Minggu, 06 November 2011

BOCAH DI LINTASAN KERETA



          Kasihan. Nggak tega, aku melihat bocah plontos dengan kaos oblong lusuh dan celana pendek, warna merah dekil itu, duduk sendiri. Tangannya yang kecil memeluk kedua lututnya yang dia lipat, depan dada. Bahunya berguncang. Sedu sedannya terdengar begitu memilukan. Tapi tak seorang pun yang lewat, peduli. Minimal kasih dia makanan atau tanya, apa masalahnya kek… Aku menggeleng-gelengkan kepala. Apa segini dinginnya hati orang di kota besar? Sesama menderita di depan mata, mereka bisa cuek bebek?
          Sebenarnya, bukan kali pertama ini aku melihatnya. Kemarin, aku sudah melihat bocah ini duduk di bawah pohon, tak jauh dari pintu perlintasan kereta. Sayangnya, jalanan lagi macet dan riuh. Aku pun ingat, masih harus mengejar kereta berikutnya, kalau nggak mau pulang kerja dengan bis yang super lemot atau malah, taksi. Tanggung. Tanggal segini, musti diirit-irit.
          Hari ini, aku kembali melihatnya duduk di sana sendiri. Ketika orang lalu lalang, tidak perduli. Padahal hari sudah mulai gelap. Guntur juga beberapa kali terdengar. Mmm, bentar lagi hujan. Gawat, kalau bocah itu masih saja berada di sana.
          “Dik, nggak pulang? Sudah malam lho…Mau hujan pula…” kataku, sambil berjongkok dekat dia. Bocah itu kaget, waktu dengar suaraku. Tatapannya liar, seperti melihat monster atau makhluk asing…
          “Nggak…nggak perlu takut… Kakak hanya takut, kamu kehujanan atau masuk angin. Kan udara malam dingin. Nggak bagus buat kesehatan..”
          Bocah itu menunduk. Tangannya yang dekil mengorek-ngorek tanah di depannya, seperti ingin menggambar atau menulis sesuatu. Tapi aku tidak bisa membacanya dengan jelas. Minus kacamataku lumayan tebal. Agak sulit membaca dalam keadaan remang-remang…
          “Yuk pulang… Rumah kamu di mana?” tanyaku lagi, nyaris nggak sabar. Soalnya badanku juga mulai menggigil. Udara dingin di sekelilingku, begitu menusuk. Tengkuk juga rasanya nggak enak. Seperti dibebani ribuan kilogram es…Dingin dan berat.
          “Nggak punya rumah kak…Sudah diusir…”
“Di usir? Sama siapa? Keluarga kamu…ayah ibu, atau siapa? Kamu lakuin kesalahan apa?” Pertanyaanku spontan, seperti wartawan ngejar calon mentri  yang mau di resuffle.
“Bapak, ibu, bahkan semua tetangga juga.. mereka nggak mau terima aku. Aku nggak bisa pulang, mereka jahattt…” Aku tercekat, tenggorokanku kelu. Segitu parahkan kesalahan bocah ini, sampai keluarga kandung dan tetangga di lingkungan dia mengusirnya?
Aku meraba tengkukku lagi. Udara dingin seperti berhembus, dekat telinga. Bulu romaku berdiri. Perasaan nggak enak, tiba-tiba menyergap, apalagi pas kulihat sekitarku mulai sepi. Pohon tempat bocah itu nongkrong memang sekian ratus kilometer dari pintu palang kereta. Makanya agak sepi…
“Ya sudah, sekarang kamu aja bareng kakak yuk…Ntar kakak cariin, orang yang bisa memberikan tumpangan…”
Bocah itu menggeleng. Nafasnya tersengal-sengal, berat. Kayaknya efek dia nangis itu, sampe nyesek.
“Nggak bisa, Kak…saya nggak bisa pulang bareng kakak. Tempat saya di sini saja.”
“Masa kamu mau tinggal di bawah pohon ini terus. Kan dingin kalau malam? Ntar hujan, gimana? Basah kuyub, sakit…Yuk ah, ikut kakak. Minimal malam ini, kamu bisa tidur di tempat yang hangat.”
Bocah itu menggeleng. Aku menghela nafas, berat. Kalau tidak mau, mana mungkin juga dia kupaksa. Mmm, tangan ini meraba-raba dalam tas, mencari sesuatu. Kayaknya ada roti, belum kumakan di kantor. Kuambil roti yang masih utuh, lantas selembar uang sepuluh ribuan.. Kuberikan bocah itu yang menerimanya dengan mata berbinar, haru.
“Maaf ya dik, Kakak nggak bisa bantu apa-apa. Pengennya sih kamu ikutan ke rumah, tapi ya sudahlah.. Kamu makan ini aja dulu, buat ganjal perut.” Bocah itu tidak komentar apa-apa. Bahkan melihatku pun tidak…dia sudah terlalu asyik dengan roti yang diterimanya.
Sedih. Sepanjang jalan, menuju ke rumah, perasaanku campur aduk. Antara sedih dan bingung. Bayangan bocah itu benar-benar mengganggu pikiranku. Masih ada ternyata, anak-anak nggak terurus di jalanan, kelaparan, tidak memperoleh kasih sayang, sementara di balik jalan raya dekat rumah, mall-mall dan gedung pencakar langit yang digunakan buat perkantoran, tempat hiburan, begitu megah dan banyak.
Bersyukur, aku tidak pernah merasakan kekurangan kasih sayang. Kedua orangtuaku, benar-benar melimpahi perhatian. Secara materi, keluarga kecil kami juga tidak pernah sampai kelaparan atau kebingungan, mikirin besok bayar ini itu, bagaimana. Hingga akhirnya, papa bisa membiayai aku kuliah sampai lulus sarjana.
Hendra, kakak kelas di kampus, membuatku jatuh cinta. Kami pacaran 3 tahun, sebelum akhirnya memutuskan buat menikah. Rumah baru, boleh jadi impian. Karena tahun pertama, kami baru bisa nebeng di pondok mertua indah. Alias tinggal bersama kedua orangtua Hendra. Tahun berikutnya, bertepatan dengan Hendra dapat promosi kenaikan jabatan dan aku juga dapat kenaikan gaji di kantor, kami berhasil juga membeli sebuah rumah mungil. Yah, meski di kawasan padat, bukan perumahan elit.
Jalanan sekitar rumah, rame. Bahkan boleh dikata, tiap hari entah mau pulang kantor atau berangkat, emosi kami diuji oleh kemacetan. Soalnya kami musti lewat perlintasan kereta api. Bayangkan, tiap berapa menit, musti berhenti menunggu. Kadang udah nungguin lama, lokonya malah lemot banget lewatnya… Bener-bener, makan hati…
“Sabar…Ntar kamu juga terbiasa. Jadiin itu sebagai romantismenya tinggal di kawasan padat, soalnya jarang-jarang kan kita bisa dengerin merdunya suara mesin kereta yang lewat…” Hendra berusaha menghiburku. Suara mesinnya merdu? Hah…Nggak salah?
Tapi bener juga tuh. Lama-lama aku terbiasa, ngadepin jalanan macet. Bolak balik musti menunggu. Kadang juga dengerin sumpah serapah orang… Pas naik angkot, sering banget ibu-ibu atau bapak-bapak ngomel. Yang aku kesel, sopir atau kernetnya, kadang maunya main serobot. Padahal jelas-jelas suara peluit, tanda bakal ada kereta mau lewat kedengeran. Mereka pikir, masih jauh… daripada nungguin, macet. Huh. Nggak sabaran banget. Apa mereka nggak mikirin, keselamatan penumpang? Andai mau celaka sendirian sih, nggak masalah. Tapi ngajakin sekian banyak orang dalam angkot, coba…
Lampu-lampu utama di teras depan, sudah dinyalakan. Kulihat, Hendra tengah duduk di meja kerjanya, waktu aku pulang.
“Udah makan mas?” Hendra nggak menjawab. Bahkan, menoleh pun tidak. Huh. Lagi-lagi aku dicuekin. Mungkin sebaiknya aku mandi, lantas tidur. Entah kenapa, beberapa hari belakangan ini, Hendra begitu dingin sama aku. Padahal aku malah baru aja, resign dari kantor. Berhenti bekerja. Tadinya, kami ingin fokus buat memiliki momongan. Rencana, aku buka usaha kecil-kecilan di rumah.
Hendra begitu dingin, akhir-akhir ini. Ngobrol berdua di teras, ngopi bersama atau menemani aku mencari-cari data buat usaha baru kami di internet, ngak pernah dia lakuin lagi. Bahkan dia tidak pernah menjawab,  tiap aku ajak bicara. Tak jarang, dia malah buang muka. Sakit banget rasanya. Sungguh, aku kangen dengan tatapannya yang penuh cinta. Kangen dengan bujukan-bujukannya yang selalu mengademkan hati. Selama kami pacaran, sampai menikah Hendra jauh lebih sabar dan bijak daripada aku. Tiap kami bertengkar pun, dia duluan yang berusaha mencari jalan tengah. Ketika aku gundah atau lagi menghadapi masalah di kantor, pulang-pulang stress-ku bisa langsung hilang, begitu diajak bicara dari hati ke hati olehnya. Tapi kenapa sekarang, Hendra begitu dingin?
Jujur. Aku sendiri, nggak tahan didiemin begini. Bahkan di tempat tidur pun, Hendra lebih suka memunggungiku. Kadang, aku tengah malam pun, kusering melihat Hendra mengambil bantal, lantas tiduran di sofa, ruang tamu, sampai pagi. Apa maksudnya coba? Apa dia memiliki perempuan lain? Hihhhh! Amit-amit. Membayangkannya saja, aku tidak berani…
Malam ini, lagi-lagi aku tidur sendiri. Saling berpunggungan dengan Hendra. Diam-diam aku menangis, sambil memeluk bantal. Suaraku berusaha kutahan, takut Hendra denger. Ya, nggak boleh dia tahu aku cengeng…
*******

Pusing. Beberapa pola kain yang sudah kupotong dan siap dijahit, hilang. Kemana ya, aku meletakkannya Kok bisa lupa sendiri. Padahal di rumah, aku juga yang beres-beres. Sepagian aku mencari, tetap sama hasilnya. Koleksi alat jahit dan kain yang siap dibuat baju, hilang. Duh! Kok bisa? Mungkin amnesia? Ya sudahlah, mungkin besok-besok saja kucari lagi… Sekarang, aku musti mencari buku yang pernah kubaca di internet. Kelihatannya isinya bagus.
Mungkin keberuntunganku lagi buruk… Barang-barang di rumah hilang, rencana membeli buku juga batal. Tiba-tiba migrainku kambuh, padahal sudah jalan ke depan buat mencari angkot. Mau diterusin, malas. Lagipula, takut di jalan ntar kenapa-napa. Bikin repot orang. Beberapa hari ini, kondisiku memang drop. Mungkin karena beban pikiran dengan perubahan sikap Hendra kali ya… Badanku jadi gampang lemes. Mau ngapain aja, males. Lebih suka mengurung diri di rumah. Pikiran juga gamang. Suka ngaco. Kadang aku lupa sendiri, hari ini makan apa ya..
Ginilah rasanya stress. Aku benar-benar merasa hidup seorang diri. Hendra sama sekali tidak perduli. Setiap hari aku hanya menghadapi dinding-dinding kamar, tanpa seorang pun teman bisa diajak bicara. Aku malas, menelpon sahabat-sahabatku. Ntar malah mereka bertanya-tanya, karena aku paling nggak bisa tahan menangis kalau pas sedih. Pengen menghubungi mama, aku juga takut beliau bisa membaca masalahku…
Sore ini, sengaja aku keluar jalan kaki ke depan deket jalan raya. Mau cari angin… Lagi-lagi kulihat bocah plontos itu duduk di bawah pohon, dekat perlintasan kereta. Kasihan. Dia sudah makan belum hari ini? Langkahku setengah bergegas, nyamperin dia…Kulihat di sekeliling kami orang lalu lalang. Nggak jarang, pada nenteng bawaan. Tapi tidak satu pun yang perduli sama bocah ini…Padahal jelas-jelas dia meringkuk, sedih, seperti kedinginan dan kelaparan…
“Dik, udah makan? Belum menemukan tempat tinggal? Ikut kakak saja yuk..” kataku, sambil ikutan jongkok, di sampingnya. Bocah itu menatapku dengan tatapan kosong… Matanya berkaca-kaca…Nggak bicara apa-apa.
Hatiku giris melihatnya, tangannya yang dingin kugenggam. Nggak perduli, bau busuknya menyengat. Mungkin dia nggak pernah mandi atau ganti pakaian, berhari-hari. Bulu kudukku kembali meremang..Kayaknya mulai gelap dan hampir magrib.. Perasaan nggak enak, tiba-tiba menghantuiku. Rasanya setiap orang yang lewat, memandangku dengan tatapan menusuk…Tatapan permusuhan..Aduh, kenapa aku bisa berhalusinasi gini ya… Efek migrain kali?
Bocah cilik itu masih duduk di sana, nggak bergeming. Meski aku sudah membujuknya, buat ikutan pulang ke rumahku. Mungkin dia bisa bantu-bantu di rumah, sekalian teman aku bicara kan..daripada dia sendirian, di jalanan.  Ntar kalau sakit, celaka atau sampai meninggal bagaimana? Bbbrrr…kok tengkukku kembali dingin. Buru-buru langkahku kupercepat, balik ke rumah.
*************
Bisma. Nama bocah plontos yang biasa kutemui meringkuk sendirian di dekat perlintasan kereta. Dia mau bicara juga akhirnya, meski omongannya sepotong-sepotong. Katanya, dia yang sebenarnya ninggalin rumah. Bisma juga yang tidak mau berkumpul dengan keluarga kakaknya yang sudah married. Padahal dulunya dia dibiayai sekolahnya oleh mereka…
“Kenapa kamu nggak mau pulang? Mereka pasti khawatir banget.. Kasihan kan?” Bisma menggeleng. Tangannya yang dekil itu menggais-ngais tanah, sambil sesekali menatapku dengan pandangannya yang sama…Kosong.
“Mereka sudah tidak membutuhkan saya, Kak… Kakak juga, sebaiknya segera pulang… Jangan balik lagi, kalau kita sudah pulang…
Aku nggak bisa memaksanya, buat ikutan pulang. Hanya bisa menemaninya, sebentar. Selain capek dan ngantuk, perasaanku juga selalu nggak enak kalau lama-lama dengan bocah itu.
Migrainku rasanya kambuh lagi. Sambil terhuyung-huyung, aku berjalan menuju ke rumah. Nggak jauh dari perlintasan kereta, tepatnya di posko petugas jaga, kulihat bapak-bapak pada ngumpul dan ngopi. Kepalaku pusing. Nyaris jatuh… Mmm, buru-buru aku bersandar di dinding posko. Kulihat, bapak-bapak itu begitu asyik ngerumpi, sampai-sampai mereka tidak memperdulikan aku…
“Ya lho…kasihan banget si Japra. Sampai nih hari, suka nangis sendirian di depan rumahnye… Foto tuh anak dipangku, dipeluk-peluk…” Si kribo berbadan tambun, bicara dengan logat Betawi.
“Lagian, siapa nyangka sih… Pagi pamit sekolah, tahunya balik udah jadi mayat.” Si cungkring ikutan ngomong…
“Makanya orang-orang itu musti nyadar. Lewat palang kereta, jangan masih selonong kalau peluitnya udah dibunyiin. Kalau sampai keretanya datang duluan, nyawa taruhannya. Kayak nasib anaknya Japra… Bint..Bis…Bisma ya, namanya? Dia nggak ngerti apa-apa, ikutan korban. Gara-gara sopir angkotnya ngawur tuh, main selonong…”
Deg! Jantungku mau copot. Maksud abang-abang itu, Bisma bocah yang sering kutemui di bawah pohon itu? Aku nggak ingin berpikir negatif. Bisa saja, Bisma yang lain. Nama orang kan bisa aja sama… Buru-buru aku pulang.
*******
Heran. Rumah kelihatan abis ada acara. Kardus makanan masih ada yang tersisa, numpuk di pojokan teras depan. Beberapa tetangga, lalu lalang, pulang, tapi mereka sama sekali tidak perdulikan aku. Mmm, ada apaan sih ini? Mereka datang bertamu, nggak pakai permisi…
Hendra kulihat tengah duduk, bengong di ruang tamu. Wajahnya pucat. Masih mengenakan peci, kemeja putih dan sarung. Rapi banget dia.
“Mas, barusan ada acara apa? Kok aku nggak tahu…Siapa yang urusin makanan? Ibu-ibu tetangga tadi juga cuek banget sih, masa aku didiemin, mas…”
Hendra diam. Sedikitpun dia nggak menoleh atau memperhatikan apa yang kuomongin… Tatapannya dingin. Masa bodoh. Ya ampun Gusti…Aku punya dosa apa sama dia? Kenapa begitu jahat perlakuannya?
Seorang ibu-ibu setengah baya, kelihatan barusan keluar dari belakang. Mungkin habis dari kamar kecil.. Dia mengusap bahu suamiku, wajahnya kelihatan sedih.
“Ada apa ya Bu? Kenapa ibu sedih ghitu?” tanyaku. Tapi ibu itu nggak perdulikan aku. Huh. Semua orang main diem-dieman nih?
“Sabar ya, nak…Harus iklas. Ibu tahu, gimana rasanya kehilangan orang yang dicintai. Istri yang selama ini menemani, suka dan duka,” kata ibu itu, membuatku melotot.
“Siapa ninggalin mas Hendra, Bu! Ibu jangan sembarangan dong, bicaranya…”
“Iklas ya nak…kirim doanya saja, biar nak Asih tenang di alamnya,…” Glek. Aku bengong. Waktu kubaca sekilas, judul di buku cetakan…di sana tertulis, namaku. Meninggal, 11 Oktober… Dan itu, tepat satu minggu yang lalu…(ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: