Selasa, 11 Oktober 2011

lara



            Ufff!  Sosok perempuan kurus, berwajah tirus,  dengan rambut tergerai sebahu  itu, makin mendekat. Parfumnya begitu menusuk.  Seperti bau melati atau rempah-rempah. Gaun satinnya yang putih menjuntai ke tanah yang becek, hingga ujung-ujungnya penuh bercak tanah dan kotor. Tapi kelihatannya, dia tidak perduli.  Perhatiannya hanya tertuju padaku yang hanya berjarak sekian meter di depannya. Alamakkk…kenapa kedua kaki ini rasanya terpatri di tempatnya? Bergerak atau bergeser pun, aku tidak bisa. Sementara kurasakan udara di sekelilingku semakin dingin. Beku.
            Entah ada di mana aku sekarang. Sekelilingku gelap dan berkabut. Hanya ada aku dan cewek itu… Hati kecil ini mengatakan, ada yang tidak beres. Tapi ingin lari atau teriak, nggak bisa. Mmm, pikir-pikir juga ngapain aku yang laki-laki segede ini musti takut…
            Lamban, tapi pasti. Perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut itu,  makin mendekat. Aroma rempah yang tercium, lamat-lamat berubah menjadi bau anyir. Busuk. Perutku rasanya seperti diaduk-aduk. Buat bernafas juga makin sulit. Dada seperti dibebani ribuan ton pemberat. Sampai akhirnya, dia sudah berada tepat di depanku! Ya, kami benar-benar bertatapan muka. Sangat dekattt… Astaga! Saking kagetnya, aku sampai terhuyung-huyung, mundur dan jatuh terduduk.
            Tebakan kalau dibalik rambut itu, wajahnya cantik…ternyata bertolak belakang. Rusak. Bagian kananpelipis hingga dagu perempuan itu, melepuh. Merah, penuh darah. Belum lagi belatung yang bergelayut di sana…Buru-buru aku berusaha bangun, tapi sia-sia. Sosok mungil itu lebih sigap dan kuat, tidak seperti diduga. Tangannya mencengkeram lenganku dan wajah itu nyaris menempel begitu dekat dengan wajahku…
            Bing! Bunyi alarm di handphone, mengejutkan. Huh! Syukur hanya mimpi buruk. Aku terbangun dengan badan basah, bermandi keringat. Gila, kejadiannya seperti beneran. Pasti gara-gara kemarin habis nonton di televisi, korban kecelakaan di tol yang tewas mengenaskan. Gitu tuh, negatifnya aku. Gampang banget kebawa mimpi. Kata almarhum nenek dulu, memang aku mewarisi bakat “sensitif” dari beliau. Orang bilang, indra keenam. Kadang alam bawah sadarku bisa ngerasain yang orang awam tidak rasakan. Percaya atau tidak, bener juga sih…
            Waktu sepupuku syukuran rumah barunya, aku ngerasa rumah itu nggak bener. Nyatanya, kejadian kan…Bolak balik anaknya sakit, demam nggak jelas. Ternyata, putranya suka diajakin “main” sama bocah penunggu kebun di belakang. Setelah halaman dirapiin dan digelar selametan, semuanya aman terkendali. Beres.
            Teman sekantor bilang, sebuah keberuntungan memiliki sixth sense. Tapi bagiku, sebaliknya. Bencana. Ya, bayangin saja… lagi enak-enak jalan sendirian, sepulang dari mall misalnya. Tiba-tiba, ngelihat bocak cilik, plontos, memperhatikan aku, pas lewat  di samping tong sampah.  Kuku-kukunya yang panjang, kotor itu, menggaruk-garuk tanah, tanpa henti. Giliran aku melihat ke arah lain dan balik lagi, dia sudah nggak ada.
            Mikirin “gift” yang kumiliki ini, hanya bikin stress. Lambat laun, aku mulai terbiasa dan berusaha cuek. Ya, kalau pun melihat sesuatu yang nggak mestinya, berusaha nyantai. Anggap saja, selingan…Intermezzo…Seperti mimpi tadi malam, meski menguras energi tapi tidak dimasukin ke hati. Mungkin saja, memang gara-gara akhir-akhir ini banyak berita kecelakaan mobil di televisi.
            Mimpi malam itu, benar-benar sudah aku lupakan. Apalagi hari ini, acara padat banget. Maklum, habis pindahan kantor. Pindah building baru… Lebih luas, nyaman dan fasilitasnya lengkap. Senang juga sih. Tanda-tanda perusahaan makin maju. Sore ini,  sengaja aku tidak ikutan teman sekantor makan-makan. Lebih baik membenahi mejaku yang masih berantakan. Sayangnya, belum lama beres-beres perut sudah keroncongan. Mmm, buru-buru kurapikan sisa berkas di meja, lantas turun ke lantai bawah. Kudengar, ada coffe shop. Lumayan, ngopi dulu sambil cari snack, sebelum balik ke rumah.
            Tembang Bruno Mars menyambutku, begitu masuk ke kafe yang kupikir rame. Jam-jam segini sepi. Mungkin, orang-orang memilih pulang, ketimbang nongkrong dulu di sini. Tapi nggak rugi sih, nongkrong sebentar. Kopi mereka enak dan interiornya juga cozy. Keren. Ntar kapan-kapan, pasti teman sekantor kerajingan ngumpul di sini.
            Satu yang menarik perhatianku, begitu duduk…. Seorang perempuan, bermata bulat dengan make up tipis, natural, tengah duduk sendiri di sudut kafe. Kelihatannya dia belum pesan apa-apa. Hanya sebuah buku tebal yang tengah dibaca berada dalam genggamannya… Pemandangan indah. Sempurna.  Kelihatannya dia begitu serius dengan buku bacaannya, sampai tidak perduli ketika seorang pelayan café menghampiri mejanya dan mengganti kotak tissue yang tadinya sudah kosong.
            Mungkin dia pegawai salah satu kantor di building ini, juga. Atau mungkin, habis meeting dengan kliennya? Busyet. Ngapain juga aku mikirin cewek itu. Toh, besok-besok kami nggak bakal ketemuan lagi.
            But nyatanya? Tebakanku salah besar. Hampir setiap kali aku mampir ke kafe itu, entah sendiri atau beramai-ramai dengan teman sekantor, kulihat cewek itu duduk di sana.  Biasanya kalau tidak asyik membaca, dia mengutak-atik handphonenya. Hingga suatu kali, tanpa sengaja dia sempat melihat aku yang tengah memperhatikannya. Kami sama-sama kaget, bahkan aku malah yang tersipu malu. Ketahuan, diam-diam merhatiin tuh perempuan. Untungnya, dia nggak ambil pusing. Cuek abis. Buktinya, beberapa kali kami kembali berpandangan, dia tetap saja kembali dengan buku bacaannya. Nggak coba membalas senyumku, sedikit pun.
*******
            Jujur.  Lama-lama, penasaran juga. Aku nggak sadar, tergila-gila dengan perempuan itu.  Normal dong. Cantik! Bahkan boleh dibilang, gadis berkulit putih dengan leher jenjang dan tinggi semampai itu, cukup sexy dan menggoda bagi semua laki-laki yang melihatnya. Apalagi kalau melihat kebiasaan dia duduk dan berpakaian… Wuih! Tapi entah mengapa, keberanianku untuk menghampiri, buat bsekedar menegur atau menyapanya, sama sekali tidak ada. Malu. Takut dianggap cowok hidung belang atau laki-laki kecentilan yang suka tebar pesona. Pantas saja kalau sampai detik ini, aku masih seorangan. Jomblo. Gara-gara kelewat kuper dan pemalu.
            “Payah lho, Than! Masa ngadepin cewek aja, musti didorong-dorong. Kapan dapetin jodohnya? “ protes Anton, teman sekantor waktu aku ceritakan tentang perempuan itu. 
            Sayang saja, Anton nggak sempat aku tunjukin perempuan itu, karena keburu ditugaskan ke kantor cabang. Lagian, kulihat cewek itu kini juga nggak sendiri lagi kok. Gadis berambut cepat dengan gaya tomboy, sering ikutan nongkrong bersamanya.  Heran juga sih, dua cewek itu nyaris bertolak  belakang. Males ngelihat si tomboy yang suka berpenampilan gothic, serba hitam dengan boots dan piercing di hidung itu…Kasihan amat sih si cantik, punya teman gokil begitu…
            “Soriiii….Maaf, saya buru-buru,” kata pemilik wajah tirus itu, mengejutkan ketika tanpa sengaja aku nyaris bertabrakan dengan seorang cewek di dekat kasir. Uuhhh, cewek tomboy itu lagi…Komunikasi kami pertama kali itu, nggak menimbulkan efek apa-apa. Hingga beberapa hari kemudian, ketika aku tengah mencari meja kosong di kafe itu, tiba-tiba…
            “Gabung sama kita aja…Masih ada kursi kosong…” tawar seorang cewek, tiba-tiba. Lumayan. Setidaknya, aku bisa duduk. Dan ternyata…. Cewek tomboy itu yang nawarin kursi. Akhirnya, berhasil juga berdekatan langsung dengan si cantik yang selama ini sering kuperhatikan menyendiri, sebelum temannya datang.
            Ngobrol dengan dua cewek itu, menyenangkan. Lara, nama si cantik yang lebih banyak diam itu, setiap kami ngopi bertiga juga punya kepribadian secantik wajahnya. Hangat. Nggak kecentilan dan easy going. Sedangkan Dita, si tomboy meski mendominasi pembicaraan dan heboh gayanya, tapi dia teman ngobrol yang seru. Meski jujur, aku masih suka merasa nggak nyaman berdekatan dengan Dita. Entah karena penampilannya yang suka nyeleneh seperti cenayang itu, serba hitam mulai dari kostum sampai make up atau karena tatapan matanya seperti menyimpan sesuatu.
            Naluriku mengatakan, ada yang cewek tomboy itu sembunyikan dariku. Tiap kali kami bersalaman atau tak sengaja saling senggol saja, kurasakan tangannya begitu dingin. Parfumnya juga. Sungguh. Aku tidak suka….terlalu tajam.
            “Dit, kalian sobatan sudah lama?” tanyaku, waktu Lara tengah ke toilet. Dita menatapku dalam-dalam. Astaga…kok bulu kudukku jadi berdiri gini! Nggak enak…
            “Lumayan, kenapa? Suka ya…”
            “Hussss…ngaco. Heran aja, kalian bisa kompak banget, sementara selera bertolak belakang ghitu…” kataku, sambil menyeruput kopi yang sudah terhidang di meja.
            “Lara  jujur dan baik… Tapi kusarankan, hati-hati dengannya. Dia sudah terlalu sering dikecewakan,” kata Dita, sambil menatapku dalam-dalam. Huh! Lagi-lagi, aroma parfumnya….Melati, mawar atau apa sih?
            Usahaku untuk mendekati Lara, tidak sukses rupanya. Kulihat, Dita jelas-jelas terkesan over protect.  Setiap kami ngobrol bareng, dia pandai mengalihkan pembicaraan. Bahkan ketika aku niat, mengantarkan Lara pulang…Dita lagi-lagi menggagalkannya dengan alasan dia saja yang nganterin. Padahal jelas-jelas sudah terlalu larut pulang sendiri, untuk ukuran cewek. Pikiran negatif pun mulai bermain di benakku. Jangan-jangan, Dita naksir Lara juga. Atau malah mereka sebenarnya pasangan kekasih? Kan banyak juga tuh, pasangan sesama jenis?
*******
            Meeting seharian, benar-benar bikin badan rasanya rontok. Tapi keinginanku bisa ketemuan dengan Lara, membuat aku memaksakan diri mampir dulu ke kafe di lantai dasar.  Gokil juga kalau dipikir-pikir. Sejauh ini kami kenal, aku belum juga dikasih nomer telepon atau alamat rumahnya.
            Sepi… Hanya satu dua pengunjung yang duduk, makan atau ngopi. Tumben, Lara nggak kelihatan. Belum lama duduk, seraut wajah yang kukenal itu pun muncul. Dita.
            “Sendirian? Lara mana?” tanyaku, semangat. Mungkin saja, Lara nyusul belakangan. Tapi kegembiraanku berubah menjadi kecewa, ketika kulihat Dita menggelengkan kepala.
            “Nggak ada. Dia nggak bakalan muncul…” katanya dingin, sedingin tangannya waktu menyalamiku. Perasaan gamang, nggak enak masih mengganggu. Meski cewek ini baik, tapi hati kecilku mengatakan ada yang dia sembunyikan.
            Lara benar-benar tidak muncul malam itu. Juga, malam-malam berikutnya setiap aku datang ke kafe. Sendiri atau beramai-ramai.
            “Dit, Lara kemana? Kok nggak pernah barengan lagi?” tanyaku, serius malam itu, ketika kami tengah duduk berdua di tempat biasa. Cewek yang malam ini kelihatan lebih murung dari biasanya itu, menggeleng.
            “Dia nggak bakal datang lagi…”
            “Pindah? Keluar kota? Kenapa?” cecarku, penasaran. Kulihat, ekspresi Dita masih sama, seperti biasa tiap kali kutanya kenapa Lara nggak muncul lagi akhir-akhir ini. Datar.
            “Dia sudah sempurna, kembali ke alamnya… Mantan tunangannya sudah minta maaf dan mengikhlaskannya,” katanya, membuatku makin bingung. Entah, musti sedih atau takjub, Lara sebenarnya sudah berpulang jauh sebelum aku mengenalnya.
            “Hanya kita berdua yang merasakan keberadaan Lara, karena kita sama-sama punya kelebihan. Indra keenam kita lebih peka. Dia meninggal dalam sebuah kecelakaan motor, ketika pulang dari kafe ini kemalaman sendiri. Gara-gara habis putus dengan tunangannya yang ketahuan selingkuh. Biasanya, Lara selalu duduk di meja ini setiap ketemuan dengan cowoknya itu.  Kebetulan saja, aku melihatnya sendiri di sini…Kasihan…” jelas Dita lagi, membuat kepalaku berdenyut tiba-tiba. Pusing.
*********
            Moga-moga, benar kata Dita. Andai Lara berpulang, dia sudah sempurna di alamnya. Kangen juga dengan cewek cantik itu…Apalagi abis ketemuan dengan Dita, aku ikut training di luar kota selama satu bulan. Tidak ada waktu memikirkan perempuan itu lagi…
            Sore ini,  Teddy teman kuliah dulu rencananya menjemputku sepulang dari kantor buat reunian. Mm, sambil nungguin dia, nggak ada salahnya aku ngopi dulu di kafe bawah. Cukup lama nggak ke sana, sepulang dari training di Surabaya.
            Rame. Seperti biasa, kupilih duduk di sudut kafe. Ketika tengah menjawab beberapa pesan singkat yang masuk di HP, refleks tatapanku mengarah ke sudut ruangan…tempat dulu biasa nongkrong dengan Lara dan Dita. Dan….lagi-lagi, kulihat perempuan cantik itu ada di sana… Wanita cantik, berleher jenjang, hidung mancung dan mata bulat indah. Lara? (ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: