Selasa, 22 Maret 2011

rahasia ISTRI DIMADU


            
           Gggrh! Lagi-lagi sinyal yang mengatur jalur kereta jabotabek, kacau. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sudah satu jam menunggu di stasiun, belum ada tanda-tanda kereta yang akan membawaku pulang muncul.  Langit sudah mulai gelap, bahkan gemuruh petir sesekali terdengar. Jangan-jangan, sebentar lagi hujan. Kulihat “teman-teman” senasib yang masih menunggu di peron, terkantuk-kantuk sambil memeluk barang bawaan masing-masing. Entah berapa lama lagi aku harus menunggu…Repot banget. Jam-jam segini, pasti bis penuh. Ingin naik taxi, tanggung bulan.
            “Kereta terlambat lagi ya mbak?” tegur pemilik wajah oval, bermata bulat yang tiba-tiba sudah ikutan duduk di sampingku. Cantik. Rambutnya yang hitam dan panjang, dibiarkan terurai melewati bahu. Baju ketatnya memperlihatkan potongan tubuhnya yang ramping, tapi sexi. Benar-benar iri aku dibuatnya…
            “Ya, nih…Kabarnya sinyal kereta bermasalah. Pulang larut lagi dah!” gerutuku, sambil mengambil tissue untuk menyeka keringat. Mmm…sayang. Cantik-cantik cewek itu parfumnya norak. Tajam, menusuk. Seperti aroma cendana atau rempah-rempah. Wangi sekali.
            “Sabar mbak, ntar juga datang. Saya biasa pulang terlambat. Kemalaman bukan hal baru mbak, buat orang yang tinggal di Jakarta ini…”
            “Mmm…iya…”
            “Mbak tinggal di mana? Sudah berkeluarga?” tanyanya sok kenal. Huh! Baru ngobrol saja, sudah pengen tahu banget tuh perempuan. Jujur. Aku paling tidak suka ditanya-tanya soal keluarga. Bayangan Taufan, tiba-tiba terlintas begitu saja.
            Laki-laki yang aku cintai sejak bangku SMA dulu, ternyata tidak mampu melawan orang tuanya demi memperjuangkan cinta kami. Dia menikah dengan wanita yang dijodohkan dengannya, waktu aku tengah mengerjakan skripsi. Padahal, kami sudah pacaran lima tahun. Semua janji yang dia pernah katakan, terbang begitu saja seperti terbawa angin.  Penyesalanku hanya satu waktu itu, Taufan tidak pernah berusaha menjauhi atau memutuskan hubungannya denganku. Kami tetap pacaran, seakan-akan tidak ada apa-apa, hingga janur kuning benar-benar melengkung.  Selesai sudah, batinku waktu itu.
            Hancur. Sedih. Marah. Kecewa. Semua campur aduk menjadi satu. Aku juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan laki-laki itu. Karena pilihannya hanya satu, menikahi Mila atau keluar dari rumah. Ya! Orangtuanya benar-benar kolot. Hari gini masih saja memaksakan kehendak, termasuk mengancam anak kandungnya dengan hal-hal bodoh. Padahal mereka tidak pernah tahu, Taufan sendiri juga hancur.
            Kutahu betul, setelah menikah laki-laki yang biasanya selalu ceria, aktif di berbagai perkumpulan dan gemar berolahraga itu, berubah 180 derajat. Dia menjadi pemurung, tidak pernah ikut acara-acara yang diadakan teman-teman kami satu angkatan. Bahkan kata Rani, teman kami satu almamater dulu, dia juga menjadi orang pemarah. Rani tahu betul perubahannya yang begitu drastis,  karena dia satu kantor dengan Taufan sekarang.
            “Pokoknya dia beda banget deh, Ta…Waktu kita suka ngumpul dulu,…waktu kamu juga masih pacaran sama dia. Energik, heboh, rame kan? Sekarang, boro-boro suka ngeledekin aku seperti dulu. Senyum saja, nggak. Energi dia tersedot istrinya kali…ha…ha..ha..” Rani tergelak, ketika melaporkan hal itu padaku.
            Kasihan. Aku tidak bisa menyalahkan Taufan sepenuhnya. Pilihannya masuk akal. Dia bukan tipe anak durhaka. Mampu melawan kemauan orangtua. Resikonya ya..aku harus mau mengalah dan kehilangan dia.
            “Mbak…melamun? Mikirin siapa?” suara renyah itu mengejutkan aku lagi. Astaga, aku melamun dari tadi? Kulihat sekelilingku, …masih di stasiun. Calon penumpang banyak yang sudah pulang. Tinggal beberapa orang saja yang bertahan, termasuk aku dan…
            “Mbak, tuh ada kereta datang. Moga saja, kereta kita ya mbak…”
            Aku tidak sempat menjawab, ketika kereta yang kutunggu benar-benar datang. Ffuiih..lega. Setidaknya aku bisa menghemat ongkos taxi dan pulang aman sampai ke rumah. Tiba-tiba kubaru ingat perempuan yang sok akrab tadi, ketika aku sudah di dalam kereta. Entah kemana dia, …bayangannya sudah tidak terlihat lagi.
*****
             Malam Jum’at yang sempurna. Tugas-tugasku di kantor menumpuk, sampai harus rela pulang larut. Lagi-lagi aku harus menunggu kereta sendirian. Huuh! Andai Taufan tahu dan belum memiliki Alena, pasti dia tidak akan membiarkan aku malam-malam berdiri sendirian di sini. Kuingat betul, waktu pulang kuliah malam. Dia bahkan rela mengantarkan aku pulang, padahal jelas-jelas rumah kami ibarat ujung ketemu ujung….Jauh banget dan nggak satu jurusan.
Mmm…tapi sudahlah. Toh nggak lama, kami akan bersatu lagi. Hanya menunggu waktu.
            Bulan lalu, Taufan tiba-tiba menyatakan keinginannya, menikahiku. Memang dia tidak bisa menceraikan Alena yang memberinya seorang anak laki-laki. Tetapi menurutnya dia juga tidak bisa tahan, hidup tanpa aku. Maka dia berharap, aku bersedia menjadi istri keduanya. Istri muda…
            Dimadu? Awalnya aku menolak keras. Mana mungkin aku rela berbagi suami dengan wanita lain? Apalagi, aku harus melihat dia tetap bersikap baik dengan madu aku…Ggrrhh! Berat. Pahit. Akhirnya aku mengiyakan juga…yah, lagi-lagi karena cinta. Sejak Taufan menikah, meninggalkan aku, hidup seperti kosong. Rutinitasku pulang, pergi kantor, seperti bom waktu. Tiap saat bisa meledak. Otak dan hatiku tidak bisa kompromi. Sulit berpikir dengan akal sehat lagi. Kadang, aku suka lepas kontrol waktu memimpin meeting di kantor. Tanpa sadar, aku bisa berjam-jam bengong di depan laptop…Semuanya kusalahkan pada yang namanya cinta. Yah, aku cinta mati sama Taufan…
            “Mbak…kemalaman lagi?” Suara itu membuyarkan lamunanku. Wanita cantik dengan rambut panjang terurai melewati bahu. Parfum cendananya yang menusuk..ya, aku ingat betul. Dia…
            “Malam ini kereta aman-aman saja kok mbak…Tenang saja. Kita tidak perlu menunggu lama,” hibur dia. Aku hanya menelan ludah, pahit. Nih orang, nggak tahu apa kalau moodku lagi jelek?
            “Mbak, mau minum?” tawarnya sambil menyodorkan segelas air mineral yang dia bawa. Aku menggeleng. Lama-lama kasihan juga perempuan ini. Maksud dia baik, kenapa selalu aku jutekin?
            “Maaf, buat mbak saja. Saya tidak haus…” tolakku hati-hati. Dia tersenyum lebar. Jari-jari lentiknya merapikan rambutnya yang berantakan, tertiup angin.
            “Kenalkan, saya Rima… Mbak…” sapa wanita itu lagi, sambil menyodorkan tangannya. Mmm, nggak ada salahnya memiliki teman seperti dia, batinku.
            Kebekuan yang tadinya selalu kuciptakan, akhirnya mencair. Rima memang wanita hangat, menyenangkan. Baru setengah jam kami duduk berdua, dia sudah banyak membuatku tersenyum. Salah satu cerita dia yang membuatku merasa sepenanggungan, ya..soal cinta. Dia begitu berapi-api menceritakan cinta pertamanya yang tidak dia lupakan sampai sekarang. Tapi entah, laki-laki itu berhasil menikahi dia atau tidak, aku tidak tahu…Kereta keburu datang. Belum sempat say good bye, Rima sudah menghilang entah kemana.
****
            Ffuiih….Capek juga mempersiapkan pernik pernikahan sendirian. Meski rencananya sederhana sekali, hanya ijab kabul di depan saksi, lantas makan-makan dengan teman dekat, energiku terkuras juga. Taufan nggak bisa membantu banyak, karena dia masih harus memperhatikan keluarganya. Sebenarnya pernikahan kami pun tidak direstui keluarga besar Taufan.  Untung Alena berbesar hati, menerima permintaan Taufan. Dia juga yang membujuk orangtuanya untuk menerima keputusan ini.
            “Aku rela mbak menikah dengan suamiku, sekaligus menjadi maduku. Meski hati ini sakit, tapi aku lebih sakit lagi kalau melihat Mas Taufan sering melamun, sedih. Kebahagiaan dia yang utama…” aku Alena, ketika kami bertemu suatu malam di sebuah kafe.
            Benar-benar wanita berjiwa besar, rupanya. Hatiku nyaris luluh. Pertahananku hampir jebol. Tapi lagi-lagi Taufan berhasil menguatkan aku lagi…Yah, untuk cinta apa pun harus aku perjuangkan…
            “Malam mbak…sendirian?” tegur pemilik mata lentik itu, mengejutkan. Ouch, Rima. Wanita yang selalu saja kutemui sendiri di stasiun…Aku belum sempat bertanya tentang keluarganya. Kerja apa dia, kok selalu pulangnya malam-malam begini…
            “Ya, Rima. Seperti biasa…Banyak kerjaan belum selesai, terpaksa pulang telat lagi…”
            “Wanita karier sekarang memang resikonya begini mbak…Keluarga mbak mendukung pasti kan? Itu lebih penting…”
            “Maksud kamu?”
            “Ya, capek kita tidak terasa, kalau ada dukungan keluarga. Suami yang mencintai kita, anak-anak yang lucu…”
            “Soriii…aku belum punya anak dan belum menikah,” potongku cepat. Entah mengapa, nadaku berubah tinggi. Mmm…sabar, sabar… Lagi-lagi aroma cendana itu membuatku pusing. Kenapa perempuan ini suka parfum yang baunya menusuk itu… 
            “Maaf, maaf mbak..Bukan maksud saya mengutak-atik soal pribadi mbak. Saya salah ngomong ya?” Wajahnya pucat pasi. Mmm…baru kusadar, wajah Rima selalu kelihatan begitu pucat, seperti tidak ada aliran darah. Tangannya yang menggenggam tanganku barusan juga dingin.
            “Maksud saya.... dukungan keluarga hal yang utama. Saya juga ngerasain mbak, sebagai perempuan ingin dicintai dan memiliki orang yang saya cintai. Tapi kadang keinginan saya tidak membuat orang lain bahagia, apalagi keluarga dan sesama wanita, untuk apa? Saya seperti menari-nari di atas penderitaan wanita lain…Percuma.”
            Aku menggeleng-gelengkan kepala. Omongan wanita ini makin ngelantur. Kuambil handphone dari tasku, lantas pura-pura sibuk membaca sms yang masuk. Malam ini, entah mengapa aku malas meladeni obrolan dengan Rima. Belum lama aku sms, tiba-tiba kereta yang kutunggu datang. Kulirik sekelilingku, Rima sudah tidak ada. Mmm, seperti biasa. Batinku. Tapi satu hal yang mengusik perhatianku…tas serut dari kain warna merah hati itu, teronggok tidak jauh dari tempat dia duduk. Milik dia ketinggalan? Ah, ntar siapa tahu aku bisa mengembalikannya…
****
            Pagi ini, sebelum ke tempat catering untuk memesan makanan, aku mampir dulu ke rumah Rima. Identitas dalam tas serut yang kutemukan tadi malam, memang benar milik Rima. Rumahnya tidak jauh dari tempat catering yang kupesan. Sekalian saja, pikirku. Kasihan. Dia pasti butuh dokumen penting dalam tas itu…
            “Mbak ingin bertemu Rima?” tanya seorang wanita separuh baya, terheran-heran. Mata bulatnya yang mengingatkanku pada perempuan itu, berkaca-kaca. Dia langsung tergopoh-gopoh ke dalam, memanggil suaminya….
            Baru kutahu, Rima sudah meninggal sebulan yang lalu, karena terseret kereta api. Entah, dia bunuh diri atau sedang melamun ketika sedang jalan di perlintasan kereta. Saksi mata hanya bisa berteriak mengingatkan, tapi kereta terlanjur menyeretnya. Identitas yang ada di dalam tas selempang yang dia bawa, menunjukkan jenasah itu memang Rima. Namun sebuah tas make up kecil berisi kartu-kartu penting, memang hilang dan belum ditemukan. Tas itu rupanya yang kubawa… 
            Entah kebetulan atau tidak, dia meninggal setelah mengetahui dirinya akan dimadu. Bulu kudukku tiba-tiba meremang. Bayangan dia yang selalu muncul tiap malam, di stasiun kereta membuatku sulit tidur. Kuingat juga rencanaku menikah dengan Taufan…Artinya, aku juga akan membuat hati wanita lain tersakiti…Buru-buru kupamit pulang. Keputusanku sudah bulat. Aku harus batalkan pernikahanku, karena aku tidak mau ada Rima-rima lain, menjadi korban.(Ft; berbagai sumber)

Tidak ada komentar: