beladiri, sangat berhati-hati kalau membawa kendaraan…safe banget deh!”
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mana mungkin, aku menceritakan mitos yang kupercayai pada Ika. Meski dia sahabat terbaikku, tapi cewek itu tidak pernah mempercayai arti mimpi, tanda-tanda sial atau mujur, ….Bisa-bisa dia menertawakan aku, atau malah menganggapku lagi “sakit”.
Ya sudahlah, aku hanya bisa menelan bulat-bulat kekhawatiranku. Sampai-sampai meeting pagi ini, aku tidak konsentrasi. Semua point penting yang dibahas, tidak ada satu pun yang kuingat. Untung, lagi-lagi Ika menyelamatkan aku. Dia mencatat setiap detailnya…
Usai meeting, baru aku berhasil menghubungi Rado. Ternyata, handphone dia lupa dicharge semalam. Pantas, sampai jam makan siang, dia biarkan mati, sambil dicharge di perpustakaan. Benar-benar hari yang melelahkan bagiku. Energiku seperti terkuras, hanya karena memikirkan pertanda sial itu…Huh!
****
Siang ini, usai meeting dengan pimpinan cabang kantor kami di Jawa Tengah, aku memilih makan siang di kantin, basement bersama Ika. Menu favorit sop buntut, sudah lama tidak sempat kami nikmati.
“Tumben kamu mau turun ke bawah…Biasanya makan di kafe satu lantai di bawah kantor kita..”
“Ya, kalau makan di sini, ntar waktunya kelamaan, Ka! Banyak kerjaan nih…Sekarang saja, baru sempat bernafas. Meeting tadi bikin kepala pusing…”
Ika tertawa lebar, melihat aku memijit-mijit kening. Sambil menunggu pesanan datang, dia melihat-lihat menu yang tergeletak di meja. Tiba-tiba…
“Ran, lihat deh…” tunjuk dia ke dinding, dekat meja kami. Seekor cicak!!
“Ka, ngapain dilihat-lihat? Usir dong….” Teriakku panik…Ika malah tertawa, terbahak-bahak…
“Ngapain diusir…Kasihan. Dia lucu deh, kuperhatiin dari tadi seperti ngelihatin kita berdua. Diam saja di situ, nggak pindah-pindah. Jangan-jangan dia cowok ganteng yang dikutuk jadi cicak…”
“Hussshhh..sakit jiwa lho, Ka! Ada-ada aja sih?”
“Lha siapa tahu, dia pangeran dari negeri antah berantah…”
“Trus bakal berubah wujud, menjadi pangeran ganteng setelah dicium cewek gitu? Cium saja sono!”
Ika tertawa terbahak-bahak. Bahunya berguncang, geli. Benar-benar sahabatku ini, bercandanya kelewatan. Apa dia nggak tahu, aku masih dihantui ketakutan gara-gara kejatuhan cicak tiga hari yang lalu? Tapi, benar juga kata dia…cicak itu dari tadi diam di sana, tidak bergerak. Matanya seperti mengawasi kami berdua…ggggrrhhh, rasa cemas itu lagi-lagi datang.
“Ran, kamu kenapa? “
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tanganku langsung memencet nomer rumah…Mama semalam, sesak nafasnya kambuh. Entah bagaimana pagi ini, ….Hingga lima kali nada sambung, mama tidak juga mengangkat telephone. Aduhhh…Mama ada di mana? Kenapa telephone tidak diangkat? Jangan-jangan…
Radit langsung kuhubungi. Bbbeuuhh! Anak itu selalu saja, mematikan handphone saat aku butuh dia. HP-nya tidak aktif! Rado pasti lagi sibuk di kelas. Nggak mungkin aku mengganggunya.
“Ran, kamu mau kemana? “ Ika panik, melihat aku mendadak berdiri dan membawa tas, hendak pergi. Padahal pesanan kami, belum juga datang…
“Perasaanku nggak enak…Semalam mama sakit. Siang ini, mama nggak angkat telephone. Aku mau pulang dulu, lihat kondisi mama..”
“Hahhh? Yang benar saja, Ran…Kamu coba dulu ulang lagi, menghubungi mama. Kudengar, ada bik Surti yang ikutan ngeberesin rumah kalau siang kan? Jika ada apa-apa, pasti dia menelpon kamu…”
“Justru itu, Ka! Seharusnya, telephone ada yang angkat. Bik Surti juga nggak ada, berarti di rumah kondisi mama gimana? Aku cemas…Aku nggak mau, tahunya belakangan dan nyesel…” Suaraku mulai parau.
Ya, aku ingat waktu papa kecelakaan. Sebelum papa berangkat kerja, hati kecilku sudah nggak enak. Perasaanku mengatakan, papa hari ini beda…Sayangnya, aku tidak mencegah papa berangkat atau menemaninya ke kantor. Setidaknya, andai itu kulakukan, mungkin papa tidak mengalami kecelakaan tragis itu…Padahal aku juga sudah diberi tanda, jatuhnya cicak. Ah, lagi-lagi cicak sialan itu…
Teriakan Ika, tidak aku perdulikan. Buru-buru aku keluar dari gedung perkantoran tempat aku bekerja. Tujuanku hanya satu, rumah! Tak kuperdulikan hujan begitu lebat di luar, angin dan petir seperti saling berlomba, menakutkan.
Beberapa kali di jalan, aku menghubungi rumah. Tetap saja tidak diangkat. Keringat mulai membanjiri keningku. Meski ac mobil sudah dingin, rasanya seluruh isi mobil ini panas. Detak jantungku pun seperti terdengar jelas. Mataku berkaca-kaca, menahan air yang menyembul keluar. Aku belum sanggup, seandainya mama meninggalkan aku…Ya, aku tidak berani membayangkan, bila terjadi sesuatu pada mama…
Damn! Macet lagi! Sambil memperhatikan antrian mobil di depan, tangan kiriku meraih HP, lantas menghubungi rumah. Nada sambung pertama, tidak diangkat. Kedua, sama. Ketiga,….
“Selamat pagi, …” Suara mama!
“Ma…Rani, Ma. Mama baik-baik saja? Mama kok nggak angkat telephone dari tadi? Masih sesak nafas ya Ma? Bik Surti nggak datang?” Pertanyaanku seperti peluru yang ditembakkan dari selongsongnya. Suaraku yang parau, tidak mampu menyembunyikan kecemasanku.
“Rani? Mama nggak apa-apa kok, sudah baikan. Tadi malah bikin kue, dibantuin Bik Surti. Kamu ada di mana? Kok suaranya ribut banget…Hujan ya di sana?”
“Yakin, mama baik-baik saja?”
“Ya, Rani…Pasti. Kamu dengar sendiri, suara mama. Mungkin tadi kamu telephone ke rumah ya? Lagi masak kue di dapur, nggak kedengeran…Di sini hujan besar banget, berisik. Kamu sendiri juga hati-hati ya, jangan keluar hujan badai begini…Mama lihat banyak pohon tumbang tadi di televisi…”
Ffuihh…Aku menarik nafas lega. Ketakutanku tidak beralasan. Mama baik-baik saja. Tanpa sadar, aku senyum-senyum sendiri. Kenapa selama ini musti takut sama cicak? Soal kejatuhan cicak kemarin, mustinya aku cuek. Sudah waktunya, aku tidak perduli dengan tanda-tanda pembawa petaka itu. Bersyukur banget, keluargaku baik-baik saja sampai detik ini.
Mobil di depanku mulai merayap maju. Kakiku kembali menginjak gas, sebelum aku sadar apa yang terjadi, tiba-tiba sebuah papan reklame berukuran raksasa tumbang. Rubuh, tepat menimpa mobilku. Detik berikutnya, gelap! Hanya dingin membekukan yang kurasakan. Sayang, aku baru menyadari cicak itu bukan pertanda untuk keluargaku, tapi…untuk aku… Semuanya sudah terlambat. Sangat terlambat.(ft: berbagai sumber)

3 komentar:

Susi Susindra mengatakan...

Saya baru tahu kalau kejatuhan cicak berarti kematian. Mungkin karena banyak cicak di rumah, saya beberapa kali kejatuhan cicak dan tetap cuek saja.

Unknown mengatakan...

Panik saat tlp orang tua itu ane rasakan juga sis.. sempet mata berkaca2 pas baca..

Kejatuhan cicak ane udh sering bgt sis.. ane anggap itu cuma cicak yg lg ngelamun.. trs jatuh..hehe alhamdulillah dan amit2.. gk ada kabar buruk datang dr keluarga ane sis.. so.. diabaikan aja sis..

Unknown mengatakan...

Tadi sempat cicak jatuh didepan ku.. Tp sm sekali gk kena anggota tubuh