Selasa, 07 Juni 2011

RAHASIA SEORANG CHEF...


           
           Gila! Enak banget ya, gaya beberapa juru masak memotong bawang bombay dan wortel. Ada tekniknya segala…Baru tahu, aku. Kebayang andai aku yang diminta memasak di depan chef berwajah tirus dengan tatapan dingin itu. Widiiih…Berantakan, pasti.  Selain masih asing dengan berbagai perlengkapan dapur, aku juga nggak tahan dengan cara chef ganteng itu menatapku.  Entah mengapa, setiap makan di kafe yang dapurnya terbuka hingga pengunjung bisa melihat chef-nya menyiapkan masakan ini,  aku merasa cowok itu sering mencuri-curi pandang. Bahkan pernah, beberapa kali kami bertatapan cukup lama. Lantas tiba-tiba dia tersenyum… Astaga! Baru kusadar, dia tambah manis!
            “Geer kamu, Min! Mana ada chef profesional, ganteng, sempat-sempatnya merhatiin kamu…Jangan-jangan dia heran dengan cara makanmu yang rakus? Atau ada saos di wajah kamu?” ledek Tyas, ketika mendengar ceritaku.
            “Beneran! Ntar kapan-kapan kita makan bareng di sana yuk…”
            “Ya, boleh-boleh. Kamu traktir aku gitu?” tantang Tyas lagi. Dasar nih cewek, paling cepet ngebahas makan gratis. Sayangnya, kami memang nggak pernah ada waktu buat jalan bareng akhir-akhir ini. Sejak ngurusin mamanya yang sakit-sakitan, Tyas musti pulang tepat waktu.
            Nyaris bertolak belakang denganku yang tinggal di rumah kontrakan. Nggak mau ribet memasak dan bengong sendirian, makanya setiap pulang kantor musti cari makan dulu. Tiba di rumah, tinggal mandi, istirahat. Entah dapat bocoran dari siapa, aku sendiri lupa, katanya makanan di kafe ini enak dan murah meriah. Ternyata pas dicobain, bener saja…Menunya cocok dan lokasinya searah dengan jalan menuju rumah. Selain itu, aku suka dengan tata letaknya. Pengunjung bisa melihat koki-koki berpengalaman itu meracik, hingga menyajikan masakan pesanan mereka.
            “Ada pesanan tambahan, mbak?” tegur seorang pramusaji, setelah meletakkan menu pesananku di meja. Lamunanku buyar seketika. Aku hanya senyum dan menggeleng. Mmm, lagi-lagi cowok itu…Bukan aku kegeeran, tapi cowok berseragam chef itu kuyakin banget memperhatikan aku sejak pesan makanan tadi. Moga-moga saja, masakan dia tidak salah bumbu, gara-gara iseng ngelihatin pengunjung…
            Jujur. Lama-lama penasaran juga sama pemilik mata elang itu. Kebiasaannya suka menatapku membuat aku suka tanpa sadar, mencari-cari sosoknya tiap datang ke kafe ini. Seperti malam ini, ketika aku pulang larut dari kantor. Kulihat dari pertama duduk, aku tidak melihat tanda-tanda chef itu ada. Biasanya cowok itu suka mondar mandir, mengawasi beberapa stafnya. Kali ini hanya kulihat beberapa juru masak, sibuk dengan racikannya masing-masing. Tak jauh dari mereka bekerja, seorang bapak separuh baya berseragam putih layaknya chef mengawasi mereka. Mmm…seniornya kali, batinku.
            Nyadar atau tidak, sop buntut yang biasa kusuka banget kini terasa begitu hambar. Selera makanku hilang. Antara mikirin banyaknya proposal di kantor yang belum beres atau si ganteng yang tidak muncul malam ini. Entahlah… Sejak tadi, nasi di piring masih nyaris utuh…
            “Maaf mbak, kelihatannya tidak berselera malam ini…Ada masalah dengan masakannya?” Suara datar itu mengejutkan. Lamunanku buyar. Ya ampun…Nggak salah lihat? Cowok berwajah tirus itu sudah berdiri di sampingku dengan tatapannya seperti biasa. Tajam, menusuk…
            “Mmmm…Nggak…Nggak…Makan…Maksud saya…” Busyet dah. Kenapa mendadak aku begitu gugup…
            “Bila ada yang kurang, mbak boleh utarakan pada kami. Kami terima masukan dari pelanggan tetap seperti mbak kok…” Mmm, masih saja suaranya datar dan dingin. Sekilas kulirik tanda pengenal di kemejanya, tertulis nama Jonas…Jadi si ganteng ini Jonas namanya?
            “Ya, panggil saja saya Jonas, andai mbak ada masalah dengan menu kami. Selamat menikmati hidangan kafe ini mbak…” katanya, lantas berlalu. Astaga. Tuh cowok nggak ada basa-basinya juga. Kirain dia bakal begitu baik, bisa diajakin ngobrol berlama-lama. Pikir-pikir, mungkin etika kerja juga. Meski malam ini, dia tidak mengenakan seragam chef-nya seperti biasa, dia nggak boleh kelamaan ngeladenin pengunjung kafe…Sudahlah, apa peduliku?
            Kenyataannya, Jonas benar-benar virus…Aku nggak bisa ngelupain cowok super cuek satu itu. Kalau biasanya nongkrong di kafe itu karena tuntutan perut lapar, kali ini malah karena desakan pengen bisa melihatnya lagi, lagi dan lagi. Heran. Bisa kebetulan banget, setiap aku ngajakin teman kantor ke kafe ini, Jonas malah tidak masuk. Bete banget. Padahal aku kan pengen banget, promoin “kelucuan”-nya… Sebaliknya, chef senior yang sempat kulihat sebelumnya itu, malah lebih sering lalu lalang mengawasi tiap hidangan yang mau disajikan.
*****
            Malam Jum’at yang menyebalkan. Meeting siang tadi di kantor, hasilnya tidak memuaskan hingga terpaksa aku malam lagi. Seporsi nasi goreng ikan asin dan segelas ice lemon tea sudah terhidang di meja, sejak beberapa menit lalu. Tapi belum juga aku sentuh…
            “Sibuk banget, mbak? Makan dulu…Nanti keburu dingin, nggak enak…” tegur pemilik suara datar itu. Konsentrasiku yang lagi asyik membaca beberapa berkas kantor, buyar. Jonas? Nggak salah?
            Cowok dengan tatapan dingin itu, entah sudah berapa lama ada di berdiri di situ, tepat di depanku, tanpa aku sadari. Tanpa seragam chef, hanya tanda pengenal saja.
            “Mmm…ya, terimakasih. Saya sedang sibuk dengan berkas kantor saya…”
            “Bila ada masalah dengan menu kami, beritahukan saja ya… “ kata Jonas, sembari menunjuk tanda pengenalnya. Entah kenapa, aku nggak bisa berkata apa-apa. Lidahku mendadak kelu. Nggak menyangka, bisa sedekat itu dengan cowok yang selama ini diam-diam menyita perhatianku. Dan belakangan baru kusadar, dia tidak sedingin yang kubayangkan… Buktinya, tanpa sengaja aku bisa mengenalnya lebih dekat. Ya, gara-gara sering kelihatan duduk makan sendirian…Jonas pun biasa menemaniku ngobrol, saat dia tidak bertugas di dapur.
            “Maaf ya kalau kelihatannya saya terlalu tegang atau cuek… Soalnya setiap pekerjaan, butuh keseriusan, konsentrasi. Saya nggak mau, pengunjung kecewa dengan racikan saya atau mereka kelamaan menunggu. Jaminannya nama baik kafe ini kan…Artinya mempertaruhkan nasib seluruh karyawannya juga,” kata Jonas, malam itu ketika aku kembali makan malam di sana sepulang dari kantor.
            Benar juga! Nyatanya cowok ini jauh lebih baik dan perhatian dari yang kubayangkan sebelumnya. Ngobrol apa pun, kami nyambung. Sampai-sampai ketika suatu malam aku datang dengan wajah muram, karena habis kena semprot bos di kantor seharian, Jonas bisa membuatku senyum lagi.
            “Masalah nggak akan ada habisnya. Hari ini kita sempurna, besok pasti ada celanya…Biar nggak sakit banget, nikmati saja. Jangan terlalu happy saat kita dapat sesuatu, tapi juga jangan sedih dan depresi banget saat apa yang diharapkan tidak sesuai kenyataan. Enjoy saja.” Fuiiih… Jonas. Tahu banget dia, gimana bikin hatiku adem lagi.
            Sayang banget, waktu kami memang nggak banyak. Sebagian besar, habis di kantor. Andai aku bebas, Jonas pasti masuk kerja. Sebaliknya, andai cowok bertubuh atletis itu libur, akunya banyak acara di kantor. Hingga tidak ada kesempatan buat kami ketemuan, selain di kafe tempat dia bekerja.
*******
            Malam Minggu. Pantas, kafe tempat Jonas bekerja rame. Tyas yang baru kali ini kuajak makan bareng di sini, terlihat begitu antusias. Bolak-balik matanya melirik ke arah dapur saji, hingga mau tidak mau membuatku jengah…
            “Ssst…jangan ditunjukkin gitu dong, kalau kamu mau lihat Jonas. Malu kan?!” tegurku setengah berbisik. Apalagi kulihat, chef senior yang biasa bertugas selain Jonas itu tengah memperhatikan kami.
“Cieeee….malu atau cemburu?  Sori, aku terlalu antusias. Penasaran, mau tahu segimana dinginnya cowok yang membuat temanku ini jatuh cinta…”
“Apa??! Heiii..baru datang, udah bikin malu ya…Awas lho, jangan keceplosan ntar di depan Jonas…” Panik banget aku. Cewek ini memang suka ceplas-ceplos. Gimana coba, kalau Jonas tahu selama ini aku sering ngerumpiin dia dengan Tyas?
            “Ngomong-ngomong, mana Jonas… Buruan panggil dong…”
            Aku menggeleng-gelengkan kepala. Nggak sabar banget sih… Padahal dalam hati kecilku juga kecewa. Kelihatannya Jonas nggak masuk hari ini. Sayang banget, sejak awal kenal aku sama sekali tidak punya keberanian meminta nomer handphone-nya. Padahal kami sudah sering ngobrol begitu dekatnya. Masa cewek duluan yang minta nomer HP?  
            “Hus! Jangan berisik. Sejak tadi kita diperhatiin chef senior itu tuh…tahu!” bisikku. Tyas melirik ke arah dapur saji lagi…
            “Mana? Nggak ada tuh…. Cuma ada asisten-asisten chef di sana…” katanya lagi. Ah, yang bener saja? Kulihat tadi, jelas-jelas bapak-bapak tua yang mengenakan seragam chef itu memperhatikan kami berdua dengan tatapan dingin. Masa Tyas nggak melihatnya?
            “Masa sih, Tyas. Ada tuh, bapak-bapak yang suka ngelihatin kita dari tadi… Gara-gara kamu gelisah, memperhatikan anak buahnya bekerja kali…”
            “Nggak tuh..Nggak ada bapak-bapak tua, atau chef tua yang kamu bilang? Memang dia seniornya Jonas?”
            “Ya, kali. Soalnya jauh lebih tua dari Jonas… Dia tuh yang suka memperhatikan aku dan Jonas kalau lagi ngobrol. Sebel banget kan? Jangan-jangan sirik, karena Jonas punya waktu senggang…Sementara dia tetap saja di ruangannya, nggak kemana-mana…”
            “Kamu udah bilang Jonas? Kali itu atasan dia, ngerasa terganggu ngelihat kelakuan kalian berdua…”
            “Ya ampun, Tyas. Nggak lah…Kami makan dan ngobrol biasa. Lagian di luar jam tugas Jonas kok. Herannya laki-laki tua itu kenapa ya, merhatiinnya meja kami berdua saja? Perasaanku jadi nggak enak deh, seperti ada mata-mata ngawasin,” ucapku setengah berbisik. Entah mengapa, tiba-tiba perasaanku benar-benar nggak enak. Dingin. Ngomongin bapak tua itu, hatiku jadi nggak tenang seperti biasa….Perutku juga seperti diaduk-aduk, hingga aku pamit sama Tyas ke toilet…
            Deg! Jantungku mau copot rasanya. Gara-gara terburu-buru ke toilet, nyaris bertabrakan dengan seorang laki-laki, bertubuh besar, jangkung dan … Astaga! Chef tua itu…
            “Maaf mbak…Ingin ke kamar kecil? Sebelah kanan mbak, silahkan…” tegur pemilik suara itu. Badanku mendadak terasa begitu dingin. Angin seperti berhembus di tengkuk, hingga bulu kuduk ini meremang… Mata lelaki tua itu seperti ingin menguliti aku…Tajam dan dalam. Ampun…Jangan-jangan… Tanpa permisi atau mengucapkan terima kasih, buru-buru aku kabur kembali ke mejaku, tanpa ingat masalah perutku lagi...
            “Lho…kok cepet? Kamu baik-baik saja? Pucat banget gitu, seperti habis ketemu setan?”  ledek Tyas, melihat aku sudah duduk kembali di hadapannya.
            “Gila! Tadi aku nggak sengaja menabrak bapak tua yang kepala chef itu… Tatapannya aneh banget. Buru-buru aja aku balik, sampai lupa kalau sakit perut…”
            “Chef tua? Mana sih? Kamu dari tadi bilang ada chef tua yang gantiin Jonas. Nggak ada tuh? Ada juga chef muda yang tadi kutunjuk dan kamu bilang, dia bukan Jonas…”
            Aku mengusap mataku, lagi. Masa sih Tyas nggak nyadar, tadi ada chef yang sudah bapak-bapak itu di sana? Berarti dia…?
*******
            Bayanganku yang serem-serem soal chef itu nyaris kulupakan. Bahkan aku tidak menceritakan kejadian itu pada Jonas, takut dia menertawakan kekonyolanku. Hingga suatu sore, ketika aku tengah makan sendiri di kafe itu seperti biasa…
            “Terima kasih, mbak. Kami senang, mbak salah satu pelanggan tetap di sini. Semoga menu-menu kami tidak mengecewakan…” tegur pemilik suara berat itu. Jantungku mendadak berdetak makin kencang. Bapak tua itu! Ya, chef senior itu…. Kini sudah ada di depanku… Ya Tuhan, kenapa tanganku mendadak terasa begitu dingin ya?
            Kulirik sekilas, laki-laki tua ini tidak mengenakan seragam chefnya seperti biasa. Mungkin dia sedang tidak bertugas di dapur. Ya Tuhan, ngapain dia dekat-dekat aku? Untung dia segera berlalu. Iseng-iseng, kupanggil seorang pramusaji yang tengah melintas di dekatku.
            “Mas, tahu nggak chef kepala yang sudah bapak-bapak itu?”
            “Ohh…Chef Dudy? Dia memang senior di sini mbak, selain chef Radit. “
            “Chefnya bukan tiga? Ada Chef Jonas juga?” tanyaku, penasaran. Cowok yang masih kelihatan muda banget di depanku itu mendadak wajahnya berubah pucat dan sedih.
            “Maaf mbak,  memang betul dulu ada asisten chef, Chef Jonas. Sayangnya waktu terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan sebagian besar dapur kafe ini, beliau meninggal, terperangkap api…”
            Keringat mendadak membanjir di keningku. Jantungku seperti berhenti berdetak. Matamu terasa berat, berkunang-kunang. Berarti Jonas…(Ft: berbagai sumber)

1 komentar:

Sundari mengatakan...

berani taruhan 10 kantong keripik pedes, Chef JOnas ini adalah versi unreal-nya Chef Juna! haha...

Inti cerita sih masih sama kek kemaren2 walau dengan setting yang beda mbak stey, dimana tokoh kedua itu teryata udah meninggal. Coba diganti sekali-kali hehe..

Tapi, aku suka detilnya. aku pernah bilang kan, cerita mbak stey ini kuat di detil, bikin tokohnya terasa hidup. Kejadiannya terasa nyata dan kayak lagi nonton kehidupan tetangga sekitar.

jadi.. gimana taruhan kita? haha...