Jumat, 03 Desember 2010

Gerimis di Hati Stephie


Maaf. Judul ini sebenarnya pernah digunakan senior saya, Budi Maryono atau Nora Umres dalam salah satu novelnya. Entah, apa yang harus saya katakan, ketika hari ini saya melihat beberapa foto Bapak Darmanto Jatman, budayawan dan penulis senior angkatan Alm. WS Rendra dan Alm. Umar Khayam. Seluruh rambutnya memutih, terduduk di kursi roda, …bahkan pedihnya lagi…beliau dikabarkan sulit mengenali orang-orang yang datang. Bahasa beliau pun kacau. Ingin rasanya, detik ini saya bisa terbang ke Semarang. Ingin rasanya, saya menggenggam erat tangannya dan berkata…”Terima kasih, pak… Saya rindu wejangan-wejangan Bapak.”
Beliau bukan hanya pernah menjadi dosen, ketua jurusan, pimpinan redaksi Koran Kampus Manunggal yang ikut menempa saya, namun juga bapak yang suka menyentil anak-anaknya dengan ledekan-ledekannya yang mencerdaskan kami. Saya ingat, setiap kali koran kampus kami menulis terlalu tajam, hingga pihak rektorat menegur dan memanggil beliau…Pak Dar hanya tertawa. Beliau menegur redpel kami dengan bercanda. Beliau seakan memahami, ya..beginilah mahasiswa, kadang dianggap terlalu vokal.
Meski  karya beliau tak terhitung, tapi Pak Dar masih mau menyempatkan diri “ngumpul” bareng kami setiap raker atau rapat redaksi. Tongkrongannya pun sangat sederhana. Sepatu sandal, tas slempang dari kulit, menjadi salah satu ciri khas Pak Dar. Saya ingat betul, ketika suatu hari harus mewawancarai beliau untuk sebuah penerbitan di Semarang. Grogi, speechless…!!  Padahal hampir setiap hari saya bertemu beliau di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), kantor redaksi.
Beliau juga sangat disegani di jurusan kami, Ilmu Komunikasi Fisip Undip… Banyak mahasiswa senior saya mengatakan, beliau termasuk pembimbing skripsi yang “sulit”. Ah…pendapat masing-masing orang berbeda, boleh saja kan. Yang jelas…saya tidak pernah melihat atau mendengar beliau menghardik mahasiswa atau marah-marah. Selalu semua hal beliau tanggapi dengan senyum…*** ya, meskipun kadang sambil mengomel….
Saya sangat menyadari, waktu tidak bisa dihentikan. Saat ini pun, saya merasa semakin sepuh…emosi dalam tulisan saya, gerak gerik, bahkan pikiran pun tidak setangkas beberapa tahun yang lalu.  Bila Pak Dar, semakin sulit berkomunikasi, saya tidak bisa berkata apa-apa. Bibir saya kelu…Hati saya sedih…Hari ini, mungkin saya masih berdiri sehat, tapi  saya juga tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diri saya…satu, dua, tiga atau sekian tahun ke depan. Saya hanya bisa berdoa,  all the best buat Pak Darmanto yang pernah saya kenal (dan tidak akan saya lupakan)…Saya bersyukur bisa belajar banyak dari beliau. Terima kasih, Pak Dar…

Tidak ada komentar: