Kamis, 05 April 2012

angie



            Cantik! Wajah tirus, berleher jenjang dengan rambut lurus sebahu itu, menatapku dalam-dalam. Matanya yang sayu, berkaca-kaca. Seperti memendam kesedihan. Tapi lagi-lagi, aku nggak diberi kesempatan bertanya, apa yang bisa kubantuin. Karena dia keburu balik badan, pergi.
            Angie. Aku menamainya Angie… karena sampai detik ini, belum pernah bisa ngobrol langsung, nanyain siapa namanya atau di mana tinggalnya. Tapi setidaknya, aku sudah menganggapnya seperti teman. Tetangga-lah. Soalnya, tiap aku pulang kemaleman, selalu kulihat dia di kali kecil, dekat rumah, seperti nungguin seseorang.
            Dekat rumah, memang ada kali kecil. Biasanya kalo angkot atau ojekku nggak lewat jalan utama, depan gang, aku suka memilih turun dari depan kali situ. Trus jalan melewati sisi kali  yang remang-remang, karena tertutup rimbunnya pohon. Penerangan di situ juga sangat terbatas. Mungkin warga yang tinggal di sekitarnya, keberatan kalau dimintain iuran lagi buat bayar listrik dan membeli bolam lampunya. Padahal banyak yang manfaatin jalan potong itu, buat lalu lalang.  
            Soal kebersihan, memang sih, boleh dibilang rada jorok. Ya, gimana lagi… Sudah jalanannya mlipir begitu, warga nggak ada yang ngerasa memiliki. Mereka hanya bertanggungjawab sama jalan yang ada di depan rumah masing-masing… Kasian ya… Pantes saja, banyak rumput liar di sisi jalan, dibiarkan meninggi, belum lagi kalau ibu-ibu atau pedagang sayuran dan makanan, buang sampah. Hadeeehhh, main lempar saja, ke pojokan sono. Ntar giliran tukang sampah yang musti mungutin.
            Untung saja, kali atau sungainya nggak pernah banjir, sampai luber menggenangi rumah-rumah. Padahal tetangga kanan kiriku juga suka, ngebuang sampah ke sungai. Memang nggak terlalu dalam, tapi deras. Sebenernya, teman-teman sekantor udah menyarankan, aku pindah kontrakan. Soalnya lingkungannya jorok. Tapi mau gimana lagi… Aku suka di situ, karena dari kantor kalau lagi nggak males, jalan kaki pun bisa. Nggak musti naik ojek atau angkot. Irit kan? Juga lebih nyantai… Ada apa-apa di kantor, aku bisa langsung sampai dalam waktu singkat. Nggak kejebak macet.
            Balik soal Angie… Wajar, aku menaruh perhatian lebih sama cewek yang boleh dibilang seksi ini. Bibirnya merah, hidung mancung, bulu matanya tebal dan lentik. Bahkan, seleb yang biasa memakai bulu mata anti badai, kalah tuh lentik dan cantiknya! Nggak tau, kenapa. Sejak pertama, melihatnya berdiri sendiri di sisi sungai, aku tergerak buat menemaninya. Apa karena dia cantik kali ya? Naluriku sebagai laki-laki normal yang masih membujang dan jomblo, tergerak buat mengenalnya lebih jauh.
            Angie nggak seperti cewek-cewek di kompleks yang selalu obral senyum dan umbar sapaan, tiap ketemu denganku di ujung gang atau waktu sore-sore, melintas depan rumah. Dia nggak banyak bicara. Meski aku sudah berdehem, mencoba memancingnya buat nanya atau negor, dia tetep saja diam seribu  bahasa.
            Sore ini, hari sudah mulai gelap. Gerimis,  bikin udara di sekelilingku dingin. Kulihat, Angie berdiri di sana dengan sebuah payung, warna merah muda. Gila. Ngapain lagi, gerimis gini, nongkrong di sana? Okelah, kalau cuaca cerah, meski jujur juga rada aneh.  Buru-buru, aku dekati dia, takut hujan makin gede.
            “Gerimis… Nggak masuk aja ke dalam rumah? Rumahnya di mana sih?” Wusss! Aku jadi malu sendiri. Pertanyaan bodoh, langsung nanyain rumah. Pasti dia langsung berpikir, aku cowok kecentilan.
            Bener, kan?! Bukannya senyum atau menjawab pertanyaanku, dia malah balik memunggungiku. Tatapannya masih sama. Nanar. Matanya berkaca-kaca, sesekali dia mengusap pipinya yang mulai basah dengan tissue. Astaga… kenapa dia jadi sedih gitu?
            Dingin makin menggigit. Tengkukku ngerasa nggak enak, serasa ada pemberat ratusan kilogram… Jangan-jangan vertigo kambuh lagi. Aroma parfum cewek ini, juga makin membuatku kliyengan. Tau deh, apa merknya. Kalau boleh ditebak… antara melati atau  bunga sedap malam. Bbbrrr… Bulu kudukku meremang, perasaan nggak enak kembali menyergap. Aku mengutuki ketololanku sendiri. Masa parfum bunga sedap malam atau melati… kayak parfum orang mati dong.
            Beberapa kali, geledek mulai terdengar. Tanganku juga mulai basah, gerimisnya makin deras. Kulihat Angie, menoleh, melihatku sekilas. Jreengg! Tatapannya dingin dan sayu. Entah kenapa, jantungku berdebar kencang. Rasanya, bulu kudukku meremang dan tengkuk ini dingin. Dia nggak berkata apa-apa, hanya senyum sekilas, trus balik badan dan pergi meninggalkanku sendirian. Perempuan aneh!
*******

            Jakarta, membuatku gila. Berangkat ke kantor, ketika hari masih gelap, dan pulang pun ketika matahari sudah tenggelam. Bayangin, kapan aku pacarannya?  Sudah tiga hari ini, aku ngerasa badanku letih banget. Staminaku ngedrop, kecapekan kali ya. Sampai-sampai ngantor pun  sering nggak konsen. Rasanya waktu cepet banget berjalan. Aku baru duduk, mau kerja, tau-tau sudah malam, jatahnya pulang.
            Satu hal yang membuatku kesal. Anak-anak di kantor juga lagi sibuk ngejar tender masing-masing. Sampai-sampai kami nggak sempat lagi, makan bareng di kantin atau ngobrol di salah satu meja kami yang kosong. Semuanya asyik dengan urusan masing-masing.
            Sore ini, aku pulang lebih cepat dari biasa. Angie kulihat, sudah berdiri di sana, ketika aku mau menuju ke rumah. Tatapannya sama. Nanar dan dingin. Kali ini, aku harus bisa mendekatinya. Minimal tau, kenapa dia suka banget nongkrong di situ… Tempatnya kan jorok. Kadang bau air sungainya bercampur sampah. Kan enakan duduk di rumah, putar televisi atau ngerjain pekerjaan perempuan lainnya.
            “Angie.. “ Duuhh! Bodoh, banget! Aku juga kaget sendiri. Kenapa gue panggil dia Angie?
            Cewek itu nggak menoleh. Dia juga nggak peduli, meski aku berdiri, makin dekat dengannya. Tangannya yang memegang tissue, sesekali dia usapkan ke pipinya yang halus dan pucat itu.
            “Maaf, boleh tau, kamu tinggal di mana? Ngapain sering berdiri di sini?” tanyaku hati-hati. Cewek itu, cuek. Nggak menoleh,nggak senyum. Dingin.
            Brrr… Lagi-lagi aroma melati dan bau sedap malam, menusuk indra penciumanku. Tengkukku terasa ada angin bertiup. Dingin. Badanku menggigil. Antara dingin atau merinding, sudah nggak jelas lagi. Kuperhatiin Angie, dari ujung rambut, sampai ujung kaki, normal kok… Bahkan konyolnya, aku ngelirik kakinya. Jangan-jangan nggak napak? Orang bilang kan, di sungai suka ada kuntilanak.  Weittts,… ada tuh kakinya dan napak! Aku sampai senyum sendiri, menertawakan ketakutanku yang nggak beralasan.
            “Aku pulang duluan ya… Besok balik ke sini lagi. Kalau kamu mau balik, nggak usah nungguin aku…:”
            Aku bengong. Wah, akhirnyaaaaa.. Angie, mau juga ngomong. Suaranya yang lirih dan memendam kesedihan itu, terdengar begitu berat. Seperti orang yang tengah memendam luka begitu dalam.
            “Oh ya, kenalin aku  Dewa. Nama kamu siapa? Tinggal di mana?” Aku mengangsurkan tanganku, buat berjabat tangan. Tapi, Angie sama sekali nggak peduli. Dia malah ninggalin aku, terbengong-bengong sendiri.
            “Besok, besok aku akan kembali…” katanya, lirih.
            Bbbrrr. Perasaan nggak enak, kembali menyergapku. Apalagi ketika kulihat, dia menghilang di tikungan jalan, begitu cepat. Jangan-jangan…..
******
            Malam ini, aku memang pulang larut. Entah kenapa, aku suka ngelamun dan akhirnya hanya buang waktu di kantor. Teman-teman udah cabut duluan, aku belakangan. Tidak seperti biasanya, malam ini aku lihat Angie sudah berdiri di sana dengan membawa seikat bunga mawar putih.
            “Tumben, masih ada di sini jam segini… Nggak takut masuk angin? Udara malam kan nggak bagus…” kataku sambil merapatkan jaket. Bbbrrr. Lagi-lagi tulang-tulangku terasa linu, dinginnya menusuk sampai ke dalam persendian. Aroma bunga mawar yang dia bawa, makin bikin mabuk… baru aku nyadar, dari kemarin itu yang kucium bau mawar. Bukan melati atau sedap malam. Suka banget nih cewek sama mawar…
            “Buat siapa, bunganya? Dikasih cowoknya ya?” Doengg! Nggak sopan, banget. Aku sampai pengen menoyor kepalaku sendiri. Pertanyaan yang spontan banget, nggak bisa terkontrol akal sehatku. Untung, Angie nggak marah. Dia hanya menoleh, sekilas. Trus balik lagi, merhatiin arus air sungai yang deras.
            “Ngapain kamu musti lewat sini, tiap hari? Lewat jalan di depan sana, kan bisa…Sudah tau, tempatnya bahaya. Licin, sungainya deras. Masih saja, bandel…” Angie ngomel, aku bengong. Ya ampun, tau sih, aku selalu lewat sini?
            “Pilih jalan pintas saja kok… Kan kalau turun depan situ, masuknya lebih deket dari pinggir kali ini. Lurus saja, sampai. Tuh, rumahku lima rumah dari sini…Mau mampir?” kataku, sambil nunjuk rumah agak ke ujung.
            “Nggak bisa ya, sekali-kali denger saranku?”
            “Iya, iya… maaf. Aku bukan ngeles atau nggak menghargai pendapat kamu..” kataku, masih bingung. “Tapi, kenapa kamu perhatian sih, sama aku? Kita kan belum kenalan…”
            Aku menyodorkan tanganku, tapi dia masih cuek. Matanya yang berkaca-kaca itu, sekilas melirikku, lantas kembali memandang aliran sungai.
            “Lain kali, kita ngobrol lagi. Aku pulang dulu… “ Dia melemparkan bunga mawar putih itu ke sungai, lantas balik badan, meninggalkan aku sendiri yang belum sempat, komen apa-apa.
            Ya, besok kita ngobrol lagi, Angie, batinku bingung.
********

            Minggu yang aneh… Yup! Hampir seminggu ini, badanku sering meriang, kerja nggak tenang, ngelamun, tau-tau udah sore. Pulang, trus gitu..Rutinitas yang membosankan dan kadang, seperti lewat begitu saja. Tumben juga, temen-temen di kantor, malas melimpahiku pekerjaan seperti biasa. Sampai-sampai, mejaku kosong.  Kudengar dari meja sebelah, tugasku baru mereka koreksi.
            Pikir-pikir, kesempatan istirahat kali. Ngapain juga sok pahlawan, minta kerjaan tambahan. Kulihat jam di dinding, sudah waktunya pulang.  Aku memilih jalan kaki lagi, ya hitung-hitung olahraga dan hemat hahahaha… Kulihat dari kejauhan, Angie sudah berdiri di sana… di samping sungai yang airnya, sore ini kelihatan begitu deras.
            “Soreee…” sapaku. Eh, dia diem aja. Buset, dah. Senyumku yang selebar bintang iklan pasta gigi, juga dicuekin.
            “Hari ini, terakhir aku ke sini ya… Besok aku pindah.. Jaga diri, aku pasti kangen kamu…”
            Huaaaaaa… dia kangen aku? Astaga! Untung aku cowok. Kalau cewek, mungkin sudah merah padam mukaku, tersipu malu. Sejak kapan, dia jadi ngidolain aku? Kenal juga belum…
            “Kamu mau kemana? Mau pindah dari sini? Padahal rumahmu aja, belum tau.. Nama kamu??”
            “Nggak usah pikirin aku lagi ya… Aku bisa jaga diri. Kamu baik-baik di sana ya?” Mata gadis itu memerah, air matanya kembali menitik. Bbbrrr… Kenapa dingin ya, badanku. Perasaan nggak enak, apalagi pas dia menoleh dan menatapku dengan tatapan dingin, sebelum akhirnya, dia pergi meninggalkan aku terbengong-bengong, sendirian.
            “Mas… udah Mas… Yuk, kita pulang aja.. Mbak Via udah balik, nggak akan datang lagi besok..” celetuk seorang bocah berwajah tirus, yang tiba-tiba saja sudah ada di belakangku. Mungkin dari tadi dia ngikutin aku?
            “Yuk, Mas… Kita pulang…” Dia mau mengandeng tanganku, tapi aku mengelak. Geli. Nih bocah, aneh. Ngapain juga ngajakin pulang berduaan. Ntar dikira penduduk sini, ada apa-apanya kita.. Aku menggeleng. Buru-buru aku cabut dari situ, sambil merapatkan jaketku. Bulu kudukku meremang. Pas deket rumah, kulihat cewek itu sedang berbicara dengan warga di sini… Aku samperin, kali-kali saja ada yang bisa kutau lebih banyak, soal Angie…
            “Saya pamit ya, Pak… Nanti kalau lagi nyekar ke makam, saya akan mampir ke sini..” Cewek itu sepertinya sedih banget.”Saya titip, bungkusan ini buat keluarga Desta.”
            Duhhh! Desta kan, namaku?? Ngapain dia sebut-sebut…
            “Ya, Nak.. nanti saya sampaikan. Kasian juga keluarga nak Desta, terpukul banget waktu mereka dengar putranya hanyut, tenggelam di sungai, waktu berusaha nolongin Rano, adiknya, Mbak …”
            Kepalaku mendadak berdenyut. Pusing. Tiba-tiba, kurasa telapak tanganku ada yang menggenggam. Dingin. Aku menoleh.Seorang bocah belasan  tahun yang tadi kulihat, sudah berada di sampingku…
            “Yuk, Mas… Kita pulang aja…”  Pulang?! (Ft; berbagai sumber)

1 komentar:

Sundari mengatakan...

jadi,
namanya Dewa apa Desta nih?
hihi...