HANTU SAHABAT BUAH
HATIKU
Kejadian ini bisa menimpa siapa
saja. Jangan sekali-kali menyepelekan laporan anak kita, apalagi membiarkan dia
bermain sendiri lewat mahgrib. Waspadai lingkungan rumah, karena bukan manusia
saja yang bisa mengancam keselamatannya, tapi juga makhluk halus yang doyan
bermain dengan anak-anak. Baca pengalaman keluarga Taufan yuk…
Sebagai wanita yang pernah merasakan
bangku kuliah, aku tidak pernah percaya bila ada mitos mengatakan, lahan kosong
banyak ditinggali makhluk halus. Tetapi setelah aku nyaris kehilangan buah
hatiku, baru kupercaya. Awal kisah ini bermula ketika keluarga kami pindah ke
Serpong, Tangerang.
Taufan, suamiku, bekerja sebagai
akuntan di sebuah perusahaan terkemuka. Ketika kami menikah, kami memutuskan
tinggal di sebuah perumahan. Terima
kasih Tuhan, dua tahun usia perkawinan, kami dikaruniai seorang anak laki-laki.
Edo namanya.
Bocah laki-laki yang sehat,
menggemaskan dan hiperaktif. Dia sudah mampu berjalan, ketika balita sebayanya
belum bisa. Edo juga memiliki daya ingat tinggi. Bila dia bertemu dengan
seseorang, dia akan mampu menyebut kembali nama orang itu meski bicaranya masih
cadel.
Sejak menikah, Taufan memintaku
berhenti bekerja. Demi perkembangan anak-anak kami, alasannya. Namun tetap
saja, aku yang tidak betah diam, mencari-cari usaha sampingan. Ketika Taufan
bermain, aku asyik dengan laptopku. Membuka-buka Facebook dan beberapa situs,
buat mengetahui berita terkini dan menjalin networking atau mengetik novel
keduaku. Ya..sebelum menikah, aku bekerja di sebuah penerbitan. Kini, meski
sudah berstatus ibu rumah tangga, menulis tetap menjadi kegiatan favoritku,
sekaligus mata pencaharian.
Ketika Edo berusia 3 tahun, aku
mulai kewalahan. Entah mengapa, dia mulai merasa aku terlalu sibuk dengan
pekerjaanku. Novel ketigaku memang sudah masuk deadline…Jelas saja, aku
kelimpungan, mengejar target. Sementara bocah kebanggaanku ini, makin kritis.
Dia suka mencari perhatian dengan pura-pura jatuh atau kesakitan karena
terbentur sesuatu saat bermain. Ketika aku panik menolong, eh…dia malah
tertawa… “Mama, gotcha…” katanya, seakan menirukan adegan di film anak-anak
yang biasa ditontonnya.
Suatu hari, Taufan membawa oleh-oleh
buat Edo, mainan kereta api lengkap dengan relnya. Duh, betapa senangnya bocah
kesayanganku itu. Dia tidak lagi suka merengek-rengek, ketika melihat aku
sibuk, atau membuat ulah, sejak memiliki mainan yang bisa digerakkan dengan
batere itu. Kadang dia bermain sendiri di ruang tamu, kamar tidur atau kadang
di teras depan rumah.
Malam itu jam di dinding sudah
menunjukkan pukul 19.00 malam, namun Edo dari meja kerjaku kulihat masih saja
asyik bermain di teras depan. Berulangkali kupanggil, tetap saja dia cuek.
Karena aku masih online, kubiarkan saja dia bermain. Namun saat kumatikan
laptopku, kulihat Edo sudah duduk di sampingku dengan wajah ditekuk, seperti
kebiasaannya kalau sedang kesal.
“Edo kesal ma…Mainan Edo
direbut…Adek ikutan main….” Lapornya. Adek? Kulihat teras, tak ada siapa-siapa.
Kereta api mainan itu pun masih ada.
“Adek siapa, Edo? Tuh keretanya
masih ada…”
Edo menggeleng. Matanya nanar. Dia
seakan mencari seseorang, namun kulihat tak ada siapa-siapa… Jalan di depan
rumah kami pun sudah sepi.
“Tadi Adek datang, ma. Edo ajak
main, malah dia rebut mainan Edo…”
Aku hanya bisa geleng-geleng.
Bocahku ini mungkin sedang menghayal, karena kuperhatikan, pagar depan rumah
pun terkunci. Masa ada bocah datang dengan lompat pagar?
Kejadian hari itu, sudah kulupakan.
Edo pun sudah tidak pernah menyebut-nyebut nama Adek lagi. Dia kelihatan lebih
semangat dari biasanya. Tanpa perlu aku temani, dia kini suka bermain sendiri
di teras. Kadang kudengar dia ngoceh, seakan mengajak kereta apinya ngobrol.
Ada-ada saja, batinku. Anak balita seusianya memang daya imaginasinya tinggi.
Kuingat betul, hari itu Edo demam,
sehingga kularang dia bermain di teras. Kuberi dia obat penurun panas, hingga
bisa istirahat. Tidurnya kulihat sangat pulas. Padahal jam-jam segini, dia
biasa bermain di teras. Mmm…aku jadi ingat, mainan Edo sudah kurapikan di kotak
mainannya, tapi mengapa ketika kulihat dari balik jendela, kereta api plastik
itu masih ada di teras. Mungkin, aku saja yang pelupa… Karena masih harus
menyiapkan masakan buat makan malam kami nanti, kubiarkan saja mainannya
teronggok di teras depan. Toh nggak ada siapa-siapa yang bakal mengambil,
karena pagar terkunci.
Hari ini, Edo mulai masuk playgroup.
Kupikir, dia pasti bahagia, banyak teman baru. Nyatanya? Makin hari, pahlawan
kecilku ini suka bengong sendiri di teras depan, setiap pulang sekolah.
Mainannya yang biasa dia sentuh pun, dia biarkan teronggok begitu saja. Tapi
ketika akan kusimpan di box, dia protes. Dia minta, mainannya dibiarkan saja di
teras.
Kecurigaanku dia sedang sakit,
membuatku membawa Edo ke dokter. Namun hasil check up, dokter mengatakan anakku
sehat. Apa yang mengganggu pikirannya ya?
“Edo tidak suka sekolah?” tanyaku
suatu hari…
“Suka ma…”
“Kenapa kelihatan sedih? Setiap mama
lihat Edo suka melamun di teras? Cerita dong…”
Dia menggeleng, pelan. Tangannya yang mungil menggenggam jari-jari
tanganku, erat. Seperti orang ketakutan, dia pun mendekati telingaku, lantas
berbisik…
“Adek mau main sendiri. Edo nggak
boleh main lagi…Padahal Edo kan senang bisa main bersama Adek...”
Jantungku nyaris copot. Adek
lagi? Padahal aku sudah menghapus nama
itu dalam memori ingatanku. Kenapa muncul lagi?
“Edo jangan sedih ya, nanti mama
beritahu Adek jangan larang Edo ya...” bujukku, meski jantungku berdetak
kencang. Aku masih penasaran, siapa yang dia sebut-sebut Adek itu….
Malam ini, aku harus tidur larut
karena menyelesaikan bab terakhir novelku. Taufan, suamiku tugas keluar kota.
Setelah kupastikan Edo sudah tidur, kumatikan lampu ruang tamu, sambil
memeriksa kunci pintu. Tiba-tiba kudengar suara bocah tertawa. Suaranya begitu
jelas dan dekat….
Bbrrr…bulu romaku berdiri. Aku
berusaha membunuh rasa takutku yang muncul tiba-tiba. Baru kusadar, suasana
sekitar perumahan ini begitu sunyi malam-ma;am begini. Lantas, siapa yang
membiarkan anaknya bermain di tengah malam buta?
Perlahan-lahan, kudekati pintu depan
rumahku, tempat asal suara itu. Dari balik jendela, kulihat teras, mungkin saja
halusinasiku yang sudah kecapekan, batinku berusaha menghibur diri. Astaga!!!
Apa yang kulihat membuat nafasku seperti berhenti…
Seorang bocah berambut kriwil,
bermata bulat, sebaya Edo tengah bermain. Nggak hanya itu saja, dia
menggerak-gerakkan kereta api mainan milik Edo dengan wajah berbinar, bahagia.
Namun sesekali dia menyeringai, hingga giginya yang kotor dan tak beraturan,
kelihatan. Naluriku mengatakan, kejadian ini tidak wajar, maka aku memilih
mundur dan buru-buru masuk ke kamar, sambil membaca doa yang kuingat.
Taufan menganggap aku mengada-ada.
Namun dia baru percaya, ketika seorang paranormal yang menjadi salah satu
kliennya datang menolong mengatakan, anakku sudah “bersahabat” dengan hantu
yang tinggal di tanah kosong, dua rumah dari rumahku.
Memang, ada tanah kosong yang ada pohon
bambunya di dekat rumahku. Menurut kepercayaan masyarakat, tanah kosong dan
pohon bambu identik dengan makhluk gaib…Aku tak pernah percaya itu…Ternyata
anakku sudah menjadi korbannya. Untunglah, dia masih bisa diselamatkan, sebelum
terlambat. Kini, kami tinggal di blok yang berbeda. Semoga kejadian ini tidak
dialami oleh anak-anak lain. (Kisah
keluarga Taufan diceritakan kembali oleh Steph)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar