Senin, 10 Oktober 2011

PENUMPANG GELAP DARI ALAS ROBAN




            Tangan-tangan mungil itu kejang dan bergetar hebat. Cengkeramannya tidak sedikitpun dilepaskan, bahkan terasa makin kuat. Sampai kuku-kuku panjangnya terasa mulai melukai kulitku. Perih. Percuma, aku berontak atau berusaha melepaskannya dengan paksa, karena cekalan Rahmi justru akan makin kencang. Kasihan, sebenarnya. Perempuan yang baru saja kubawa dari Jawa ini, masih sangat polos. Repot memang, cari pembantu hari gini. Selain butuh orang jujur, juga musti betah dan sabar.
            Kalau dipikir-pikir, beruntung banget keluarga besar kami memiliki Mbok Jum. Pembantu yang sudah mengabdi belasan tahun, sejak aku masih kuliah sampai kini sudah berumahtangga. Mama sebenarnya nggak merelakan, wanita separuh baya itu aku bawa ke rumahku yang baru. Karena bagi beliau, Mbok Jum bukan sekedar pembantu. Tapi sudah seperti keluarga, kerabat, saking tulus dan baiknya beliau. Gara-gara melihat pembantu di rumahku, keluar masuk alias nggak bertahan lama, akhirnya mama mengiyakan, Mbok Jum tinggal bersamaku.
            Sayangnya, penyakit usia tidak bisa dihindari. Tahun kedua, wanita itu minta ijin pulang ke kampung. Kondisi kesehatannya belakangan menurun. Beliau mengaku, ingin menikmati masa tuanya bersama kerabatnya di desa. Ya, aku tidak mungkin menahannya berlama-lama di rumah. Kasihan. Lagipula, kuperhatiin tenaganya juga tidak sekuat dulu lagi. Masa tega, melihat beliau ngeberesin seisi rumah sendiri?
            Pembantu pocokan atau harian, akhirnya menjadi pilihan terakhir. Mas Dika, suamiku menyarankan aku menggunakan pembantu bekerja tengah hari saja. Asal bantuin mencuci pakaian, setrika dan rapiin rumah.  Lantas, mereka bisa pulang.  Hasilnya? Nggak sukses. Bolak balik ganti orang, bolak balik ada kejadian tidak mengenakkan. Pokoknya, belum ada yang setangguh dan sebaik Mbok Jum…
            Bingung. Kesal. Mama sampai geleng-geleng kepala, tiap main ke rumah mendapati pembantu ganti lagi. Hingga akhirnya, sepupu Mas Dika menyarankan, kami mengambil pembantu dari Jawa. Kebetulan banget, Mbok Jum juga mengatakan kerabatnya ada yang membutuhkan pekerjaan. Demi memperoleh PRT, berdua dengan Mas Dika weekend ini kami sengaja ke kampung Mbok Jum buat menjemput saudaranya itu. Sekalian nengokin beliau yang kabarnya sering sakit-sakitan, karena faktor usia.
*********
            Lugu. Polos banget, Imah. Perempuan berwajah oval dengan alis mata tebal dan rambut sepinggang itu, kutebak usianya baru belasan. Waktu kami jemput, kelihatan banget dia belum pernah ninggalin kampung halamannya. Kelihatan malu, takut dan sedih. Apalagi saat berpamitan dengan kedua orangtuanya. Wah, seperti nonton sinetron-sinetron saja… Haru.
            Lumayan. Meski harus menempuh jarak sekian km, berhasil juga kami memperoleh PRT. Kubayangkan, rumah nggak sepi lagi kalau Mas Dika keluar kota atau pulang larut. Minimal aku punya teman ngobrol atau beberes rumah.  Tapi ya itu…polosnya bukan main. Sepanjang jalan, Imah kelihatan begitu resah. Nggak bisa duduk nyaman, menyandarkan badan di mobil. Bolak balik dia mengaduk-aduk isi tas jinjing, lantas duduknya geser mojok ke sisi kanan. Belum ada lima menit, pindah lagi, geser ke sisi kiri… Sampai-sampai, aku ikutan gelisah.
            “Imah, kenapa? Sakit perut? Ada barang kamu yang ketinggalan?” tegurku, sembari memperhatikan dia yang duduk di tengah. Mas Dika yang sejak tadi mengemudikan mobil, hanya senyum-senyum saja, melihat ekspresiku.
            “Nggak apa-apa, bu…Nggak ada yang ketinggalan….”
            “Ya sudah, santai saja. Tidur juga boleh. Perjalanan kita masih jauh lho.. Alas di depan saja, belum kita lewati…”
            Untung, bujukanku ampuh. Nggak lama, Imah kelihatannya mulai terkantuk-kantuk, sambil memeluk tas dari kain yang sudah tidak jelas lagi warna aslinya itu. Pasti, dia masih kebayang orang-orang terdekatnya di kampung…batinku. Ntar juga kalau sudah sampai Semarang, dia tidak segelisah itu.
            Tebakanku, salah besar. Bukannya, Imah tertidur pulas hingga sampai Semarang, malah sebaliknya. Jelang alas roban yang kondisi jalanannya padat merayap, dia tiba-tiba terjaga. Mata bulat itu terbelalak, menyaksikan deretan mobil dan truk di depan. Tapi bukan hanya itu, tiba-tiba saja….
            “Bu…takuttt…buuu, pulangggg!” teriaknya, histeris. Tangan-tangan mungilnya mencengkeram pundakku, hingga posisi dudukku tertarik ke belakang. Mas Dika sampai kaget, nyaris menginjak rem, hingga kami tersentak ke depan…
            “Imah, ada apa lagi? Mimpi buruk ya…” aku berusaha menenangkan. Tapi tangan-tangannya makin kuat, mencengkeram. Sampai kurasakan, tengkukku perih. Hiiih! Jangan-jangan kulit mulus ini sudah baret-baret, kena cakarannya nih!
            Sebisa mungkin, kulepaskan cengkeraman Imah. Cewek berkulit sawo matang itu kini ganti memelukku dari belakang, begitu kuat. Sampai-sampai aku susah bernafas…Gila nih bocah, batinku. Stress…
            Entah apa yang mengganggu pikirannya. Kalau dibilang berlebihan, nggak juga. Karena kurasa, dia benar-benar ketakutan. Masalahnya, apa yang membuatnya takut?
Kami berada dalam mobil yang sangat nyaman, meski jalanan macet dan pemandangan kanan kiri hanya pohon rimbun dan jurang menganga…
            Untung, nggak lama Imah kembali tenang. Mata yang tadinya terbelalak melihat ke kanan kiri jalan, kini tak lagi garang. Wajah pucat itu, basah bermandi keringat. Heran. Padahal ac di mobil begitu dingin. Entah apa yang dia khawatirkan…Apa dia nggak pernah melihat dunia luar, sampai segitunya?
            “Ma, sebentar ya…” kata Mas Dika membuyarkan lamunanku. Ouch, sudah sampai mana ya? Kulihat jalanan lumayan lenggang, tapi pemandangan di sekitarku masih tidak jauh berbeda. Pohon, semak-semak, bukit, jurang…fiuuhhh…
            “Kita mau turun ya bu?” tanya Imah, waktu mobil menepi di dekat pepohonan rindang dan berhenti.
            “Kalau nggak ada perlu, nggak usah turun Mah. Bapak saja, ada perlu…” kataku, sambil mengeluarkan snack dari dalam tas.
            Mas Dika rupanya ngerasa ada yang tidak beres dengan mesin mobil. Maka dia memutuskan menepi sebentar, sekedar ngecek mesin dan melemaskan sendi-sendinya yang pegal.
            Aku yang setengah mengantuk, memilih diam saja dalam mobil. Kulihat Imah turun, sebelum akhirnya ku benar-benar tertidur pulas, akibat letih amat sangat.
            Benar-benar perjalanan melelahkan. Tiba di rumah, aku hanya memberitahu kamar dan perlengkapan pribadi buat Imah. Lantas, mandi dan tidur…Mas Dika juga kelihatannya capek banget. Dia hanya sempat mandi, lantas menyusul aku. Tidur.
**************
            Senin pagi yang sempurna. Mas Dika sudah berangkat pagi-pagi bener,  sementara aku masih menyiapkan beberapa berkas buat  dibawa ke kampus. Sebagai dosen, pantang bagiku membawakan materi kuliah dengan ala kadarnya. Minimal, bahan-bahannya sudah kubaca ulang dan kusiapkan semalam. Mm, beruntung juga…Imah akhirnya bekerja di rumah kami. Setidaknya, aku bisa tenang ninggalin rumah...
            “Berani ya, ninggalin rumah? Pembantu kamu kan baru sehari ditinggalin sendiri? “ tanya Nesya, dosen satu jurusan denganku, keheranan. Ya sih, memang baru sehari Imah kutinggalin sendiri. Tapi gimana lagi, masa aku musti ijin dan nggak mengajar hari ini?  Lagipula, keluarga kami juga nggak kaya-kaya amat…Dia mau merampok apa, toh nggak ada perhiasan berharga atau uang jutaan rupiah di kamar.
            Pertanyaan Nesya tadi nyaris kulupakan, andai saja Mas Dika nggak menelponku siang ini. Katanya, telpon di rumah kok nggak ada yang angkat.
            “Mungkin saja Imah lagi di kamar mandi atau ketiduran, mas… Dia masih kecapekan kali, belum biasa perjalanan jauh,” kataku, berusaha menenangkan. Padahal jujur sana, aku juga ikutan gelisah waktu melihat sikap Imah. Seharian ini, sepulangnya aku dari kampus kulihat dia nggak banyak bicara. Murung. Kalau kutanya atau kudekati, dia seperti menghindar… Kasihan. Mungkin dia masih homesick. Mikirin keluarganya di kampung.
            Murungnya Imah juga berimbas sama pekerjaan. Karena seharian ini, kulihat rumah masih berantakan. Alamakkk…Mungkin dia nggak tahu, apa saja yang musti dikerjain? Capek juga dong, menjelaskan detailnya apa saja..Bukannya secara dia bisa refleks merapikan ruangan yang kotor atau tanaman di halaman disiram?
            Hari pertama aku ngantor dan Imah ada di rumah, tidak semulus yang kuharapkan. Faktor umur, bisa jadi. Seperti yang dibilang Mas Dika. Imah kelihatan banget masih sangat muda. Dia belum terbiasa dibebani arti tanggungjawab. Gimana musti bersikap dengan majikan. Buktinya, nyantai saja tuh dia mengurung diri di kamar, sepulangnya aku dari kampus….
            Bolehlah, hari ini aku tidak menegur atau memanggil Imah. Lagian, aku sendiri sudah capek dengan tumpukan hasil test yang musti kukoreksi. Belum lagi, bantuin packing Mas Dika yang besok mau keluar kota.
            Pagi ini, sengaja aku menyiapkan sarapan sendiri. Toh sederhana saja, roti bakar, susu coklat hangat kesukaanku dan kopi pilihan Mas Dika. Kudengar suara pompa air menyala di belakang. Mungkin Imah sedang mencuci pakaian…sudahlah, toh sarapan nggak butuh bantuannya…
            Bing! Mas Dika menghentikan suapannya. Refleks aku pun melihat jam yang ada di dinding. Baru pukul enam pagi. Siapa yang menelpon? Jangan-jangan kabar dari mama yang sakit atau apa….Perasaanku langsung nggak enak. Mas Dika sudah duluan mengangkat telepon. Kurasa, sesuatu yang tidak beres benar-benar terjadi. Wajah cowok bermata elang dengan rambut cepak itu mendadak pucat. Suaranya juga tergagap-gagap. Hanya menjawab, “Iya, baik…benar….”
            Rasa penasaranku belum juga terjawab, ketika selesai menerima telpon, Mas Dika diam seribu bahasa. Sambil memberi tanda supaya aku segera menyelesaikan sarapanku, lantas mengajakku berangkat bersama, tanpa banyak kata.
            “Mas, kenapa sih tegang banget dari tadi? Kita mau kemana sekarang?” tanyaku bingung, waktu melihat mobil yang dibawa Mas Dika, arahnya bukan ke kampus atau ke kantornya.
            Semua pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku terjawab sudah, waktu kami tiba di rumah mama. Wanita yang melahirkanku itu tidak sendiri, tapi bersama seorang laki-laki separuh baya. Kata mama, beliau salah satu kerabat Mbok Jum yang mengantarkan Imah ke rumah, sekaligus minta maaf. Karena Imah terlalu polos, sampai-sampai waktu mobilku berhenti di tepi jalan buat check mesin dia malah ngobrol kelamaan dengan seorang perempuan yang katanya dia temui ada di dekat mobil kami parkir. Pas Imah sadar, aku dan Mas Dika sudah pergi meninggalkannya.
Untung,  cewek itu ditolong penduduk dusun yang lewat dan diantarkan balik ke rumahnya.
            Wusss! Keringatku mengucur deras. Kupastikan andai ada cermin, wajah ini pasti kelihatan sangat pucat. Sama seperti Mas Dika yang tengah duduk di sampingku. Andai Imah nggak ikut balik bersama kami, trus siapa cewek yang tinggal di rumah? (ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: