Sabtu, 09 April 2011

WANITA PENJAGA SEKOLAH



            Langit gelap, sejak siang tadi. Tetapi tidak ada tanda-tanda hujan akan datang…Beberapa hari belakangan ini, udara di sekitar kompleks tempat aku tinggal memang  super panas. Mungkin masuk musim pancaroba. Masih lumayan, kalau lagi mengajar…aku bisa ngadem di ruang tata usaha atau kelas. Bayangin saja siang bolong begini di rumah kontrakan yang belum ada ac…Waduh, seakan berada dalam ruang sauna.
Syukur, satu bulan yang lalu aku diterima bekerja di sebuah sekolah swasta di kota kelahiranku Semarang. Sebuah lembaga pendidikan cukup elite dan disegani di kota lumpia ini, sampai-sampai seluruh ruangannya sudah menggunakan AC. Yah, meskipun bangunannya tua banget... Arsitekturnya bergaya Belanda dengan banyak jendela dan pintu tinggi, bergerendel. Konon, sekolah itu pernah menjadi sekolah noni-noni Belanda jaman penjajahan.
            Fuihh! Lagi-lagi beberapa siswa tidak menyelesaikan tugasnya dengan sempurna. Keringat mulai membanjir di keningku. Masih saja, kepanasan. Padahal aku sudah memilih mengerjakan koreksian di teras, depan rumah. Satu, dua siswa, terpaksa kuberi nilai jelek. Mau bagaimana lagi? Mereka tidak berusaha maksimal menjawab semua pertanyaan yang kuajukan. Padahal kan…buku panduannya banyak. Mereka bisa usaha, mencarinya di perpustakaan. 
            “Kelihatannya bete banget dari tadi? Banyak koreksian ya?” tegur Lisa teman satu kontrakan, mengejutkan. Akibat terlalu serius, sampai-sampai aku tidak memperhatikan kehadirannya. Perempuan bertubuh langsing dengan wajah imut, oriental itu mengingatkanku pada penyanyi Mei Chan, personel Duo Maia. Matanya sipit dengan lesung pipit dan hidung bangir. Imut banget.  Dulu dia teman satu jurusan, tetapi beda angkatan. Kebetulan banget, kami akhirnya ketemuan lagi di kota ini, bahkan mengontrak rumah yang sama.
            “Hus! Ntar disamber jin…Ngelamun!”  tegur Lisa, lagi…
            “Dasar, ngagetin… Iya, nih…peer anak-anak. Banyak yang bikin senewen. Ngerjainnya nggak total sih, banyak soal yang mustinya gampang mereka selesaikan dengan jawaban ala kadarnya. “
            “Jangan ngomel…Ntar cepet tua lho…Tapi kamu betah kan kerja di sana? Gimana…ada guru cowok yang ganteng dan masih single nggak? Kenalin dong…”
            Dasar tuh, temanku ini memang suka iseng. Ngomonginnya nggak jauh dari cowok. Padahal aku terkenal tomboy di kampus dulu. Temanku cowok semua, tetapi tidak satu pun dari mereka yang akhirnya serius menjadikanku pacar.
            “Udahlah kelaut saja kalau ngomongin cowok. Nggak ada yang ganteng. Ada single, tapi bapak-bapak…Usianya sudah hampir kepala lima. Mau? Ntar besok ya, kutanyain nomer teleponnya atau biar dia yang hubungi kamu…” ledekku sambil membereskan berkas-berkas pekerjaan rumah.
            “Lho kok udahan? Terganggu ya?”
            “Nggak kok…Memang sudah selesai. Gimana kantor kamu…kenapa nggak cari cowok di perusahaan kamu, kan malah banyak relasi?”
            “Ha…ha..ha…Hen, mereka nggak ada yang masuk kriteria…Eh, tapi ada lho salah satu orang di kantorku yang anaknya sekolah di tempat kamu bekerja.”
            “Trus, apa hubungannya denganku? Kan aku nanya cowok buat kamu?”
            Lisa manyun. Lantas menggembungkan pipinya, seperti kebiasaan dia kalau lagi kumat isengnya…
            “Bukan itu maksudku…Nggak sengaja saja, kutahu belakangan anaknya masih duduk di kelas dua SMP, sekolah kamu. Gara-garanya Pak Sandhy, teman kantorku itu mendadak ditelpon pihak sekolah. Katanya anaknya kesurupan di sekolah…”
            Mataku terbelalak, heran. Kesurupan? Kok aku tidak tahu menahu soal kejadian itu? Meski aku termasuk guru yang cuek, tidak suka ngerumpi atau ngumpul lama-lama dengan staf pengajar  yang lain, bukan berarti aku tidak tahu kabar seheboh itu kan?
            “Kejadiannya barusan?” tanyaku, penasaran.
            “Nggak sih, udah lama. Mungkin kamu belum bekerja di sana…Cuma aku tahunya belakangan, karena selama ini aku tidak begitu dekat dengan Pak Sandhy.”
            “Ooo….”
            “Bundarrrr!” ledeknya, iseng. “Lagian diceritain serius, malah komennya hanya oooo, saja. Kamu nggak curiga tuh, gedung sekolah kamu ada apa-apanya? “
            “Ada murid-murid, guru, alat belajar mengajar…”
            “Hih, nggak lucu!”
            Aku tergelak, melihat Lisa kelihatan gemes banget.
            “Ntar ya…amit-amit saja sih, moga nggak kejadian sama kamu. Soalnya sejak dulu, aku melihat bangunan sekolah itu perasaanku nggak enak. Kesannya gelap, kusam, angker…Hiiii… Memang kamu lupa, tempat itu dulu sekolahnya noni-noni Belanda…”
            “Kalau noni Belanda sekolah di sana, memangnya kenapa? Mereka manusia juga kan? Bukan sekolah hewan atau tuyul kan?” tegasku, tanpa bisa menahan senyum. Kulihat Lisa kelihatan serius dengan ucapannya kali ini. Dia tidak menerima candaanku begitu saja…, buktinya habis ngobrol panjang lebar, Lisa memilih masuk dan baru keluar kamar esok paginya.
****
            Minggu ini, tugas berat sudah menantiku. Ujian sudah diambang pintu. Murid-murid butuh materi tambahan dan banyak latihan. Gimana kalau nilai mereka jeblok? Aku tidak mau dianggap guru yang tidak bertanggungjawab. Makanya kubela-belain beri pelajaran tambahan, bagi mereka yang nilainya pas-pasan.  Untung, pihak sekolah mendukung. Mereka memperbolehkan aku menggunakan ruang kelas lengkap dengan fasilitasnya sampai sore.
            “Bu…pulangnya jangan kemalaman ya? Kami takuttt…” pinta Nikita,  sore itu disambut anggukan teman-temannya yang lain, ketika aku mulai pelajaran.
            “Kamu nggak ada yang jemput ya?”
            “Nggak, Bu…. Soal jemputan, gampang. Kami juga sering pulang barengan, karena searah rumahnya. Masalahnya…” omongan Sesha, cewek yang duduk di samping Nikita terhenti…
            “Hantuuuuu…..” sambung Marko, bernada meledek…hingga mau tidak mau, membuatku senyum
            “Hari gini ngomongin hantu…Nggak ada! Sudahlah, kalian fokus belajar. Ingin cepat pulang kan?”
            Untung, murid-muridku tahu benar kewajibannya. Nyatanya beberapa soal yang kuterangkan, mereka bisa mencernanya dengan cepat. Aku pun bisa bernafas lega, melihat mereka bergegas pulang dengan wajah cerah.
            “Ibu mau pulang bareng kami?” ajak Nikita, ketika melewati bangku tempat aku duduk. Aku menggeleng…
            “Terima kasih, Nik.. Ibu masih mau memeriksa beberapa catatan dan ulangan tadi siang…”
            “Yakin, Bu? “ Aku mengangguk, yakin. Bocah-bocah itu memang sebenarnya baik. Tinggal bagaimana kita sebagai orangtua dan guru membimbing mereka.
            Huuh! Balik lagi ke berkas-berkas yang menggunung di depan mata. Lumayan, bila aku bisa menyelesaikannya sekarang. Belum terlalu larut kok…Ntar sampai rumah, aku kan tinggal mandi dan istirahat…
            Blam! Dug! Aduh, suara apa itu? Nyaris aku melompat dari tempat aku duduk, ketika suara pintu yang dibanting itu terdengar jelas. Arah suaranya sih dari ruang sebelah. Mungkinkah ada kelas tambahan lain? Bukankah, sejak siang tadi guru-guru mengatakan mereka akan pulang tepat waktu?
            Sretttt…Sreeettttt….Aku menajamkan pendengaranku. Sepertinya ada sesuatu yang diseret. Entah benda apa, tapi bunyinya makin lama makin jelas.  Arahnya pun pasti…menuju ke arah ruanganku! Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengusir perasaan gamang yang muncul tiba-tiba. Ah, mungkin penjaga sekolah lagi beres-beres.
            Sretttt…Sretttt… Suara itu lagi! Kali ini terdengar begitu jelas, seperti melewati pintu ruangan kelasku…Tapi dari jendela, tak ada bayangan siapa-siapa di sana. Tengkukku mendadak terasa dingin, seperti ada angin yang berhembus. Jantung pun berdetak makin kencang, seiring dengan aroma melati yang tercium. Ya ampun…Mungkin ini halusinasi, sampai ngelantur yang bukan-bukan…
            Derrr! Lampu mati! Ya Tuhan, kali ini jantungku benar-benar mau copot. Phobia gelap… Apalagi di tempat yang baru aku kenal. Aku berusaha meraih handphone di dalam tas, …saking gugupnya, lama banget kuraba-raba seisi tas, tidak kutemukan juga. Kurasakan dingin itu makin membekukan…Bulu kudukku meremang, bersamaan dengan suara benda yang diseret itu kembali terdengar…dan….
            Blarrr! Lampu menyala kembali… Seorang wanita yang kutebak usianya lebih dari separuh baya sudah ada tepat di depan aku duduk. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya lurus tergerai, melewati bahu, hingga mengingatkanku pada sosok hantu-hantu Jepang yang sering kulihat di DVD.
            “Maaaa….maaa….maafffff, ibu siapa?” suaraku terdengar bergetar. Kerongkonganku seakan kering. Tubuhku lemas, seperti terpaku di tempatnya.
            “Pulang, sudah malam… Saya mau membersihkan tempat ini…” jawabnya, setengah berbisik. Suaranya begitu lirih dan dingin. Oh, mungkin saja dia istri petugas jaga di sini. Memang sebagai karyawan baru, aku belum mengenal semua Office Boy dan petugas sekolah ini…
            Hatiku sedikit tenang. Kumasukkan semua berkasku ke dalam tas, tidak lupa kuambil handphoneku yang ternyata terjatuh di kolong meja. Tapi ketika aku berdiri, wanita itu sudah tidak ada! Entah kenapa bulu kudukku kembali meremang…Ah, bodoh amat. Aku tidak mau terlalu lama di sini, nanti lampu mati lagi. Buru-buru kuberanjak dari dudukku dan kabur…Pulang!
******
            Hari ketiga aku memberikan pelajaran tambahan, reaksi guru-guru yang lain positif. Meski mereka sempat menyesalkan, kenapa aku nekad pulang larut sendirian. Kupikir ya…tinggal di kota kelahiranku sendiri yang jelas-jelas kutahu benar jalan-jalannya, ngapain takut? Andai bekerja di Jakarta, lantas pulang malam sendiri…Nah bolehlah kutakut, karena jalan-jalannya tidak hafal. Tingkat kejahatan juga sangat tinggi…
            “Bu, nggak mau pulang bareng kami?” tawar Mika, salah seorang muridku sore ini. Kulihat beberapa siswa juga masih menunggu di depan ruang kelas. Baiknya mereka…
            “Terima kasih ya…Ibu masih mau mengecek lagi, hasil ulangan tadi pagi. Masih sore kok, kalian jalan saja dulu….”
            Sore ini, niatku memang tidak berlama-lama di sekolah. Hanya memastikan hasil ulangan pagi tadi saja, lantas pulang. Tapi ya begitulah, kalau sudah keasyikan mengoreksi, aku jadi lupa waktu…
            Sreeettttt….Sreetttttt….. Suara itu lagi? Aku menajamkan telinga. Nggak salah. Aku benar-benar mendengar ada sesuatu yang diseret. Buru-buru kumasukkan semua barang-barangku ke dalam tas, lantas kutenteng keluar…Penasaran. Aku tidak boleh mengikuti kata hatiku yang takut…Andai kulihat betul, ternyata itu pekerjaan penjaga sekolah di sini kan pasti hatiku lebih tenang…
            Ya Tuhan! Lututku lemas. Seluruh persendian seakan mau copot. Bergetar, tubuhku seperti limbung dan mau jatuh, tapi tetap kubertahan…Meski dari jarak sekian ratus meter, tapi mataku belum rabun… dari lorong kelas, kulihat sosok wanita berambut panjang tergerai tengah duduk di lantai… Dia berjalan dengan menyeret tubuhnya, alias ngesot. Tak perlu menunggu komando, langsung aku mengambil langkah seribu…sampai-sampai, aku tidak pamit satpam di depan gedung sekolah…
            Beberapa kejadian janggal yang kualami itu, benar-benar membuat nyaliku ciut. Mungkinkah aku kebanyakan nonton film horor atau membaca cerita misteri di tabloid-tabloid? Gara-gara peristiwa itu, kuterima ajakan murid-murid untuk pulang bareng.
            “Nah, gitu dong Bu…pulang sama kita-kita….” komen Nikita girang, ketika sore itu aku pulang bersamanya.
            “Tapi tunggu sebentar di warung bakso depan sekolah ya Bu…Jemputan Niki agak telat…”
            “Boleh-boleh…Sekalian kita makan bakso dulu yuk…Udah lama ibu nggak nyantai begini. Mau kan?”
            Ngobrol dengan Niki, seru. Seperti nggak ada habis-habisnya bahan obrolan. Awalnya kuduga dia murid yang agak belagu, karena keluarganya memang berada dan di atas rata-rata. Nyatanya, dia sangat sederhana.
            “Tahu nggak, Bu…Niki salut sama keberanian Ibu. Selama ini, belum ada guru yang mau pulang larut, sendiri pula…” puji cewek itu, sambil menyuap potongan bakso.
            “Ah, biasa saja. Memangnya kenapa?” tanyaku curiga, karena tiba-tiba teringat beberapa kejadian yang membuatku nyaris mati ketakutan.
            “Sekolah kita kan populer, Bu…Dulu terkenal ada penampakan wanita yang suka berjalan ngesot. Kabarnya dia dulu meninggal, karena terjatuh dari tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua sekolah kita…Wanita itu petugas kebersihan. Gosip lain bilang, dia pekerja jaman Belanda dulu yang menderita sakit, tapi memaksakan diri bekerja hingga akhirnya ditemukan tewas mengenaskan di ruang pantry yang ada di ujung lorong, kelas…Entah, cerita mana yang bener, tapi kami semua tidak ada yang pernah berani mencoba melihatnya…”    
            Glek…Bakso di tenggorokanku, seperti nyangkut. Jantungku nyaris copot. Berarti…berarti aku memang melihat….Tangan dan badanku tiba-tiba terasa dingin. Bayangan wanita pucat pasi itu kembali tergambar jelas di benakku.
            “Jangan bercanda, Nik…Kamu nakut-nakutin ibu ya?”
            “Nggak lah…Bu…Niki juga denger dari senior-senior, kok. Bahkan pernah kejadian, seorang kakak kelas kesurupan, termasuk seorang petugas kantin yang baru bekerja satu minggu.   Gosipnya lagi…” Niki menarik nafas, gayanya sudah seperti penyiar infotainmen….
            “Gosipnya kenapa?” potongku, penasaran.
            “Ujung lorong itu memang tempat dia tinggal! Belakangan diketahui siswi yang kerasukan, baru saja membuang bungkus pembalut ke tempat sampah di ujung lorong itu. Dia juga tidak suka, masih ada suara berisik, apalagi jam dia istirahat….Makanya kami takut, kalau ibu kami tinggal sendiri sore-sore, kan ntar si dia terganggu…Saatnya kami pulang, kok ibu masih kerja di situ…”
            Duh!  Kali ini aku tidak mau dengar ceritanya lagi. Badanku lemas. Kuputuskan, pelajaran tambahan besok tidak terlalu lama, hingga kami semua bisa pulang lebih cepat. Ampunn...(Ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: