Minggu, 27 November 2011

Sahabat DIO


          Tanah merah lagiiii? Mmm, aku sudah ancang-ancang, marah. Emosi sampai di ubun-ubun kepala, tinggal dimuntahkan . Melihat wajah Ridho yang pucat pasi dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca, kayak mau nangis, jadi nggak tega. Bocah sekecil ini, mana bisa ngerti sih dibilangin… Paling denger sekali, besoknya dia bakal lupain lagi. Apalagi kalau sudah ngumpul sama temen-temen seumurannya, bebas dari pengawasan kita. Mmm, aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha meredam emosi.
          “Udah sekarang, taruh sepatu ke tempatnya dulu…” Ridho mengangguk, dengan tatapan takut-takut, dia beringsut dari hadapanku. Nenteng sepatu dengan tangan kanan, setengah berjingkat dia letakkan sepatunya ke rak yang sudah disediakan, deket kamar tidurnya.
          Sejak kecil, begitu mengenal bangku sekolah, aku memang mengajarkan Ridho, putra tunggalku mandiri. Ngelakuin beberapa hal kecil sendiri. Seperti pulang sekolah, musti copot kaos kaki, sepatu, lantas ditaruh di rak-nya. Tas di masukin kamar. Nggak dilempar saja, seenaknya. Seperti kulihat anak beberapa kawanku.
          Mereka balik dari jalan atau sekolah, ngegelesot saja di lantai sambil copot sepatu dan lempar seenaknya. Ntar pembantu atau mamanya yang pungutin, rapiin. Atau malah parahnya, sampai rumah bocah-bocah itu langsung main, duduk depan televisi atau tiduran di sofa, sementara pembantu repot, bantuin copotin kaos kaki dan sepatu, bantuin ambilin tas, …Huh!! Bukan itu yang aku suka dan mau…
          Untungnya, Ridho cerdas, nggak cengeng dan tau kewajibannya, waktu aku ajarkan hal itu. Musti tau, kalau sudah mengambil barang, main atau pakai apa pun, balikin ke tempatnya semula. Sekolah, pakai sepatu..ambil sendiri di rak. Pulang-pulang ya, balikin ke tempatnya. Meski kami punya pembantu, meski keluarga kami terbilang cukup dan berlebih, tetap aja aku tidak ingin punya anak manja.  
          Sudah semingguan ini, Ridho selalu pulang dengan tangan kotor. Banyak tanah merah atau pasir, sampai-sampai kuku-kukunya ikutan kuning, kena tanah yang mengering. Baju dan sepatunya juga belepotan. Jorok. Bener-bener, aku nggak suka melihat anakku jorok-jorokan begitu..Pasti banyak kuman. Padahal secara, tempat bermain di sekolah Ridho kan banyak alternatifnya. Ngapain musti kotor-kotoran, main tanah?
          “Ridho, sebentar…Mama mau bicara…” tegurku, sore itu, pas kulihat Ridho lagi nonton televisi. Matanya yang bulat dan jernih itu, beralih menatapku  sambil tangannya masih mainin remote tv.
          “Mama nggak suka, kamu main tanah, jorok-jorokan di halaman… Bukan hanya karena kotor, tapi kuman.. Jorok. Kan kamu bisa main yang lain?  Baca buku atau pinjam mainan di ruang bermain? “ Bocah berambut keriwil, hitam dan tebal itu, mata jernihnya kembali menatapku dalam-dalam…
          “Ya Ma…Ridho nggak main kotor-kotoran lagi…”
          “Janji? “
          Bocah itu mengangguk, sambil menyilangkan jari kelingkingnya ke jari kelilingku. Biasa. Kami kalau bikin satu perjanjian, suka beri tandanya dengan itu. Aku tersenyum, lega. Ridho bukan bocah yang suka ngeyel. Mudah diberi pengertian…
          Sayangnya…siang ini, lagi-lagi aku mendapati Ridho belepotan dengan tanah merah. Kemarin dia balik sekolah, aku masih bisa senyum. Lantas ngomongin dia sekali lagi, buat pilih tempat bermain. Apalagi sekarang musim hujan…Kan becek dan kotor. Ridho mengangguk, mengiyakan…Eh, lha kok hari ini dia ngelakuin kesalahan yang sama…
          “Sudah ma..” kata Ridho, takut-takut. Lamunanku buyar. Bocah berpipi chuby yang wajahnya nurun banget sama Mas  Raka itu, ternyata sudah berdiri di depanku dari tadi kayaknya…
          Aku menghela nafas, berat. Ya sudahlah, biar bocah ini makan, istirahat. Pasti capek. Ngapain kusambut dengan marah-marah…Ridho kugiring ke kamar mandi, setelah sebelumnya mengambil kaos dan celana rumah dia..
          Deg. Sebuah luka seperti baret, kulihat begitu jelas di dekat tulang rusuknya. Satu lagi, punggung kanannya, sedikit membiru. Jantungku serasa mau copot. Hatiku ikutan sakit, kalau melihat anakku terluka…
          “Ridho, kenapa sampai lecet, luka begini?  Masih sakit? Mananya lagi yang luka?”
          Ridho menggeleng, sambil menatapku dengan tatapan polosnya itu.
          “Nggak apa-apa kok ma…Nggak sakit. Tadi Ridho hampir jatuh, waktu main prosotan. Untung ditolongin sama Dino. Kalau nggak benjol…”
          “Oh Dino, temen satu kelas ya.. “
          “Bukan ma.. dia anak kelas lain, tapi sering main sama Ridho sekarang. Baik lho ma…” Ridho sudah bersih. Ganti baju dan kami pindah ke ruang makan…
          “Udah bilang, terima kasih sama dia?”
          “Udah dong, ma… Kan mama selalu bilang, kita kalauditolongin orang atau dikasih sesuatu, musti inget bilang terima kasih..” Aku senyum. Bocahku ini memang pinter. Sungguh, bersyukur banget. Padahal kalau ingat, bagaimana perjuangan keluarga kecil kami mendapatkan momongan…
          Mas Raka, cowok pengertian tersabar yang pernah kukenal. Kami menikah, tanpa restu orangtua. Karena pekerjaan dia dulu masih nggak jelas. Kata Mama, ntar anak-anakku dikasih makan apa… Nyatanya hanya dalam hitungan bulan, laki-laki berkulit sawo matang, mata elang dan rambut ikal itu, berhasil memperoleh restu mama. Kariernya juga membaik. Bahkan, kami berhasil pindah ke rumah milik kami sendiri. Nggak nebeng orangtua.
          Sayangnya, kebahagiaan kami tidak didukung dengan hadirnya momongan. Tahun pertama, aku keguguran. Jatuh, terpeleset di kamar mandi. Tahun kedua, janinku dinyatakan tidak berkembang, sehingga harus dikuret. Sedih. Sakit banget hatiku, tiap menemui kenyataan, calon anak kandungku meninggal sebelum waktunya melihat dunia…
          Tahun keempat, kami baru memiliki momongan. Ridho. Meski anak tunggal, karena belum dikaruniai adik, dia kami biasakan tidak manja. Untungnya dia mengerti. Bahkan, kadang sikapnya bisa lebih dewasa dari umurnya. Meski baru duduk di kelas nol besar, tapi dia tahu semua pesan, nasehat yang kusampaikan.
*********
          Tanah merah…Lagi??? Kali ini kesabaranku habis, kayaknya. Ridho kuhukum, tidak boleh nonton televisi atau main games seharian. Hanya boleh diam di kamar, nggak kemana-mana.
          “Mama mau, Ridho inget-inget lagi…kalau main, jangan kotor-kotoran di tanah, lapangan.  Itu saja..Mudah kan?”
          Mata Ridho berkaca-kaca, dia lantas menunduk…
          “Ridho inget ma,.. Nggak pernah mau main kotor di lapangan…”
          “Trus, kenapa sekarang baju Ridho sekarang masih belepotan begini? Tuh lihat, dagu kamu juga lecet… Kuman mudah masuk sayang. Kamu bisa sakit, cacingan juga. Mau???”
          Ridho menggeleng, cepat. “Ridho cuma kasihan. Nggak tega sama Dino, main sendiri. Nggak punya temen…”
          “Ya, boleh nolongin temen. Nggak boleh beda-bedain orang. Tapi Ridho kan bisa ngajakin main di tempat bersih… Bilang, tanah itu kotor, jijik..banyak cacing dan kuman….”
          Ridho diam, tertunduk. Sampai makan malam pun, dia lebih banyak diam dan tidak bicara, kalau tidak kutanya. Esoknya, Ridho menepati janji. Bajunya bersih, nggak berlepotan lumpur atau tanah merah lagi. Tapi dia banyak berubah. Lebih diam, nggak becanda dan kocak seperti biasa.Hingga kami tidur, dia masih diam. Nggak ngambek sih, hanya entah kenapa sikapnya berubah…murung.
          Pagi ini, sebelum berangkat sekolah…Ridho kuajak bicara…
          “Ridho, mama nggak marah dan nggak larang kamu main..tapi pilih tempat main yang bersih…” Bocah itu mengusap matanya, sekilas dia menatapku takut-takut. Tangan mungilnya menarik tanganku dan meletakkannya di dadanya…
          “Bener, mama nggak marah lagi? Ridho masih bisa main sama Dino kan…” Aku mengangguk, mengiyakan… “Iya, tapi inget jangan kotor-kotoran…”
********
          Mama sakit. Hampir satu minggu ini, aku musti nengokin ke rumah mama, sekalian nganterin makanan. Namanya orang sakit, kadang pengen makan  masakan tertentu. Kasihan kalau nggak dibikinin. Sementara pembantu mama, belum pandai bener memasak. Makanya aku nggak sempat nungguin Ridho pulang. Paling ketemunya, pas dia lagi makan siang atau sore, pas dia baru bangun dari tidur siangnya.
          “Din, kamu perhatiin Ridho nggak beberapa hari belakangan…” tegur Mas Raka, mengejutkan, pas kami malam-malam berduaan saja di dapur, cari camilan. Aku terkesiap, batinku mengatakan ada yang nggak beres. Soalnya nggak biasanya Mas Raka sampai ngebahas serius…
          “Ridho kenapa mas? Sakit? Tadi siang aku masih nemenin dia makan siang, setelah pulang dari nengokin mama…” kataku, sambil menyiapkan susu coklat hangat kesukaan suamiku itu…
          “Nggak apa-apa… Aku kok tadi sempet ngelihat, bahu belakangnya bekas lebam. Mungkin jatuh habis main kali ya… “
          Deg. Perasaanku nggak enak. Lebam lagi? Aduh tuh bocah, makin gede mustinya bisa makin hati-hati.. Aku juga nggak mungkin, musti nungguin dan ngawasin dia main di sekolah…
          “Dia cerita sama mas, kenapa bisa lebam ghitu?”
          Mas Raka menggeleng..
          “Justru itu, makanya aku nanya sama kamu. Soalnya dia bilang, nggak jatuh dan nggak ngerasain apa-apa…. Semuanya sehat aja. Kucemas, dia kan masih kecil. Jadi tidak peduliin badannya. Sakit dibilang baik-baik saja…”
          Aku menghela nafas, berat. Ya, kebiasaan Ridho suka nggak ngerasain sakitnya. Cuek. Mustinya guru di sekolah bisa ngebantuin, ngawasin…apalagi untuk ukuran anak seusia dia yang masih rentan celaka…
          ‘Ntar mas, besok aku coba tanya ke gurunya di sekolah…” kataku, sambil menutup ember pakaian yang setengah terbuka, di samping meja belakang. Astaga, kok… Kulihat baju seragam Ridho yang setengah menyembul keluar… Tanah merah.. Lagi-lagi, Ridho kotor-kotoran di lapangan??
********
          Siang ini, mendung. Lumayan, nggak begitu panas, pas aku ke sekolah Ridho.. Sengaja, sejak semalam aku berniat menemui wali kelas Ridho buat menanyakan perkembangan dia. Ngurusin mama, membuatku nggak sempat ngobrol atau mampir ke sekolah seperti biasa kulakukan.. Bukannya reseh dan over protect sama anak sendiri sih, tapi aku kan butuh tahu juga gimana dia di sekolah. Masalah apa yang bisa aku bantu, pecahkan…
          “Wah kebetulan ibu datang… Kami sempat berpikir, buat memanggil ibu ke sekolah. Tapi kata Ridho, ibu tengah sibuk mengurus keluarga yang sakit..” sambut Bu Winda, wali kelas Ridho, hangat.
          Pihak sekolah berniat memanggilku? Berarti Ridho tengah menghadapi masalah serius? Jangan-jangan dia buat keributan atau berkelahi dengan teman-temannya?
          “Dia bandel Bu? Melawan? Atau..terlibat perkelahian dengan teman-teman sekelasnya….Dia nggak fokus menerima mata pelajaran?” pertanyaanku beruntun, bak peluru dimuntahkan dari selonsongnya…
          “Bukan..bukan bu… Ridho alhamdulillah, anak baik. Penurut. Selalu perhatian sama teman-temannya, suka membantu…” Bu Wilda, menarik nafas sejenak, bikin jantungku ikutan berhenti berdetak rasanya…
          “Tapi dia belakangan suka main sendiri, ngobrol sendiri. Jarang mau gabung dengan teman-temannya…Biasa juga dia mojok di deket lapangan, taman bermain. “ Glek…Oh, itu makanya bajunya suka kotor. Trus ngapain anakku main sendiri, bukannya dia punya sahabat sekarang… Si.. Aku coba mengingat-ingat…Si…Si Dino!
          “Kalau Dino, boleh saya tau bu…Dia satu kelas juga dengan Ridho kan?”
          Bu Winda menatapku, kaget. Kelihatan banget dari sorot matanya…
          “Ibu pernah kenal dengan Dino? Dia memang pernah sekolah di sini.. Kelasnya juga sama, kelas ini..Kalau masih sekolah, dia sudah naik kelas satu sekarang,” Bu Winda menghentikan ucapannya, nadanya seperti menggantung.. Berat. “Sayangnya, semester lalu jelang penerimaan raport, dia meninggal… Jatuh dari pohon di samping taman. Gegar otak. “
          Tubuhku bergetar. Tanganku seperti mati rasa. Suara Bu Winda selanjutnya, tidak kudengar… Kuingat kata-kata mama dulu, waktu datang nengokin kelahiran Ridho bersama seorang wanita separuh baya yang katanya sih punya kelebihan buat melihat “sesuatu” . Mama bilang, putraku nanti bakal menjadi anak kuat, kebanggaan keluarga. Tapi dia juga sensitif dengan alam di sekitarnya, alias memiliki kelebihan. Indra keenamnya lebih peka daripada indra keenam orang lain..
          Tubuhku bergidik, merinding. Perasaan gamang, langsung menyergapku. Apakah bener, selama ini Ridho ternyata bersahabat dengan Dino…yang dibilang Bu Winda sudah meninggal?
          “Mamaaaa… Asyiikkk mama jemput Ridhoooo…” Bocah kebanggaanku itu, kelihatan melompat girang pas melihatku di depan ruang guru pas jam bubaran sekolah tiba… Sambil menggelendot manja, dia tarik tanganku mengajak pulang… Tiba-tiba, pas kami lewat dekat taman, dia berhenti, lantas menoleh ke satu titik…
          “Pulang dulu ya Dino! Mama aku udah jemput nih.. Besok main lagi…” katanya sambil  mengibaskan tangannya, tanda dia mau pulang. Refleks aku ikutan menoleh, pengen tahu Dino teman Ridho itu yang mana…Tapi…aku tidak melihat siapa-siapa di sana. Hanya taman, lapangan bertanah merah. Kosong.  Bbbrrr…. Tengkukku jadi dingin. Merinding! Benarkah Ridho sudah melihat Dino yang kata Bu Winda sudah meninggal itu??? (Ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: