Senin, 12 Desember 2011

Misteri 11 Januari



            Kebaya warna merah jambu itu masih tergeletak di tempat semula, kardus warna coklat bermotif batik. Nggak ada yang berani memindahkan atau mengambil dan membawanya pulang. Meski semua orang yang melihatnya pasti tau, itu baju mahal. Bahannya sangat halus, motifnya indah dengan jahitan sempurna. Pasti, perempuan yang mengenakannya akan terlihat makin cantik. Masalahnya, kebaya itu menjadi salah satu barang bukti tewasnya seorang pesinden lokal yang belum lama ini ditemukan, meninggal di kamar kontrakannya dengan kepala memar. Dugaan sementara, dia terpeleset, kepalanya jatuh menghantam meja hingga mengalami pendarahan di otak.
            Barang-barang di kamarnya,  masih rapi. Tumpukan kain, selendang  dan saputangan yang masih harum, tertata rapi di dalam keranjang plastik. Tempat baju-baju yang baru selesai disetrika. Beberapa kebaya juga masih ada dalam gantungan. Sementara satu buah kebaya merah jambu itu yang kelihatannya baru, alias belum pernah dipakai, masih terbungkus plastik dan diletakkan dalam kardus coklat bermotif batik. Nggak ada tanda-tanda kekerasan di dalam kamar, selain lantai yang lengket bekas gel rambut yang konon diduga sebagai penyebab Srintil, panggilan akrab sinden itu terpeleset dan meninggal karena luka dalam.
            Paling nggak enak ya begini ini… memiliki usaha kamar kost-kostan yang penghuninya kondang. Soalnya, baru meninggal saja sudah digosipkan macam-macam. Berulangkali aku musti menolak wartawan yang datang, ingin wawancara aku, maupun anak kost lainnya. Nggak etislah, menurutku Srintil yang tinggal di kamar paling ujung, dekat tangga yang menuju lantai dua, rumahku ini, dibilang simpanannya pejabat. Makanya dia dibunuh oleh istri tuanya yang cemburu. Lain lagi cerita wartawan yang dari tabloid hiburan. Dia mengatakan, Srintil memiliki banyak saingan. Wajar kalau salah satu di antara kompetiternya itu, sakit hati. Lantas menggunakan berbagai cara buat menyingkirkannya.
            Gila. Hari gini, semua orang membahas orang meninggal saja dengan berbagai versi. Hiperbola. Berlebihan, menurutku. Karena setauku, wanita yang berasal dari Purwakarta itu tidak memiliki musuh.  Srintil, pribadi menyenangkan. Periang, santun, tidak suka ngegosip, ringan tangan, dan gampang membaur dalam lingkungan mana pun.
            Ingat banget, waktu dia baru satu bulan datang ke kost, dia nggak segan ikut membantu Bik Atun, pembantu kost merapikan dapur. Kadang Srintil menemaniku berkebun, membuang ilalang dan daun-daun kering. Sesekali dia beri kami kejutan dengan gorengan pisang dan sukunnya yang enak. Entah, apa bumbunya. Tapi kalau dia yang bikin, pasti rasanya beda. Kata Srintil, mungkin karena menggorengnya memakai cinta. Duhhh…nih, anak…selalu saja bisa membuat kami, seisi rumah senyum.
            Meski perempuan, dia sangat mandiri. Sampai-sampai, mengutak-atik motornya yang ngadat atau mengangkat belanjaan segitu banyak, dia lakukan sendiri. Pernah, dia minta ijin aku, mau mengubah tata letak kamar, sekaligus warna cat dindingnya. Aku sih mengiyakan, karena kupikir malah bagus. Nggak perlu rehab dengan biaya sendiri. Pasti juga Srintil nggak akan repot, dia tinggal panggil tukang.
            Tebakanku meleset. Srintil ngerjain semuanya sendiri. Dua hari aku tidur di rumah mama, sehingga sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di kost-kostan. Siang itu, waktu kumasuk rumah, kedengaran suara berisik dari arah kamar Srintil. Gubrakkkkk! Klontangggg… Astagaaa. Apaan itu? Buru-buru kusamperin ke arah suara itu berasal, takutnya ada maling atau jangan-jangan Bik Atun yang lagi beres-beres trus jatuh. Dan…astagaaa… Aku nggak bisa menahan tawa, tapi juga kasihan begitu melihat ekspresi Srintil yang tengkurap di lantai, tertimpa tangga, sementara badannya berlumuran cat. Rupanya dia ancang-ancang naik tangga, mau ngecat kamar. Tapi entah gimana, dia terpeleset, tangganya ngejatuhin dia lengkap dengan kaleng cat yang dia gantungin…
            “Yahhh, mbak Jasmin. Kok malah saya diketawain??” Katanya polos. Ya, gimana nggak mau ketawa, ngelihat posisinya kocak abis. Buru-buru aku letakkan belanjaanku, lantas kubantuin dia bangun. Kamar yang katanya mau diperbaiki dan dipercantik, malah porak-poranda nggak keruan. Akhirnya, dia menyerah juga. Kami memanggil tukang, buat mengecat kamar dan membantu memindahkan perabot kamar, seperti yang diinginkan Srintil.
            “Maksud saya ngerjain sendiri kan lebih kreatif mbak… Hasilnya, bisa dimacem-macemin.  Nggak kaku, seperti kerjaannya tukang,” katanya ngeles, waktu kulihat kamar dia akhirnya rapi kembali.
            “Kreatif, kalau badan kamu biru semua, gara-gara jatuh dan ketimpa barang-barang gimana? Masih untung cuma benjol, kalau patah kaki, kesleo, gegar otak, kan bahaya…Seluruh warga Purwakarta bisa demo ke sini, nuntut mbak musti bertanggungjawab sebagai pemilik kost.”
            “Walahhh, jangan lebai gitu dong mbak…Masa sampai gegar otak segala, serem ahhh,” katanya sambil menggelendot, manja di pundakku. Srintil memang sudah seperti adik kandungku sendiri. Secara aku juga lahir sebagai anak tunggal, lantas dikasih wewenang mama buat ngurusin kost, sementara mama tinggal di rumahnya menjalankan usaha catering.
            Srintil sendiri yang kutau, dia bungsu dari 4 bersaudara. Beda usianya dengan kakak-kakaknya lumayan jauh, katanya sih tadinya orang tuanya yang pengusaha kripik itu sudah tidak ingin punya momongan lagi. Srintil ini hasil kecolongan. Makanya, dia manja banget. Pas di kost, ketemunya aku yang suka kesepian, karena nggak ada saudara. Ya, klop.
            Satu hal lagi yang kukagumi dari dia, soal suara. Suaranya memang bagus, bahkan boleh dibilang nggak kalah dengan penyanyi yang biasa muncul di televisi. Hanya soal keberuntungan saja, dia kalah. Makanya dia memilih menjadi sinden, khusus buat acara pernikahan, hajatan.
            “Susah ya mbak, cari uang di Jakarta. Musti pinter-pinter lihat celahnya, selain itu juga ngati-ati. Soalnya mencari orang yang tulus mau memberi kita pekerjaan halal, juga makin sedikit,” keluhnya, sore itu ketika kami sedang ngobrol di teras, sambil makan singkong goreng bikinan Bik Atun.
            “Ya, kerja apa pun nggak perlu malu kok, Sri. Yang penting, halal dan kamu juga tulus, senang ngejalaninnya…” kataku, sambil memperhatikan dia membetulkan kancing kebayanya yang copot.
            “Ntar kalau Sri terkenal, hidup sudah jauh kecukupan, nggak bakal lupain mbak deh. Kita masih bisa ngobrol bareng kan mbak…Trus jalan-jalan ke tempat bagus, nanti aku yang traktirrr hihihihi….”
            Perempuan ini memang polos, baik. Suka terharu aku, kalau dengar dia cerita. Gara-gara takut membebani orangtuanya, dia memilih menerima pekerjaan sebagai penyanyi kafe. Tapi nggak lama,…karena dia mengaku tidak suka tempat dia bekerja. Banyak asap rokok dan bau minuman keras, bikin dia sering sesak nafas. Kini, dia memilih bekerja sebagai sinden, khusus hajatan, kawinan. Ternyata rejeki memang sudah Tuhan yang atur. Dia nggak pernah kekurangan pekerjaan. Bahkan makin hari, jadwal manggungnya makin banyak. Sampai menolak-nolak, kalau jadwalnya bentrok.
            Rencananya mau kuliah lagi pun, tertunda. Srintil  bahkan sudah bergabung dengan sebuah Event Organizer (EO) besar, yang jadwalnya gila-gilaan. Lihat saja, kebayanya yang selama ini nggak lebih dari lima buah saja, suka dia bolak balik pakai lagi, sekarang sudah dua almari. Belum lagi pernik-perniknya. Selop cantik, asesoris anting, kalung, pelengkap kebaya, sampai sanggul tambahan, buat dia tampil. Karena aslinya, rambut Srintil hanya sebahu saja panjangnya.
            Senang. Bangga. Aku ikutan bahagia, melihat Srintil berhasil. Meski tidak jarang, aku suka wanti-wanti supaya dia berhati-hati. Namanya manusia, ngeliat barang cantik dan mulus seperti dia pasti tergoda. Apalagi Srintil dikaruniai kulit putih, tubuh proporsional, mata bulat dengan bulu mata lentik, leher jenjang,  dan hidung bangir… Sempurna. Giliran dia pakai kebaya, makin menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah, mmm… andai aku laki-laki, pasti juga sudah naksir berat.
            “Tenang. Jangan khawatir, mbak. Aku juga lihat-lihat kok, kalau klien macem-macem. Nggak pernah aku mau ikutan after party atau pesta yang diadakan abis acara pernikahan di tempat dugem, malam-malam pula. Aku juga kan nggak tahan, asap rokok, bau minuman…bisa muntah-muntah dan bengek aku, mbak…”
            Lega, aku mendengarnya. Hingga suatu hari, kulihat Srintil nggak ceria seperti biasa. Wajahnya murung, bahkan beberapa kebaya yang biasa dia gantung rapi, masih kelihatan berantakan di atas tempat tidur. Pintu kamarnya dia biarkan setengah terbuka, makanya nggak sengaja aku melihat semua ini, hingga membuatku ingin tahu, apa masalahnya…
            “Sri, kamu sakit? Kok pucat banget wajahnya…Bengong dari tadi, mbak perhatiin. Kamu nggak nyadar kan, mbak di depan pintu lamaan?”
            Sri diam, dia masih termenung, seperti memikirkan sesuatu. Omonganku pun kelihatannya nggak dia dengerin. Sampai akhirnya, aku duduk di sampingnya, dia tergagap kaget…
            “Mbak?? Kapan datangnya? Bukannya tadi mau nengokin mama mbak, trus nginap di sana?”
            Mata bulat itu berkaca-kaca. Kulihat, jemarinya yang lentik dan biasa menggunakan cat kuku warna soft itu, menggenggam amplop surat. Kelihatannya, surat itu yang membuatnya gelisah…
            “Kabar dari bapak ibu kamu? “
            “Nggak mbak…Ini hanya surat…” Suaranya menggantung. Aku memilih diam, nggak memaksa kalau dia nggak mau cerita. Mungkin saja, masalahnya terlalu pribadi. Jangan-jangan, dia mulai jatuh cinta nihhh..
            “Ini hanya surat dari temanku di Purwakarta. Dia mau ke Jakarta, nengokin aku…”
            “Lha, baguslah…Kenapa bingung? Mmm, teman spesial ya?”
            “Ah, mbak asal deh…Semua teman, spesial kok bagi Sri..” Wajahnya bersemu merah. Nggak salah lagi, pasti ini kaitannya sama cowok. Soal cinta.
            ‘Trus, kenapa? Biarin dia main ke sini…kenalin sama mbak, kali aja mbak bisa kasih pandangan buat kamu…Mungkin juga dia suka sama kamu atau sebaliknya?? Hayooo…”
            Srintil senyum. Mendung di wajahnya, nggak kelihatan lagi. Meski matanya masih menyiratkan, kebimbangan. “Dia sudah lama bilang, suka dan mau melamar Sri, tapi akunya yang belum bisa. Masih ingin bekerja, masih ingin bergaul dan mengenal banyak orang, mbak…”
            Oooh, itu ternyata masalahnya. Memang kalau di daerah, gadis seusia Sri itu sudah layak menikah, berkeluarga. Biasanya, perempuan urusannya di dapur dan ngurusin anak. Hari gini, adat seperti itu masih ada. Tapi Sri nggak mau mengalami nasib sama dengan perempuan di kampungnya. Dia masih punya tekad, menyelesaikan kuliah. Lantas bekerja kantoran…
*************
            Masalah Sri dengan teman lelakinya di desa dia, kelihatannya masih menggantung. Nggak jelas. Soalnya laki-laki yang bernama Bondan itu, ketika datang ke kost juga masih belum bisa menerima penolakan Sri, lengkap beserta alasannya. Mereka memang teman main sejak kecil. Bahkan kedua orangtua mereka pernah bercanda, ingin menjodohkan anak mereka. Mungkin karena itu pula, Bondan kepedean. Dia merasa, Sri pasti akan menjadi miliknya.
            Parahnya, pria anak pengusaha furniture itu playboy kelas kakap. Suka menggandeng perempuan, berganti-ganti.  Sisi lain dia juga posesif berat. Bondan nggak suka melihat Srintil menyanyi di depan banyak laki-laki, trus terima sms atau bbm dari pria, apalagi terima bingkisan. Maklum saja sebagai sinden acara hajatan, Sri sering memperoleh tips berupa uang, kadang barang tanda terima kasih.
            Pernah kejadian, Sri menerima tamu seorang laki-laki yang sebenarnya seumuran dengan ayahku almarhum. Beliau juga sangat santun, orang terhormat. Kedatangannya mau tandatangan kontrak dengan Sri, buat acara pameran kesenian. Apa yang terjadi? Bondan pas datang, nengokin Sri. Melihat tamunya itu, dia main hajar saja. Kerah baju itu Bapak, dia tarik dan hampir wajah bapak yang separuh baya itu kena bogem mentahnya. Sri sampai menjerit, ketakutan. Nggak puas itu saja, Bondan menarik tangan Sri, menyuruhnya masuk dan jangan keluar lagi, sampai Bapak itu pergi. Pulang.
            Keterlaluan memang. Nggak heran, kudengar dari Srintil dia minta putus sama tuh cowok, meski Bondan nggak langsung mengiyakan. Tapi Sri selalu menghindarinya. Entah telpon, bbm, sms, sampai kalau muncul ke kost pun, Sri nggak akan menampakkan batang hidungnya.
            Srintil memang sinden primadona. Belakangan juga ada dua cowok yang menunjukkan perhatian ekstra. Prabu dan Ihsan. Kedua-duanya bekerja di satu building yang sama, tetapi lain perusahaan dan profesi. Entah gimana ceritanya, mereka bisa mengenal Sri, hingga akhirnya suka muncul ke rumah.
            Senang aku melihat Prabu. Dia eksekutif muda, gayanya sangat laki-laki. Macho. Santun. Etikanya ada. Selain itu, kehidupannya juga kulihat sudah mapan. Terbukti dari dua mobil sedan yang sering dia pakai secara bergantian, waktu main ke rumah.  Beda dengan Ihsan yang agak temperamen, suaranya aja kenceng ketika bicara. Maklum, mungkin karena dia biasa memimpin proyek di lapangan… Soal masa depan, dia juga pria mapan. Meski kadang slonong boy, alias tata kramanya nggak ada. Suka urakan. Kata Sri, dulu memang Ihsan anak jalanan yang insaf, terus kerja kantoran dan sukses.
            Herannya, Sri malah kelihatannya lebih suka sama Ihsan yang temperamen, slebor ini. Alasannya sih, karena Ihsan mendapatkan semua miliknya sekarang itu dari hasil keringat dia sendiri. Pekerja keras. Beda dengan Prabu yang bapaknya juga punya posisi bagus di sebuah bank swasta. Jadi Prabu lahir dari keluarga yang punya fasilitas lengkap.
            Minggu pagi, kost sepi. Maklum liburan semesteran. Anak-anak kost di rumah ini, kebanyakan masih kuliah. Makanya sekarang pada mudik, kecuali Srintil  yang sudah bekerja. Kucari-cari Bik Atun nggak ada di belakang. Baru kuingat, semalam kupesan banyak belanjaan. Mungkin dia sudah berangkat ke pasar, takut kesiangan, ntar banyak barang habis. Kulihat Sri belum juga bangun, padahal matahari sudah tinggi. Tumben nih, anak…
            “Sriiii…udah bangun belum? Udah siang lho, ntar rejekinya kabur…” kataku, sambil mengetuk pintu kamarnya. Sepi. Nggak ada jawaban. Pintu kembali kuketuk, beberapa kali… Sama. Kuintip dari lubang kunci, ada kunci tertempel dari dalam. Artinya, di dalam ada orang dong… Kok Sri nggak bangun juga?
            Penasaran, aku ketuk pintu lagi, sambil memegang gerendel pintu. Lha, kok nggak terkunci? Taunya, kunci dari dalam itu hanya disangkutin, tapi pintu nggak dikunci. “Sri, mbak masuk ya…” kataku sekali lagi, sambil membuka pintu.
            Jleeebbb!! Jantungku mau copot. Kulihat Sri sudah terbujur dalam posisi tertelungkup di lantai, tidak bergerak sama sekali. Buru-buru kuhampiri dia, kubalikkan badannya… Wajahnya sudah pucat, membiru. Badannya dingin, kaku. Dahinya biru, lebam, seperti habis menghantam sesuatu. Hidungnya keluar sedikit darah, seperti orang mimisan. Aku panik. Tubuhku juga mungil. Ingin mengangkatnya ke kasur, nggak kuat. Kusambar saja handphone dia yang masih tergeletak di atas tempat tidur, lantas kuhubungi ambulance.
            Shock. Sri  dinyatakan sudah meninggal beberapa jam, sebelum aku temukan. Alasan sementara, pendarahan di dalam kepala, karena benturan keras. Memang, dahinya lebam, biru dan benjol besar. Dugaan lain, dia jatuh terbentur gara-gara terpeleset, ada bagian lantai yang licin seperti bekas gel. Waktu dicocokin memang gel itu biasa dipakai Sri buat merapikan rambutnya. Sisanya juga masih ada di meja rias…
            Sungguh, aku sangat terpukul. Sebagai orang yang ngerasa paling dekat dengannya selama di Jakarta, seperti kakaknya sendiri… dan aku orang pertama yang menemukan dia meninggal. Kenapa dia meninggalnya tragis begitu? Sri dimakamkan di kota kelahirannya. Sedih. Sepi, kost ini rasanya. Meski semua penghuninya sudah balik dari mudik, aku tetap merasa kehilangan.
****************
Sebelas Januari bertemu, menjalani kisah cinta ini
Naluri berkata engkaulah milikku. Bahagia selalu dimiliki. Bertahun menjalani bersamamu.  Kunyatakan bahwa engkaulah jiwaku

            Suara itu sepertinya aku kenal? Lagu 11 Januari-nya Gigi dinyanyikan begitu sempurna, tapi kesan yang menyanyikannya lagi sedih. Malam ini, aku tidak bisa tidur. Bulu kudukku belakangan suka berdiri. Tengkuk dingin. Beberapa kali aku mencium aroma parfum yang biasa dipakai Srintil atau lagunya Gigi itu dinyanyikan dengan nada lirih… Hiiiihh! Kata orang, sebelum genap 40 hari meninggalnya seseorang, dia masih ada di sekitar kita… Ah, aku nggak ingin parno. Takut sama takhyul…
            Tapi bener, belum sempat aku memejamkan mata…telingaku kembali berdenging. Seperti ada angin bertiup. Dingin. Lantas langkah kaki itu kedengeran begitu jelas, lewat depan kamarku. Siapa lagi, anak kost tengah malah lewat kamarku. Secara kamarku di ujung, bersebelahan dengan kamar Srintil. Kalau mau ke dapur kan arah yang berlawanan.
            Sreeekkk..sreeekkkk… Langkah itu terdengar lagi, lantas menghilang, bersamaan dengan suara pintu seperti ditutup. Blam! Pintu kamar sebelah??? Aku berjingkat, melompat dari tempat tidur. Gila. Mana mungkin ada orang masuk ke kamar sebelah. Kuncinya kan masih kusimpan. Nggak ada yang kuperbolehkan memindahkan barang-barang Srintil, karena aku sendiri yang ingin merapikannya.
            Gelisah. Takut. Meski mau tidak mau aku musti memastikan, bukan perampok atau pencuri yang masuk . Dueerrr! Pintu kamar Srintil berusaha kubuka, tapi…masih terkunci.  Trus siapa yang bisa membuka dan menutupnya lagi? Penasaran, pintu kamar itu kubuka. Lampu kunyalakan. Kosong! Nggak ada siapa-siapa. Aroma parfum Srintil kembali tercium, bulu kudukku berdiri…Ya Tuhan, aku musti berani. Toh selama ini, aku nggak pernah ngejahatin Sri.
            Kulihat baju kebaya Sri warna merah jambu yang masih baru dalam kardus kotak motif batik itu, masih di tempatnya. Hanya, tutupnya terbuka? Perasaan aku nggak pernah utak atik wadahnya. Aku duduk di meja rias Sri, memperhatikan perlengkapan make up-nya, ketika tiba-tiba kudengar lagu itu kembali ada yang menyanyikan. Lirih. Refleks aku melihat ke cermin di depanku. Dueerr! Lewat cermin aku melihat, seorang perempuan mengenakan kebaya merah jambu berdiri tepat di belakangku. Srintil!! Gelap. Aku sudah pingsan.
            Pagi-pagi, aku terbangun dengan badan mau patah. Tergeletak di lantai kamar Sri. Untung, anak kost nggak ada yang tau. Kalau nggak bisa heboh gosip macam-macam pula…  Bayangan semalam, kuanggap halusinasi. Hari itu juga kubereskan kamar Sri, sekalian biar ketakutanku yang nggak beralasan menyingkir. Sebuah kalender meja di meja riasnya juga kurapikan. Sempat kulihat, dia memberi lingkaran di angka 11, bulan Januari. Mm, sebuah kebetulan? Lagu 11 Januari dengan lingkaran di tanggal 11 Januari pula? Kuingat, dia nggak ulang tahun hari itu… Mungkin anggota keluarganya?
            Sore ini aku terhenyak kaget, ketika sejumlah petugas datang ke rumah. Lewat keterangan mereka, baru kutahu Srintil meninggal bukan karena jatuh tanpa sengaja. Tapi memang dibunuh. Prabu, laki-laki yang ingin menikahinya ternyata psiko. Dia kecewa, ketika tau Sri diam-diam menerima ajakan Ihsan untuk menikah 11 Januari nanti. Hajatannya sangat sederhana, hanya akad saja.
            Malam itu, ketika aku terlelap,  Prabu bertamu. Sri mengusirnya dan masuk ke dalam. Ternyata Prabu mengikuti masuk. Sri yang panik, karena seumur-umur tak pernah ada laki-laki diijinkan masuk ke kamarnya, mendorong Prabu ke luar. Prabu emosi, dia balik mendorong Sri dengan kerasnya sampai kepala cewek ini terbentur pinggir tempat tidur. Hingga akhirnya pendarahan dan meninggal di tempat. Prabu kabur.  Kasus ini sebenarnya nggak ada yang bakal tau, kalau saja Prabu tidak dikejar bayangan Srintil yang menuntut pertanggungjawabannya. Prabu sampai kebawa mimpi, bahkan seperti orang gila, kemana saja ketakutan. Dia melihat stafnya di kantor pun, serasa melihat Sri…
            Kasihan Srintil. Mimpinya bahagia di tanggal 11 Januari tidak kesampaian. Sejak Prabu menjalani hukumannya, aku nggak pernah terganggu lagi. Hingga malam ini, aku tengah menyeduh secangkir kopi sambil menyalakan laptop…kudengar samar-samar, seseorang nembang dari kamar sebelah. Lagu 11 Januari! (Ft: Berbagai Sumber)

Tidak ada komentar: