Senin, 10 Oktober 2011

PEREMPUAN HUJAN


             
            Gokil! Hujan lagi. Feeling tadi mengatakan, malam ini cuaca cerah. Bayangin saja, sore tadi masih terang benderang. Pas masuk supermarket, keluar –keluar air sudah begitu deras ditumpahkan dari langit. Pilihan hanya dua. Nungguin sampai hujan reda atau cari ojek payung. Soalnya tempat parkir mobil, lumayan jauh. Paling malas sebenernya, berhujan-hujanan ria begini….
            “Payung, mbak?” tawar seorang bocah perempuan yang sudah berdiri tepat di depanku,  sambil membawa payung. Kutebak usianya baru belasan. Bibirnya pucat membiru, tangannya kelihatan bergetar. Pasti dia kedinginan. Baju lusuh yang dia kenakan pun sudah basah. Kasihan.
            “Mbak…payung? Murah mbak…sekasihnya mbak saja kok…” tawarnya lagi, mengejutkan. Mm, boleh juga. Selain buang waktu, nungguin hujan. Berbagi rejeki sama bocah ini, nggak ada salahnya.
            “Udah, ambil saja kembaliannya. Buat kamu…” kataku, ketika dia bengong melihat uang yang kusodorkan dalam genggamannya. Kulihat sekilas, mata bulat itu berkaca-kaca. Moga saja, keberuntungan selalu berpihak padanya, batinku haru.
            Hari pertama, tinggal di villa sendirian ternyata menyenangkan. Meski harus kerja bakti duluan, merapikan seisi rumah yang berantakan. Rencanaku menyelesaikan skripsi, sekaligus menenangkan diri berhasil sepertinya. Awalnya, sempet ragu juga. Soalnya villa milik papa itu biasa digunakan Vanno, saudara tiriku yang doyan petualangan berlibur bareng teman-teman genk motornya. Risih. Takut dia merasa aku mengganggu property-nya. Kata papa sih, villa itu masih milik kami bersama. 
            Yup. Hubunganku dengan Vanno memang sangat buruk. Entah mengapa, dia tidak pernah bisa menerima kehadiranku sebagai anak adopsi dalam keluarganya. Mama Vanno almarhum dulu, sangat menginginkan anak perempuan. Hingga aku diadopsi dari sebuah panti asuhan. Mungkin perlakuan mama berlebihan juga, beliau memanjakanku. Selain kelakuan Vanno sejak kecil memang kelewat bandel. Berkelahi, biasa banget dalam kamusnya. Entah, berapa kali orangtua kami dipanggil kepala sekolah gara-gara tingkah lakunya.
            Kini, setelah mama meninggal, sikap saudaraku itu makin menjadi. Bahkan, kami seperti orang asing. Jarang saling tegur sapa. Dia juga lebih banyak menghabiskan waktu di kamar atau di luar rumah bersama teman-temannya. Kalau pun musim liburan, Vanno suka naik gunung atau touring bareng genk motor. Villa milik keluarga di puncak itu, salah satu rumah keduanya. Papa pun nggak berani menegur. Mungkin karena kami sudah sama-sama dianggap dewasa kali, sehingga bisa memutuskan baik atau buruk masing-masing.
***********
            Hujan kali ini, tidak sederas kemarin. Paling tidak, kalau mau nekad menerobos dan sedikit berbasah-basahan ke tempat parkir mobil, masih bisa. Tapi lagi-lagi gadis berpayung biru itu mendekat… Wajahnya yang tirus, semakin pucat karena cuaca dingin dan bajunya basah kuyub. Kasihan. Semustinya, dia tidak berada di tempat seperti ini…
            “Payung, mbak?” tawarnya, lirih. Tanpa banyak bertanya, aku mengangguk dan menggandeng tangannya. Dingin. Duh, aku sendiri juga sebenernya menggigil kedinginan. Gimana dia yang berlama-lama tertimpa air hujan…
            Kelihatannya memang kami berjodoh. Soalnya nggak hanya sekali, dua kali bertemu. Selang beberapa hari kemudian, aku juga melihat dirinya ada di antara derasnya air yang ditumpahkan dari langit. Pantaslah, aku suka menyebutnya Si Perempuan Hujan.
            Bintang, nama cewek yang belakangan kuketahui, ketika aku selesai belanja dari supermarket, sebelum akhirnya balik ke Jakarta.  Gadis yang baru berusia 15 tahun itu, mengaku putus sekolah. Selain bekerja membantu ibu dan bapaknya memulung atau menerima cucian dari tetangga, Bintang  juga bekerja serabutan. Ikutan membantu bawain belanjaan di pasar atau seperti sekarang, ngojekin payung.
              Meski kekurangan, tapi gadis itu nggak memanfaatkan keadaan dan belas kasihan orang. Buktinya, dia tetap memilih bekerja keras, ketimbang mengambil jalan pintas. Seperti…amit-amit, menjajakan diri pada lelaki hidung belang.
            “Pernah, mbak. Bahkan sering, digangguin. Untung Bintang sadar, masih punya pegangan agama dan selalu inget orangtua. Dosa. Sekecil apa pun rejeki yang didapat sekarang, Bintang tetep syukuri,” katanya, waktu kutanya gimana dia bisa menjaga diri.
Godaan, mungkin saja kan? Apalagi cewek ini tubuhnya tinggi semampai, berkulit sawo matang dengan alis dan bulu mata tebal serta lentik. Hidung mancung dan bibir indahnya mengingatkanku pada artis Angelina Jolie. Mmm, gimana cowok-cowok nggak termehek-mehek, kalau dipoles sedikit saja?
*********
Bbbbbrr!  Lamunanku buyar seketika. Barang-barang belanjaan, masih berserakan di atas meja.  Belum ada lima belas menit masuk villa, tiba-tiba kudengar suara gaduh. Seperti langkah orang. Arah suaranya dari kamar belakang, waduh..maling nih jangan-jangan!  Buru-buru kucari sumber suara itu berasal, tapi…Kosong! Nggak ada siapa-siapa. Hanya daun pintu tembusan kamar belakang yang setengah terbuka.  Heran. Bukannya biasa Vanno selalu meninggalkan villa dalam keadaan semua pintu terkunci rapat?
            Deg! Jantungku kembali berdetak, ketika suara gemuruh air itu terdengar begitu jelas. Bulu kuduk ini meremang tiba-tiba, bersamaan dengan aroma busuk menusuk hingga membuat seisi perutku terasa diaduk-aduk. Astaga. Bau bangkai! Pengalamanku menguasai bela diri membuatku nekad saja, mencari arah suara gemuruh air itu berasal. Ampun! Kran di wastafel depan kamar mandi dan shower dibuka! Jelas, air mengucur deras.  Mungkinkah, krannya rusak? Anehnya waktu kucek, kran bisa ditutup dan baik-baik saja. 
            Selesai mematikan kran di wastafel, kucoba mematikan shower di kamar mandi dan ternyata tidak semudah yang kuduga. Seperti mengajakku bercanda. Keluar kamar mandi, shower menyala lagi. Sekali, aku masih bisa cuek. Kali kedua, …astaga…. Nggak salah apa yang kulihat? Seorang perempuan tengah duduk, meringkuk di pojok tepat di bawah shower dengan tubuh basah kuyub. Wajahnya tidak bisa kulihat jelas, karena disembunyikan di antara kedua lututnya dan tertutup kedua tangannya. Bahunya berguncang hebat, seperti menangis sesegukan.
            Lidahku kelu. Pusing. Mungkinkah aku lagi bermimpi? Belum hilang kagetku, tiba-tiba tangan perempuan itu menarik lenganku. Lantai kamar mandi memang begitu licin. Aku pun nggak siap dengan “kejutan” ini, hingga terbanting ke lantai. Sebelum kesadaranku hilang, masih sempat kulihat tatapan mata perempuan itu. Tajam, menusuk!
*********
            Apes. Mungkin kecapekan dan ngantuk membawa mobil seharian, sampai aku berhalusinasi. Akibatnya terpeleset di kamar mandi…Pagi-pagi, kuterbangun dengan badan pegal dan baju basah di kamar mandi. Untung, staminaku nggak mudah ambruk. Secangkir kopi hangat dan roti bakar, bikin moodku kembali dan nyaris melupakan kejadian semalam.  Mmm, kelihatannya musti belanja supermarket lagi.  Beberapa kebutuhan pokok, habis. Keterlaluan juga Vanno. Waktu kutinggalkan villa tiga minggu lalu, masih banyak snack dan perlengkapan pribadi yang belum dibuka dari kemasannya. Sekarang, boro-boro kemasan. Balik ke villa, semuanya ludes bersih tak tersisa. Malah lagi-lagi, rumah ditinggal dalam keadaan berantakan.
            Jelang ujian akhir, aku memang memilih menghabiskan minggu tenangku di villa. Selain sumpek dengan suasana Jakarta yang always macet dan polusi, juga menghindar dari orang rumah. Malas, tiap saat musti melihat tatapan tak bersahabat Vanno. Tapi kami tinggal satu rumah, masa mau mengurung diri di kamar mlulu? Lebih baik kabur…
            Keluar dari supermarket, hujan masih saja bersahabat. Padahal sengaja, pas mau jalan aku bawa payung. Bodohnya, tetap saja tertinggal di dalam mobil. Mmm, biasanya jam-jam segini Bintang ada…
            Bener tebakanku. Tak jauh dari tempatku berdiri, seorang gadis dengan payung berwarna biru seperti biasa berdiri dengan bibir membiru dan tubuh menggigil, kedinginan. Aku sudah menunggu ojek payung darinya, ketika tiba-tiba seorang bocah cowok berambut plontos dengan tatapan polos itu, sudah menyodorkan payung untukku….
            “Payung mbak, murah…Boleh nawar, saya antar sampai ke mobil….” Pinta bocah yang kutebak belum ada 10 tahun usianya itu, sambil menatapku penuh harap. Duh, nggak tega juga rasanya menolak dia yang sudah jelas-jelas berada tepat di depanku. Sekilas kulihat Bintang masih berdiri di tempat yang sama dengan tatapan kecewa. Entah kenapa, aku merasa sangat bersalah tidak menggunakan ojek payungnya kali ini.
            Duerrr! Glek! Nyaris aku tersedak buah apel yang tengah kumakan. Seperti suara pintu belakang dibanting. Padahal yakin seyakin-yakinnya, pulang dari supermarket semua pintu masih dalam keadaan terkunci. Ah, mungkin halusinasi saja, hiburku  sambil melanjutkan suapanku.
            Duerrrrr! Lagiiii? Duh, nggak main-main kelihatannya. Sambil membawa payung, senjata satu-satunya yang kutemukan di kamar, aku berjingkat, perlahan-lahan ke sumber suara. Dan…kosong… Nggak ada siapa-siapa. Hanya pintu belakang dalam keadaan setengah terbuka, sepertinya aku lupa mengunci?
            Perasaan nggak enak, tiba-tiba menyergap, bersamaan dengan lampu mati. Duh, Gusti. Aroma apalagi ini…seperti bau bangkai, menusuk dan mengaduk-aduk seisi perutku. Kedua tanganku bergetar hebat, ketika harus meraba-raba dalam gelap, sementara bau busuk itu makin santer tercium. Udara dingin juga terasa begitu menggigit, sampai membuat aku nyaris menahan nafas karena ketakutan yang amat sangat….’
            Nggak. Nggak boleh takut, batinku. Sambil berusaha mengenali arah mana yang menuju ke kamar tidur. Untung, lampu tiba-tiba kembali menyala, pas aku berada tepat di depan kamar mandi  dan tengah dalam keadaan terbuka….. Astagaaa!!!
            Seorang gadis tengah meringkuk di bawah shower yang mengucur deras. Badan mungilnya menggigil, kedinginan. Dia mengerang, seperti kesakitan. Tapi makin kudekati, seperti erangan orang yang menahan marah… belum sempat kusadar apa yang terjadi, kulihat air yang mengalir di lantai kamar mandi berubah menjadi merah,  darahhh…darahhh di mana-mana dan baunya busuk, menusuk. Panik. Antara takut, kaget dan nggak tahu musti berbuat apa….sekian detik aku terpaku di tempatku berdiri, sebelum akhirnya semuanya berubah menjadi gelap.
            Sakit. Linu. Semua persendianku seperti mau copot, ketika kusadar sudah berada di rumah sakit. Ternyata, klinik yang berada tidak jauh dari villa.
            “Untunglah, mbak nggak mengalami gegar otak. Hanya lebam-lebam, luka luar saja… jadi bisa langsung pulang. Keluarga mbak sudah menunggu di luar,” kata dokter berkacamata minus itu. Mmm, keluarga? Papa, maksudnya?
            Bingung. Pas banget, papa sudah berada di puncak? Perasaan waktu aku berangkat lima hari lalu, papa bilang banyak meeting dan bakal pulang malam mlulu. Bener. Ternyata papa sudah menunggu aku di depan kamar periksa. Wajah beliau kelihatan kuyu dan pucat. Nggak secerah biasanya. Kasihan. Pasti mengkhawatirkan keadaanku….
             “Kita pulang ya, nak… “kata beliau dengan suara berat. Hingga sepanjang jalan menuju Jakarta, kami sama-sama terpaku dalam diam. Meski kupancing bicara, papa kelihatannya malas banyak berkomentar. Ya, sudahlah. Lagipula, kepalaku juga masih pusing dan badan capek banget.   
            Pertanyaan demi pertanyaan, tentang kejadian yang kualami di villa belum juga terjawab. Hingga akhirnya, siang itu kulihat papa pulang kantor lebih cepat dari biasanya.
            “Papa sakit? Pulang cepet?”
            Papa menggeleng, lantas memberi kode aku agar ikutan duduk bersamanya di ruang makan. Duh! Entah harus bersyukur karena aku masih  selamat  atau sedih karena harus merelakan Vanno masuk penjara.  Bayangan mengerikan yang selalu menggangguku di villa, ternyata ada kaitannya dengan saudara tiriku itu.
            Cowok yang suka touring dengan genknya itu, suatu malam kelewat mabuk pas lagi di villa. Entah setan mana yang merasukinya, bersama dua orang kawannya, Vanno membekap seorang gadis belasan tahun yang ditemui sepulang dari membeli minuman, lantas membawanya ke villa. Tragis. Gadis itu tewas mengenaskan, karena kepalanya terbentur lantai kamar mandi. Takut kejahatannya terungkap, mereka membuang mayat cewek itu ke semak belukar. Namanya juga kejahatan, sepandai apa pun pasti terbongkar juga…  Ada barang bukti yang mengarah ke villa dan akhirnya, ketika papa dan polisi datang, mereka menemukan aku tengah pingsan di depan kamar mandi.
*********
            Senin pagi…Perasaanku lebih enakkan dari minggu lalu, setelah beberapa hari musti menemani dan menghibur papa yang terpukul dengan kasus Vanno. Ajakan papa untuk menemaninya menengok makam dan menyerahkan santunan untuk keluarga gadis yang tewas itu, aku iyakan.
            Sedih. Tak sanggup rasanya membendung air mata ini, waktu kami bertemu dengan orangtua korban, lantas mengantarkan kami ke makam. Pandanganku nanar, waktu membaca nama yang tertera di nisan…. Bintang bin Makhmud. Mungkihkah dia perempuan hujan yang sering kutemui? Lidahku kelu. Gelap dan dingin saja yang kurasakan, waktu orangtua korban menunjukkan sebuah foto lusuh. Kenang-kenang dari anak gadis mereka. Bintang. Si perempuan hujan. (Ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: