Jumat, 04 Maret 2011

black JOURNALISM?


            Ups. Pagi-pagi isi twitter seorang musisi bertangan dingin berinisial DA, membuat gw senyum. Isinya datar saja. Tapi kelihatan banget dia lagi marah. Nggak lama, muncul lagi message-nya. Intinya sama, soal keberatannya masalah privacy dikulik infotainmen. Bahkan nggak lama, muncul kasus baru. Kabarnya dia memukul dua wartawan dari sebuah stasiun televisi. Bukan hal itu yang menarik gw ngikutinnya…but masalah black journalism yang disebut-sebut artis ini. Dia bilang, wartawannya nggak punya pendidikan jurnalistik-lah…nggak tahu etika, etc.
            Ngomongin pendidikan jurnalistik, ya..memang salah kaprah. Dulu banget, gw berpikir kalau mau jadi wartawan musti kuliah di jurusan komunikasi atau ambil jurusan jurnalistik. Eh, nyatanya? Sebaliknya… Justru menurut gw, kuliah jurusan lain lebih bagus. Soal ketrampilan menulis, bisa diasah dengan jam terbang, latihan, kebiasaan di lapangan kok. Nyatanya, gw belum kuliah, masih berseragam abu-abu tapi gw sudah menulis di media cetak umum. Kuliah jurnalistik “memperkaya” kemampuan menulis.. Jam terbang, latihan / praktek langsung lebih penting. Materi kuliah, seperti: teknik penulisan berita, jurnalistik tv dll, text book yang bisa makin memperkaya kita dengan praktek.
            Gw malah berpikir, andai seseorang kuliah jurusan lain, misalnya saja psikologi atau ekonomi atau hukum, lantas menjadi wartawan. Wow, makin kaya tuh. Tulisan dia diperkaya dengan disiplin ilmu masing-masing. Beda kan, gw udah kuliahnya tentang teori menulis etc, kerjanya ya menulis…But gw nggak mengecilkan jurusan gw sendiri…karena ilmu komunikasi luas banget. Orang tahunya, komunikasi belajar menulis, jadi wartawan doang…nyatanya nggak segampang itu.  
            Udahlah ngebahas soal background pendidikan. Intinya, kalau mr X ini mengatakan wartawannya tidak memiliki pendidikan jurnalistik ya…mungkin saja dia bukan Sarjana Komunikasi. Tapi…, etika jurnalistik bisa diperoleh ketika dia mulai berprofesi sebagai jurnalis. Mustinya, sebelum seseorang menenteng ID Card as a reporter atau journalist, dia tahu benar tanggungjawab profesinya. Aturan main, “tata krama”, apa saja yang semustinya dia lakuin atau sebaliknya.
            Jangan malah ngerasa “sakti” dengan kartu identitas itu, lantas bisa melakukan tindakan apa pun… Gimanapun jurnalis Indonesia, tidak sama dengan paparazzi di barat sana yang sampai-sampai kamera bisa masuk ke ruang paling pribadi seseorang atau sampai nguntit dan sembunyi di atas genteng seorang tokoh, misalnya. Juga, ketika seseorang mengatakan “tidak” atau “no comment” kita pun nggak bisa ngepush dia dengan statement kita sendiri yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jangan karena ngerasa sakti, berlindung dibalik ID Card dan kamera, lantas kita bisa mengacak-acak “kediaman” seseorang. Bahkan, ketika ada event resmi sekalipun.Juga nggak lantas karena "sakti" bisa melebih-lebihkan sesuatu dengan kata-kata yang too much, lebay, over, apalah...terlalu didramatisir...
            Sebaliknya, seorang nara sumber pun musti respect dengan profesi seorang jurnalis. Karena dia dituntut mengabarkan kabar terakurat, terbaru, terdetail, bahkan kalau bisa “paling beda” dengan media lain. Mereka juga memiliki kebebasan pers, aturan hukum jelas. Nggak bisa seenaknya dihajar atau dibatasi gerak tugasnya. Mereka juga bukan “pengemis” berita, musti mohon-mohon sampai segitunya, agar dapat materi peliputan. Tanpa media, seorang tokoh, selebritis, siapa pun bukan siapa-siapa. Sebaliknya, tanpa nara sumber, media pun tidak akan dilirik pembaca/penontonnya. Deal?

Tidak ada komentar: