Sabtu, 09 April 2011

HANTU dalam BIOSKOP



            Nonton film! Itu jawabannya kalau aku ditanya, hobi keluarga kecilku. Hiburan paling menyenangkan, lumayan murah meriah. Bersama Mas Faiz, suamiku…kami bisa ngobrol banyak hal dari film yang ditonton. Uniknya bukan hanya film-film drama  saja yang dipilih, sesekali kami juga suka menonton film horor lokal dan import.
Seru juga, membandingkan karya anak negeri dengan luar. Kami suka berdebat, soal kepiawaian penulis ceritanya membuat ending dari satu tayangan. Karakter yang diperankan bintang utamanya yang kadang over atau sebaliknya, sangat sempurna dan berbagai trik pendukung, seperti: music director, lightingnya… Banyak. Intinya, tidak ada istilah bosan bagi kami mengupas setiap film yang ditonton.  
            “Bener kan tebakanku. Udah kelihatan kok, siapa dalang dibalik itu semua… Gerak geriknya saja kebaca. Masa kamu nggak nyadar?” jelas Mas Faiz, sambil menggenggam tanganku saat keluar dari gedung bioskop.
“Heran ya…Padahal dari awal cerita, tindak tanduknya sama sekali tidak mencurigakan. Mana mungkin sih, sosok perempuan yang halus tutur katanya itu, ternyata pembunuh serial berdarah dingin? Bagus banget ya, aktingnya!”
“Ah, kamu… Bagus gimana? Mudah ketebak kok… Kamu saja selalu menilai seseorang dengan perasaan, tanpa logika.”
“Eit, kok gitu? Mentang-mentang aku perempuan, dibilang suka nggak pakai akal sehat?” protesku dengan nada tinggi. Mas Faiz mengacak-acak rambutku, lantas merengkuh bahuku penuh cinta. “Nggak lah…gitu saja marah…”
“Lha yang bener mas… “
“Iya…iya… Sudahlah, namanya juga kita diskusi soal tayangan tadi. Jangan dibawa serius ah!” Mas Faiz mengingatkan. Bener juga sih. Aku gampang emosi, kalau sudah diajak berdiskusi. Ntar juga nyeselnya belakangan. Biasanya aku nyadar sendiri…tapi tanpa minta maaf, mas Faiz duluan yang selalu mencairkan suasana.
Laki-laki yang melamarku dua tahun yang lalu itu, pengertiannya memang luar biasa. Meski beberapa kali kami gagal memperoleh keturunan, karena rahimku lemah, dia tidak pernah menunjukkan kekesalan atau kekecewaannya.
“Sabar, sayang…Belum waktunya saja. Nanti pasti kita diberi yang terbaik. Nggak perlu buru-buru panik. Ikhlas dan pasrah. Lagipula, kita masih muda kok. Sekarang saja aku masih ngerasa seperti lagi pacaran dengan kamu…” bisiknya sore itu, saat aku baru saja keluar dari rumah sakit karena pendarahan.
Kesabaran pria berambut ikal dengan alis tebal dan tatapannya yang tajam itu, membuat mama dan papa merelakan putri semata wayangnya menikah, lantas diboyong keluar kota. Sungguh, aku pun tidak pernah merasakan kesepian, meski awalnya terbiasa tinggal bersama orang tua. Ada saja kegiatan yang kami lakuin berdua. Minggu ini, berburu barang antik ke pasar, minggu depan nongkrong di kafe favorit kami, minggu berikutnya nonton atau nyobain tempat makan baru.
“Aku janji tidak akan pernah membiarkan kamu bersedih atau kesepian…” bisik Mas Faiz tiap malam, sebelum kami tertidur lelap. Janjinya memang dia buktikan. Tak pernah kami berdebat panjang, sampai ribut atau ngambek-ngambekkan. Kalau aku sudah lepas kontrol, dia biasanya bisa mengademkan suasana.
“Husss! Kok ngelamun! Mikirin logika tadi ya? Hahahaha…” mas Faiz tergelak, melihatku tergagap-gagap. Ya ampun, kok malah ngelamunin masa lalu. Jangan-jangan dia tahu, aku mikirin kebaikannya huuuh…Wajahku menghangat. Untung dia tidak sadar, wajahku sudah merah dadu karena malu.
*****
Minggu ini memang minggu yang melelahkan. Banyak pekerjaan di kantor, sampai-sampai membuat mas Faiz pulang larut. Kadang dia juga membawa setumpuk berkas. Tengah malam, ketika kuterbangun…kulihat dia masih berkutat dengan laptopnya. Kasihan…Sementara aku sendiri yang bertugas mengurus rumah, tidak banyak bisa membantunya. Paling menyediakan secangkir kopi jahe kegemarannya.
“Banyak banget kerjaannya ya mas…Ntar sakit lho, lembur terus…” tegurku malam itu, ketika dia baru selesai mandi. Kulihat wajahnya pucat, tak sesegar biasanya.
“Tenang saja, malam ini terakhir kok. Proposal proyek perusahaan sudah disetujui dan beres. Besok kita bisa jalan bareng lagi…”
“Beneran? Nggak kecapekan? Malah ingetnya jalan…”
“Nggak…nggak capek. Bener! Justru kalau diam saja di rumah, malah pegel. Lebih baik kita nonton yuk besok…Pulang kerja, kamu sudah siap ya? Kulihat tadi ada beberapa film baru, kamu pilih saja...”
Asyiikk! Memang sudah dua minggu ini, kami tidak nonton film. Sudah lama juga, kita tidak debat soal film seperti biasa. 
****
Horor?! Aku senyum-senyum sendiri. Tanpa menunggu mas Faiz mengulang pertanyaannya, kujawab tantangan laki-laki itu.
“Oke! Siapa takut mas…Kelihatannya juga nggak serem-serem amat…” kataku, sambil mengamati poster film yang akan kami tonton. Kebetulan, malam Jum’at pula. Ada-ada saja, suamiku itu. Dia pikir aku anak kecil yang gampang ditakut-takuti?
“Bener ya…Jangan teriak, lantas bersembunyi di belakang bahuku?”
“Yaaaa… nggak lah! Jangan-jangan, mas takut sendiri ya? Ntar pulangnya kebawa mimpi, tidur sambil teriak-teriak?” ledekku ganti. Dia tertawa, melihat ekspresiku. Diacaknya rambutku seperti biasa, penuh sayang sambil mengajakku mengantri tiket masuk di bioskop favorit kami, di daerah Jakarta Pusat.
Benar juga…Film horor Thailand terkenal mengerikan. Efeknya bagus banget, sampai kita yang nonton merasakan ketegangan yang tiada akhir.  Jujur, beberapa kali kuharus menggigit bibir atau menahan nafas, karena tegang. Pengen banget memeluk mas Faiz di sampingku, lantas bersandar di bahunya yang bidang. Tapi gengsi ah…dia tidak boleh tahu, aku ketakutan…
“Siska, aku ke kamar kecil dulu ya…Kamu tunggu di sini saja. Nggak apa-apa kan?” bisik mas Faiz tiba-tiba. Glek. Kulihat bangku di samping kanan dan kiriku kosong…Hanya kami berdua di deretan ini…
“Sis?”
“Oh iya…iya…sana deh mas. Nggak apa-apa…” bisikku, takut mengganggu penonton yang lain.
“Bener, nggak takut?”
Kali ini kucubit pinggang cowok itu, hingga membuatnya nyaris berteriak kaget. Aku melotot gemas, dia tersenyum nakal. Dasar…
Satu menit, dua menit...Mas Faiz belum juga kembali. Perasaan baru ditinggal keluar sebentar saja, kok aku sudah gelisah begini ya. Tengkukku terasa dingin. Tanpa sadar, konsentrasiku buyar. Adegan demi adegan di depan mata, menguras energi. Rasanya keberanianku mulai terusik…Apalagi kurasa aku tidak lagi duduk sendiri di deretan bangku ini!
Yess! Kulihat lima kursi dari tempat aku duduk, seseorang tengah duduk di sana. Laki-laki atau perempuan? Aku berusaha mempertajam penglihatanku, di tengah kegelapan …Oh, laki-laki…dan…Astaga! Dia menoleh, sadar kalau aku memperhatikannya!
Deg! Jantungku rasanya mau copot. Wajahku memerah, karena malu. Untung, kondisi dalam gedung bioskop gelap. Ya…aku malu. Pasti laki-laki itu menyangka, aku cewek gampangan, duduk sendirian, lantas memperhatikan cowok lain lagi.
Kutarik nafas dalam-dalam. Ah, nggak. Moga dia tidak beranggapan negatif. Lagipula wajar aku memperhatikan dia, karena sejak tadi dia tidak ada di sana. Kenapa film sudah nyaris setengah jalan, dia baru datang? Kulirik lagi laki-laki itu sekilas…Yah! Dia sudah tidak ada! Kenapa begitu cepat dia pindah…Apakah dia terganggu denganku tadi?
Jantungku berdebar tidak keruan. Heran, ngapain aku memikirkan penonton lain. Lagipula, film yang tengah kutonton semakin menegangkan. Sayang, kulewatkan begitu saja…
“Mas Faiz…lama bener sih, ke toiletnya?!” protesku, begitu mas Faiz muncul dan kembali duduk di sampingku. Dasar. Bukannya minta maaf, suamiku itu hanya senyum dan menempelkan jari telunjuknya di mulut. Artinya aku musti diam, jangan berisik…
Benar juga, ntar penonton lain terganggu. Lagipula nggak penting ngebahas itu. Akting pemain film Thailand yang kami tonton memang bagus banget. Sayang, detailnya dilewatkan. Kugenggam tangan mas Faiz…Dingin banget. Ffuihh, ac di ruangan ini memang makin malam, semakin membekukan. Lebih baik kusembunyikan tanganku di balik pasmina yang kukenakan. Lumayan, hangat.
Bip…bip! Handphoneku bergetar, tanda ada sms masuk. Kuraba-raba isi tasku, sampai kutemukan Hp dan sekilas kubaca. Takut ada kabar penting dari rumah…Isinya …
Siska, maaf kamu lamaan menunggu di dalam ya…Tadi waktu ke toilet, Pak Pandu atasanku menanyakan beberapa point penting dalam proposalku. Kuharus ambil copy proposal di mobil sekarang. Nggak apa-apa ya…sabar sebentar.
Duh! Jantungku mau copot. Nafasku terasa begitu berat. Kuingat banget beberapa menit, bahkan detik yang lalu kulihat mas Faiz sudah duduk kembali di sampingku. Meski dia tidak bicara sepatah kata pun, meski genggaman tangannya begitu dingin…Lantas, laki-laki di sampingku ini siapa? Perlahan-lahan, kukumpulkan keberanianku untuk menoleh ke samping… Tak ada siapa-siapa! Jadi selama beberapa menit tadi, aku duduk dengan siapa? (Ft: berbagai sumber)

2 komentar:

Sundari mengatakan...

dem!!! mengerikaaan!!!

awalnya aku pikir, hantunya bakal si sosok cowok yang duduk lima baris di sampingnya...

eleee!!
lagi lagi mbak stey mampu bikin aku kaget! haha...

Unknown mengatakan...

tx my dear..komen2mu selalu kutunggu. kejadian ini beneran lho, tp hantunya ya cowok yg lima baris di samping aku itu...