Minggu, 08 Mei 2011

PESAN PENGHUNI TERAKHIR


           
            Sempurna! Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri di depan laptop, membayangkan ekspresi ketakutan pembaca novel keduaku. Kali ini tokohnya seorang gadis usia belasan yang sudah menjadi mesin uang bagi ayah tirinya. Dia dijual ke beberapa lelaki hidung belang, termasuk tunangan dia yang ternyata juga doyan main perempuan. Meski dalam kondisi sakit pun, Gina musti meladeni laki-laki. Hingga suatu malam, ayahnya menemukan dia tewas mengenaskan, karena melompat dari lantai dua tempat mereka tinggal selama ini. Kepalanya retak, sebagian besar  tulang rusuk dan kakinya patah.
            Hanya selang sehari setelah kematian Gina yang tidak wajar, berturut-turut lelaki yang pernah menyiksa Gina tewas mengenaskan. Mulai dari tunangannya, pelanggan di kafe tempat mereka biasa “transaksi”, hingga sang ayah yang berhati culas itu. Mereka ditemukan dengan kondisi menyedihkan. Ada yang kena aliran listrik  kantor tempat mereka bekerja, tertimpa papan reklame saat mobil mereka melintas, sampai ada yang terhimpit mobil pengangkut semen yang tiba-tiba remnya blong. Proses kematian mereka kubuat mengerikan. Ketegangan demi ketegangan kurangkai sedemikian rupa, hingga seakan penonton melihat tayangan filmnya.
            “Gila kamu ya…Ngeri banget, cerita-cerita kamu. Gue sampai terbayang-bayang, hingga kebawa mimpi! Kok bisa sih, Tan…Memang, kamu nggak takut sendiri?” komen Tika, salah seorang temanku terheran-heran. Aku hanya bisa tertawa lebar, melihat sahabatku waktu SMA itu geleng-geleng kepala. Soalnya nggak hanya dia saja yang komentar seperti itu…Teman-teman kuliah, redaktur dari penerbit yang mengedit tulisanku, sampai Nino laki-laki yang dua tahun ini menjadi pacarku, juga ngomong sama.
Jujur saja. Sebagai penulis, kepuasan tersendiri bagiku mampu mengaduk-aduk emosi mereka. Apalagi bisa membuat mereka ketakutan, bahkan kalau bisa sampai terbawa mimpi. Entah mengapa, sejak awal aku menyukai cerita-cerita horor yang bikin jantung siapa saja berdebar-debar.
Tulisan pertama yang kubuat waktu masih kuliah, ternyata membuat Bimo teman satu angkatan sampai phobia dengan kamar kecil di kampus kami. Gara-gara aku menceritakan kisah seorang gadis yang tewas, ketika berusaha menggugurkan kandungannya di kamar kecil sebuah kampus ternama. Cowok bertubuh tambun yang biasa cuek dan murah tawa itu, tiba-tiba saja menjadi pendiam selama beberapa hari. Jelas saja, kami teman-teman satu angkatan terheran-heran. Kocaknya lagi, ketika dia ketahuan minta ditemani ke kamar kecil. Astaga…Mahasiswa setua ini masih takut ke kamar kecil sendiri? Belakangan baru kutahu, dia suka kebayang-bayang sosok menakutkan di toilet kampus, setelah membaca ceritaku yang dimuat di sebuah surat kabar.
Perasaan bersalah, tapi juga bangga menghantuiku. Bangga, karena itu artinya cerita yang dibuat alur cerita dan penokohannya kuat, sampai-sampai pembaca seperti Bimo, bahkan teman-teman lain yang akhirnya ngakuin, terbawa suasana. Ngerasa bersalah, sebab secara tidak langsung aku membuat hidup Bimo tidak tenang. Untung, cowok itu bisa menghilangkan rasa takutnya…meski akhirnya dia tidak pernah berani lagi membaca karya-karyaku. 
            Ffuih! Jari-jari yang sudah beberapa jam menari-nari di atas keyboard, pegal juga. Kulirik jam di dinding, hampir pukul enam sore. Artinya aku harus buru-buru mandi, editing terakhir naskahku, sebelum besok mengirimkannya ke redaksi sebuah penerbitan yang selama ini selalu memuat cerita yang aku buat.
            Bbbrr.. Air yang menyembur dari shower, membuatku bergidik kedinginan. Memang nggak biasanya aku mandi sampai sore begini. Kalau pun kemalaman, pasti aku biasakan menggunakan air panas. Sambil bersenandung kecil, aku meraba-raba ke kotak sabun, berusaha meraih sabun cair beraroma  lavender,  kesukaanku.  Mmm, botol sabun berhasil kuraih. Tapi, begitu kutuang sabun cair yang biasa kugunakan, mengapa…Astaga…Wanginya terasa berbeda.  Anyir… bikin mual! Mungkinkah salah ambil atau sabun ini kadaluarsa? Kubuka mataku perlahan, …telapak tanganku… merah!   Tangan ini penuh dengan cairan berwarna merah kehitaman, menyerupai darah… Lagi-lagi baunya…
            Glek. Aku nyaris muntah. Buru-buru kubilas air. Tangan ini kugosok sekuatnya, sampai terasa pedih dan perih. Nggak, nggak boleh takut…Itu hanya halusinasiku. Kebanyakan lembur, bikin cerita horor, batinku berusaha menghibur. Sayangnya, ketakutanku bukan makin hilang tapi makin menjadi ketika kurasakan ada sesuatu yang tengah merayap di pundakku. Geraknya begitu lamban, tapi terasa liat dan licin.
Aku melompat jijik, sambil berusaha mengibaskan badanku agar benda asing itu jatuh.  Ampun…Tubuhku terpelanting, nyaris terbanting ke lantai kamar mandi. Lupa kalau lantai begitu licin. Tangan kanan pun menghantam sisi wastafel, hingga sakitnya terasa sampai ke ubun-ubun. Kulihat sekilas di cermin, tak ada apa-apa di pundakku. Benda asing itu juga tidak ada di lantai. Entah, apa wujudnya dan ada di  mana sekarang. Tanpa berpikir dua kali, kusambar handuk, lantas kulilitkan ke badanku sebisanya dengan tangan bergetar. Sepi! Keluar dari kamar mandi yang langsung terhubung ke kamar, kurasakan kesunyian yang amat sangat. Nggak ada siapa-siapa…
            Ah, sudahlah. Halusinasi jangan ditanggapi…Aku hanya bisa meringis, melihat tangan kanan lebam kebiruan.  Pasti aku tadi memikirkan naskah ceritaku yang akan datang, sampai-sampai kebawa mimpi. Sekilas kulihat dari jendela, keadaan di luar sudah gelap. Guntur juga terdengar berulangkali…Tanda malam ini bakal hujan besar…
            Tangan kanan yang lebam, kuolesi balsem sebisanya. Lantas, kunyalakan kembali laptop. Kelihatannya aku perlu menambahkan sedikit catatan buat tokoh utamanya, selain beberapa koreksian di bagian saksi mata. Biar hasilnya sempurna, batinku.
            Air mata Gina tidak berhenti mengalir, ketika dia menatap wajahnya di depan cermin kamar. Pucat. Lusuh. Pipi kirinya membiru. Bekas tamparan salah satu laki-laki hidung belang yang  kemarin malam menyusup ke kamar, atas ijin papa tirinya itu masih terlihat jelas. Tangisnya kembali pecah. Tubuh mungil itu limbung…Keseimbangannya goyah. Sembari bertopang pada dinding, Gina melangkah ke arah jendela kamar yang terbuka. Hanya dalam hitungan detik, tubuh sempurnanya melayang jatuh…
            Duh! Listrik mati… Aku nyaris melompat dari kursi, kaget sendiri. Tanggung banget. Lagi asyik mengedit tulisan sendiri, lampu mati pula. Untung, batere laptop masih full sehingga kamar tidak gelap gulita. Tapi ya tetap saja…mood-ku sudah hilang. Lebih baik kunyalakan lilin dulu, sebelum melanjutkan pekerjaanku.
            Hanya dengan mengandalkan layar HP, kucari-cari lilin di dalam lemari. Aih…ketemu juga. Lumayan. Kamar ini tidak segelap tadi. Minimal, aku bisa menyelesaikan editanku…Kembali aku duduk di depan laptop dan …Astaga! Ketikanku sudah terhapus, tepat saat kematian Gina…Ah, mungkin tadi tanpa sengaja kepencet keyboardnya. Buru-buru berusaha kucari copy file-nya…Tetap saja, tidak bisa. Bahkan kini, laptopku ngadat. Hang! Nggak bisa diapa-apain…
            Nyaris putus asa! Laptop kututup, kuhempaskan tubuhku di tempat tidur. Benar-benar, aku menyerah. Nggak mungkin juga memaksakan ngerjain editan, ketika lampu mati dan otakku juga ikutan kacau. Konsentrasi buyar…
            Bippp… Ada telephone masuk. Kulihat sekilas dari LCD Hp, mmm…mama!
            “Ya, ma…” sahutku berat, sambil memeluk bantal…
            “Tan, kok lesu banget suara kamu? Baik-baik saja kan?” Suara mama di seberang, nadanya khawatir…
            “Mmm…nggak apa-apa, ma. Hanya listrik mati…Intan lagi kesal saja, karena nggak bisa nyelesaiin kerjaan…”
            “Ya, sudahlah. Sabar saja… Memang listrik di rumah baru kita ini, suka mati-mati kalau hujan deras. Mama hanya mau bilang, pulang agak malam. Ntar dianterin Tante Rini, teman arisan mama. Soalnya mendadak diajak nengokin teman sakit.”
            “Beres, ma…”  Jawabku lemas, sambil mematikan HP. Bener juga kata mama, rumah yang baru kami tinggali dua bulan ini memang berulangkali mati lampu setiap hujan gede. Sebenarnya aku lebih nyaman dengan kontrakan kami yang dahulu, jarang mati lampu dan mungil, sehingga tidak repot membersihkannya. Tapi bagaimana pun, kata mama tetap lebih enak rumah sendiri. Ya! Hasil kerja keras mama dan aku digabung dengan deposito peninggalan papa almarhum, menghasilkan rumah ini…
            Hujan masih mengguyur Jakarta. Malam ini, aku tertidur kelelahan. Sampai-sampai tidak sadar, pukul berapa listrik menyala kembali.
*****
            Pagi yang sempurna. Meski jam di dinding kamar masih menunjukkan pukul tiga pagi, aku sudah duduk manis di depan laptop.  Editan naskah semalam yang tertunda gara-gara listrik mati, musti beres kalau tidak mau kena omel editorku hari ini. Beberapa halaman awal kubaca lagi… Perfect! Karakter tokoh, alurnya sudah enak. Tapi kenapa di bagian ketika perempuan malang itu bunuh diri, terhapus?
            Ya ampunnn… Keringat membanjir. Nggak hanya satu dua baris saja, hilang. Beberapa bab penting, lenyap. Kucoba mencarinya di folder lain, tetap sama. Tidak ada jejaknya! Ggrh…mau tidak mau aku mencoba mengulang beberapa bagian yang kuingat. Selebihnya, benar-benar mengarang bebas. Untung instingku di saat terjepit begini, selalu cepat tanggap. Kata-kata bisa mengalir begitu deras, kalau sudah terjebak yang namanya deadline.
            Hanya butuh dua jam saja, editing dua bab terakhir dari novelku berhasil kuselesaikan. Kulihat jam di dinding. Lumayan, masih ada kesempatan buat tidur sebentar barang satu dua jam…lantas ke kantor penerbit yang akan menerbitkan novelku. Mataku langsung terpejam, begitu mencium bantal. Pulas!
            Sesuai rencana, naskah yang sudah kupindahkan dalam flashdisc kuserahkan Mas Priyo, redakturku. Kelihatannya dia lagi tegang, selesai meeting dengan pihak managemen. Buktinya, dia tidak banyak senyum dan bercanda seperti biasa, setiap kali melihat aku masuk ke ruang kerjanya…
            “Udah beres, Tan? Kamu sudah koreksi lagi, sebelum kamu serahkan sama saya?” tanyanya, sambil membuka laptopnya. Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung meneliti isi flashdisc yang kubawa. Sebentar-sebentar matanya mengeryit, lantas terbelalak…Kelihatan banget Mas Priyo bisa mengikuti alur cerita yang kubuat…
            “Gimana mas? Saya tunggu koreksian mas langsung atau saya tinggal?” tanyaku, hati-hati. Mas Priyo menggeleng-gelengkan kepala, tiba-tiba tangannya mengacak rambutnya sendiri yang kriwil hingga makin kusut masai…
            “Waduhhh…Kamu nggak teliti lagi, Intan. Ngerjainnya sistem kebut semalam ya?” tegurnya, serius.
            “Nggak, mas… Kenapa? Alurnya nggak asyik ya mas? Atau tokohnya…”
            “Bukan..Bukan itu…Sepertinya ada satu atau dua halaman, terlewatkan deh.”
            “Ah, masa mas? Saya sudah edit ulang kok?”
            “Lihat saja sendiri, … Ketika tokoh Gina tewas. Tiba-tiba saja dia tewas, tapi tidak kamu jelaskan penyebabnya…Gimana jalan ceritanya, sampai dia bisa ditemukan meninggal.”
            Nafasku tercekat. Lidahku kelu. Astaga! Masa bagian itu hilang lagi… Mas Priyo menyorongkan laptopnya ke depanku. Benar. Terasa banget ada beberapa bagian yang tidak nyambung, karena ceritanya terpotong tiba-tiba…
            Aku tertunduk lesu. Nggak bisa bicara apa-apa lagi. Ngeles atau ngotot pun, percuma. Karena Mas Priyo paling tidak suka dibantah, apalagi kalau buktinya jelas-jelas ada.
            “Ya sudahlah, kamu bawa saja lagi flashdiscnya. Saya beri waktu dua hari dari sekarang, karena besok saya ke luar kota. Tapi saya minta, rapi dan sempurna ya…Jangan ulangi lagi, kesalahan serupa,” tegur bapak dari dua orang putra itu, berat. Aku hanya bisa mengangguk lesu, sebelum pamit dan berlalu dari ruangan beliau… Duh, apes banget hari ini!
*****
             Hujan lagi? Oh, no… Nyaliku sudah menciut duluan. Kebayang, andai listrik mati. Sementara pekerjaanku masih numpuk. Belum lagi wajah Mas Priyo editor killerku itu pasti semakin bengis…Hiiihhh!
            Mmm, sampai di mana aku tadi ya…Mataku yang minus ini meneliti halaman demi halaman, hingga tiba-tiba…
            Blam! Gggrh, bener kan…Lampu mati. Untung aku sudah menyediakan beberapa batang lilin, sehingga tidak perlu meraba-raba dalam gelap. Cukuplah dengan penerangan lilin dan batere laptop yang masih full, kuselesaikan beberapa paragraf yang hilang. Tapi…astaga, laptop ngadat lagi…
            Bener-bener mau menangis rasanya…Kesal dan kecewaku menggunung. Andai saja kami tidak pindah ke pemukiman yang suka mati lampu ini…
            Bbbrrr… Udara dingin terasa berhembus di tengkukku. Jendela kamar berderak tiba-tiba, seakan angin kencang di luar sana ingin menerobos masuk. Hujan memang begitu deras malam ini. Kurapatkan jaket yang membungkus tubuh mungil ini, tapi tetap saja dingin itu terasa menusuk tulang. Heran…Nggak biasanya aku menggigil, kedinginan. Kulihat jam di dinding menunjukkan angka sepuluh. Kelihatannya mama sudah tertidur dari sore tadi. Kasihan, beliau kecapekan setelah bekerja seharian.
            “Intan…” Dahiku berkerut, heran…kompakan dengan bulu kudukku yang berdiri. Siapa yang memanggilku? Kulihat sekelilingku yang gelap gulita… Tak ada siapa-siapa. Mungkinkah mama terbangun?
            “Mama ya?” tanyaku, lirih.
            “Intan… Tolong Intan….” Suara itu? Tubuhku bergetar hebat. Gigiku seperti beradu, mulut seperti terkunci. Ingin teriak, tadi suara ini hanya tercekat di tenggorokan saja. Kelihatannya suara itu, bukan suara mama…
            “Siapa ya…” Kulihat sekeliling kamar yang tetap sama…Gelap. Tak ada siapa-siapa. Suara jendela yang berderak, terdengar makin kencang hingga bikin berisik. Sendi-sendi kakiku lemas rasanya…Akal sehatku hilang. Padahal biasanya aku paling bisa menakut-nakuti orang lewat cerita-ceritaku…
            “Intan…” Jari-jari lentik itu tiba-tiba terasa begitu dingin, memegang bahuku. Nyaris, aku melompat pingsan!
            “Kamuuuu….!!!!”
            “Intan, ada apa nak?” Kuperhatikan lagi, pemilik suara yang kini sudah tepat berdiri di sampingku. Astaga…Benarkah itu mama? Untung, beliau tidak tahu kalau aku nyaris mati berdiri karena takut hal-hal yang berbau hantu, dedemit dan sejenisnya. Andai mama tahu, pasti habis aku diledeknya…Masa penulis kisah horor penakut?
            “Ah, mama…Ngagetin aja. Tadi kebangun ya, ma?”
            Mama mengangguk, lantas duduk di sampingku. Kuperhatikan samar-samar dengan bantuan cahaya lilin, mama memang tampak lelah. Matanya cekung, tatapannya seperti kosong dan raut wajahnya lebih pucat dari biasanya. Kasihan beliau… Pasti menanggung banyak pikiran..
            “Sudah selesai pekerjaan kamu, Tan? Gimana akhir ceritanya…?”
            “Sebenarnya sudah ma…Tapi beberapa kali, ada bagian yang terhapus dan musti dibenerin…”
            “Termasuk kisah tokoh utamanya? Siapa tuh namanya, Gita…Gina ya?? Dia bunuh diri, terjun dari lantai atas atau dibunuh sih, Tan?”
            Aku mengerutkan dahi, heran. Wah, mama kritis juga… Memang selama ini, sebelum ke penerbit biasanya mama ikutan membaca ceritaku, tapi tidak biasanya beliau berkomentar kritis begini. Benar juga ya…Andai aku kembangin ceritanya, kalau Gina ternyata dibunuh kan lebih seru…
            “Wah, mama hebat… Idenya keren, ma… Nanti Intan mau ubah sedikit bagian terbunuhnya Gina. Makasih banget ya, ma…” kataku sambil memeluk mama. Wanita separuh baya itu hanya senyum simpul, sambil geleng-geleng kepala melihat gayaku masih kolokan.
            “Ya sudah, mama tidur dulu ya…” Mama pun meninggalkan aku yang serasa energi baru. Apalagi tidak lama setelah mama tidur, listrik pun menyala kembali. Dan jari-jariku kembali menari di atas keyboard laptop…
********
            Siang ini, pulang dari menemui editorku kulihat mama tengah duduk di teras depan bersama seorang wanita sebaya beliau. Beliau langsung memberi kode, agar aku duduk bersama mereka…
            “Intan, kenalkan ini Bik Mimin… Dulu pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah ini, sebelum akhirnya kita beli…” jelas mama. Wanita yang disebut Bik Mimin itu langsung menjabat tanganku, santun…
            “Ya, mbak…Mbak Intan kan? Tadi ibu sudah cerita…” katanya lirih, sambil menundukkan wajahnya. Hatiku langsung tersentuh. Kelihatannya wanita ini memang datang tidak hanya untuk bertamu, tetapi membutuhkan pertolongan.
            “Begini, Tan…Bik Mimin ingin bekerja di rumah kita. Kebetulan kamu dan mama kan sibuk, lumayan kan ada yang membantu…”
            Wah, bener juga. Bik Mimin juga tidak sekedar membantu merapikan rumah, tetapi juga bisa menjadi teman ketika aku sendirian di rumah. Seperti sore ini, ketika mama belum pulang… Kisah hidup beliau ternyata seperti sinetron. Sungguh menyedihkan, tinggal sebatang kara. Anak tirinya yang sejak balita diasuh, sekarang sama sekali tidak perduli. Hanya  majikannya alias pemilik rumah kami sebelumnya yang sudah memperlakukan dia layaknya ibu kandung sendiri…
            “Iya, mbak Intan…Nyonya rumah ini dulu baik sekali, sampai-sampai bibik diperlakukan seperti keluarga sendiri. Sayang sekali, hidup beliau juga menderita…Bahkan lebih mengenaskan daripada bibik…Sedih deh, mbak kalau inget itu semua…” curhatnya sambil menyusut air mata yang tiba-tiba berderai…
            “Lho, kenapa bik? Suaminya selingkuh? Atau…dia sebatang kara juga?”
            Bik Mimin menggeleng. Tangannya yang mulai keriput itu, kelihatan gemetar.
            “Nyonya meninggal dalam usia muda, mbak…Kata orang-orang, bunuh diri...”
            Deg. Jantungku serasa mau copot. Bunuh diri? Kok seperti kisah-kisah horor yang sering kubuat…Di rumah inikah??
            “Bunuh diri, Bik? Di rumah ini? Kok kami tidak tahu…”
            “Ya, mbak…Beliau ditemukan meninggal di halaman samping, kondisinya mengenaskan. Tapi…tapi sebenarnya bukan karena bunuh diri, bibik tahu…Nyonya didorong tuan dari balkon…”
            Astagaaa… Aku nyaris tersedak. Kok serba kebetulan… Tokoh ceritaku kutulis bunuh diri, ternyata mama kasih ide dia dibunuh…
            “Ma…Kok mirip sama ide mama semalam ya…” Mama memandangku, terheran-heran.
            “Ide apa? Mama nggak tahu….Bukannya semalam listrik mati? Mama malas bangun, terus saja tidur sampai pagi…”
            Kutatap mama, lekat-lekat. Tak ada kebohongan di sana. Artinya, semalam wanita yang kuanggap “mama” itu siapa? (ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: