Cantik! Wajah tirus,
berleher jenjang dengan rambut lurus sebahu itu, menatapku dalam-dalam. Matanya
yang sayu, berkaca-kaca. Seperti memendam kesedihan. Tapi lagi-lagi, aku nggak
diberi kesempatan bertanya, apa yang bisa kubantuin. Karena dia keburu balik
badan, pergi.
Angie. Aku menamainya
Angie… karena sampai detik ini, belum pernah bisa ngobrol langsung, nanyain
siapa namanya atau di mana tinggalnya. Tapi setidaknya, aku sudah menganggapnya
seperti teman. Tetangga-lah. Soalnya, tiap aku pulang kemaleman, selalu kulihat
dia di kali kecil, dekat rumah, seperti nungguin seseorang.
Dekat rumah, memang ada
kali kecil. Biasanya kalo angkot atau ojekku nggak lewat jalan utama, depan
gang, aku suka memilih turun dari depan kali situ. Trus jalan melewati sisi
kali yang remang-remang, karena tertutup
rimbunnya pohon. Penerangan di situ juga sangat terbatas. Mungkin warga yang
tinggal di sekitarnya, keberatan kalau dimintain iuran lagi buat bayar listrik
dan membeli bolam lampunya. Padahal banyak yang manfaatin jalan potong itu,
buat lalu lalang.
Soal kebersihan, memang
sih, boleh dibilang rada jorok. Ya, gimana lagi… Sudah jalanannya mlipir
begitu, warga nggak ada yang ngerasa memiliki. Mereka hanya bertanggungjawab
sama jalan yang ada di depan rumah masing-masing… Kasian ya… Pantes saja,
banyak rumput liar di sisi jalan, dibiarkan meninggi, belum lagi kalau ibu-ibu
atau pedagang sayuran dan makanan, buang sampah. Hadeeehhh, main lempar saja,
ke pojokan sono. Ntar giliran tukang sampah yang musti mungutin.
Untung saja, kali atau
sungainya nggak pernah banjir, sampai luber menggenangi rumah-rumah. Padahal
tetangga kanan kiriku juga suka, ngebuang sampah ke sungai. Memang nggak
terlalu dalam, tapi deras. Sebenernya, teman-teman sekantor udah menyarankan,
aku pindah kontrakan. Soalnya lingkungannya jorok. Tapi mau gimana lagi… Aku
suka di situ, karena dari kantor kalau lagi nggak males, jalan kaki pun bisa.
Nggak musti naik ojek atau angkot. Irit kan? Juga lebih nyantai… Ada apa-apa di
kantor, aku bisa langsung sampai dalam waktu singkat. Nggak kejebak macet.
Balik soal Angie…
Wajar, aku menaruh perhatian lebih sama cewek yang boleh dibilang seksi ini.
Bibirnya merah, hidung mancung, bulu matanya tebal dan lentik. Bahkan, seleb
yang biasa memakai bulu mata anti badai, kalah tuh lentik dan cantiknya! Nggak
tau, kenapa. Sejak pertama, melihatnya berdiri sendiri di sisi sungai, aku
tergerak buat menemaninya. Apa karena dia cantik kali ya? Naluriku sebagai
laki-laki normal yang masih membujang dan jomblo, tergerak buat mengenalnya
lebih jauh.
Angie nggak seperti
cewek-cewek di kompleks yang selalu obral senyum dan umbar sapaan, tiap ketemu
denganku di ujung gang atau waktu sore-sore, melintas depan rumah. Dia nggak
banyak bicara. Meski aku sudah berdehem, mencoba memancingnya buat nanya atau
negor, dia tetep saja diam seribu
bahasa.
Sore ini, hari sudah
mulai gelap. Gerimis, bikin udara di
sekelilingku dingin. Kulihat, Angie berdiri di sana dengan sebuah payung, warna
merah muda. Gila. Ngapain lagi, gerimis gini, nongkrong di sana? Okelah, kalau
cuaca cerah, meski jujur juga rada aneh.
Buru-buru, aku dekati dia, takut hujan makin gede.
“Gerimis… Nggak masuk
aja ke dalam rumah? Rumahnya di mana sih?” Wusss! Aku jadi malu sendiri.
Pertanyaan bodoh, langsung nanyain rumah. Pasti dia langsung berpikir, aku
cowok kecentilan.
Bener, kan?! Bukannya
senyum atau menjawab pertanyaanku, dia malah balik memunggungiku. Tatapannya
masih sama. Nanar. Matanya berkaca-kaca, sesekali dia mengusap pipinya yang
mulai basah dengan tissue. Astaga… kenapa dia jadi sedih gitu?
Dingin makin menggigit.
Tengkukku ngerasa nggak enak, serasa ada pemberat ratusan kilogram…
Jangan-jangan vertigo kambuh lagi. Aroma parfum cewek ini, juga makin membuatku
kliyengan. Tau deh, apa merknya. Kalau boleh ditebak… antara melati atau bunga sedap malam. Bbbrrr… Bulu kudukku
meremang, perasaan nggak enak kembali menyergap. Aku mengutuki ketololanku
sendiri. Masa parfum bunga sedap malam atau melati… kayak parfum orang mati
dong.
Beberapa kali, geledek
mulai terdengar. Tanganku juga mulai basah, gerimisnya makin deras. Kulihat
Angie, menoleh, melihatku sekilas. Jreengg! Tatapannya dingin dan sayu. Entah
kenapa, jantungku berdebar kencang. Rasanya, bulu kudukku meremang dan tengkuk
ini dingin. Dia nggak berkata apa-apa, hanya senyum sekilas, trus balik badan
dan pergi meninggalkanku sendirian. Perempuan aneh!
*******
Jakarta, membuatku
gila. Berangkat ke kantor, ketika hari masih gelap, dan pulang pun ketika
matahari sudah tenggelam. Bayangin, kapan aku pacarannya? Sudah tiga hari ini, aku ngerasa badanku
letih banget. Staminaku ngedrop, kecapekan kali ya. Sampai-sampai ngantor pun sering nggak konsen. Rasanya waktu cepet
banget berjalan. Aku baru duduk, mau kerja, tau-tau sudah malam, jatahnya
pulang.
Satu hal yang membuatku
kesal. Anak-anak di kantor juga lagi sibuk ngejar tender masing-masing.
Sampai-sampai kami nggak sempat lagi, makan bareng di kantin atau ngobrol di
salah satu meja kami yang kosong. Semuanya asyik dengan urusan masing-masing.
Sore ini, aku pulang
lebih cepat dari biasa. Angie kulihat, sudah berdiri di sana, ketika aku mau
menuju ke rumah. Tatapannya sama. Nanar dan dingin. Kali ini, aku harus bisa
mendekatinya. Minimal tau, kenapa dia suka banget nongkrong di situ… Tempatnya
kan jorok. Kadang bau air sungainya bercampur sampah. Kan enakan duduk di
rumah, putar televisi atau ngerjain pekerjaan perempuan lainnya.
“Angie.. “ Duuhh!
Bodoh, banget! Aku juga kaget sendiri. Kenapa gue panggil dia Angie?
Cewek itu nggak
menoleh. Dia juga nggak peduli, meski aku berdiri, makin dekat dengannya.
Tangannya yang memegang tissue, sesekali dia usapkan ke pipinya yang halus dan
pucat itu.
“Maaf, boleh tau, kamu
tinggal di mana? Ngapain sering berdiri di sini?” tanyaku hati-hati. Cewek itu,
cuek. Nggak menoleh,nggak senyum. Dingin.
Brrr… Lagi-lagi aroma
melati dan bau sedap malam, menusuk indra penciumanku. Tengkukku terasa ada
angin bertiup. Dingin. Badanku menggigil. Antara dingin atau merinding, sudah
nggak jelas lagi. Kuperhatiin Angie, dari ujung rambut, sampai ujung kaki,
normal kok… Bahkan konyolnya, aku ngelirik kakinya. Jangan-jangan nggak napak?
Orang bilang kan, di sungai suka ada kuntilanak. Weittts,… ada tuh kakinya dan napak! Aku
sampai senyum sendiri, menertawakan ketakutanku yang nggak beralasan.
“Aku pulang duluan ya…
Besok balik ke sini lagi. Kalau kamu mau balik, nggak usah nungguin aku…:”
Aku bengong. Wah,
akhirnyaaaaa.. Angie, mau juga ngomong. Suaranya yang lirih dan memendam
kesedihan itu, terdengar begitu berat. Seperti orang yang tengah memendam luka
begitu dalam.
“Oh ya, kenalin
aku Dewa. Nama kamu siapa? Tinggal di
mana?” Aku mengangsurkan tanganku, buat berjabat tangan. Tapi, Angie sama
sekali nggak peduli. Dia malah ninggalin aku, terbengong-bengong sendiri.
“Besok, besok aku akan
kembali…” katanya, lirih.
Bbbrrr. Perasaan nggak
enak, kembali menyergapku. Apalagi ketika kulihat, dia menghilang di tikungan
jalan, begitu cepat. Jangan-jangan…..
******
Malam ini, aku memang
pulang larut. Entah kenapa, aku suka ngelamun dan akhirnya hanya buang waktu di
kantor. Teman-teman udah cabut duluan, aku belakangan. Tidak seperti biasanya,
malam ini aku lihat Angie sudah berdiri di sana dengan membawa seikat bunga
mawar putih.
“Tumben, masih ada di
sini jam segini… Nggak takut masuk angin? Udara malam kan nggak bagus…” kataku
sambil merapatkan jaket. Bbbrrr. Lagi-lagi tulang-tulangku terasa linu,
dinginnya menusuk sampai ke dalam persendian. Aroma bunga mawar yang dia bawa,
makin bikin mabuk… baru aku nyadar, dari kemarin itu yang kucium bau mawar.
Bukan melati atau sedap malam. Suka banget nih cewek sama mawar…
“Buat siapa, bunganya?
Dikasih cowoknya ya?” Doengg! Nggak sopan, banget. Aku sampai pengen menoyor
kepalaku sendiri. Pertanyaan yang spontan banget, nggak bisa terkontrol akal
sehatku. Untung, Angie nggak marah. Dia hanya menoleh, sekilas. Trus balik
lagi, merhatiin arus air sungai yang deras.
“Ngapain kamu musti
lewat sini, tiap hari? Lewat jalan di depan sana, kan bisa…Sudah tau, tempatnya
bahaya. Licin, sungainya deras. Masih saja, bandel…” Angie ngomel, aku bengong.
Ya ampun, tau sih, aku selalu lewat sini?
“Pilih jalan pintas
saja kok… Kan kalau turun depan situ, masuknya lebih deket dari pinggir kali
ini. Lurus saja, sampai. Tuh, rumahku lima rumah dari sini…Mau mampir?” kataku,
sambil nunjuk rumah agak ke ujung.
“Nggak bisa ya, sekali-kali
denger saranku?”
“Iya, iya… maaf. Aku
bukan ngeles atau nggak menghargai pendapat kamu..” kataku, masih bingung.
“Tapi, kenapa kamu perhatian sih, sama aku? Kita kan belum kenalan…”
Aku menyodorkan
tanganku, tapi dia masih cuek. Matanya yang berkaca-kaca itu, sekilas
melirikku, lantas kembali memandang aliran sungai.
“Lain kali, kita
ngobrol lagi. Aku pulang dulu… “ Dia melemparkan bunga mawar putih itu ke
sungai, lantas balik badan, meninggalkan aku sendiri yang belum sempat, komen
apa-apa.
Ya, besok kita ngobrol
lagi, Angie, batinku bingung.
********
Minggu yang aneh… Yup!
Hampir seminggu ini, badanku sering meriang, kerja nggak tenang, ngelamun,
tau-tau udah sore. Pulang, trus gitu..Rutinitas yang membosankan dan kadang,
seperti lewat begitu saja. Tumben juga, temen-temen di kantor, malas
melimpahiku pekerjaan seperti biasa. Sampai-sampai, mejaku kosong. Kudengar dari meja sebelah, tugasku baru
mereka koreksi.
Pikir-pikir, kesempatan
istirahat kali. Ngapain juga sok pahlawan, minta kerjaan tambahan. Kulihat jam
di dinding, sudah waktunya pulang. Aku
memilih jalan kaki lagi, ya hitung-hitung olahraga dan hemat hahahaha… Kulihat
dari kejauhan, Angie sudah berdiri di sana… di samping sungai yang airnya, sore
ini kelihatan begitu deras.
“Soreee…” sapaku. Eh,
dia diem aja. Buset, dah. Senyumku yang selebar bintang iklan pasta gigi, juga
dicuekin.
“Hari ini, terakhir aku
ke sini ya… Besok aku pindah.. Jaga diri, aku pasti kangen kamu…”
Huaaaaaa… dia kangen
aku? Astaga! Untung aku cowok. Kalau cewek, mungkin sudah merah padam mukaku,
tersipu malu. Sejak kapan, dia jadi ngidolain aku? Kenal juga belum…
“Kamu mau kemana? Mau
pindah dari sini? Padahal rumahmu aja, belum tau.. Nama kamu??”
“Nggak usah pikirin aku
lagi ya… Aku bisa jaga diri. Kamu baik-baik di sana ya?” Mata gadis itu
memerah, air matanya kembali menitik. Bbbrrr… Kenapa dingin ya, badanku.
Perasaan nggak enak, apalagi pas dia menoleh dan menatapku dengan tatapan
dingin, sebelum akhirnya, dia pergi meninggalkan aku terbengong-bengong,
sendirian.
“Mas… udah Mas… Yuk,
kita pulang aja.. Mbak Via udah balik, nggak akan datang lagi besok..” celetuk
seorang bocah berwajah tirus, yang tiba-tiba saja sudah ada di belakangku.
Mungkin dari tadi dia ngikutin aku?
“Yuk, Mas… Kita
pulang…” Dia mau mengandeng tanganku, tapi aku mengelak. Geli. Nih bocah, aneh.
Ngapain juga ngajakin pulang berduaan. Ntar dikira penduduk sini, ada
apa-apanya kita.. Aku menggeleng. Buru-buru aku cabut dari situ, sambil
merapatkan jaketku. Bulu kudukku meremang. Pas deket rumah, kulihat cewek itu
sedang berbicara dengan warga di sini… Aku samperin, kali-kali saja ada yang
bisa kutau lebih banyak, soal Angie…
“Saya pamit ya, Pak…
Nanti kalau lagi nyekar ke makam, saya akan mampir ke sini..” Cewek itu
sepertinya sedih banget.”Saya titip, bungkusan ini buat keluarga Desta.”
Duhhh! Desta kan,
namaku?? Ngapain dia sebut-sebut…
“Ya, Nak.. nanti saya
sampaikan. Kasian juga keluarga nak Desta, terpukul banget waktu mereka dengar
putranya hanyut, tenggelam di sungai, waktu berusaha nolongin Rano, adiknya,
Mbak …”
Kepalaku mendadak
berdenyut. Pusing. Tiba-tiba, kurasa telapak tanganku ada yang menggenggam.
Dingin. Aku menoleh.Seorang bocah belasan
tahun yang tadi kulihat, sudah berada di sampingku…
“Yuk, Mas… Kita pulang aja…” Pulang?! (Ft; berbagai sumber)
1 komentar:
jadi,
namanya Dewa apa Desta nih?
hihi...
Posting Komentar