Pusing. Aroma karbol langsung menusuk indra penciuman,
begitu kuterbangun. Lamat-lamat kudengar suara denting benda-benda yang
sepertinya terbuat dari logam atau stainless stell. Mengapa tubuh ini terasa
begitu dingin dan ringan? Meski mata rasanya begitu berat untuk dibuka,
segalanya samar dan seakan berkabut, kupaksakan juga mengenali apa saja yang
ada di sekelilingku….
Perawat?
Suster? Ruangan serba putih? Glek, mata ini kembali terpejam. Kucoba mengingat-ingat
apa yang tengah terjadi. Astaga…bukannya terakhir aku terpelanting dari motor,
gara-gara menghindar dari sebuah bola yang menggelinding di tengah jalan?
Bola…ya, bola yang lebih menyerupai kepala manusia, plontos, botak, berlumuran
darah, dan wajahnya itu…Wajah itu menyeringai, seakan menertawakan aku?
Damn!
Apa aku tadi bermimpi? Tapi kenapa kepala gundul itu, begitu jelas
menggelinding di depan mata? Darimana memangnya aku tadi? Mmmm…iya…iya… Bukannya
kuhabis menengok Tata, sepupu yang melahirkan? Sengaja kumanfaatkan cuti
panjangku kali ini, buat main ke Semarang, sekaligus menengok salah seorang
kerabat dan mantan teman kuliah. Toh, sudah lama nggak kangen-kangenan dengan
mereka. Apalagi, cukup banyak juga teman kuliahku dulu yang memiliki usaha bagus
di kota lumpia ini.
Lumayan.
Banyak kawan, banyak kemudahan. Buktinya, aku nggak perlu repot mencari
penginapan, karena Danu sahabatku yang kini mengelola rumah kos-kosan,
memaksaku menginap di sana, sekaligus meminjamiku motor. Agar mudah, buat ke mana-mana.
“Anggap
saja rumah sendiri…Motorku juga bisa kamu pakai. Jangan sungkan, dulu kamu kan
sering banget direpotin,” katanya, sambil menyodorkan kunci motor dan STNK.
Segan
dan malu juga, dia bantuin sampai segitunya. Meski waktu kuliah memang sih,
Danu sering banget menginap di rumah, buat ngerjain tugas kampus sama-sama.
Makan, jalan, cari buku, sampai pedekate dengan cewek, kami sering lakukan
bersama. Itulah mengapa, lama banget kami nggak pernah dapat pacar serius…
Lulus
kuliah, kami bekerja di kota yang berbeda. Dia tinggal di Semarang, aku
memperoleh posisi lumayan di sebuah biro periklanan di Yogya. Tiga tahun sudah,
kami keasyikan dengan karier masing-masing, sampai lupa memikirkan rumah
tangga. Hingga kudengar sekarang, Danu baru saja bertunangan dengan adik kelas
kami dulu. Rencananya sih, lima bulan lagi mereka menikah.
“Mas,
sudah sadar? Bisa dengar suara saya?” Lamat-lamat, suara lembut itu terdengar.
Kurasakan sesuatu yang dingin, menyentuk tengkuk, lantas nadi di pergelangan
tanganku…
“Syukurlah,
mas sadar. Hampir dua jam, mas pingsan…” kata pemilik wajah oval dan berseragam
putih-putih itu, begitu melihatku membuka mata. Suster? Kuberusaha menggerakkan
kepalaku, tapi …pusing! Denyut di kepala, seperti ribuan jarum. Sakit…
“Saya
di mana? Mengapa bisa di sini?”Kerongkongan ini rasanya tercekat, seperti sudah
belasan jam tidak bicara. Kering. Perempuan berseragam perawat dengan rambut
pendek sebahu, itu tersenyum…
“Tenang,
mas. Jangan banyak gerak dulu. Mas mengalami kecelakaan dan diagnosa dokter,
gegar otak ringan. Kerabat mas sudah kami hubungi, besok akan datang. Sekarang,
tidur saja lagi… Kalau butuh apa-apa, pencet bel ya. Saya piket malam ini,”
kata perawat itu lagi.
Aku
hanya bisa menyeringai, lemah. Kelihatannya, pengaruh obat masih begitu terasa,
sampai-sampai ingin membuka mata saja begitu berat. Gelap.
*******
Bosan.
Bayangin saja, seharian tidak bisa turun dari tempat tidur. Sendiri pula… Jam
berkunjung sudah lewat, kini aku kembali sendiri di ruang berukuran sekitar 4X5
meter ini, seorang diri.
“Siang,
mas…Sudah baikan? Sebaiknya jangan terlalu diforsir buat membaca atau mikirin
yang berat-berat,” tegur pemilik suara lembut itu… Oh, suster cantik ini lagi…
“Tolong,
panggil saya Dewa saja suster, jangan mas…mahal mas sekarang?!” kataku, mencoba
bercanda. Hah, norak banget sih…Malu juga aku nyadar, kok lebai begini…Pasti
perawat itu, langsung ilfeel. Eh, tahunya bukannya menunjukkan ekspresi sebel,
cewek bermata bulat dengan bulu mata lentik, tanpa maskara itu malah senyum…
“Okey
Dewa…Kamu juga boleh panggil saya, Suster Tika. Kebetulan saya sering piket di
bangsal ini…” katanya, sambil meletakkan makan siangku di meja, samping tempat
tidur.
“Mau
makan sekarang? Saya bantu?” tanyanya lagi. Aku menggeleng. Tapi melihat
kesungguhan tawarannya, boleh juga tuh. Lagipula ingin makan sendiri juga masih
sulit…
Tanpa
kuminta dua kali, Suster Tika langsung membantuku makan… Ampun, kuingat
terakhir kali merasakan disuapin ya waktu kecil dulu.
Bayanganku
tentang perawat yang pendiam dan dingin, ternyata tidak beralasan. Buktinya
suster yang satu ini super ramah dan hangat. Dia mau mendengarkan cerita
konyolku, bahkan sebaliknya dia juga nggak segan menceritakan keluarga
kecilnya. Katanya sih, masih seorangan alias single. Tika tinggal bersama dua
adiknya yang masih kuliah dan sang mama. Kasihan juga…Muda-muda sudah menjadi
tulang punggung keluarga…
***********
Obrolan
siang itu, nyaris kulupakan. Kupikir nggak akan bertemu lagi dengan suster
cantik itu, setelah aku dipindahkan ke ruang rawat biasa. Gabung dengan seorang
pasien lain yang juga korban kecelakaan. Maklum, aku menolak tinggal di kamar
VIP. Mahal! Tapi tahunya, malam ini Tika
juga yang berkeliling mengecek keadaan pasien. Sayang banget, kali ini dia
tidak sendiri. Tapi ditemani perawat berambut kriting, cepak dengan warna kulit
lebih gelap dari suster cantik itu. Hingga aku nggak bisa mengajaknya ngobrol,
seperti kemarin.
“Malam,
Suster…” sapaku, sok akrab ketika dua perawat itu mendekati tempat tidurku.
Deg, jutek banget! Teman Tika itu hanya senyum, sekilas kulihat id pengenalnya.
Bertha. Mmm, nama yang bagus. Sayang tidak seindah pribadi orangnya, padahal
kuperhatiin perempuan bertubuh mungil, berleher jenjang itu juga cantik. Bahkan
kesannya lebih eksotik, dibanding Tika yang berkulit putih.
“Kalau
ada keluhan, silahkan pencet bel ya…Saya piket malam ini. Sebaiknya, anda tidur
jangan terlalu larut…” pesannya dengan nada datar. Busyet, nggak ada
manis-manisnya nih orang. Kulirik Tika yang berdiri disamping Bertha, hanya
senyum-senyum, sambil menunduk. Seakan dia ingin menahan tawa, melihat
ekspresiku yang masam dan shock…
Sialan,
pasti Tika menertawakanku dalam hati. Ya, lagian siapa pula yang sok
akrab…Suster berwajah dingin itu, kelihatannya tak menghiraukan ekspresiku yang
kaget. Cuek saja, dia memeriksa selang infus, lantas memastikan beberapa obat
di meja, sudah kuminum.
Bbbrrrr….Entah
kenapa, perasaanku nggak enak. Dingin. Lebih dingin dari biasanya, udara malam
ini. Bahkan, tangan Suster Bertha waktu memeriksa detak nadiku pun kurasakan
begitu dingin…Sekilas, kulihat tatapan mata perempuan itu. Gggrhh, dingin pula!
Tanpa ekspresi… Mati, deh…Kalau hari-hari terakhirku di rumah sakit ini musti
bertemu dengannya melulu.
*********
Bener
juga, tebakanku. Sejak pindah ruangan, aku nyaris nggak ada waktu ngobrol
banyak dengan Tika. Suster cantik yang diam-diam sudah membuatku terpesona itu.
Bahkan, kehadirannya sampai aku promoin di depan Danu. Untung saja, temanku
sudah punya tunangan. Kalau nggak, pasti Danu juga setuju dengan pendapatku.
Cewek ini cantik, lembut dan baik…pas buat dijadiin pacar, atau bahkan, lebih
dari itu…
Suster Bertha, lebih sering muncul,
mengantarkan makanan, memeriksa kondisiku atau memastikan semua pasien dalam
kamar ini baik-baik saja. Andai kan Tika, ikutan datang…dia selalu bersama
Bertha. Huuuh! Kapan ngobrolnya? Boro-boro ngobrol, menyapa saja…aku sungkan.
Kulihat, Tika juga sedikit takut dengan Bertha. Mungkin dia seniornya kali.
Sayang
banget, padahal dua hari lagi aku dipastikan bisa pulang. Sore ini, sengaja aku
keluar dari kamar, mencoba mencari udara segar sekaligus berharap bisa menemui
Tika, minimal untuk terakhir kalinya…Tapi, lagi-lagi alamakkk….aku berpapasan
dengan Suster Bertha.
“Sore,
Suster… “ sapaku, mencoba nekad. Huuh! Kali ini, nggak boleh nyerah
deh...Demi….
“Sore!
Ada yang bisa saya bantu?” tanya Suster Bertha. Masih sama dengan yang kemarin.
Tatapannya dingin. Meski kuakui, dia juga baik dan sigap meladeni semua
kebutuhanku, tapi tetap saja dia tidak seceria Suster Tika.
“Mmm….nggak…Suster,
piket sendiri?” Aduh! Gila! Kutepuk jidatku sendiri, menyadari pertanyaanku
begitu bodoh. Ngapain nanya-nanya, dia sendiri…
“Ya,
sering juga sendiri. Boleh saya periksa tensinya? “ tanya Suster itu, sembari
mengikuti aku yang tengah membuka pintu kamar. Mmm, masuk lagi deh. Gerutuku.
Entah mengapa, tiap berdekatan dengan suster ini, perasaanku nggak enak.
Selain udara di sekelilingku terasa
lebih dingin dari biasanya, aroma melati yang mungkin dia pakai membuatku
bergidik. Benar-benar, aku nggak suka
baunya…menggiriskan.
“Lain
kali, hati-hati kalau bawa motor. Apalagi lewat daerah bekas hutan randu itu…”
kata Suster Bertha, sambil memeriksa obat-obatan di mejaku. Mmm, tumben nih
suster, baik juga mau ngomong…
“Ya,
Suster tahu saya kecelakaan motor?”
“Tahu
dari Suster Tika, sebelum saya tugas di bangsal ini. Sebenarnya sudah sering, korban kecelakaan
tewas di tempat itu. Daerah bekas pohon randu. Anda saja yang beruntung,
selamat…”
Deg!
Jantungku seperti berhenti berdetak. Nih suster, beneran cerita, bersyukur aku
selamat, atau malah nakut-nakutin sih…Tebakanku keliru. Suster Bertha, ternyata
tidak kalah menyenangkan dari Tika. Hanya saja, tampilan luarnya saja serem.
Padahal kalau sudah kenal, ternyata dia nggak segan diajak cerita. Apalagi
pasien yang satu kamar denganku sudah pulang. Hingga, obrolan kami tidak
mengganggu siapa pun.
Lewat
Suster Bertha pula, kutahu glundungan kepala plontos yang kulihat itu, bukan
hisapan jempol. Beneran. Banyak orang kecelakaan di tempat itu, gara-gara
melihat kepala menggelundung di jalan raya. Sebutannya bagi yang percaya,
gundul pecengis. Kepala gundul yang menggelinding, sambil mecengis atau
meringis. Cerita itu muncul, awalnya
dari seorang pria plontos yang ditemukan mati terbunuh di daerah yang dulunya
banyak pohon randunya. Tubuh korban ditemukan, tergeletak di bawah pohon,
terpisah dari kepalanya yang berada tak jauh dari tubuh itu.
Hih!!!
Bulu kudukku meremang, Cerita Suster Bertha ini bisa-bisa membuatku nggak bisa
tidur. Meski malam ini, kulihat dua kali Suster Tika melintas di depan kamar,
bersama seorang perawat. Mungkin dia piket malam. Ingin memanggilnya, tapi
mataku sudah begitu berat. Hingga akhirnya, malam ini aku berhasil benar-benar
terlelap.
**********
Thanks
God! Hari ini, aku bisa pulang…Danu yang menjemputku, sudah menunggu di mobil,
karena kubilang mau pamitan dulu dengan perawat yang selama ini begitu baik,
menjaga.
Kuintip
ruang perawat, mmm…Suster Tika kemana ya? Apa dia sedang keliling, memeriksa
pasien? Belum sempat aku mengetuk pintu, tepukan di pundak nyaris membuatku
melompat kaget. Suster Bertha!
“Pulang
sekarang ya…Hati-hati di jalan, jangan lupa tetap rajin check up, buat
memastikan nggak ada efek samping dari benturan di kepala,”katanya, sambil
menjabat erat tanganku. Dingin. Masih sama…
“Maaf,
Suster…Boleh, saya tahu Suster Tika kemana ya?” tanyaku hati-hati. Duh, jangan
sampai suster galak ini tahu isi hatiku. Tapi melihat ekspresi wajahnya yang
mendadak berubah, hatiku jadi nggak enak juga…Pasti dia menduga aku
macam-macam…
“Suster
Tika?” Tanyanya lagi, serius. Aku menggangguk, meski heran melihat mata Suster
Bertha mendadak memerah dan berkaca-kaca.
Denyut di kepalaku mendadak muncul
lagi, mendengar cerita perawat bertubuh langsing ini. Katanya, Suster Tika
meninggal dalam kecelakaan sepulang piket malam. Kejadiannya tepat, setelah
esoknya aku pindah ruangan. Duh, padahal aku masih melihatnya sering menemani
Suster Bertha memeriksa kondisiku. Berarti…(Ft: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar