Minggu, 08 Mei 2011

LELAKI TUA PENUNGGU PARKIRAN MOBIL


           
          Males! Kepala ini langsung berdenyut,  ketika membaca SMS yang masuk. Huh. Lagi-lagi musti meeting ke kawasan Kuningan. Jujur saja, aku malas musti rapat di kantor pusat. Macetnya, minta ampun. Apalagi jam-jam orang lagi keluar makan siang. Gila kali ya, bisa-bisa mobil nggak gerak sama sekali. Traumaku belum hilang. Bayangan waktu hujan badai dua minggu yang lalu, mobilku tengah terjebak macet di daerah padat gedung pencakar langit itu. Badan sudah menggigil kedinginan, lapar, tak ada snack atau pengganjal perut, tapi semua kendaraan merayap. Belum lagi beberapa pohon dan papan billboard iklan yang segede bagong itu banyak yang roboh. Hingga bikin hati makin giris. Bayangin coba, kalau tiba-tiba di tengah macet, mobilku yang ketimpa?
            “Bete amat tampang kamu, Nu. Lagi mikir kenaikan gaji atau cewek nih?” Bimo! Teman satu departemen denganku itu, sudah main selonong saja. Duduk di depan mejaku, sambil membawa secangkir kopi yang masih mengepul.
            “Dasar. Pikiran kamu kalau nggak cewek, duit!”
            “Lha, bener kan? Sebagai laki-laki normal, apalagi yang dipikirin? Masa aku musti mikirin cowok juga? Atau…kamu sudah berganti selera?”
            “Gila ya!” tangkisku, sewot. Tuh anak, ngomongnya suka kebablasan.
            “Trus…trus…bagi-bagi dong, gosipnya. Ada apa muka ditekuk gitu?”
            “Minggu ini, aku musti  ke kantor pusat. Rapat…sekalian ngomongin perluasan proyek di Surabaya.”
            “Bagus dong… Males ketemu boss? Bukannya itu malah kesempatan buat kamu, promosiin diri? Siapa tahu naik jabatan…”
            “Nggak gitu! Jalannya itu lho, macetnya minta ampun. Kram otak aku! Belum apa-apa, sudah ilfeel duluan.”
            Bimo tersedak. Lantas tertawa terbahak-bahak, sambil memandang wajahku yang masih mendung.
            “Ampun! Kirain apa…Sepele banget. Ya, kamu isi bensil penuh, bawa CD lagu, snack, minum, BB full charge…aman deh. Macet? Nikmati saja, kemping di dalam mobil…”
            Dasar, Bimo! Laki-laki yang sudah mendahului aku, menikah lima bulan lalu ini selalu menanggapi apa pun dengan konyol. Tapi pikir-pikir, bener juga. Ngapain musti dibawa stress.
****
            Bingo! Thanks God, aku berhasil juga memperoleh tempat parkir setelah berputar-putar dari basement tadi. Nggak apa-apa-lah, sedikit mojok. Lebih tepatnya di ujung, dekat pintu darurat. Minimal, nggak terlambat meeting. Kulihat jam di pergelangan tanganku, masih sisa waktu dua puluh menit. Lumayan.
            “Buru-buru ya nak…Jangan ada yang ketinggalan. Kunci juga yang bener…” teguran itu, benar-benar mengejutkanku yang tengah ribet mengeluarkan tas laptop dari dalam mobil. Seorang bapak-bapak separuh baya, rambut cepaknya sebagian sudah memutih, sudah berada di samping mobil yang kuparkir.
            “Ah, iya…Pak. Terima kasih. Memang saya buru-buru. Bapak petugas di sini?” Kulihat sekilas, sekelilingku sepi. Tak ada siapa-siapa selain kami berdua. Laki-laki tua itu menggelengkan kepala. Kuperhatikan, tubuhnya yang sedikit tambun itu seperti limbung…Waduh, jangan-jangan nih Bapak mau pingsan lagi? Kok pucat gitu?
            “Bukan nak…Bapak nungguin mobil majikan bapak. Beliau lagi ada acara di lantai atas.”
            “Bapak sakit? Kok seperti lemas begitu, pak?”
            Laki-laki itu menggeleng lagi. “Bapak hanya ngantuk, kelamaan di bawah sini… Makasih nak, perhatian. Jangan lupa ya, kunci mobil yang betul. Nanti bapak bantu jagain.”
            Aku hanya bisa mengiyakan, tanpa banyak basa basi lagi. Takut waktu habis. Sambil menenteng tas laptop, aku pun melenggang ke pintu lift, langsung menuju lantai atas untuk menyelesaikan meeting hari ini.
            Dan, ternyata… Bossku yang cerdik, baik hati, sekaligus menyebalkan itu terlalu bersemangat. Sampai-sampai rapat kami bersama tim pemasaran, berakhir lewat magrib. Bener-bener kelakuan. Ya, meski sebagai bonusnya semua peserta dapat mendapat jatah makan malam, nasi kardus dari sebuah resto terkenal, tetap saja aku musti pulang telat. Bahkan, sangat telat… Sambil melangkah ke parkiran mobil, kubayangkan wajah Deta, adik perempuanku satu-satunya yang terpaksa bengong sendirian di rumah karena menungguku pulang. Ggrhhh…
            “Lama bener ya meeting-nya, nak? Capek?” Nyaris aku tersandung undakan, polisi tidur di parkiran, ketika seraut wajah kuyu dan pucat pasi itu tiba-tiba sudah ada tidak jauh dari tempat aku berdiri. Bapak itu?
            “Tadi sudah bapak tungguin. Mobilnya aman. Nggak ada yang berani ganggu,” tuturnya, sambil membasuh wajah pucatnya itu dengan sapu tangan. Ya ampun, tuh bapak lama juga nungguin atasannya. Bayangkan dari aku datang, jam makan siang tadi sampai hampir lewat pukul tujuh malam. Keterlaluan juga tuh, atasannya. Masa nggak diajak naik ke atas kek, tawarin makan atau gimana…Istirahat, ngadem di dalam.
            “Bapak dari tadi siang di sini? Nggak ke dalam saja Pak, lumayan ngadem…” tanyaku, sambil membuka pintu mobil. Tas laptop kumasukkan. Jas kulepas, kulempar sekenanya ke dalam mobil…
            “Nggak apa-apa, nak. Biasa. Bapak tugasnya membawa, sekaligus menjaga mobil tuan saya. Kalau ditinggalin nanti ada apa-apa, bagaimana?”
            Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kuambil sebotol air mineral yang masih tersegel dari dalam mobil dan sekotak biskuit coklat, lantas kusodorkan ke bapak tua itu…Tapi dia menggeleng…
            “Nggak perlu, nak… terima kasih. Bapak sudah kenyang. Minum juga ada. “
            “Ya sudah pak, saya duluan ya. Takut kemaleman, kena macet lagi. Bapak juga hati-hati di sini… “ pesanku, sambil masuk ke dalam mobil. Mesin kunyalakan, sekilas kulihat dari kaca spion, bapak tua itu melambaikan tangan. Kasihan. Tapi ya, itulah resiko bekerja di rimba raya Jakarta ini. Musti bekerja keras!
********
            What?! Nggak salah, aku musti presentasi lagi ke kantor pusat? Padahal baru dua hari lalu, aku balik dari sana. Belum sempat merevisi beberapa catatan, sudah harus kembali meeting. Bener-bener, super semangat tuh Boss. Malesnya lagi, rapat kali ini pagi. Bayangkan, pukul delapan sudah harus hadir di kantor. Padahal semalam,  tidur pukul dua pagi. Gara-gara merevisi proposal.
            “Tumben, pagi-pagi nak?” Dug! Jantungku mau copot. Sejak masuk ke parkiran dari lantai bawah tadi, suasananya masih sepi. Hanya ada beberapa mobil saja terparkir. Sengaja, kupilih parkir di dekat pintu lift, agar tidak perlu jalan jauh seperti kemarin.
            “Nak, sekarang berkantor di sini?”
            Astaga, tuh bapak…Aku kok bisa amnesia. Laki-laki tua itu kan baru dua hari lalu kutemui, di parkiran gedung ini juga. Kulihat dia masih kuyu, seperti kemarin. Pucat. Kelihatan capek banget. Bener-bener, majikannya pelit kali…
            “Nak…Mikirin saya?” Aku tergagap. Tahu saja nih bapak…
            “Ah, nggak Pak…Lagi mengingat-ingat, kita pernah ketemuan di mana. Ternyata dua hari lalu ya, Pak?  Bapak sendiri ngapain di sini? Nungguin mobil lagi…Masuk saja Pak, kan ada tempat tunggu, buat duduk di dalam…Boss bapak bisa sms atau menggunakan car call, kalau butuh cari bapak.
            “Nggak perlu, nak. Makasih. Kamu perhatian banget sama bapak. Tugas bapak sehari-hari ya nungguin mobil di sini…”
            Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kasihan betul. Hingga rapat selesai, aku balik ke parkiran lagi, kulihat bapak tua itu masih duduk di dekat besi pembatas parkiran. Mmm, masih banyak waktu. Nggak ada salahnya aku berbuat baik, buat bapak ini. Kuambil segelas cappucino yang tadi kubeli di café bawah, kebetulan aku beli dua. Tadinya mau kubawain buat Bimo. Tapi pasti bapak ini lebih membutuhkan…Sekaligus dua kotak biskuit yang kini, selalu ada di mobil.
            “Ngopi dulu pak…Ada biskuit juga, lumayan ganjal perut,” kataku, sambil menyorongkan kopi dan biskuit. Bapak itu menggeleng, sepertinya dia segan. Malu. Terpaksa, kuletakkan saja di sampingnya. Lantas aku ikut duduk di sana…
            Ngobrol dengan bapak tua yang mengaku sudah sepuluh tahun menjadi sopir pribadi itu, seru juga ternyata. Meski sesekali, dia sering terbatuk-batuk, seperti orang sesak nafas, tapi semangat dan celotehannya bikin aku lupa waktu. Pak Sudir, nama laki-laki yang memiliki dua anak masih duduk di bangku SMP dan SMA itu sudah ditinggalkan sang istri, karena kecelakaan.
            “Istri saya terserempet mikrolet yang ugal-ugalan, nak…Padahal dia ikut membantu menopang hidup keluarga kami dengan buka warung kecil-kecilan. Sekarang, tumpuan utamanya saya…Kasihan anak-anak…Gimana masa depan mereka, kelihatannya bapak juga belum tentu sanggup menyekolahkan mereka sampai menjadi sarjana. Agar punya kehidupan jauh lebih mapan dari orangtuanya.”
            Aku menggeleng-gelengkan kepala, sedih. Ingatanku langsung ke mama dan papa, kedua orangtuaku yang juga tewas dalam sebuah kecelakaan beruntun. Papa meninggal di tempat, sedangkan mama seminggu setelah koma di rumah sakit. Deta masih sangat kecil waktu itu. Beda usia kami memang jauh. Delapan tahun. Berkat bantuan Paman, adik kandung mama, aku berhasil menyelesaikan kuliah dan bekerja, sekaligus membantu melanjutkan biaya pendidikan adikku semata wayang itu.
            “Ya, masing-masing manusia sudah memiliki jalannya sendiri, Pak. Jangan cemas, pasti Tuhan berikan jalan buat keluarga bapak…” Kulihat mata Pak Sudir berkaca-kaca. Tangannya yang mulai keriput itu berulangkali mengusap wajahnya, seakan ingin melepaskan bebasn yang dia rasa begitu berat. Nggak tega, aku melihatnya. Tapi mau bagaimana lagi…
            Kami pun berpisah di parkiran, dalam diam. Kulihat dari kaca spion, beliau melambaikan tangan seperti biasa. Moga-moga, bapak itu selalu diberi kesehatan dan rejeki…batinku, pedih.
*******
            Gara-gara proyek baru perusahaanku dipercepat, terpaksa aku makin sering ngantor ke kantor pusat. Lagi-lagi macet, bikin aku senewen. Tapi satu yang membuatku beda, lebih bersemangat dan tidak ngomel berkepanjangan, keberadaan Pak Sudir. Tanpa sengaja, kami sering ketemuan di tempat parkir. Sebuah kebetulan…Beliau juga seperti biasa, terduduk lesu di pinggir parkiran. Alasannya nungguin mobil majikannya. Entah, mobil yang mana…Tapi ngobrol dengannya, sekedar membuatnya tersenyum, membuatku terhibur. Beliau mengingatkanku pada papa…Andai papa masih hidup, pasti usia beliau tidak jauh berbeda…
            Baru kutahu, dua putra Pak Sudir akhirnya terpaksa pindah ke Jawa, karena beliau tidak sanggup membiayai sekolah anak-anaknya di Jakarta. Ya, paling nggak biaya hidup lebih murah. Salah satu saudara jauh Pak Sudir membantu, biaya sekolah kedua anaknya. Syukurlah. Setidaknya, beban bapak tua ini berkurang.
             “Nu..Danuuu…! Bengong saja! Hati-hati kesambet…” Bimo sudah muncul di depan mejaku, siang ini. Tangannya menenteng dua gelas cappucino. Baik juga nih, anak…
            “Kamu tuh yang kesambet. Ngaco saja ngomongnya,” protesku, sambil mengambil cappucino yang masih hangat itu, lantas menyeruputnya. Sedap, benerrrr….
            “Ketimbang baca koran mlulu, lihat bursa saham, lebih baik bantuin nih…Proposal dari bagian marketing ada yang salah…”
            Bimo menggeleng, cepat.
            “Enak saja. Tanggung jawab kamu dong… Gini-gini aku kan yang paling update berita di kantor ini? Kasihan banget ya, Nu. Lagi-lagi ditemukan orang mati lemas dalam mobil, karena keracunan gas. Kebiasaan tuh, mereka kok ya nggak baca koran…Bahaya banget kan, berada terlalu lama dalam mobil nyala, tapi tertutup rapat,” Bimo nyerocos saja, sambil membolak-balik koran pagi ini…
            “Memang berapa banyak? Sok tahu, kamu bilang sering…”
            “Ya, iyalah…Wong baru beberapa minggu yang lalu kejadiannya. Nggak baca ya? Kalau nggak salah satu buiding dengan kantor kamu. Kabarnya laki-laki itu tewas di mobil majikan. Mati lemas…Eh, sekarang kejadian lagi,” kata Bimo, sambil mengambil lembaran koran lama di tumpukan koran, dekat mejaku.
            “Nih lihat, kejadiannya belum lama kan? Sama nggak dengan building kantor pusat kita?” tanyanya, sambil membuka selembar koran. Jelas, tertera berita tentang kematian seorang sopir pribadi yang mati lemas di mobil, saat menunggu majikannya.
            Mataku mendadak perih, berat. Pandanganku mengabur…Benarkah berita yang kubaca, lengkap dengan insert foto korban di koran itu,  orangnya sama dengan laki-laki tua yang beberapa hari belakangan ini sering kutemui? Pak Sudir? (FT:berbagai sumber)

1 komentar:

Sundari mengatakan...

aww... sediiih...
bagus ini mbak.. baguus.. :'(