Minggu, 05 Februari 2012

my bloody valentine



            Merah! Darah… dingin rasanya seluruh persendian ini, sampai ujung-ujung syaraf semua bebal. Mati rasa. Bayangan Cahaya, Reza, semua orang-orang yang aku cintai, berubah menjadi gumpalan-gumpalan darah beku yang menjijikkan, hingga membuat mata ini berkunang-kunang… Pusing.  Lagi-lagi aku melihat darah, yup… darah di mana-mana. Baunya anyir bikin mual. Ingin rasanya aku lari dari tempat itu, tapi kaki seperti terkubur di dalam tanah, kaku dan nggak seinci pun mampu digerakkan.
            Lamat-lamat kudengar suara orang bersenandung. Nadanya sedih, seperti perempuan yang tengah ditinggal oleh kekasihnya. Ya, kalau nggak salah….liriknya yang berbahasa Jawa halus itu mengisyaratkan kesepian dan kehilangan, karena kekasih yang dicintai, nggak kembali. Hiiih!
            Badanku linu, tulang-tulang rasanya sakit. Kaki seperti tidak menapak di tanah, karena bebal. Istilahnya kebas. Jangan-jangan ini namanya stroke? Halusinasi dengan hal-hal yang sebenarnya nggak pernah terjadi? Tapi kenapa bau darah itu tercium begitu nyata?
            Aku berusaha kabur dari tempat itu, meski kaki rasanya terpatri begitu kuat di tanah. Pendengaranku kembali menangkap suara perempuan yang tengah menangis, sambil menyanyi lagu yang begitu sedih….
            Penglihatanku makin kabur. Keringat, campur darah membuat mataku sulit dibuka dan melihat dengan jelas… Kenapa kepalaku jadi begitu dingin ya? Tanganku meraba rambut yang mendadak terasa begitu lepek dan dingin. Astagaaa! Darah… Basah!
            Badan ini limbung, bersamaan dengan nafas yang terasa makin berat, hingga akhirnya, ketika sepasang tangan dingin itu memegang kedua tanganku, badanku benar-benar terasa ringan. Ambruk, jatuh menghantam lantai. Gelap.
            Sakit. Berulangkali aku mengerjapkan mata, berusaha mengenali dimana sekarang berasa.  Surga? Atau malah neraka, karena belum banyak kebaikan yang kulakukan? Bau minyak kayu putih bercampur suara orang-orang di sekitarku, membuat kesadaranku sedikit demi sedikit pulih.
            “Syukur, kamu sudah bangun.  Kami semua ketakutan, sampai memanggil Pakde Rekso… Untung, kamu nggak apa-apa. Mimpi atau beneran kerasukan?”  Desi, teman kuliahku ternyata sudah di sisiku. Pakde Rekso, itu tetangga rumah yang sudah seperti paman aku sendiri. Biasa kami ngobrol di teras depan, sambil ngemil gorengan.  Desi sahabat terdekatku di  kampus juga mengenalnya.
            “Kata Pakde, kamu kecapekan dan pikiran kosong, makanya langsung ketempelan,” jelas Desi, sambil membantuku duduk.
            “Pakde sekarang di mana?”
            “Pulang, tadi. Begitu dia yakin, kamu nggak apa-apa, trus pulang. Soalnya mau ke rumah anaknya katanya…”
            Lumayan, ada Desi. Sahabat, sekaligus orang terdekatku di kota ini. Tinggal di rumah sendiri, bukan hal mudah bagi cewek seumuranku. Sebenernya, aku lebih suka kost daripada tinggal di rumah warisan keluarga ini. Tapi Mama bilang sayang, jangan dijual. Kalau dikontrakin juga ntar malah rusak. Belum tentu, orang yang mau ngontrak rajin merawat seisi rumah ini.
            Sejak Mama tinggal bersama Kak Sita di Padang, aku memang tinggal sendiri di rumah peninggalan Papa ini. Rumah berasitektur Belanda yang sebenernya juga awalnya milik eyangnya Papa. Bener-bener, rumah warisan. Turun temurun.
            Bukan rahasia lagi, kalo rumah yang aku tinggali sekarang, banyak “penghuni”nya. Tapi mereka semua sudah kuanggap teman baik, karena tidak pernah mengganggu.  Paling sesekali lewat seorang wanita separuh baya, berdandan ala noni jaman Belanda di belakangku, ketika aku sedang serius nonton televisi. Kadang wanita itu duduk di dekat piano, atau …. ikutan “menemani” aku mengerjakan tugas-tugas kampus.
            Prinsipku, makhluk halus itu tidak akan  mengganggu, selama mereka tidak diusik. Buktinya, kami masih bisa tinggal bersama, bersisian tanpa saling merugikan. Hanya saja, memang tamu-tamu, semua temanku yang belum terbiasa, selalu shock dan ketakutan kalo mampir ke rumah. Ekspresi mereka macam-macam. Ada yang langsung ngumpet di balik badanku, trus pamit pulang, ada yang kabur tunggang langgang, tetapi ada juga yang langsung pingsan hahahaha….
            Makanya, aku setengah nggak percaya, kalau sekarang Desi mengatakan, aku ketempelan. Selama ini, “penghuni” di rumahku bersahabat baik kok denganku… Malah mereka juga suka “membantu”. Buktinya, banyak maling  yang tadinya mau ngerjain rumah ini, kabur tunggang langgang. Bahkan ada yang jatuh dari plafon, kakinya patah. Ada yang ketimpa eternit yang tiba-tiba jebol… Banyak ceritanya…
            “Ngaco ah, Des… Nggak mungkin aku ketempelan…”
            Desi senyum. Dia membereskan buku-bukunya yang tadi berserakan di meja kamarku. Mungkin, sambil nungguin dia tadi belajar atau ngerjain tugas.
            “Ya udah kalo nggak percaya… Asal kamu jaga diri aja, ya… Jangan macem-macem deh, pake nyimpen-nyimpen barang berhala…”
            “Heehhh! Berhala gimana? Gila kamu ya… kan tau aku orang beragama. Ngapain percaya gituan..”
            Kaget. Kok bisa-bisanya Desi nyeplos begitu? Ternyata, Pakde yang bilang, kalo aku lagi ketempelen sama roh yang pengen “barang”nya dikembaliin. Nah lho… barang apaan pula… Meski selama ini aku bisa menghadapi semua makhluk halus di rumah, bukan berarti aku suka pegang jimat dan sejenisnya. Ihhh…nggak akan! Amit-amit.
            Omongan Desi itu, tidak kumasukin ke hati. Pasti dia juga mengatakan itu, karena Pakde. Padahal Pakde sendiri sampai saat ini, nggak bilang apa-apa. Tiap kami ketemuan, nggak pernah membahas masalah pingsannya aku kemarin.
*********

            Langit sudah gelap, ketika aku masuk ke kamar sambil membaca setumpuk buku. Peer. Buat ujian semesteran, bahannya banyak bener. Ketika tiba-tiba lagu sedih itu kembali terdengar. Badanku lemes, selemes-lemesnya. Bukan karena ketakutan, tapi entah kenapa seluruh sendi-sendiku seperti dilolosin. Sakit. Dingin menusuk tulang. Kayak malaekat pencabut nyawa sudah di depan mata. Apa ini, namanya mau menjelang ajal? Ya Tuhan… keringat dinginku mengucur deras. Badanku limbung, ketika mencoba mencapai tempat tidur.
            Merah… Ya, darah di mana-mana… Kasur, pinggiran tempat tidur, kursi, lantai… Pusing. Mataku berkunang-kunang. Ketika aku merasakan sesuatu yang ganjil di seberang sana… tepat di cermin panjang yang aku punya… satu sosok perempuan, terlihat jelas. Begitu jelasnya, sampai air mata perempuan itu pun kelihatan…. Dia menangis! Pipinya basah, matanya yang bulat dengan bulu mata lentik itu nggak berkedip menatapku. Telapak tangannya bertumpu pada cermin… berdarah!
            “Siiiii…siapa kamu?” tanyaku, nekad. Padahal jujur, aku nggak ingin bayangan perempuan itu menjawab. Tapi daripada dibunuh ketakutan dan penasaranku sendiri…
            Dia nggak menjawab… Tapi air matanya mengucur makin deras, bahkan akhirnya, berubah menjadi darah. Astagaaa. Air matanya, air mata darah. Kepalaku pusing. Bukan karena takut, tapi mual. Sejak melihat temanku jatuh dari motor, ketabrak angkot, aku jadi phobia kalau melihat darah. Langsung pusing dan gemeteran!
            Cewek itu masih menatapku, ketika aku berusaha mendekati cermin. Berani. Harus berani! Biasanya juga aku “sahabatan” dengan penghuni rumah ini. Mungkin ini penghuni baru? Gokil juga ya… Belum sampai ke depan cermin, blasss… cewek itu sudah menghilang, bersamaan dengan suara geledek dan hujan di luar sana. Fffuuihhh. Mimpi buruk. Anggap saja mimpi buruk… Aku menghibur diri sendiri. Buru-buru, naik ke tempat tidur, tutup selimut. Tidur! Tugas-tugas kampus? Bodo amat…. Pusing. Stress!
******
            Trauma soal darah itu, berusaha aku lupakan. Nyatanya nggak bisa, karena beberapa kali cewek itu kembali muncul. Bahkan pernah aku sampai mimpi dan sulit bangun, seperti orang ketindihan… Mimpinya, aku terjebak di satu ruangan, darah di mana-mana…tapi nggak ada satu orang pun di sana.
            “Jangan dipikirin, namanya juga mimpi. Lain kali, kurangi begadangnya. Lebih baik ngerjain apa-apa siang aja,” kata Bimo, cowok yang dua bulan ini resmi menjadi pacarku.
            “Ya, kakek!” kataku becanda, ketika cowok bertubuh atletis itu mengacak-acak rambutku, seperti memperlakukan anak kecil saja. Beruntung, aku memiliki Bimo. Ya, meski baru dua bulan resmi pacaran, tapi kami kenal sudah lama banget. Dia temanku waktu kecil hingga kami sama-sama duduk di bangku SMP, lantas dia pindah ke lain kota. Baru setengah tahun yang lalu ketemuan lagi, ternyata dia pindah ke kota ini… Dan lucunya, dia nembak, katanya dulu impiannya bisa pacaran sama aku. Ternyata beneran, sampai sekarang dia belum pernah deket sama cewek, karena kriterianya musti persis aku.
            Dua bulan saja, Bimo pedekate lagi. Dua bulan berikutnya dia resmi menjadi pacarku. Cowok itu memang baik, sama seperti dulu aku mengenalnya. Makanya, Mama pun tenang waktu aku ceritain dengan siapa aku jalan sekarang…
******
            Malam ini, niatku mau jalan bareng Bimo. Namanya juga mau Valentine. Ngerayain hari kasih sayang. Katanya dia mau kasih kejutan… Apaan lagi ya? Kemarin dia mengagetkan aku, karena memberikan sebuah cincin bermata biru, warna kesukaanku. Katanya itu baru permulaan.. Lantas? Apa dia mau mengajakku tunangan? Gila! Kenapa jadi geer gini…
            Sambil bersenandung, aku keluar dari kamar mandi ketika tiba-tiba kudengar senandung yang lain.. Lagu sedih itu lagi! Deg. Jantungku rasanya mau copot, ketika kulihat cermin di depan wastafel, … Darah! Merah di mana-mana, bersamaan dengan munculnya bayangan seorang perempuan. Wajah sedihnya itu menatapku tajam, nggak berkedip.
            Tubuhku bergetar, nafasku berat. Rasanya udara di sekelilingku mendadak abis. Kaki seakan terpatri di tempatnya. Ingin lari, nggak bisa. Mau teriak minta tolong, suaraku parau dan tercekat sampai tenggorokan saja. Hingga akhirnya, kulihat perempuan itu benar-benar seperti nyata… Dia maju, menghampiriku, sambil air matanya tak henti mengalir… Airmata darah..
            Jari-jarinya yang lentik dan berdarah-darah itu menyentuh pipiku, dingin! Detik berikutnya, aku nggak tau apa-apa. Gelap.

            Putih.  Warna yang pertamakali aku lihat. Ternyata aku di klinik 24 jam, deket rumah. Kuingat banget, karena dulu pernah masuk ke sini, gara-gara jatuh dari motor. Desi yang duduk di sisi tempat tidurku, menghapus air matanya. Ngapain lagi pake nangis? Lagian aku kan cuma pingsan?
            “Syukur, kamu nggak apa-apa. Aku sudah takut kehilangan kamu…Tadi detak jantungmu nyaris nggak terdeteksi lagi, waktu ditemukan pingsan di depan kamar mandi..”
            Huaah? Masa segitunya?
            “Serius?” Desi mengangguk….
            “Ya, udah, sekarang kamu tenang aja. Aku nggak apa-apa. Tolong dong, boleh nggak…telpon Bimo.. Kemarin dia titip tugas, aku lupa naroh bukunya..”
            Desi menggeleng. Tangisnya malah menjadi lagi.. Lha, kok malah sedih gini…
            “Bimo dirawat di ruang Mawar, lantai atas… soalnya luka-lukanya serius,” kata Desi, bagaikan bom meledak di siang hari. Bimo masuk rumah sakit juga? Kenapa?
            Pertanyaanku terjawab sudah. Malam itu, waktu kulihat sosok lain di cermin, bersamaan dengan datangnya Bimo. Cowok itu juga melihat perempuan yang mendekatiku, dia tunggang langgang sampai menabrak pintu kaca hingga pecah berhamburan…Sungguh terlalu. Siapa perempuan itu sampai mengganggu ketenangan kami?
            Seminggu kemudian, ketika Desi ke rumah dengan tatapan bingung. Dia cerita, polisi baru saja menjemput paksa Bimo dengan tuduhan dia terlibat dalam pembunuhan mantan pacarnya. Pacarnya ditemukan mati di apartemennya. Sekilas seperti korban perampokan, ternyata bukti susulan mengatakan dia dibunuh.  Motifnya? Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kenapa selama ini aku juga nggak tau, dia pernah punya pacar?
            “Nih beritanya, masuk koran kok.. ada foto ceweknya pula…” kata Desi sambil menyodorkan koran pagi. Waktu kulihat foto cewek itu, mataku berkunang-kunang. Rasanya darah di mana-mana…Merah! Ya, cewek itu, perempuan yang belakangan menerorku (ft: berbagai sumber)

Tidak ada komentar: