Minggu, 08 Mei 2011

KEPULANGAN RANI


        
           Pulang lagi? Nggak salah, tuh…Kalau kuhitung-hitung dalam dua bulan ini, hampir tiap minggu Rani mudik. Padahal tahu sendiri, jarak Jakarta-Surabaya lumayan jauh. Minimal bikin capek. Mondar mandir naik kereta api atau bis umum. Buat ukuran anak kost seperti kami juga boros. Entah mengapa, belakangan cewek berambut sebahu, berlesung pipit dan hidung mancung itu, suka banget pulang.
            “Nggak rontok badan kamu? Aku ngelihat kamu saja, capek banget. Lagian kita hampir ujian semesteran lho. Stamina bisa drop…” tegurku, sore itu ketika kulihat wajah cantiknya kelihatan pucat.
            “Thanks, Ut…Jangan khawatir, aku bisa jaga kondisiku. Mumpung masih ada waktu, sesering mungkin aku pengen nengokin keluarga di rumah.”
“Biasanya kamu sms atau telpon doang. Nggak sesering ini deh, mudik. Tumben…”
“Iya kan,  selagi aku bisa nengokin… Kita nggak pernah tahu, besok-besok bakal ada kejadian apa…Gempa, tsunami, perang…”
“Ih, kok serem amat sih omongan kamu? Amit-amit deh…Jangan aneh-aneh,” protesku. Jujur saja, aku suka phobia setiap mendengar berbagai bencana alam. Trauma, lebih tepatnya. Bayangan Mas Iqbal, kakakku satu-satunya yang tewas ketika membantu korban tanah longsor  tidak pernah bisa hilang dari ingatan. Bayangkan, siang itu aku masih sempat dia bawain ice cream sepulang dari mall. Malamnya keluarga kami menerima kabar, Mas Iqbal meninggal dunia.
“Tuh kan, bengong! Mikirin aku ya?” tegur Rani. Lamunanku buyar seketika. “Sudahlah, nggak usah dipikirin segitunya. Kalau capek, vitamin juga banyak macamnya. Ntar minum obat kuat…” candanya membuatku mau tidak mau, senyum juga.
“Janji ya, makanan dan vitamin dijaga. Ntar kalau sakit, gara-gara kecapekan aku jitak nih…”
“Janji!” Rani langsung memelukku, hangat. 
****
Home alone. Yup! Malam minggu ini, lagi-lagi aku musti tinggal sendiri di kost-kostan.  Penghuni kamar atas, mudik semua. Malena dan Aini satu lantai denganku, keluar sama pacar mereka masing-masing. Sementara Rani yang ngakunya mau ke Tanah Abang, mencari baju untuk oleh-oleh mudik, belum juga kelihatan batang hidungnya. Tuh anak, memang kalau sudah belanja suka lupa waktu… Bukan karena doyan ngeborong, tapi cewek manis itu gigih banget menawar. Dia bisa betah berjam-jam, beredar dari satu toko ke toko lain untuk mendapatkan harga yang diinginkan. Hebatnya selalu saja dia berhasil nego, beda jauh dibanding aku yang gampang nyerah.
“Udahlah Ran, kasih saja…Capek nih?!” 
“Enak saja…Kemahalan tahu! Nggak ah, kita cari di toko sebelah. Pasti bisa dapat lebih murah…” komennya suatu siang, ketika kami tengah mencari perlengkapan memasak. Eh, benar juga. Meski harus keluar masuk lima toko, akhirnya kami mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga jauh lebih murah.
            “Tuh kan, apa kubilang? Kamu sih, boros dan nggak tegaan…” ledek Rani, sambil mencibirkan bibirnya. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan cewek yang sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri itu.
 Ingat kejadian itu, aku senyum-senyum sendiri. Ada-ada saja… Tiga tahun lalu, ketika Rani pertama kali masuk kost ini, aku tidak pernah membayangkan bisa kompakan dengannya. Dugaanku cewek ini manja, sombong. Maklum, anak tunggal dari keluarga berada. Siapa sangka, dia sangat menyenangkan, ringan tangan dan teman curhat yang seru. Meski kami beda empat tahun, aku sudah bekerja di sebuah biro periklanan, sementara dia masih kuliah, obrolan kami selalu nyambung. Tiap weekend, kami biasa habiskan waktu bersama. Entah nonton film, berburu CD baru atau kuliner seru.
Masalah keluarga, cowok-cowok yang berusaha mendekatinya sampai dosen killer di kampus, salah satu bahan curhatannya. Sebaliknya, sebagai seorang kakak aku selalu berusaha menjadi pendengar dan penasehat yang baik. Soal dia mau ngelakuin saranku atau tidak, kembali terserah Rani. Untunglah tuh cewek pengertian dan kesadarannya, luar biasa.
“Soreeee….” Suara cempreng itu, membuyarkan lamunanku. Tanpa kusadari, Rani ternyata sudah duduk di depanku.
“Sore? Malam tahu…Lama bener belanjanya?”
“Nawarnya ribet. Banyak pedagang jual mahal sekarang. Sombong mereka, ngotot harga pas. Hari gini, pelit…”
“Kamu tuh yang pelit. Mana ada, penjual mau untung seminimalis mungkin,” kataku lagi, sambil menjewer telinganya. Rani terkekeh-kekeh, geli.
“Yah, maklumlah. Anak kost. Musti hemat! Nggak apa-apa, capek dikit tapi aku puas. Tadi dapat kaos lucu-lucu, boneka Upin Ipin buat keponakan dan baju untuk mama…” cerocosnya, sambil nyodorin seplastik kripik singkong pedas, kegemaranku.
“Tadi ngelihat camilan, sekalian beli…” katanya lagi. Duh, nih anak selalu saja ingat menyenangkan orang lain. Sayang banget, pagi-pagi besok dia mudik lagi. Kali ini dia bakal liburan di Surabaya, satu minggu. Artinya, hari-hariku bakal sepi lagi nih.
****
Parah! Lagi-lagi kompleks tempat aku tinggal, kena pemadaman bergilir. Batere handphone dan laptop drop pula. Padahal beberapa proposal penting yang musti dibahas besok di kantor, belum selesai aku revisi. Kok bisa ya, hujan lebat di luar sana dan gelap begini, tetangga kamar tertidur lelap semua. Aku paling nggak bisa, tidur tanpa kipas angin. Panas.
Braak! Astaga, suara apa itu? Nyaris aku melompat dari tempat dudukku. Suaranya berasal dari depan. Mungkinkah tadi ada yang lupa mengunci pintu? Jangan-jangan…
“Siapa ya?” tanyaku, ragu. Sambil membawa lampu senter, kuberanikan diri melihat siapa yang datang…Padahal jantungku berdebar kencang. Lidah rasanya kering dan kelu. Bayangan yang serem-serem sudah terlintas di benakku. Gimana kalau perampok? Atau…hantu? Hiiiih! Bulu kudukku meremang. Tiba-tiba saja, perasaanku gamang. Nggak enak. Angin dingin seperti dihembuskan di tengkukku. Tangan yang menggenggam lampu, bergetar hebat. Ya Tuhan…
            Seorang perempuan mengenakan cappucone dengan penutup kepala itu, berdiri tepat di depanku. Nyaris, lampu senter yang kupegang terlepas. Bibirku bergetar…
            “Siapa ya?”
            Sosok asing itu tidak menjawab. Gila! Jantungku berdetak makin kencang. Bisa-bisa, mati berdiri karena ketakutan…
            “Rani…Maaf kemalaman…”  Perempuan itu pun membuka penutup kepalanya yang basah, terkena hujan. Syukurlah! Rani?! Ngapain lagi tuh anak pulang malam-malam begini, nggak bilang-bilang. Perasaan kemarin sms terakhir, dia mengatakan memilih kereta malam dari Surabaya, biar sampai di Jakarta pagi.
            “Ampun Raniii…Hujan gede begini, kirain siapa…Jantungku sudah mau copot tahu! Kehujanan ya…Buruan ganti baju sana, ntar kubikinin susu coklat. Takut masuk angin.” Tanpa menunggu dia menjawab, buru-buru aku balik ke dapur untuk membuat susu coklat.
            Untung, listrik kembali menyala tidak lama setelah Rani datang. Kupastikan dia tertidur lelap di kamarnya, setelah itu kukembali sibuk dengan laptopku. Malam ini, pekerjaanku harus beres!
*****
            Benar-benar hari yang melelahkan. Pagi-pagi benar, sebelum seisi rumah jalan berangkat kerja atau kuliah, aku sudah berangkat ke kantor. Maklum, hari Senin. Pasti di mana-mana macet. Aku tidak mau, meeting hari ini terlambat lagi. Koreksian proposal semalam juga belum aku print. Bisa gawat, kalau sampai Pak Robby atasanku yang julukannya mr. perfect saking perfeksionisnya itu datang lebih dulu. Dia pasti langsung meminta laporanku.
            Sembari makan siang, kucoba menghubungi Rani. Rencananya ntar malam, aku pulang larut. Padahal dia suka menungguiku, kadang malah menyediakan minuman hangat dan camilan. Memang cewek itu sayang dan perhatian banget. Pantas kan, sebaliknya aku juga menyayangi dia seperti adikku sendiri.
            Heran. Beberapa kali kutelepon, tapi nada HP-nya tidak aktif. Nggak biasanya. Mungkin dia lupa ngecharge HP atau lagi ke kamar kecil? Ah, sudahlah. SMS saja, ntar dia juga pasti baca.
            Terlalu banget, atasanku ini. Koreksian dariku, bukannya memperoleh pujian tapi justru tambahan peer. Artinya, aku benar-benar pulang larut. Ffuih! Ya, beginilah resikonya memperoleh kepercayaan dari boss.
            Nyaris tidak ada waktu buat ngobrol dengan Rani. Sampai rumah, kulihat kamarnya tertutup. Pasti dia sudah tidur kelelahan, setelah kemarin pulang kemalaman dari Surabaya. Ya, sudahlah. Setelah mandi dan minum secangkir coklat hangat, aku pun terlelap dalam mimpi.
*****
            Busyet! Pagi-pagi berisik banget sih…Nggak tahu, orang lagi enak-enaknya tidur.  Aku mengucek mataku yang masih berat. Suara gaduh di depan, benar-benar membuatku terbangun. Padahal rencananya hari ini aku ijin, datang agak siang ke kantor. Sejak semalam, badanku panas. Kepala seperti mau pecah. Mungkin kecapekan dan masuk angin.
            Kuambil perlengkapan mandi, lantas dengan berat hati keluar kamar. Apa boleh buat, tanggung… Kalau sudah bangun, aku sulit tidur lagi.
            “Hei, Ut…kamu semalam pulang jam berapa? Kami nggak ngelihat kamu balik…” tegur  Malena, teman kost ketika melihatku keluar dari kamar. Kulihat, wajahnya juga masih kusut masai. Kelihatan dia belum mandi…
            “Ya, Ut. Banyak kerjaan. Kok berisik banget sih, pagi-pagi di depan…Ada apaan sih?”
            Wajah Malena, pucat. Matanya berkaca-kaca. Tangannya yang bergetar, mengusap-usap bahuku. Kelihatan banget, dia seperti orang tengah berduka…
            “Tabah ya, Ut…Jangan kaget. Sabar, ikhlas…Kami semua juga sedih, apalagi kamu sahabat terdekatnya…” ucapnya, setengah berbisik. Suara Malena parau dan terbata-bata, membuatku makin bingung…
            “Apaan? Jangan bikin cemas dong…”
            “Rani…. Rani, Ut… Sahabat kita satu kost…”
            Aku menggeleng-gelengkan kepala, nggak ngerti. Memang sih, semalam aku belum sempat ketemu Rani. Kulihat dia sudah tidur duluan. Kamarnya terkunci….
            “Iya,kenapa Rani….”
            “Rani meninggalkan kita semua, Ut… Keluarganya baru sempat memberitahu, dua hari yang lalu, sebelum ke stasiun kereta untuk balik ke Jakarta, dia terserempet bis. Luka-lukanya sangat parah, hingga tidak terselamatkan. Dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.”
            Blarrr! Kepalaku berdenyut, pusing. Dua hari yang lalu, Rani pulang ke kost-an tengah malam, saat hujan deras dan lampu mati. Kami memang tidak sempat ngobrol apa-apa, karena kulihat dia pucat, kecapekan. Benarkah itu kepulangannya yang terakhir? Mataku berkunang-kunang. Sebelum akhirnya tubuhku limbung, ambruk ke lantai.(ft: berbagai sumber)

2 komentar:

Sundari mengatakan...

weits.. cerita misteri lagii..

yang paling aku suka dari tulisannya mbak stey adalah, detil yang mengikuti setiap karakter, terutama karakter utama. Jadi kebayang dan terasa nyata.

tapiii... masukan aja nih mbak stey, alur ceritanya dibikin lebih mengejutkan doong.. kayak apa ya, aku lupa.. ceritanya mbak stey juga deh.. alurnya twisting..
kalo ini -hampir bisa ditebak, kalo si rani udah meninggal [maklum, hobinya baca cerita misterimu sih hehe...]

ditunggu yaa!!

sip sip!

Sundari mengatakan...

ebuseeed.. baru baca itu jam posting-nya...
bused dah, jam 2 pagi.. sambil nonton bola ya mbak stey.. hihi...