Senin, 12 Desember 2011

Tangisan Bayi Tengah Malam

            Tangis bayi??! Berulangkali aku berusaha menajamkan indra pendengaranku, tapi benar-benar bukan halusinasi. Apa yang barusan kudengar, suara bayi menangis. Lirih. Tersenggal-senggal, seperti kehausan, lapar atau malah kesulitan bernafas? Nggak. Kali saja, memang bayi itu lapar. Jatahnya sang ibu, buat menyusui. Hingga beberapa menit, tangis itu belum juga reda. Malah makin jelas, hingga membuat tidurku gelisah. Nggak bisa tenang…
            Beginilah resikonya, tinggal rumah petak, di mana dinding satu dengan lainnya berdempetan. Suara bayi menangis saja begitu jelas kedengeran, apalagi kalau tetangga berantem… Walahhh, bisa semalaman aku nggak tidur. Apalagi tetangga sebelah rumah nih, Bang Jafar dan Mpok Rohaya, pasangan betawi asli yang sejak menikah dan pindah ke rumah itu, mirip kucing dan anjing. Hobinya berantem mlulu. Nggak pernah akur. Masih mending, suaranya bisa ditahan. Giliran ribut, tetangga dari ujung ke ujung sampai tau. Bukan rahasia lagi…
            Untuk kesekian kalinya, aku ganti posisi tidur. Hadap tembok, balik lagi. Sama saja. Mata susah dipejamkan. Kalau pun mata ini mengatup, pikiran lari kemana-mana. Tangis bayi itu bikin stress. Heran. Sudah beberapa hari ini, tiap lewat magrib, apalagi tengah malam sering kedengaran. Padahal tetangga kan nggak ada yang punya bayi. Rata-rata anaknya sudah sekolah. Kalau pun ada pasangan muda, mereka belum dikaruniai anak.
            Bbbrrrr! Bulu romaku mendadak berdiri. Tengkuk terasa dingin. Malam ini seperti nggak ada tanda-tanda kehidupan di kampung tempatku tinggal. Semuanya sudah masuk dalam rumah masing-masing. Hujan sejak sore, bikin adem dan enak buat tidur cepat. Beda denganku yang malah sulit memejamkan mata.
            Gemerisik daun di luar sana, terdengar jelas. Maklum, persis di belakang jendela kamar kan ada rimbunan pohon bambu yang kalau tertiup angin menimbulkan suara gemerisik. Sudah lama aku pengen memotongnya, menebang habis tuh pohon. Geli dengernya. Lagi-lagi Bang Jafar yang sok tau mitos dan sebangsanya itu bilang, nggak boleh. Ntar penunggu pohon itu marah. Aneh. Hari gini masih percaya supranatural gitu. Kalau aku sih, nggak peduli. Mana ada, pohon ditungguin….
            Oeeekkkkk…oooeeekkk… bener. Suara bayi itu lagi? Bulu kudukku makin meremang, seiring dengan gemerisik bambu yang suaranya menggiriskan hati. Aku merapatkan sarung yang kupakai buat selimut. Tapi sama saja. Dingin yang mendirikan bulu roma itu terasa…Sampai-sampai, perasaanku mengatakan aku tidak sendiri di dalam kamar…Astagaaaa!
            Aku tangkupkan kedua telapak tanganku di wajah, sambil membaca doa. Nggak boleh, percaya yang aneh-aneh. Aku masih beriman… batinku, sambil berusaha tidur. Entah sampai pukul berapa, aku masih mendengar tangis bayi itu, sebelum akhirnya mata ini benar-benar terpejam. Aku tertidur, kelelahan.
*****************
            Rencana ikutan kerja bakti di kampung, nyaris batal. Gara-gara Bima, teman sekantor ngajakin nonton bola di GBK. Aneh-aneh saja tuh orang. Main bolanya jam berapa, kita datangnya jam berapa…
            “Pagian dong, Im. Biar kita bisa dapat posisi strategis. Selain itu kan banyak yang bisa dikecengin. Lucu-lucu lho yang nonton…” katanya, ketika menelponku pagi-pagi. Padahal aku sudah mengenakan t-shirt, celana bermuda, dan sandal jepit. Siap ngebantuin warga kampung bersih-bersih.
            “Apanya yang lucu? Ada ondel-ondel? Atau layar tancap??”
            “Haiyyyahhh kamu tuh, kayak aki-aki aja..Udah nggak up date.. Ya, cewek-ceweknya lah… Pantesan aja sampe sekarang masih dapat predikat jomblo. Lha, ngumpul acara beginian aja, kamu nggak pernah. Nyingkir duluan… Outbond orang kantor, misalnya? Kamu malah pilih nungguin renovasi rumah,” kata Bima lagi, setengah senewen.
            “Ya udahlah, ntar aku nyusul. Tapi masih ntar…kan acaranya masih sore. Sekarang mau bantuin kerja bakti dulu. Jangan sampai aku dicap sombong lagi, nggak peduli orang kampung…”
            “Trusssss, nasibku gimana??” Bisma kedengarannya kecewa.
            “Ya, kalau sabar, tungguin. Kalau nggak, kamu kan bisa ajak tuh Danesh dan Fikri datang pagian. Mereka kan juga mau nonton sore ini, rame-rame lagiiii…”
            “Ya udah, aku telpon mereka. Ntar jangan kelamaan ya kerja baktinya. Buruan telpon aku lagi…” Bisma menutup telepon. Aku tersenyum lega. Dasar tuh anak, dia saja yang nggak pernah gaul sama tetangga. Tinggalnya saja di apartemen. Beda sama aku yang baru sanggupnya bayar kontrakan rumah petak di kampung.
            Hueeekk! Nyaris aku muntah, ketika membersihkan selokan di samping rumah. Sampah main lempar begitu saja, selama ini. Mungkin anak-anak yang nggak diajarin, bagaimana musti menjaga lingkungan. Bayangin saja. Selokan sudah padat, tertimbun. Plastik kresek bekas belanjaan, daun, kertas, botol minuman, kaleng, ampunnn. Masih untung, air selokan nggak luber. Belum musim hujan dan kebanjiran. Coba kalau banjir, pasti sumber penyakit dan melebar ke mana-mana…
            Aku memang belum ada setahun tinggal di rumah petak ini, tapi rasanya sudah bertahun-tahun. Ya, karena pusing melihat kondisi sekeliling rumah yang jorok. Habis mau bagaimana lagi. Tahun ini aku harus super hemat, karena rencana tahun depan sudah mengambil cicilan rumah. Sementara waktulah, aku bersakit-sakit dulu…
            “Mas… sampahnya sudah bisa diangkut??” tanya Pak Jalil, tetangga depan rumah yang kebagian jatah ngangkutin ke bak sampah besar, membuyarkan lamunanku. Dia memang sehari-harinya bekerja di dinas kebersihan.
            “Oh, sudah Pak…Terima kasih… Saya sudah kumpulkan semuanya…” kataku, sambil membantu dia menarik wadah dari bambu yang buat mengangkut semua kotoran dan sampah tadi. Huueeekkk! Lagi-lagi aku hampir muntah. Untung masih bisa kutahan. Malu, kalau dibilang mentang-mentang kerjanya kantoran, kerja bakti sedikit saja sudah mabok.
            Sekeranjang besar sampah sudah diangkut, tapi aku masih menyapu halaman dengan sapu lidi, dekat rimbunan pohon bambu itu. Beberapa kali, angin yang bertiup kencang membuat sampah daun suka beterbangan. Sreeetttt! Pandanganku tertuju pada gundukan tanah, tak jauh dari pohon bambu. Kelihatannya bekas diaduk-aduk. Mungkin kucing atau anjing liar, menyimpan “harta karunnya” di situ? Kuingat waktu kecil, binatang itu kan suka mencuri ikan, lantas menggali tanah dan menyimpannya dulu di sana. Ntar giliran mereka lapar, mereka akan menggalinya lagi dan makan harta curiannya. Mmm, iya gitu kali… Sudahlah, masa aku mau merampas harta mereka. Kasihan. Lagian pasti jorok dan bau.
            Aku menyelesaikan kerja bakti pagi itu, dengan badan rontok. Rasanya persendian ini copot, pegal semua. Terpaksa, kubatalkan janjiku nonton bola. Biar Bima marah-marah dan ngomel nggak keruan. Soalnya kalau pun aku paksain, bisa-bisa besok malah tidak ke kantor karena sakit.
            Oeeekkk….oeeekkk! Tangis bayi lagi? Astaga! Kulihat jam di dinding. Masih pukul sebelas malam. Kepala ini berdenyut, pusing. Pegal seharian tadi masih terasa. Lumayan, bisa tidur. Keterlaluan tuh orangtua yang membiarkan bayinya menangis malam-malam gini. Mustinya langsung diberi susu atau dibujuk, agar bisa tidur. Kenapa suaranya masih kenceng gitu? Apa tetangga lain nggak terganggu juga? Aku balik badan, menutup telingaku dengan sarung. Bbbbrr.. Dingin. Tengkukku, terasa nggak enak. Aduh, kenapa lagi iniii…
            Mau nggak mau, aku turun juga dari tempat tidur. Bayanganku, tetangga pasti ada yang cuekin anaknya sampai nangis  begitu. Segera kuseduh segelas susu coklat, sebelum aku akhirnya duduk di ruang tamu, sambil menyalakan televisi. Jrenggg! Ampun, tengah malam isinya film horor pula. Kalau nggak, channel lainnya malah acara uji nyali. Apes banget sih. Kuingat, malam ini bukan malam Jum’at. Ngapain juga televisi kompakan memutar acara seram-seram sekarang?
            Peeettt!!!! Listrik mati! Gelap. Duuukk. Jantungku berdebar nggak keruan. Tangan ini meraba-raba, berusaha mencari jalan buat ke dapur. Kuingat, masih ada beberapa batang lilin. Tangis bayi itu masih terdengar, lirih dan menggiriskan hati. Ketika aku akhirnya berhasil menemukan lilin dan menyalakannya dengan kompor gas.. Ruang tengah, nggak gelap gulita lagi. Lega. Lamat-lamat, suara tangis bayi itu pun menghilang. Kayaknya kapan-kapan aku musti tanyain ke tetangga deh, siapa yang memiliki bayi dibiarkan kelaparan tiap malam.. Soalnya benar-benar mengganggu. Migrainku selalu kambuh, kalau tengah malam tiba-tiba terbangun dengar suara itu.
********
            Laporan kantor yang kubawa pulang ke rumah malam ini, benar-benar membuat kepalaku pening. Banyak koreksian. Keterlaluan juga tuh Dwi yang main mengundurkan diri, detik terakhir. Taunya, pekerjaan yang seharusnya sudah dia bereskan, malah dialihkan ke aku. Celakanya lagi, aku baru nyadar, dia nggak teliti. Acak-acakan… Banyak koreksian yang bakal membuatku terjaga sampai pagi. Soalnya kalau kukerjakan di kantor, nggak bakal keburu…
            Sreeekkkk…Sreeeekkk. Langkah orang diseret, kembali kudengar. Begitu dekat dengan jendela kamarku. Huhh! Siapa main mengendap-endap di deket jendela orang? Atau jangan-jangan selama ini, aku punya tetangga yang punya kelainan? Sukanya ngintipin orang?? Waduhh!
            Pusing aku mikirinnya. Mau dicuekin, suara itu masih saja terdengar. Ranting-ranting diinjak, lantas nggak lama, tangis bayi lagi. Aku mengacak-acak rambutku. Kesal. Baru mau mulai konsentrasi kerja, ada saja gangguannya.
            Jendela kamar kubuka, … “Siapa ya???!”
            Sepiiii. Nggak ada siapa-siapa. Aku malah mendengar suaraku, kok kenceng banget. Soalnya tetangga sudah menutup pintu rumah mereka rapat-rapat. Heran. Orang kota kok jam segini sudah mengunci pintu semua. Kayak di desa.
            Jendela mau kututup kembali, ketika tiba-tiba kulihat… seorang anak kecil, berdiri dengan kepala nunduk, dia menenteng sebuah boneka usang…Baju bocah itu nggak terlalu jelek. Bagus malah.. Tapi dekil. Bocah perempuan itu juga bertelanjang kaki, tubuhnya seperti belang-belang kena lumpur atau debu..
            “Heiii…kamu siapa? Ngapain di situ?” Bocah itu tidak menoleh, tidak bergeming di tempat dia berdiri. Bulu kudukku meremang. Perasaanku nggak enak. Tapi nggak mungkinlah, anak ini kan manusia juga… Paling dia abis dimarahin orangtuanya, trus ngambek dan berdiri di situ…dekat jendela rumahku.
            “Rumah kamu mana? Pulang gihhh…Udah malam…Ntar masuk angin di situ…” Dia diam saja. Nggak gerak. Angin yang bertiup, menyibak rambutnya yang ikal, berombak, menutupi sebagian wajahnya… Dueeerrr!!! Wajahnya seperti ada gurat luka memanjang, merah…Berdarah!!!
            Aku melongo. Kaget. Nggak bisa ngomong apa-apa, pas cewek itu perlahan-lahan mendongakkan kepalanya. Wajahnya langsung terlihat begitu jelas, … wajah perempuan yang pipinya terdapat luka memanjang dan menganga lebar, masih ada darah merembes dari situ!
            “Kamuuuu???” Gadis cilik itu nggak menjawab, dia langsung balik badan dan menghilang dalam kegelapan. Aku tertegun, bengong dan shock berdiri di tempat itu, entah berapa lama…Baru nyadar, pas handphoneku bunyi… Bisma.
            Kejadian malam itu, nggak kuceritakan pada siapa pun, terutama Bisma. Bisa saja, temanku itu malah menganggapku gila. Mana ada sih, malam-malam bocah cewek keluyuran, trus wajahnya berdarah-darah? Belum lagi ceritaku soal suara bayi..Pasti ujung-ujungnya aku disuruh pindah apartemen. Lebih aman, nyaman.
********
            Minggu pagi kali ini, aku sempatkan diri buat olahraga. Lari keliling rumah kontrakan, lantas senam sekedarnya di depan rumah. Kulihat Mpok Rohaya dan Bang Jafar, lagi beres-beres halaman.
            “Pagiiiii….” Sapaku. Bang Jafar dan Mpok Rohaya kaget.  Mereka saling pandang, pas ngeliat aku sudah mengenakan baju olahraga…Mpok Rohaya, masuk ke dalam, sementara Bang Jafar ngeliatin aku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
            “Oh iya,….udah lama nggak olahraga, bang….” Cowok itu mengangguk-angguk, lantas meneruskan pekerjaannya, merapikan halaman…
            “Hebat, mas saya perhatiin rajin banget. Kerja sampai malam, pagi-pagi olahraga..”
            “Ya,  kebutuhan Bang. Pengennya sih, pulang cepet. Tapi selalu ada saja lemburan kantor..Herannya di sini warga sore-sore udah ngunci pintu ya Bang. Padahal kan belum lama bener. Sepiii jadinya…”
            Abang Jafar tiba-tiba menghentikan pekerjaannya. Dia terduduk, mengusap keringat yang membanjir, sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu…
            “Kenapa Bang? Sakit?” Aku jadi bingung.. Bang Jafar menggeleng. Dia nunjuk aku, supaya ikut duduk di sampingnya….
            “Abang udah lama mau negor kamu, sebaiknya jangan pulang malam. Minimal kalau lembur di rumah, kunci pintu rapat-rapat….”
            “Ohhhh….rawan todongan atau maling, Bang?”
            “Bukannnn… Pernah kejadian, seorang warna di sini nggak nyadar dirinya hamil. Sampai lima bulan! Dia main pijat, kerik saja….akhirnya tuh bayi keluar… Seluruh warga sampai panik, kami berusaha nahan bayinya nggak sampai jatuh…Soalnya kan masih kelilit tali pusar…”
            Glekkkkkk. Bulu kudukku meremang. Aku sampai nggak bergerak, susah bernafas, denger cerita Bang Jafar….
            “Trus ibunya tuh bayi??? Bayinya???”
            “Ibunya selamat, warga sini bawa ke rumah sakit. Tapi bayinya nggak bisa diselamatkan. Dia dimakamkan di sini juga…Yah namanya orang nggak mampu, dimakamkan di pekarangan..Sejak kejadian itu, warga suka merasa melihat anak kecil jalan sendirian…atau mereka denger tangis bayi…Makanya rumah selalu dikunci rapat-rapat, padahal belum terlalu malam. Mereka takut, bawa sial…”
            Aku mengangguk-angguk. Paham sekarang, kenapa warga di sini suka mengurung diri sore-sore.. “Keluarga bayi itu tinggal di mana Bang? Saya kenal mereka?”
            Bang Jafar menggeleng. Dia melihat ke sekeliling rumah, lantas menatapku dalam-dalam, seperti mau menceritakan sesuatu yang sangat rahasia dan penting….
            “Mereka sudah pindah. Kabarnya  ibu kandung perempuan yang keguguran itu, memintanya balik ke rumah mereka…Asal mas tau saja… Dulumereka tinggal di samping rumah mas… dan jenasah bayi itu dimakamkan di dekat jendela mas, tepat dibawah pohon bambu. Tapi nggak dikasih nisan…sekedarnya gitu…”
            Wussss! Badanku langsung terasa enteng. Kepalaku berkunang-kunang. Jadi?? (Ft: Berbagai Sumber)

1 komentar:

Sundari mengatakan...

inget Sotja.. huks.. kalo baca bayi-bayi-an aku jadi kepikiran Sotja.. pengen pulang..
hi hi...