Kamis, 30 Desember 2010

TETANGGAKU PEMUJA KUNTILANAK


 lingsir wengi sliramu tumeking sirno
ojo tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
            Lagi-lagi tembang itu kudengar. Ggrrrh…siapa yang suka iseng, malam-malam begini menyanyikan lagu berbahasa Jawa yang tidak kumengerti artinya itu. Suara pelantunnya memang merdu, mirip sinden-sinden yang sering kulihat nembang di stasiun televisi. Lirih. Sepertinya akrab banget telingaku dengan bait demi baitnya…Familiar. Entah di mana ya, kukenal lagu itu? Tapi entah mengapa, sungguh…aku tidak menyukai lagunya.
            Setiap kali wanita yang melantunkannya mulai “beraksi”, perasaan tidak enak langsung menyergapku. Tak jarang, lantunannya pun disusul dengan suara tawa lirih wanita yang terdengar lamat-lamat. Sepertinya sangat jauh, suara tawa itu berasal. Biasa tinggal sendiri di rumah kontrakan, bukan alasan untuk takut. Tapi feelingku mengatakan lain…Dingin dan beku, seperti mendera tiba-tiba. Detak jam di dinding, terdengar jelas. Sangat menyiksa. Tidak jarang, bulu romaku berdiri. Orang tua bilang, tanda-tanda makhluk halus lewat. Arrgh! Namanya juga mitos, percaya nggak percaya…Buru-buru, kubuang rasa takutku. Apa kata Dewo kakakku, jika dia tahu Dewi si tomboy yang biasa traveling ke berbagai daerah seorang diri ini, mendadak nyalinya ciut.
            Gerimis malam ini, membuat badanku setengah menggigil. Kemarin seharian dihajar tugas-tugas dari kampus dan latihan basket, membuat tubuh kurus ini makin tirus rasanya. Mmm…enaknya, dingin-dingin begini minum segelas coklat hangat. Setengah malas, kuberanjak ke dapur untuk menyeduh minuman favorit keluargaku itu. Sempurna. Kulihat, masih ada buah apel pemberian Dewo. Kakak satu-satunya itu, memang perhatian banget, sampai-sampai rajin nengokin hanya untuk membawakan buah dan makanan kecil.
            jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
wojo lelayu sebet
            Deg! Jantungku nyaris berhenti berdetak. Lagi-lagi tembang itu lamat-lamat terdengar. Tanganku yang tengah memegang cangkir, bergetar. Angin seakan berhenti bertiup. Sunyi seketika…gerimis pun reda. Sepertinya, suara detak jantungku dan jam dinding saja yang terdengar. Buru-buru, kuraih cangkirku yang masih penuh dan sebuah apel, lantas kuberingsut ke kamar. Lagi-lagi pendengaranku menangkap suara janggal itu…Suara lirih seorang perempuan yang tertawa, tapi jauhhhh sekali. Lantas disusul langkah orang yang berjalan terburu-buru, masuk ke dalam rumah sebelah. Pintu mereka terbanting tiba-tiba. Ya, maklum paviliun yang kusewa hanya berbatas dinding semi permanen. Kegaduhan  sekecil apa pun bisa kudengar dari kamarku.
            Suara-suara aneh dan lagu yang menyayat itu berusaha kulupakan dari memoriku. Percuma kuladeni ketakutan dan prasangka tidak jelas ini. Lebih baik, aku fokus dengan tugas-tugas kuliahku. Belum lagi, beberapa program kerja organisasi mahasiswa yang musti kuselesaikan.
***
            Siang ini, kuliahku kosong. Lumayan, istirahat di rumah. Tidak ada kegiatan berarti yang kulakukan sejak pagi tadi, selain menulis beberapa makalah dan browsing internet. Meski bukan politikus, tapi aku butuh juga update berita-berita terkini. 
            “Bener Bu…Pekerjaan wanita itu pasti nggak bener! Malam-malam kok suka ngeluyur. Dini hari saya juga pernah memergoki dia…”
            Suara itu membuyarkan konsentrasiku yang tengah mengetik dengan laptop, di teras depan. Tetangga sebelah, pasti lagi ngerumpi. Aneh. Mereka seperti orang yang tidak memiliki pekerjaan. Sukanya ngomongin orang lain. Meski kadang kupikir-pikir, insting mereka tajam juga. Dua bulan lalu misalnya, ada rumor suami penjual toko kelontong di ujung jalan, rumah kami memiliki simpanan. Ternyata, tak lama kemudian pasangan suami istri itu bercerai. Kabar terakhir yang kudengar, laki-laki tidak bertanggungjawab itu sudah memiliki wanita lain, jauh sebelum menikahi istrinya. Sungguh, keterlaluan. Sekarang, mereka menggosipkan apa lagi? Rasa ingin tahuku tiba-tiba muncul…Lucu juga, dengar mereka ngerumpi.
            “Bener Bu…Kerja nggak jelas, tapi tiap minggu ngeborong. Kemarin saya lihat, dia mengganti lemari esnya yang dua pintu itu. Masa penghuni rumah petak seperti kita ini, bisa gonta ganti perabot?” Suara ibu yang kukenal menerima jahitan, menimpali.
            “Iya..Saya lihat juga! Suaminya sudah lama meninggal dan tidak dikaruniai anak, katanya. Tapi kok dia juga sering membawa anak kecil main ke rumahnya.”
            “Keponakannya kali….” Ibu yang berbadan tambun, menjawab.
            “Bukan ah…Soalnya ganti melulu anak-anaknya. Mereka juga kelihatannya takut-takut tuh, tidak bahagia main ke rumahnya.”
            “Kok aneh?”
            “Memang agak-agak…kali” kata Ibu yang kerempeng, sambil memberi tanda silang di dahinya.
            “Hus! Gila, maksudnya…”
            “Ya, iyalah… Mana ada orang hari gini, sore-sore suka berdandan, mengenakan baju warna menyala, lantas nyanyi sendirian…”
            “Betul…Betul…Betul…” sambar Ibu yang mungil. Kelihatannya dia penggemar kartun Upin Ipin…”Dia suka nyanyi, tapi bahasanya saya nggak ngerti. Trus dandannya itu lho..buat siapa dia dandan semenor itu…” sambungnya.
            “Jangan-jangan, dia memasukkan laki-laki…”
            “Tapi lewat mana…Kalau ada orang, kita pasti lihat kan?”  
            “Pintu rahasia kali…Atau dia membuat pintu darurat di belakang rumahnya…Hari gini, selingkuh itu banyak cara…” 
            Bing! Konsentrasiku mendengarkan rumpian itu buyar. Ada pesan masuk dihandphone. Uugh! Lagi-lagi Doni, kakak kelas yang suka main ke rumah itu ngajakin keluar sore ini. Katanya ada tempat makan baru, murah meriah tapi enak. Boleh juga…Selain dopping gizi, menghabiskan waktu bersama laki-laki bermata elang itu menyenangkan. Hari-hariku tidak pernah kesepian. Bahkan saat-saat tersulit pun, dia selalu ada.
            Kurapikan buku-buku dan laptop, lantas masuk ke dalam. Rumpian dan tawa ibu-ibu itu sesekali masih kudengar. Namun tidak lagi kuperdulikan. Ah, namanya juga rumpi.
****
            Sore ini, sepulang Doni dari mengantarkan aku jalan, kulihat ruang tamuku gelap gulita. Astaga. Pasti lampu putus. Kemarin sudah kulihat, bolamnya kehitaman. Namun kupikir masih bisa bertahan beberapa hari, sebelum sempat ke toko buat membeli gantinya. Sekarang, jika sudah benar-benar mati, sangat merepotkan. Aku harus mencari beberapa buku diktat kuliah yang kuletakkan di meja ruang tamu dengan lampu handphone. Sambil mengumpulkan beberapa buku, sekilas kulihat tetangga sebelah yang dirumpiin ibu-ibu tadi siang.
            Lewat jendela ruang tamu, bisa kulihat wanita cantik yang kutaksir usianya belum lewat lima puluh tahun itu. Tubuh semampai, rambut digelung sederhana. Namun dandanan dan bajunya memang menyolok sekali… Selain perhiasan melingkar di lengan dan lehernya, dia juga mengenakan busana berwarna menyala. Bener-bener sakit tuh wanita…Malam-malam di rumah, dandanannya seheboh itu. Tak ada tamu atau orang lain, pula…
            Beberapa kali dia berjalan mondar mandir di teras, sambil melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Lantas menghela nafas, seperti tengah menantikan seseorang. Tak lama kemudian, dia masuk ke dalam rumah… Dan… ampun, dia menyanyikan lagu yang tidak kusukai itu!
            “Aneh banget sih, ibu-ibu itu. Kurang kerjaan…Udah menor, nyanyi aja tiap malam…” Kuadukan juga keganjilan yang kulihat itu pada Dewo, kakakku ditelpon.
            “Hus! Jangan ngomentarin orang seperti itu…Nggak baik…”
            “Abis, lagunya itu bikin perasaanku nggak enak…tiap hari sama …”
            “Jangan bilang, kamu takut???”
            Mataku terbelalak, waduh…kakakku tahu. Gengsiku pasti hancur berantakan…
            “Nggak lah! Maksudku, lagu yang lagi ngetrend kek, masa lagu yang bahasanya aku nggak ngerti..”
            “Udahlah, Wi! Nikmati saja…Kamu bisa pakai earphone kan buat dengerin lagu lain? Lagipula apa hubungannya dia dandan menor, nyanyi aneh dan kamu? Nggak ada kan?”
            Benar juga, kata Dewo. Kami semua di kompleks ini beragam, latar belakang sosialnya. Nggak bisa saling memaksakan kehendak. Sejauh dia tidak mengusik rumah dan kehidupanku, semustinya aku tidak memusingkan kelakuannya.
****
            Sore ini, selesai juga aku mengerjakan tugas kelompok di rumah Desta, teman satu jurusan. Lumayan. Kami bisa selesai lebih cepat dari yang dibayangkan. Sambil menunggu Doni menjemput, sahabatku itu mengeluarkan beberapa film koleksinya.
            “Nonton CD aja, daripada bengong….Lagian capek banget, abis mikir tadi…” ajaknya.
            “Asyiikk…lumayan juga koleksimu ya. Banyak!” Kuambil beberapa CD yang kelihatannya seru. Cewek ini ternyata penyuka film action dan horor. Siapa sangka, beberapa judul menyeramkan yang pernah kulihat di iklan bioskop, dia punya filmnya.
            “Nggak salah nih, kamu punya Tusuk Jelangkung, Hantu Lawang Sewu dan Hantu Kereta Manggarai?”
            “Hehehehe…aku kan cinta juga film Indonesia. Coba kamu tonton Kuntilanak yang main Julie Estelle…Bagus tuh! Sampai jilid 3…”
            Mataku terbelalak keheranan melihat Desta yang bangga banget menunjukkan koleksi film seremnya. Memang sih, selama ini aku hanya melihat iklan film-film horor Indonesia di koran saja. Nggak ada niat menonton…Takut dibayang-bayangi beneran…
            “Udahlah…Bengong!” tegur Desta, sambil memasukkan film ke dalam DVD playernya. Belum sempat kubertanya judulnya, film yang suasana pembukanya sudah menggiriskan itu mulai…
lingsir wengi sliramu tumeking sirno
ojo tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
            Astaga! Tembang itu lagi?! Badanku tiba-tiba bergetar. Mataku nanar, melihat adegan demi adegan dalam film yang diputar Desta. Keringat pun membanjir di kening. Tubuh rasanya lemas, tak bertenaga. Desta yang menyadari perubahan sikapku itu, panik…
            “Kamu kenapa Wi?! Jangan bercanda ah…Nggak lucu…”
            Aku menggeleng. Bulu romaku mendadak berdiri…Ingatanku ke rumah…lebih tepatnya, tetangga di sebelah rumah yang sering menyanyikan, tembang yang sama. Lagu itu…kenapa sama?
            “Ta, lagu itu…”
            “Oh…tembang Jawa itu? Ya, itu kan dipercaya sebagai tembang buat memanggil kuntilanak. Setiap lagu itu diperdengarkan, kuntilanak datang. Tanda-tandanya bila tawanya kencang dan keras, dia masih jauh. Kalau tawanya lirih dan lamat-lamat, dia malah sudah ada di sekitar kita…Biasa, buat mereka yang mencari pesugihan atau kekayaan dengan cara pintas...Tumbalnya bisa anak-anak kecil atau orang dewasa…”
            Blar! Detik berikutnya, suara Desta tidak kudengar lagi. Tubuhku ambruk ke lantai, pingsan. (steph)

Tidak ada komentar: