PROTES DARI KORBAN ABORSI
Jujur.
Meski banyak pengetahuan yang menjelaskan bahayanya aborsi dan larangan agama,
tapi masih saja ada manusia-manusia yang tega menggugurkan, membunuh dan
membuang calon bayi yang tidak berdosa. Mereka sebenarnya sudah memiliki
“nyawa” yang bisa protes, jika dirinya tersakiti…Dengar kisah Nita, mahasiswi
sebuah perguruan tinggi di Bogor…
Tangan-tangan
kotor, berlepotan tanah merah itu mendadak sudah meraih kakiku, hingga tubuh
mungil ini terjerembab ke lantai. Sekuat
tenaga, apa saja berusaha kuraih, hingga kaki meja ruang makan yang terbuat
dari ukiran kayu itu, bisa kupeluk. Namun ternyata bocah itu lebih kuat
tenaganya dari yang kubayangkan.
Peganganku terlepas, lantas tubuhku terasa bagaikan kapas, begitu
ringannya, sampai-sampai bocah dengan wajah penuh guratan luka itu begitu
mudahnya menghempaskan badanku ke dinding…Kelihatannya, dia begitu bersemangat.
Mulutnya menyeringai, lantas teriakannya yang lebih mirip lengkingan itu
terdengar memekakkan telinga.
“Jangan
coba-coba meninggalkankan tempat ini…Jangan mencampakkan kami begitu saja…”
Suara parau itu menggeram, penuh kemarahan. Tiba-tiba wajahnya yang penuh gurat
luka itu sudah ada, begitu dekat dengan wajahku…Astagaaa…baunya begitu
menyengat, bagaikan air comberan. Nyaris membuatku muntah…
Entah darimana kekuatan bocah yang kemarin
masih bermanja-manja dalam pelukanku…Ya, bukankah dia Eka, anak jalanan yang
kutemukan menggigil, karena menahan lapar di lahan kosong, tak jauh dari rumah?
Mengapa dia begitu ganas, seperti tidak mengenali aku lagi?
“Ta,
bangun Ta!” Suara itu membuatku tersadar. Mita, kembaranku! Ternyata aku
bermimpi.
“Hai,
Ta…Bangun! Mimpi serem ya, sampai teriak-teriak. Gue takut lo
kesurupan…ha…ha…ha…. “ Mita tertawa
terbahak-bahak, ketika melihat wajahku yang basah oleh keringat itu, masih
terbengong-bengong, mirip orang linglung.
“Jam
berapa, Ta? Semalam aku teriak-teriak???”
“Udah
jam tujuh nih…Gue mau ke atm ngecek
transferan dari mama. Mau nitip apa?”
Aku
menggelengkan kepalaku, badanku lemas.
Mimpi yang benar-benar seperti kejadian nyata. Heran. Bukan hanya sekali
ini, bayangan bocah kecil itu mengganggu tidurku. Ya, tepatnya sejak dua minggu belakangan ini,
ketika aku mulai mengenal Eka. Bocah itu kutemukan sedang menggigil kedinginan
di teras depan rumah, saat hujan mengguyur kotaku, Bogor.
Kasihan.
Bocah ini hidup sebatangkara. Katanya, ayahnya tidak pernah mengakui dia
sebagai anaknya. Sang ibu, meninggal ketika melahirkan dia. Benar-benar ironis,
masih ada orangtua yang tega menelantarkan anak kandungnya sendiri. Apalagi
kulihat, Eka bocah yang cerdas, meski dia tidak menikmati bangku sekolah,
layaknya anak sebayanya.
Pemilik
mata bulat, rambut kriwil sebahu dengan kulit sawo matang itu, juga suka
menatapku dalam-dalam, setiap kali melihat aku duduk di teras depan rumah. Awalnya, kupikir dia anak kampung belakang
yang kebetulan main, ternyata tidak hanya kali itu saja kulihat dia dengan
tatapan nanarnya. Pernah, mama dan papa yang tinggal di Bandung, ketika
menengokku, menemukan dia lagi duduk di depan pagar rumah. Tapi ketika
didekati, dia buru-buru kabur.
Rumah milik papa ini memang sudah
setahun tidak ditinggali, sejak Kak Rain kakakku satu-satunya kuliah di
Melbourne. Maklum, hanya dia yang paling rajin main ke rumah warisan orangtua
papa yang nyaris mau dijual ini. Untung, aku berhasil meyakinkan papa, buat
menunda niat beliau dengan pindah ke rumah ini bersama Mita kembaranku, sambil mengambil
kuliah di Bogor.
Kalau dipikir-pikir, rugi bila rumah yang
berasitektur Belanda ini dijual. Apalagi dengan harga murah, seperti yang papa
pernah ceritakan. Soalnya lokasinya strategis sekali. Lihat saja, ada klinik pengobatan
yang standby 24 jam, tidak jauh dari tempat tinggalku. Bila butuh bahan pokok
juga tinggal berjalan kaki. Apalagi
kalau mau memotong jalan…
Kulirik
jam di dinding, astaga…sudah pukul delapan! Mita pasti akan mentertawakanku,
jika melihat aku masih terbengong-bengong di atas tempat tidur. Buru-buru
kuambil handuk, lantas mandi…
Bbbrrr!
Segar. Bayangan menakutkan dalam mimpiku tadi sudah kulupakan. Bunga tidur
saja, batinku sambil menyeduh secangkir kopi. Lantas, kuraih roti bakar yang
sudah dibuatkan Mita untukku…Kembaranku itu memang pengertian…Dia tahu, semalam
aku mengerjakan paperku sampai lewat tengah malam.
“Ta…,
nggak ke kampus?” Ough! Dasar…Mita suka membuatku jantungan. Cewek berambut
sebahu itu, langsung duduk di sampingku, lantas menyerobot kopi panasku dengan
muka tak berdosa…
“Bagi
ya…” katanya enteng.
Aku
hanya bisa geleng-geleng kepala, melihat kejahilannya. Meski kami kembar, kami
memang sangat berbeda. Mita lebih terbuka, tomboy, jahil dan suka bercanda,
sementara aku pendiam, pemalu dan suka main perasaan. Nggak heran, waktu
kukenal Eka pertama kali, Mita nggak terlalu heboh seperti aku yang mati-matian
menginginkan bocah itu tinggal di rumah kami. Entah mengapa, Eka menolak. Bocah
itu hanya mau main sesekali saja, tapi tidak tinggal di rumah kami. Bila
kutanya, dia tinggal dimana, jawabnya singkat…
“Nggak
jauh dari rumah ini, mbak…” kata Eka, diplomatis nadanya.
Ya, sudahlah. Mungkin dia punya
kehidupan pribadi sendiri yang tidak ingin aku campuri.
“Tuh kan, melamun lagi…Soal mimpi
semalam lagi?” tegur Mita, mengejutkan.
Ampun…Kenapa aku memikirkan bocah
itu lagi ya?
“Sudahlah, Ta…Jangan dipikirin
lagi…Mimpi itu bunga tidur…Lagipula, selama ini tidak ada kejadian aneh-aneh di
rumah kita kan? Papa juga sudah bilang kemarin, bulan depan kita musti pindah
ke rumah baru yang lokasinya dekat kampus. Sedangkan rumah ini kan terlalu
besar, sayang bila hanya kita yang menempati. Papa sudah menemukan pembeli yang
cocok. Uangnya bisa buat tambahan biaya kuliah kita.”
Omongan Mita barusan, membuatku
tersadar. Ya, toh tidak lama lagi aku pindah. Mungkin ketakutanku berpisah
dengan rumah ini saja, membuatku mimpi yang bukan-bukan…
***
Gemuruh air di luar yang seperti ditumpahkan
dari langit, membuyarkan lamunanku. Sepi. Malam ini, Mita yang suka ngoceh,
menggoda aku, pulang ke Bandung. Katanya kangen mama…Duh, tuh anak. Ngaku tomboy,
ternyata mellow juga hatinya.
Guntur
sesekali terdengar, membuatku merapatkan jaket. Ngeri. Bayangan seram suka
menggangguku akhir-akhir ini. Angin kencang di luar juga membuat suara gaduh.
Pohon-pohon kulihat dari balik jendela, kelihatan meliuk-liuk, seperti mau
roboh. Dingin-dingin begini, paling enak menyeruput segelas susu coklat hangat!
Mmm..setengah malas, kulangkahkan kakiku
ke dapur…
Tok…tok…tok…
Langkahku
terhenti seketika. Suara itu terdengar jelas, asalnya dari teras depan. Siapa
ya, malam-malam begini bertamu? Mungkinkah perampok? Tubuhku bergetar hebat.
Ketakutanku kembali muncul…Jika perampok,…
Kuintip
dari balik jendela, … wuzz…tidak ada siapa-siapa. Huh! Mungkin perasaanku saja…
Namun, ketika kuhendak balik ke dapur, tiba-tiba ketukan itu kembali
terdengar…Kali ini, ada suara yang sepertinya kukenali…
“Jangan
tinggalkan kami… Kami tidak mau sendiri di sini…”
Bbbr….Angin
bertiup, dingin. Bulu kudukku mendadak berdiri…
Suara
itu…
“Tolong…tolong,
jangan pergi…Kami tidak mau sendiri di sini…”
Glek.
Aku menelan ludah, takut… Bayanganku adegan dalam film horror, berkelebat
jelas. Selama ini, aku bisa tertawa, melihat film horror. Tapi kali ini, aku
merasakan diriku ada di dalamnya, begitu nyata…
“Tolong…”
Badanku
bergetar hebat. Pintu depan, berderak. Suaranya begitu berisik, seperti
berlomba dengan suara hujan di luar…Buru-buru, kuberlari masuk ke dalam kamar,
lantas menguncinya rapat-rapat. Belum sempat bernafas lega, tiba-tiba…lampu
mati!
Tubuhku
lemas. Nafasku terasa memburu. Tanganku mencoba mengaktifkan lampu yang ada di
handphone, tapi karena gemetar, handphoneku malah jatuh ke lantai! Suara itu makin dekat, dekat…dan kini terasa
tepat di depan pintu kamar… Pintuku berderak, guntur yang bersahutan di luar,
makin membuatku menggigil ketakutan…Aku pasrah, …keringat sudah membanjir,
nafasku tersengal-sengal…
“Tolong…”
Deg! Tanganku terasa ada yang memegang. Dingin…Badanku langsung ambruk mencium
lantai. Gelap!
***
Gara-gara
terlalu banyak nonton film horror, kata Papaku ketika keesokan harinya kusadar
sudah berada di kamar ditemani Mita dan Papa. Kata Mita, semalam mereka
menemukan rumah sedang mati lampu. Ketika mau membuka pintu, aku berteriak
ketakutan. Bahkan mengusir mereka pergi, sampai akhirnya tubuhku ambruk,
pingsan…
‘Benar,
pa…Nita tidak bermimpi atau berkhayal. Semalam ada yang berusaha masuk ke
rumah, menteror…” protesku, ketika papa tidak mau mendengar penjelasanku.
Gara-gara
kejadian itu, aku istirahat total di rumah. Untung Mita dan Bik Mimin dari
Bandung, menemaniku bergantian, karena aku tidak pernah mau lagi ditinggal
sendirian. Papa memutuskan, kami segera pindah rumah. Selain mimpi-mimpiku yang
kacau, juga rumah itu sudah ada pembelinya.
Siang ini, sehabis membereskan
beberapa perabot rumah yang akan kami bawa pindah, kami melihat beberapa
petugas kepolisian lalu lalang di depan rumah. Kelihatannya ada kejadian
serius, batinku.
Belum habis rasa heranku, kulihat
dua orang petugas datang. Beliau ditemui papa, kulihat dari ekspresi papa,
beliau sangat terpukul, sampai menggeleng-gelengkan kepala…
Papa tidak bicara apa-apa, ketika
kutanya masalah petugas yang datang siang itu. Beliau baru menceritakan
kejadian selengkapnya, setelah kami masuk ke rumah baru yang lebih mungil, tapi
dekat dengan kampus.
Baru kutahu…Klinik yang lokasinya
dua rumah dari rumah kami, sering melakukan aborsi gelap. Banyak calon bayi
tidak berdosa dibunuh, lantas dimakamkan seadanya di halaman klinik itu juga.
Tragisnya lagi…dari pengakuan seorang bidan yang melakukan aborsi, ketahuan janin
yang digugurkan itu juga ada yang dibuang dan ditanam di halaman rumah
kami…Ketika dulu, kami jarang menengok rumah ini, mereka pikir, kesempatan buat
menyembunyikan jejak kejahatan mereka…
Papa dan Mita, mengakui sekarang…
mimpi-mimpiku ternyata ada benarnya. Mungkin, Eka yang kukenal sebenarnya roh
bayi yang penasaran…Roh yang selalu menggangguku, tidak ingin ditinggalkan
sendiri, ya…roh bayi-bayi itu…Mereka mungkin merasa, jika keluarga kami cukup
“bersahabat” dengan mereka. Karena
pembeli baru rumah kami bisa saja merenovasi bangunan rumah ini,
sehingga “keberadaan” mereka terusik…(Kisah
Nita ini diceritakan kembali oleh Steph)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar