Teng…Teng…Teng…
ggggrhhh, bulu kudukku kembali berdiri. Sumpah. Andai eyang putri tidak pernah
meninggalkan wasiat, buat merawat dan menyimpan jam yang ada di ruang utama
rumah kami itu…sudah kujual atau bahkan, kuberikan saja pada pemulung. Kalau
diperhatiin, sebenarnya bagus sih… Jam tempo dulu yang masih memakai gerendel
rantai dan bandul bulat. Hanya aku nggak suka dengar bunyinya…Apalagi lewat
tengah malam… Hih! Aku yang lagi pulas tidur saja, bisa tiba-tiba terbangun
gara-gara mendengar suaranya. Dentangnya bikin hati nggak nyaman…
“Udahlah,
Ma…Kita jual saja atau kasih ke siapa kek tuh jam… “ kataku sama mama, ketika
beliau lagi membetulkan rantainya. Karena tua dan antik kali ya… jam itu suka
macet. Rantainya musti ditarik lagi, diseimbangkan. Pengen rasanya, sabotase
jam itu… biar seterusnya mati dan nggak bisa digunakan lagi. Lantas mama bakal
menyingkirkannya dari sini. Nyatanya, tiap aku tarik rantainya, biar nyangkut
dan macet trus aku tinggalkan begitu saja… tetap saja, jamnya jalan. Heran kan!
Padahal jelas-jelas aku sudah bikin rantai-rantainya kusut dan mama nggak tau
soal itu, karena mama sedang pergi atau tidur di dalam. Tetap saja…jam itu
kembali “hidup”!
Bicara
soal umur, memang warisan eyang putri ini umurnya jauh lebih tua dari umurku.
Bayangin saja, katanya nih alat penunjuk waktu itu dulunya milik eyangnya,
eyang putri. Waduuuh! Bisa dibayangkan dong, silsilahnya ribet banget. Dari
eyangnya diwariskan ke eyang putri… Celakanya sekarang jatuh ke tanganku…
Jaman
dulu, barang beginian pasti berarti banget. Bahkan boleh dibilang, termasuk
barang mewah. Nggak semua rumah bisa memajangnya. Tapi sekarang? Ketika
orang-orang sudah pegang IPhone4, Ipad, BB, ….jam seperti ini sudah masuk
kategori barang antik. Coba saja cari yang barunya, pasti nggak ada. Andai
pengen beli, musti ke toko barang antik atau kolektor khusus.
Bbbbrrr….
Dingin. Perasaan nggak lagi hujan di luar sana, kenapa kamar rasanya dingin
banget ya… aku rapatkan baju tidurku, sambil membuka beberapa pesan yang masuk
ke handphone. Sekilas kulihat, jam di dinding sudah lewat jam 12 malam… ketika
hp yang kupegang, tiba-tiba bunyi. Nomornya masih asing…Siapa pula orang yang
nelpon jam segini… Iseng banget!
“Ya,
halooo….siapa nih?” tanyaku dengan nada berat, begitu mengangkat HP.
Tik…tik…tik….
Aneh. Hanya suara tetesan air saja yang kedengaran, tidak ada siapa-siapa di
seberang. “Halooo..siapa ya???” tanyaku, sekali lagi… Sunyi… tetesan air itu
saja yang terus terdengar. Artinya nih orang sengaja membuka line telphone,
dengerin suaraku, tapi dia nggak ngomong sama sekali. Kurang ajar banget. HP
kumatiin, bersamaan dengan air dingin yang meniup tengkuk dan kulit tubuhku
yang tidak tertutup baju tidur membuatku berjingkat…kedinginan. Bbbbrrr…
Bing!
Hpku bunyi lagi. Nomor yang sama. Mmm, maunya apa sih nih orang. Jangan-jangan
tadi dia mau bicara, tapi sinyalnya nggak bener? Kenapa suara tetes airnya
malah kedengaran begitu jelas?? Aku berusaha cuek, sampai akhirnya entah ke
berapa kalinya HP bunyi, baru kuangkat.
“Ya,
haloooo…Malemmm…Siapa ya?”
Sepi.
Tik…tik…tikk…. Suara air yang menetes itu lagi. Huh! HP kumatiin, kulempar
begitu saja ke atas tempat tidur. Sementara aku turun dari kasur, lantas pindah
duduk di kursi. Kulihat bayangan wajahku di cermin, aduhhh sudah mulai
berantakan nih rambut. Belum sempat ke salon, buat dirapiin…
Sambil
menyisir, aku memeriksa beberapa perlengkapan kosmetik di meja rias yang mulai
habis. Ketika sisirku tiba-tiba jatuh. Malas, aku menunduk, mengambilnya,
ketika aku balik melihat cermin… Dueerr! Astagaaa! Seorang wanita bergaun ala
nyonya-nyonya Belanda kelihatan jelas banget di cermin… Rambutnya blonde, ikal,
digelung sebagian, trus wajahnya yang tirus menatapku dengan tatapan dingin…
Glek… Berarti dia sekarang ada di belakangku???
Tubuhku
bergetar hebat. Berulangkali aku mengerjapkan mata, berharap apa yang kulihat
di cermin itu hanya halusinasi. Nyatanya nggak… Wanita berkulit putih, hidung
mancung dengan rambut blonde itu masih jelas-jelas berdiri di sana….
Jantungku
berdebar nggak beraturan. Ingin teriak, suara rasanya tercekat di tenggorokan.
Lidah ini kelu. Bahkan buat mengecap saja, rasanya nggak sanggup… Lamat-lamat
kudengar musik jaman dulu itu mengalun.. Lagu buat orang-orang berdansa. Lantas masih melalui cermin di depanku,
kulihat wanita itu tersenyum lebar lantas dia mulai menggoyangkan badannya
ngikutin irama… Ayun kiri, ayun kanan… Gila! Bisa mati berdiri aku kalau gini
caranya.. Leher dan punggung ini sampai
rasanya kaku, saking tegangnya…
Sssrrrr….
Angin kembali bertiup. Kulihat korden di kamar juga bergerak, melambai seperti
kena angin. Meski sebenarnya, jendela kamar sudah ditutup sejak sore
tadi…perlahan-lahan, aku mulai bisa menguasai keadaan. Berusaha tenang, meski
jelas-jelas mataku melihat ada orang lain di kamar ini melalui cermin…Hanya
dalam satu kali sentakan, aku langsung balik badan. Biarlah, kalau memang
wanita itu benar-benar manusia, aku akan hadapi. Kalau bukan….
“Maaf,
siapa…. “ Duenggg! Nggak ada siapa-siapa! Pas balik badan, perempuan itu sudah
tidak ada!
Lamat-lamat
alunan musik buat berdansa itu, masih terdengar. Kayaknya lagu Belanda deh.
Soalnya aku pernah denger liriknya seperti kalau Eyang Putri bicara sama Mama…
Ya, maklum , eyang kan dulu pernah sekolah bareng noni-noni Belanda. Karena
eyangnya eyang putri, waduhhh ribet banget ya nyebutnya.. pemilik perkebunan
tebu dan cengkeh yang berbisnis sama orang-orang Belanda. Bahkan katanya nih,
generasi terdahulunya juga membeli rumah ini langsung dari orang Belanda.
Sampai sekarang bisa kelihatan kan, arsitekturnya asli kayak rumah-rumah
Belanda, belum lagi sebagian furniturenya. Sampai aku pernah bilang sama mama,
ini rumah atau museum sih?
Fiiuhhh!
Aku buru-buru ke kamar mandi, membasuh muka dengan air. Lantas, kembali sembunyi dalam kasur, berusaha untuk
tidur.
*************
Teng…teng…teng….
Nah lho, bunyi lagi deh. Perasaan nggak enak, langsung menyergap, bersamaan
dengan perut yang melilit. Kayaknya musti ke kamar kecil. Bete. Kamar kecil kan
di belakang…Jam segini, aku paling malas ke belakang. Musti buka pintu pembatas
antara ruang tengah dan belakang, pula. Maklum, rumah peninggalan Belanda.
Masih kuno, luas dan banyak pintu serta jendelanya yang . Biar gede juga, aku
malas…
Aduuhh,
perut. Tega banget sih, jam segini tiba-tiba protes. Nggak tau, orang lagi
setengah ngantuk plus takut.. Salahku juga, sore tadi ngerujak bareng sama
Sita, Gangga dan Vika sepulang dari kantor. Udah super pedes sambelnya ditutup
dengan minum es dogger pula. Jelas aja kali, sekarang berontak..
Malas-malasan,
aku turun dari tempat tidur. Perasaan gamang dan nggak enak ini berusaha
dibuang jauh-jauh. Nggak boleh cemen! Kemarin itu halusinasi, karena keseringan
nonton film dan baca novel… Lamat-lamat, aku menajamkan pendengaranku. Sepi
kok! Nggak ada siapa-siapa. Mama memang lagi tidur di rumah Bu Lik Tika, adik
bungsu mama di Tebet.
Teng…teng…teng…
Yaellahhh itu jam, kenapa bunyi pula siiihh! Glondanggg! Astaganaga.. aku
sampai lompat, mau balik ke kamar pas sampai di ruang tengah. Suara apaan lagi!
Kulihat kotak berisi koran dan buku yang diletakkan dekat televisi ruang
tengah, terbalik. Seekor kucing warna hitam, duduk di sana! Matanya yang
berkilat-kilat ketika ketimpa cahaya lampu itu menatapku, seperti mengendus
sesuatu..
Bulu
kudukku kembali meremang. Tangan ini gemetaran, nggak bisa dikendalikan lagi,
menyusur dari belakangku kurasakan angin begitu dingin. Tengkukku seperti ada
yang ngelewatin, udara dingin sedingin isi freezer…dan lagi-lagi, lagu itu
terdengar… Awalnya sayup-sayup saja suaranya, lama-lama makin jelas.. Ya, kalau
nggak salah kudengar..Monalisa, Monalisa…astaga, itu kan lagu yang sering
diputar sama eyang putri dulu…
Aku
sampai nggak inget lagi, alasanku keluar
dari kamar…Apalagi ketika wanita separoh baya dengan dandanan ala nyonya-nyonya
Belanda itu tiba-tiba sudah berdiri,
nggak jauh dari tempatku berada. Hanya berjarak nggak lebih dari dua meter di
sampingku! Dia menatap dengan pandangan sama, seperti kemarin. Dingin. Tanpa
ekspresi. Seperti tatapan seorang guru, ibu, atau pengawas yang lagi menghakimi
anak didiknya..
Glek
lidahku kelu. Langkahku surut mundur,
ketika tiba-tiba perempuan itu bergerak…Astaga! Dia mau nyamperin? Oh
nggak.. ternyata dia hanya menggoyangkan badannya, lambat-lambat, kelihatan
begitu menikmati.. Badanku bener-bener kaku. Sulit digerakkan…Antara takut,
bingung, stress, campur aduk menjadi satu…
Pelan-pelan
aku beringsut mundur, kayaknya lebih baik balik ke kamar. Perut yang tadinya
mules, sampai sembuh dengan sendirinya.
Tapi lagi-lagi… degggg! Seorang lelaki separuh baya, sudah berdiri di
sana. Tepat di belakangku! Bajunya rapi, kayak meneer-meneer Belanda dulu..
Wajahnya tirus. Meski sisa-sisa kegantengannya di masa muda masih kelihatan
jelas… tapi kulitnya sudah keriput. Langkahnya juga gontai, seperti mau jatuh..
Laki-laki
itu menatapku. Bola matanya yang kebiru-biruan, bagus itu, nggak lepas
menatapku dalam-dalam. Sampai rasanya tersihir, aku nggak bergeming dari
situ..sama-sama menatapnya… Tengkukku dingin, seperti ada angin bertiup di
sana, ketika aku mengoleh. Ampuuuuun! Wanita Belanda tadi sudah di sampingku!!
Tepat hanya beberapa senti saja, wajahnya dari wajahku. Sampai-sampai deru nafasnya
itu terdengar, aroma nafasnya yang begitu wangi dan manis, seperti vanila itu
langsung tercium…
Dia
kelihatan nggak suka, matanya berkilat marah… Aduh! Masa sih, aku dicemburuin?
Gara-gara cowok itu merhatiin dan mendekati aku ya? Lagipula dia kan seumuran
eyang aku, ngapain coba aku mau dan godain lakinya?? Jalan saja sudah repot….
Gila!
Meski ketakutan level 10, aku masih saja bisa berpikir seperti itu. Ah, bodo!
Aku nggak boleh kalah dan diperbudak halusinasiku sendiri. Kupastikan siapa pun
yang kulihat ini boongan. Pasti aku mimpi, kecapekan dan mikir nggak-nggak…
Aku
berusaha cuek, terus saja balik badan mau ke kamar, berusaha menganggap apa
yang kulihat ini nggak nyata. Ketika sebuah tangan terasa menepuk pundakku.
Tangan yang jari-jarinya lentik itu menepuk bahuku, hingga membuatku terpaku. Lantas nekad, aku
tarik nafas trus jalan! Buuuukkkkkk!
Sentakan itu terasa di pundak. Kayaknya tuh perempuan benar-benar menarikku
dari belakang dan dalam satu sentakan saja, aku sudah jatuh, terpelanting ke
belakang. Aku sempat melihat wanita dan laki-laki itu menghampiriku yang
terkapar di lantai, sebelum akhirnya semuanya gelap. Aku pingsan.
Heran.
Nggak tau, apa arti bayangan yang kulihat semalam. Karena esok paginya, aku
sudah berada di tempat tidur. Seolah, nggak pernah terjadi apa-apa. Berarti aku
mimpi dong, berada di ruang tengah, melihat laki-laki dan wanita Belanda itu???
Kenyataannya?
Beberapa kali, aku masih saja ngerasa ada orang lain selain aku dan mama di
rumah… Kalau malam, terutama ketika jam itu berdentang lewat pukul 12 malam,
aku selalu merasakan keganjilan.. Entah denger lagu buat dansa, ngerasa suhu
udara tiba-tiba begitu dingin, dengar suara orang mondar-mandir di ruang
tengah, bahkan…. pernah kulihat, wanita Belanda itu duduk sendiri di kursi
ruang tengah sambil menangis lirih, menyayat hati suaranya….
Semua
itu berusaha aku abaikan, karena pasrah. Kalau pun aku hadapi, samperin atau
aku utak atik, akunya sendiri ntar yang stress.. Lebih baik, pura-pura nggak
tau, pura-pura nggak lihat. Asal dia nggak mengusikku, cukup. Sengaja, aku
tidak pernah menceritakan kejadian ini sama mama… Karena kupikir juga baru-baru
ini saja aku rasakan, tepatnya sejak eyang putri meninggal …Kasihan. Ntar mama
malah mengaitkannya sama meninggalnya eyang putri..
Malam
ini, kata Sita malam Jum’at Kliwon. Kata orang, lagi serem-seremnya. Aku sih,
nggak mau percaya gituan. Makanya ketika banyak tugas kantor kubawa ke rumah,
nyantai aja aku lembur sampai malam…
Sreeeettttt…
Suara itu datang dari ruang tengah. Lantas lagu dansa itu mengalun. Kupikir, ah
pasti tuh “temanku” yang lagi di ruang tengah, muncul. Aku kembali
menyelesaikan pekerjaanku, ketika tiba-tiba teringat, kalau aku belum masukin
sisa sayur ke dalam kulkas. Aduh, pasti besok sepanci besar sayur lodeh masakan
mama bisa basi kalau nggak masuk kulkas…
Sambil
merapatkan baju tidurku, kubawa botol minumku yang sudah kosong, aku beranjak
keluar kamar. Niatnya ke dapur… Teng…teng…teng… Pas pintu kamar kubuka,
astagaaa… Kulihat perempuan tua yang biasa berdua dengan pasangannya itu, nggak
sendiri. Beberapa anak kecil dan seorang
wanita muda bersamanya… Mereka kelihatan menikmati lagu yang tengah diputar,
kalau di Jawa seperti kumpul-kumpul keluarga… Aku tersentak, kaget. Meski biasa
melihat wanitua tua Belanda itu, tapi aku nggak pernah membayangkan bakal
nambah “teman” di sini…
Herannya,
mereka juga nggak peduli ketika aku muncul. Seolah nggak ada aku di situ. Aku
menarik nafas, lega. Ah, tenang-tenang…. Nggak boleh panik. Andaikan itu yang
suka dibilang makhluk halus, biarlah…asal jangan gangguin aku! Degggg! Aku
habis ngebatin begitu, tiba-tiba seorang bocah perempuan yang rambutnya dikucir
dua, berpita menghampiriku.. Tangan mungilnya itu memegang tanganku…Dingin!
Astaga..
Aku belum sepenuhnya sadar, apa yang terjadi, ketika tiba-tiba perempuan tua
yang biasa kulihat itu menghampiriku. Dia kelihatan begitu marah, ketika bocah
perempuan ini mengenggam tanganku dan berusaha menarikku, ikut bermain
bersamanya.
Aku
belum sempat berkata apa-apa, ketika perempuan tua itu sudah berada tepat di
depanku. Nafasnya yang wangi dan dingin itu terasa begitu jelas tercium, dan
bisa kurasakan.. “Maaa….maaaffff….Anda…” Aku belum menyelesaikan ucapanku,
ketika dia sudah mendorongku dengan kekuatan luar biasa, hingga aku terdorong
ke belakang, punggungku sampai nabrak pintu kamar dan aku jatuh terjajar di
lantai. Gelap!
********
Minggu
pagi, kulihat sebuah mobil dengan bak terbuka datang dan membawa jam tua itu
pergi. Mama kelihatan berat sekali melepaskannya, sampai aku nggak tega. Memang
mama pernah cerita, dia begitu sayang sama jam itu karena waktu kecilnya suka
main-main rantai dan bandul jam itu bersama eyang putri…
Mama
bilang, lebih baik jam itu dilepas saja ke toko barang antik yang mau
membelinya. Ternyata, sejak eyang meninggal, mama tau ada yang nggak bener
dengan jam itu… Beliau juga suka melihat yang aneh-aneh, tapi nggak pernah
cerita ke aku… Puncaknya malam Jum’at kemarin, ketika mama menemukan aku
pingsan di depan kamar dengan kepala memar. Dokter yang memeriksaku bilang, aku
gegar otak ringan. Mama menyesal, karena sebenarnya beliau pernah membaca diari
eyang putri yang mengatakan, jam itu musti “dirawat” atau kalau mulai
mengganggu, boleh dijual atau diserahkan kepada orang lain.
Beberapa
robekan surat yang sudah sangat lusuh, dan tulisan eyang menjelaskan, rumah
kami dari dulu kan ditinggali oleh orang Belanda. Suatu ketika, pemilik rumah
kerampokan. Seluruh keluarganya dibantai. Sepasang kakek nenek, putri perempuan
dan cucu-cucunya… Menurut mereka yang percaya, pas jam itu berdentang… energi
korban terperangkap di sana. Energi dari rohnya masih tetap tinggal di situ..
Makanya sampai detik ini, bayangan aneh, gangguan suara-suara itu suka muncul…
Satu-satunya cara, berikan jam itu
ke orang lain… Entah kisah itu benar atau tidak, tapi sejak jam itu nggak ada lagi di rumah,
aku tidak lagi mengalami gangguan apa-apa.(Foto: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar